Disclaimer: I own nothing but the plot


Bring Him Back

By

nessh


Chapter 1


Age 5 & 6

Draco Malfoy merasa bosan. Dia tidak pernah menyukai pesta yang sayangnya, diadakan setiap tahun oleh keluarganya. Draco berasal dari keluarga yang sangat kaya. Kedua orangtuanya berasal dari garis keluarga yang memiliki kekayaan yang tidak pernah habis. Ayahnya memiliki perusahaan di bidang telekomunikasi, dan ibunya memiliki mata yang tajam mengenai barang-barang seni.

Si kecil Draco melihat kedua orangtuanya sedang sibuk mengobrol dengan para kolega ayahnya. Jadi ia menyelinap keluar dari ballroom dan pergi ke taman belakang rumahnya.

Kedua telinga Draco menangkap suara sesuatu, seseorang. Insting Draco mengatakan padanya untuk mengikuti suara itu, suara di kepalanya mengatakan untuk kembali ke pesta sebelum kedua orangtuanya sadar kalau dia menghilang.

Draco mengikuti instingnya.

Ia melihat seorang gadis kecil dengan rambut merah, kulit putih, dan gaun biru selutut sedang berdiri di dekat air mancur di taman belakang Malfoy Manor. Gadis itu tidak menyadari kehadiran Draco yang melihatnya dari balik pohon.

Gadis itu adalah sumber suara yang dia cari.

Draco melihat gadis itu bernyanyi sambil memainkan air di kolam. Draco tidak bisa melihat wajahnya karena gadis itu berdiri membelakanginya. Tapi suaranya, oh Tuhan, suaranya. Draco tidak pernah mendengar suara yang lebih indah dari suara gadis itu. Ia tidak bisa mengalihkan matanya dari gadis kecil yang masih bernyanyi itu.

"Ginny! Ginny! Dimana kau?"

Suara itu membuat sang gadis berhenti menyanyi, dia menoleh, mencari-cari asal suara.

Mata Draco melebar melihat wajah gadis itu, dia sangat cantik.

Seorang anak laki-laki menghampiri gadis kecil itu. Anak itu juga memiliki rambut merah yang sama, dan memakai kameja biru yang warnanya sudah hampir pudar.

"Darimana kau? Mum mencarimu. Kita harus pulang sekarang, Percy sudah ada disini."

"Tapi Ron," gadis kecil itu merajuk, "aku suka disini. Tamannya sangat indah! Aku mau main disini lebih lama."

Anak itu, Ron, menggeleng mantap. "Mum bilang kita harus pulang, berarti kita harus pulang. Ayo, Gin, sebelum Mum marah pada kita."

Gadis kecil itu menghela nafas, "Oke, oke. Kita pulang."

Mata Draco mengikuti kedua anak itu sampai mereka masuk ke pintu yang Draco tahu mengarah ke dapur. Mungkin kedua anak itu adalah anak salah satu petugas yang bertanggung jawab di pesta ini.

Saat Draco kembali ke pesta, tidak ada yang menyadari kepergiannya kecuali sahabatnya, Blaise Zabini.

"Darimana saja kau?" tanya Blaise setelah melihat Draco menyelinap dari taman.

"Eh? Keluar, ke taman." Draco terdiam sejenak kemudian menatap sahabatnya dengan ekspresi serius. "Jangan katakan apapun pada kedua orangtuaku."

Blaise terlihat bingung. Hanya sesaat, lalu dia tersenyum lebar. "Aku tidak melihat apapun."

Draco ikut tersenyum. Dia tahu dia selalu bisa mengandalkan Blaise.


Age 10 & 11

Namanya Ginevra Weasley, Ginny. Dia putri dari Arthur dan Molly Weasley. Dia punya enam kakak laki-laki, salah satunya adalah anak laki-laki yang dulu Draco lihat, Ron. Ibunya, Molly, bekerja untuk jasa katering yang waktu itu dipekerjakan ibu Draco, Narcissa, untuk pesta. Sejak saat itu, Narcissa selalu menggunakan jasa katering yang sama setiap kali keluarga mereka mengadakan pesta. Draco diam-diam bersyukur untuk itu.

Draco tahu, sejak pertama kali dia mendengar Ginny menyanyi, hatinya sudah menjadi milik Ginny. Ia menyimpan ini dalam-dalam dari semua orang, termasuk sahabatnya, Blaise. Walau sangat sulit bagi Draco untuk menyembunyikan sesuatu dari Blaise. Anak itu terlalu mengenalnya.

"Tenang, Drake, dia pasti ada disana." Seru Blaise.

Draco berhenti berlari dan menoleh pada Blaise, dia cemberut.

Blaise tertawa. "You're soooo obvious, mate. Aku rasa dia sendiri tahu kau menyukainya."

"Diam, Zabini."

"Hanya Tuhan dan Mum yang bisa membuatku diam."

Draco mendengus, tapi dia tahu Blaise benar. Hanya Tuhan dan ibunya yang bisa membuatnya diam. Draco terus berjalan cepat keluar dari area sekolahnya dan berhenti di gerbang. Blaise tepat di sampingnya.

"Dimana dia? Biasanya dia ada disini." Blaise celingukan, mencari sosok supir pribadi Draco, Mr Filch.

"Kita dijemput Uncle Rabastan hari ini."

Wajah Blaise berubah cerah mendengar nama salah satu kerabat Draco itu. Dia sangat mengagumi Rabastan dan ingin menjadi sepertinya suatu saat nanti.

"Uncle Rab? Cool!"

Draco hanya diam dan menunggu sambil bersandar ke pilar di belakangnya. Malam ini, kedua orangtuanya akan mengadakan pesta untuk merayakan ulangtahun Lucius Malfoy, ayah Draco. Semua orang akan datang. Dan Draco tahu, ibunya pasti menggunakan jasa Weasley's Catering untuk pesta ini. Draco tersenyum dengan ide melihat Ginevra Weasley lagi.

Mobil Morgan 4/4 milik Rabastan berhenti di depan gerbang sekolah. Mobil klasik bak terbuka itu terlihat mencolok dibandingkan mobil-mobil moderen yang dimiliki kebanyakan keluarga di sekolah Draco.

Blaise dengan semangat berlari menghampiri mobil Rabastan. Ia bersiul saat menyentuh body mobil berwarna merah itu. Blaise sangat menyukai mobil klasik, kedua orangtuanya mengoleksi cukup banyak mobil klasik yang jarang sekali mereka pakai dan hanya mereka simpan di garasi untuk diperbincangkan saat pesta.

"Keren!" puji Blaise setelah lima menit memutari mobil dan melihat detail mobil itu.

"Benar?." Rabastan tersenyum lebar, bangga pada tunggangan barunya.

"Yeah, yeah, bisa kita pergi sekarang?" ujar Draco tak acuh sambil melompat ke kursi belakang mobil dan memakai seat belt-nya.

Rabastan menatap Draco dengan kedua alis terangkat, bingung dengan sikap keponakannya itu. Lalu dia menoleh menatap Blaise, menanyakan sikap Draco dengan kedua matanya.

Blaise hanya mengangkat bahu lalu duduk di samping kursi pengemudi.

"Kita harus mampir dulu, menjemput Isabelle." Kata Rabastan sambil menyalakan mesin mobilnya.

Blaise berseru gembira, Draco menggerutu di belakang.

"Ada apa dengannya?" tanya Rabastan.

"Dia menyukai seorang gadis. Putri pemilik jasa katering yang biasa Aunt Cissa sewa setiap pesta. Namanya—aku lupa, Georgina, Genevieve, Jennifer, atau—"

"Ginevra!" sahut Draco dari belakang, gemas karena Blaise tidak bisa menyebut nama gadis dengan suara angelic itu dengan benar. Ia menyesal menyebut nama Ginny setelah melihat ekspresi Rabastan.

"Ginevra, huh? Gadis ini, dia cantik?" tanya Rabastan, seringai di wajahya semakin lebar melihat wajah Draco memerah.

"Aku rasa dia biasa saja. Tapi anak itu," Blaise menunjuk Draco dengan jempolnya. "Tidak bisa berhenti melihatnya setiap kali anak itu datang ke pesta. Daphne Greengrass lebih cantik."

Rabastan hanya tertawa melihat wajah Draco yang sudah mirip seperti kepiting yang baru direbus.

Mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah sekolah khusus perempuan yang besar. Banyak mobil mewah lain yang berhenti di depan sekolah. Sekolah ini, seperti sekolah Draco, memang sekolah yang sangat eksklusif. Hanya mereka sangat sangat kaya yang bersekolah disana.

Seorang gadis dengan rambut hitam bergelombang dan sepasang mata kelabu tersenyum lebar dan melambai pada mereka. Lalu ia berlari menghampiri mobil mereka dan melompat masuk ke kursi belakang, tas punggungnya mendarat di pangkuan Draco.

"Ufft! Isabelle!"

Isabelle Lestrange nyengir dan mendaratkan ciuman di pipi Draco. "Jangan cemberut, kau terlihat lebih tua kalau kau cemberut."

Draco mengusap titik yang tadi dicium Isabelle sambil menggerutu. Blaise iri, dia ingin dicium Isabelle, tidak peduli usianya lebih muda empat tahun dari Isabelle.

"Hey Beautiful Belle, siapa pria beruntung yang membuat ayahmu cemberut sejak pagi, eh?" goda Rabastan setelah mobil mereka kembali melaju ke jalanan.

Wajah pucat Isabelle memerah. Dia mengerang pelan, "Apa Mum katakan padamu, Uncle Rabastan?"

"Tidak ada. Dia hanya menertawakan ayahmu yang iri karena dia bukan lagi satu-satunya pria di hidupmu." Rabastan tertawa lalu menghela nafas. "Kedua keponakanku sudah besar dan jatuh cinta."

"Dua?" Isabelle mengerutkan keningnya.

"Maksudnya kau dan Draco." Timpal Blaise tenang.

Draco menahan diri untuk tidak melempar sahabatnya satu ini keluar dari mobil.

"Draco?" Isabelle menoleh ke adik sepupunya. "Kau naksir siapa?"

"Ginevra. Anak pemilik Weasley's Catering. Benar Blaise?"

"Benar, Uncle Rabastan."

Blaise dan Rabastan tertawa terbahak-bahak. Wajah Draco memerah karena malu dan kesal. Isabelle hanya melongo kaget.

"Aku harus melihat perempuan ini." Kata Isabelle.

"Kita akan melihatnya malam ini. Benar kan Drake?"

"Satu kata lagi dan aku akan membunuhmu, Zabini." Geram Draco.


Age 12 & 13

Eton College. Tempat dimana anak laki-laki menghabiskan masa sekolahnya dari usia 13 sampai 18 tahun. Tempat dimana Draco Malfoy akan menghabiskan masa remajanya.

Sudah menjadi tradisi di Keluarga Malfoy untuk mengirim putra mereka ke Eton College. Dari sana, biasanya mereka akan melanjutkan sekolah mereka ke universitas seperti Oxford atau Cambridge.

Sebenarnya, Draco tidak ingin pergi kesana. Ia ingin melanjutkan sekolah di sekolah umum. Tapi Draco tahu, dia tidak bisa melakukan itu. Dia dan kedua temannya, Blaise dan Theo, akan melanjutkan sekolah mereka di Eton. Tidak peduli mereka menyukai itu atau tidak.

"Lima tahun, tidak ada cewek! Jeez. Tidak ada yang menyenangkan." Blaise mendengus kesal. Seperti Draco, dia juga ingin melanjutkan sekolah disekolah umum, dengan alasan yang berbeda dari Draco.

Theodore Nott tertawa kecil. Dia sudah menyelesaikan tahun pertamanya di Eton dan akan memasuki tahun keduanya di bulan september nanti. "Eton tidak seburuk itu kok. Sekolah disana cukup menyenangkan dan jauh dari hiruk pikuk kota. Tenang. Aku menyukai itu."

"Kau menyukainya. Aku tidak menyukainya. Benar kan Drake?"

Tapi mata Draco terpaku pada seorang gadis dengan gaun merah yang sedang membawa makanan ke meja panjang yang menyimpan berbagai jenis makanan dan minuman.

"Lihat dia? Selalu seperti itu setiap kali gadisnya datang. Tapi tidak pernah punya keberanian untuk mengajaknya kenalan." Blaise menghela nafas frustasi.

Theo tertawa kecil. "Suatu hari nanti kau akan mengerti posisinya, Blaise. Saat seorang datang dan mengambil hatimu dan akal sehatmu pergi."

"Tidak mungkin. Aku tidak seperti kalian berdua."

"Kita lihat nanti, Zabini. Kita lihat nanti."

Isabelle yang tadi hanya memperhatikan ketiga laki-laki itu kini menghampiri Draco dan menepuk punggungnya dua kali.

"Aku lapar. Ambilkan aku sesuatu dari meja, oke? Dan limun. Sekarang pergi." Isabelle mendorong tubuh Draco keras sebelum Draco sempat menyahut.

Draco hampir saja terjatuh, tapi sebuah tangan yang lembut menangkap lengan atasnya dan membantu Draco berdiri tegak lagi. Draco sangat malu saat melihat siapa yang membantunya.

Ginevra Weasley.

"Kau tidak apa-apa Mr Malfoy?" tanya Ginny sopan.

Draco cepat-cepat menarik lengannya yang masih dipegang Ginny dan berdeham dua kali untuk menenangkan dirinya sebelum menjawab.

"Aku baik-baik saja, terima kasih, Miss Weasley."

"Ginny. Panggil saja aku Ginny, Mr Malfoy."

Draco tersenyum, "Tapi kau harus memanggilku Draco. Mr Malfoy itu ayahku."

Draco merasa jantungnya berhenti saat melihat Ginny tersenyum tulus padanya.

Itu pertama kalinya Draco bicara dengan gadis yang selalu dikaguminya.


Age 15 & 16

"Hai, menikmati liburan musim panasmu?" tanya Ginny.

Draco mengangkat bahu, senyum kecil menghiasi wajahnya. "Biasa saja. Musim panas bukan berarti aku bisa santai di pinggir pantai dan membuat kulitku cokelat eksotis. Musim panas, berarti aku harus menemani ayahku ke setiap pesta dan rapat perusahaan."

Ginny tertawa melihat wajah Draco yang terlihat kesal. Ia tahu betul, di balik sosok kaku seorang Draco Malfoy terdapat sisinya yang playful dan humoris, sisi yang jarang sekali dia perlihatkan kecuali pada keluarga dan teman dekatnya. Di depan orang lain, dia selalu menjadi Draco Malfoy yang sempurna, Draco Malfoy yang kelak akan mewarisi perusahaan, bukan Draco Malfoy yang Ginny kenal, yang Ginny temui setiap kali keluarga Malfoy membuat pesta.

"Kau akan menjadi orang penting suatu hari nanti. Kau membutuhkan semua pelajaran ini. Nasib ratusan karyawan Malfoy Corp ada di tanganmu." Kata Ginny sambil menata cupcake di meja.

Draco berdiri tidak jauh darinya, "Aku tahu, aku tahu. Itu yang Mum selalu bilang. Tapi aku ingin musim panas yang normal sesekali. Seperti pergi ke pantai dan melihat ratusan cewek dengan bikini mereka."

Ginny mengangkat kedua alisnya, "Itu tujuanmu ke pantai? Melihat ratusan cewek memakai bikini?"

"Tidak. Aku mau melihatmu memakai bikini." Goda Draco.

Semburat merah merayapi kedua pipi Ginny. Dia memalingkan wajahnya, berpura-pura berkonsentrasi pada tumpukan cupcake yang sedang dia susun.

Draco puas melihat reaksi Ginny, dia sangat suka menggoda gadis itu, dan melihat wajahnya memerah karena malu. Blaise dan Theo mengingatkannya untuk tidak ge-er melihat reaksi Ginny.

"Belum tentu dia menyukaimu." Kata mereka.

Tapi Draco hanya suka membuat Ginny tertawa dan tersenyum.

"Bagaimana denganmu? Pergi ke pantai dengan kakak-kakakmu atau teman? Atau pacar?" pancing Draco.

Ginny menggeleng. "Tidak punya pacar. Tiga kakakku yang sulung sudah bekerja, jadi mereka sibuk. Tiga lagi sibuk kerja part-time selama musim panas, jadi mereka juga sibuk. Dan teman-temanku juga banyak yang kerja part-time, jadi aku tidak bisa sering-sering menemui mereka. Kecuali Luna, itu karena dia tinggal di sebelah rumahku."

"Menyebalkan ya," komentar Draco sambil menghela nafas. Ginny menatapnya bingung, jadi Draco meneruskan kalimatnya. "Blaise sibuk dengan tur-nya ke Spanyol dan Theo malah sibuk mempersiapkan diri untuk ujian masuk med-school, tidak asyik. Dan sepupuku, Isabelle, sibuk dengan teater musim panasnya."

"Kita sama-sama ditinggal sendirian ya."

"Umm—hmm."

Sebuah ide melintas di pikiran Draco dan membuatnya tersenyum lebar seketika.

"Hey, Ginny, aku punya ide bagus. Kau punya rencana untuk jumat ini?"

"Jumat ini?" Ginny berpikir sejenak, kedua alisnya menyatu. Kemudia dia menggeleng pelan. "Seingatku tidak ada. Ada apa?"

"Mau pergi nonton denganku? Ada film yang ingin aku tonton, tapi seperti yang tadi aku bilang, aku tidak punya teman untuk menemaniku. Jadi…mau?" Draco menatap penuh harap pada gadis berambut merah di depannya.

Ginny terlihat terkejut. Tapi kemudian dia tersenyum, dan mengangguk.


Age 16 & 17

"Aku tidak tahu kau tertarik pada teater." Komentar Theo. Dia dan Draco sedang berada di sebuah studio teater di pinggiran kota London.

"Dia bukan tertarik pada teater, tapi pada orang yang main di teater." Sambar Blaise gemas.

Draco mendelik kesal pada sahabatnya.

"Ginny mengundangku untuk melihat aksi perdananya di teater ini. Dia sudah berlatih sejak Januari untuk hari ini. Mana mungkin aku tidak datang kan? Sudah diundang tapi tidak datang itu tidak sopan."

Blaise mendengus, "Yeah right."

Theo tertawa kecil. "Ya sudah. Hey Drake, kau mau pergi ke backstage dulu kan?"

Draco mengangguk dan mengangkat buket bunga di tangan kanannya. "Mau menemui Ginny dulu."

Theo dan Blaise mengangguk dan mengatakan mereka akan menunggu di kursi mereka di dalam studio teater. Blaise menggerutu pada Theo, gemas karena Draco tidak juga mengungkapkan perasaannya pada gadis itu dan malah main-main dengan Pansy Parkinson.

"Pansy menyukai Draco karena dia seorang Malfoy! Dan si Draco malah meladeni Pansy begitu saja. Dasar." Blaise mengomel.

"Pansy cantik dan Draco itu laki-laki, jadi dia pasti sadar kalau Pansy itu cantik. Lagipula, orang buta saja bisa lihat kalau Draco sudah memantapkan pilihannya pada gadis lain."

"Tapi kalau dia tidak gerak, bisa-bisa keburu diambil orang. Ginny juga cantik, aku yakin di sekolahnya dia cukup populer. Pasti banyak yang mengejar-ngejar dia."

"Itu tergantung pada Draco, benar? Kita hanya bisa mendukungnya, apapun pilihannya."

"Cih. Untuk seorang Malfoy, anak itu tidak punya nyali."

Theo menggelengkan kepalanya. Ia menyeret Blaise menuju kursi mereka yang terdapat di baris paling depan studio, tepat di depan panggung.

Draco terlihat ragu, apa dia harus mengetuk pintunya atau langsung masuk. Oke, langsung masuk itu tidak sopan, bagaimana kalau Ginny sedang ganti baju? Bayangan Ginny sedang berganti pakaian membuat wajah Draco langsung terasa panas. Jadi, dia memutuskan untuk mengetuk pintunya.

Tapi pintu terbuka sebelum Draco sempat mengetuknya, tangannya berhenti di udara.

"Oh hai, mencari Ginny?" tanya seorang perempuan dengan rambut dirty-blonde dan mata bulat.

Draco mengangguk, tangannya sekarang sudah masuk ke saku celananya, tidak lagi melayang di udara.

"Gin, ada mencarimu nih. Aku akan kembali ke studio, Ronald menungguku disana."

"Okay! Terima kasih buat bunganya ya Lun, sampaikan salamku untuk kakakku."

"Okay." Gadis itu tersenyum pada Draco sebelum melewatinya dan menjauh dari ruang ganti Ginny.

Ginny menoleh dari kursinya dan tersenyum lebar pada Draco. Ia memakai gaun dengan desain victorian era berwarna biru muda yang panjangnya sampai menutupi mata kakinya. Dia terlihat sangat cantik, sampai-sampai Draco terpaku di mulut pintu.

"Terima kasih sudah datang, Draco." Kata-kata Ginny ini membangunkan Draco dari trans-nya.

"Hmm, sama-sama. Umm, kau terlihat—kau terlihat—breath taking."

Semburat merah merayapi kedua pipi Ginny. "Terima kasih, Draco."

Keduanya diam. Hening terasa kaku bagi keduanya.

"Oh! Ini untukmu." Draco menyodorkan buket bunga di tangan kanannya pada Ginny.

"Terima kasih." Ginny menaruh bunga dari Draco di meja riasnya, didekat rangkaian bunga lain yang menghiasinya.

Draco melihat sebuah karangan bunga yang menyolok di antara karangan bunga yang lain karena ukurannya yang besar.

"Bunga yang bagus. Dari keluargamu?" tanya Draco sambil menyentuh kelopak bunga di rangkaian bunga itu.

"Bukan, itu dari Michael." Jawab Ginny, tersipu malu.

"Michael?" Draco tidak suka ekspresi Ginny saat menyebut nama itu.

Ginny mengangguk. "Michael Corner, pacarku."


Age 17 & 18

Lulus dari Eton College dengan nilai memuaskan dan diterima di Oxford. Kedua orangtua Draco sangat bangga pada putra tunggal mereka dan pada diri mereka sendiri karena telah membesarkan seorang anak yang pantas menyandang nama besar Keluarga Malfoy. Mereka mengadakan pesta besar-besaran untuk merayakan kelulusan Draco dari Eton di Malfoy Manor. Semua keluarga dan teman kedua orangtua mereka datang.

"Blaise, berhenti melihat pacar sepupuku seperti itu." Kata Draco pada Blaise yang tidak bisa berhenti mendelik pada pacar sepupu Draco, Isabelle Lestrange.

"Aku lebih baik dari pria itu."

"Pria lebih tua enam tahun darimu, lulusan Harvard, dan sudah bekerja, sukses pula. Kau baru lulus dari Eton, dan baru mau kuliah di Cambridge masih sangat jauh dibelakangnya." Ujar Theo. Dia senang datang ke pesta dan lari dari hiruk-pikuk sekolah kedokteran Oxford yang membuatnya kepalanya pening setiap hari.

Blaise menggerutu, merasa kedua sahabatnya tidak mendukungnya.

"Lagipula, Isabelle lebih tua empat tahun darimu, Blaise. Kenapa kau tidak cari gadis lain yang lebih sesuai untukmu? Seperti Astoria Greengrass atau Pansy Parkinson." Kata Draco.

Blaise mengernyit, "Pansy? Mantan pacarmu? Pfft, no bloody way, Draco. Lagian, umur itu hanya angka. Demi Moore dan Ashton Kutcher beda umurnya lebih jauh."

"And yet, they got divorced." Gumam Theo, meneguk wine-nya lagi.

Theo melihat ke sekeliling ruangan, merasa ada yang kurang dari pesta kali ini. Tapi apa? Sekali melihat ekspresi Draco, Theo langsung sadar hal apa yang hilang dari pesta ini.

"Mana Ginny? Aku tidak melihatnya semalaman."

"Pergi bersama pacarnya, Dean Thomas." Draco menyebut nama pacar Ginny seperti menyebut kata umpatan.

"Dean? Bukannya pacar dia itu—siapa namanya? Matthew?"

"Michael, Blaise." Ralat Theo.

"Dan sekarang dia sudah punya pacar lain." Blaise bersiul, "Gadis ini hebat!"

"Jadi dia tidak akan datang?" tanya Theo pada Draco, menghiraukan Blaise.

Draco menggeleng. "Tidak. Tapi kami akan ketemu besok, dia sudah janji mau menemaniku memilih kado ulangtahun untuk Isabelle."

"Bagaimana rasanya berada dalam friendzone, Mr Malfoy?" tanya Blaise dengan gaya reporter.

"Diam Zabini!"


Age 19 & 20

Ginny menghela nafas. Sudah beberapa kali dia berusaha untuk menghubungi Draco yang berakhir tanpa hasil. Dia juga menghubungi Blaise Zabini dan Theo Nott, berusaha untuk mengetahui keberadaan Draco. Tapi bahkan kedua sahabatnya tidak tahu dimana Draco Malfoy sekarang.

"Sejam lalu dia masih disini, kau tahu, di bar bersamaku dan Blaise. Dia pergi begitu saja setelah melihat berita di televisi. Aku juga berusaha menghubunginya tapi tidak pernah dia angkat." Itu kata Theo saat Ginny meneleponnya beberapa menit lalu.

Ginny sangat khawatir dengan keadaan Draco, apalagi Theo sudah mengkonfirmasi ketakutannya, bahwa Draco sudah melihat berita mengenai kecelakaan pesawat di televisi.

Kecelakaan pada pesawat yang membawa kedua orangtua Draco.


thank you for reading

xoxo

nessh