I don't own the characters. Copyright: Mangaka Eyeshield 21
Original artwork of cover book is not mine. Just modified it.
DiyaRi De present : If You Love Me, Let Me Know
Chapter 1
Mamori berada dalam situasi sulit. Benar-benar sulit. Bukan sulit karena banyaknya tugas kuliah, rumah, atau tugas klubnya yang menumpuk, dia sudah terbiasa dengan itu. Bukan juga sulit karena dia harus pakai baju apa ke kampus besok, atau dia bingung memilih model rambut saat di salon, atau pusing memilih sepatu, tas, dan baju baru. Sungguh, Mamori, yang sejak lahir adalah seorang wanita sejati, tidak pernah repot-repot memikirkan hal-hal macam itu. Dia juga bukan dalam keadaan sulit karena diganggu preman-preman yang menggodanya saat di jalan. Ya ampun, membayangkannya saja Mamori langsung bergidik. Lebih tepatnya, saat ini, detik ini juga, Mamori dalam keadaan sulit dan rumit, seolah pikiran dan perasaannya tidak bisa berjalan berdampingan dan saling mendahului.
"Kau yakin sudah mengatakan kepadanya Mamori?" tanya Ako, sambil mengaduk-aduk es jeruknya. Dia, Mamori, dan Sara saat ini sedang bersantai sambil mengobrol di kafetaria kampus.
Mamori mengangguk dan menatap Ako sambil mulutnya menyedot lemon tea dari gelas di depannya. "Dan jangan bertanya bagaimana aku mengatakannya."
"Memang bagaimana?" tanya Sara langsung sambil mencondongkan tubuhnya ke Mamori yang duduk di sebelahnya.
Mamori menoleh, lalu menghela napas dan menggeleng.
"Ini aneh," sahut Ako, membuat kedua temannya menoleh lagi ke arahnya. "Tidak mungkin dia tidak mengatakan apa-apa setelah kau mengatakan itu."
Sara mengangguk-angguk. Dia mengerti betul dengan apa yang Ako maksud. "Setidaknya dia harus mengatakan sesuatu. Dia seharusnya merasa senang, Ya.. Seharusnya dia merasa beruntung dengan hal ini."
"Aku rasa pendapat kalian yang salah," sahut Mamori.
"Ah tidak." Ako menjawab. "Kami yakin soal itu. Semua orang yang pernah melihat kalian bersama pasti yakin soal ini."
"Yamato-kun tidak pernah berasumsi seperti itu."
"Oh ya ampun. Dia itu laki-laki," keluh Sara. Dengan nada yang menunjukkan kalau laki-laki adalah orang yang tidak akan memperhatikan hal-hal kecil macam itu. Atau dalam tanda kutip, tidak peka.
Mamori mendengarkan Sara sambil matanya melihat orang-orang keluar masuk pintu kafetaria. Bukan orang-orang itu yang membuat Mamori tertarik melihat ke arah sana, tapi sosok laki-laki yang tengah dibicarakan mereka itulah yang baru saja masuk. Mamori mengikuti dengan matanya saat laki-laki itu berjalan ke arahnya, dan mereka berdua saling bertatapan.
Hiruma mengeluarkan sesuatu dari saku belakang celananya sambil menyerahkan laptop miliknya kepada Mamori. "Aku ada urusan sore nanti. Jadi, kau harus datang ke klub lebih dulu sebelum anak-anak sialan itu datang," katanya, menyerahkan lagi kunci ke atas meja di depan Mamori.
"Kau mau kemana?"
"Bukan urusanmu," ketusnya.
Mamori lalu memandang laptop yang sekarang sudah ada di pangkuannya. "Lalu untuk apa laptop ini?"
Hiruma menatap tajam Mamori. "Kau harus menyelesaikan data-data itu bodoh! Aku sudah memasukkan semua datanya, kau tinggal merapikan dan menyusunnya. Dan jangan lupa buat poin-poin penting untuk bahan strategi nanti."
Mamori mendengarkan sambil terus menatap Hiruma, lalu menghela napas. "Itu saja?"
Hiruma balik menatap mata Mamori lebih tajam. Jengkel dengan jawaban Mamori itu. "Jangan menungguku kalau aku tidak kembali. Langsung kunci saja ruang klubnya."
Hiruma berbalik untuk segera pergi namun Mamori menangkap pergelangan tangannya. "Katakan dulu kau mau kemana?" tuntut Mamori.
Hiruma melirik melihat tangannya yang masih dipegangi Mamori. Dia lalu berbalik lagi, dan berganti dia yang memegang pergelangan Mamori kencang. Dengan mudah Hirruma menarik tangan Mamori dari pergelangan tangannya sendiri. Setelah tebebas, Hiruma lalu berjalan kembali ke pintu dengan tangan dimasukkan ke kantong jaketnya.
Mamori memberenggut sambil memasukkan kunci yang tadi diberikan Hiruma ke dalam tasnya.
Sara berdecak. "Bisa-bisanya kau menyukai orang seperti itu," keluhnya.
Mamori mengangkat bahunya. Dia jadi teringat kejadian tiga puluh menit lalu, saat dia dan Hiruma hanya berdua saja di ruang klub. Mamori yang sedang menyalin data dari tulisan Hiruma yang berantakan, sedangkan Hiruma sendiri sedang menganalisis data tim lawan di laptopnya.
Aku mau mengatakan sesuatu Hiruma... Apa kau tahu kalau dari dulu aku menyukaimu?
Entah apa yang merasuki Mamori saat itu, kata-kata itu keluar begitu saja. Mungkin juga karena pendapat dari kedua sahabatnya kalau Hiruma juga menyukainya. Karena itu pula dia punya keberanian untuk mengungkapkannya. Tidak ada kegugupan, kalimat itu seolah mengalir, dengan santai dan biasa, bahkan terlalu biasa, Mamori mengatakannya langsung kepada Hiruma. Tapi memang Mamori berharap apa saat mengatakan itu? Berharap kalau Hiruma membalas perasaannya? Atau berharap hubungan mereka bisa berubah dari hanya berteman menjadi berpacaran? Tentu Mamori tidak mengharapkan hal itu. Sama persis seperti kenyataan yang dia terima. Hiruma tidak berkata apa-apa. Keheningan menyelimuti mereka. Mamori, yang sedari tadi menunduk dan tetap sibuk menyalin data, memberanikan diri melihat Hiruma yang duduk di depannya. Mamori mendongak, dan mendapatkan Hiruma yang tengah menatapnya. Hiruma menatap tajam Mamori, masih terus terdiam. Mereka bertatapan cukup lama. Tidak ada satu kata pun yang menghancurkan keheningan mereka. Ya, Hiruma tidak menjawab apa-apa dan kembali menatap ke laptopnya. Satu hal yang Mamori dapatkan saat itu juga, pendapat kedua sahabatnya itu, sama sekali tidak benar.
"Apa kamu yakin Mamori, kalau kamu sudah mengatakan perasaanmu kepadanya?" tanya Ako sambil menunjuk ke belakang, ke arah pintu, walaupun Hiruma sudah tidak terlihat lagi disana.
"Mm. Tentu saja. Kenapa kamu bertanya lagi?" tanya Mamori.
Ako menghela napas. "Dilihat bagaimana pun juga, sikapnya biasa saja. Tidak terlihat tanda-tanda kalau 'kamu' baru saja menyatakan perasaanmu," keluhnya, terdengar jelas walaupun dia berbicara dengan suara yang pelan.
Mamori mengaduk-aduk lemon tea-nya dengan sedotan. "Aku juga tidak mengerti," jawab Mamori, menatap Ako, lalu menengok melihat Sara. "Aku juga tidak tahu. Gara-gara pendapat kalian, di otakku sudah tertanam kalau dia juga punya rasa terhadapku. Tapi perasaanku berkata sebaliknya. Dia tidak pernah bersikap baik kepadaku, selalu menyuruhku. Kadang aku berpikir kalau dia juga suka padaku, tapi kadang aku merasa kalau dia tidak suka padaku. Aku sungguh tidak mengerti," jelas Mamori merasa frustasi.
"Oh ya ampun... Aku tahu. Aku mengerti bagaimana rumitnya perasaanmu," ujar Sara.
Ako mengetuk-ngetuk jari telunjuknya ke atas meja. "Bagaimana kalau kita hilangkan dulu pendapat itu," sahutnya. "Kau tahu teori tarik ulur?" Mamori dan Sara hanya memandang dan menunggu Ako melanjutkannya. "Bersikaplah biasa saja. Jangan bertingkah seolah kau memang mencintainya. Dekati lelaki lain di sekitarmu, dan lihat bagaimana reaksinya."
Mamori terdiam sambil berpikir. Dia lalu menompangkan dagunya di telapak tangan di atas meja. "Aku rasa cara itu tidak akan berhasil."
.
.
"Berhentilah melamun Hiruma. Sudah lampu merah. Kau mau menunggu sampai lampu berubah hijau lalu berubah merah lagi untuk menyebrang?" keluh Musashi sambil menengok ke Hiruma yang masih berdiri tiga langkah di belakangnya.
Hiruma tersadar dan langsung menyemprot celotehan Musashi. "Berisik kau Pak Tua! Aku tidak melamun, bodoh."
"Kau ini..." balas Musashi, lalu berjalan lagi saat Hiruma sudah menyusul dan berjalan di sebelahnya. "Tadi kau yang menyuruhku agar cepat-cepat menyelesaikan pekerjaanku. Sekarang malah kau yang lama dan melamun menghabiskan waktuku."
Hiruma tentu mendengarkan Musashi, namun dia tidak membalas perkataannya. Sama seperti saat Mamori mengatakan kata-kata mencengangkan siang tadi. Saat itu Hiruma tentu mendengarnya, bagaimana pun dia tidak bisa berpura-pura tidak mendengar mengingat ruangan itu begitu sunyi dan hanya ada mereka berdua disana. Dan saat itu pula, Hiruma kehilangan kata-katanya. Entah apa yang ada di dalam otak Manajer sialannya itu, Hiruma merasa kalau Mamori sedang melantur atau bercanda, atau bisa jadi dia hanya sedang bertaruh dengan sahabatnya atau anak-anak di klub, mengenai siapa yang paling bisa membuat Hiruma kaget dan tercengang. Hiruma juga tidak yakin kalau Mamori mengatakan itu kepadanya. Tapi saat itu hanya ada mereka berdua, tidak ada yang mengintip atau menguping mereka. Tidak ada suara sorak sorai kemenangan, karena memang saat itu Hiruma benar-benar kaget.
Dan bagaimana kalau semua itu benar? Hiruma tidak tahu harus berbuat apa. Melihat Mamori di kafetaria tadi pun, sikapnya sangat biasa, tidak terlihat malu atau canggung. Sampai-sampai Hiruma sendiri berpikir kalau kejadian sebelumnya itu tidak nyata saat menemui Mamori tadi. Ya ampun. Banyak sekali pikiran yang berkecamuk di kepala Hiruma dan dia sama sekali tidak mengerti apa yang telah terjadi hari ini.
.
.
Mamori baru saja selesai berendam. Dia kembali ke kamarnya sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk. Mamori menutup pintu kamar lalu duduk di kursi meja belajar sambil memperhatikan keluar jendela. Pkirannya melayang membayangkan kuliah esok hari. Dia ingat besok ada pop quiz di kuliah bahasa Inggris, dia juga harus menyerahkan makalah, memperpanjang kartu perpustakaan miliknya, dan mengembalikan buku yang sudah selesai dia baca.
Mamori beralih ke atas meja. Disana tergeletak laptop Hiruma. Dia ingat sore tadi Hiruma tidak juga kembali walaupun latihan sore sudah selesai. Seperti yang sudah dipesankannya, Mamori tidak menunggunya. Jadi setelah latihan selesai dan anggota klub sudah pulang semua, Mamori mengunci ruang klub dan membawa laptop itu bersamanya. Mamori tidak bisa membayangkan satu malam Hiruma tanpa ada laptop bersamanya. Dia pasti sangat tidak ada kerjaan dan bingung harus mengerjakan apa. Karena memang tidak ada satu hari pun, Mamori tidak pernah melihat Hiruma tanpa laptopnya. Tapi sudahlah, laptop itu pun ada fungsinya bagi Mamori untuk mengerjakan data dan tidak terabaikan dengan sia-sia.
Ponsel Mamori berdering di atas ranjangnya. Dia lalu bangkit dari kursi dan beralih ke atas ranjang. Sembari mengeringkan rambutnya, Mamori duduk bersila dan membuka ponselnya, yang ternyata ada satu pesan masuk. Dia membacanya selama beberapa detik. Hatinya bergemuruh, rasa senang bercampur dengan kecewa. Senang karena dia menerima pesan dari Hiruma, dan kecewa saat dia membaca isi dari pesannya. Mamori menghembuskan napas panjang sambil membaringkan punggung di kasur dan merentangkan tangannya, masih tetap memegang ponsel dengan telapak tangan kanannya.
Datanglah lebih pagi ke klub. Print poin-poin yang aku suruh tadi siang. Jangan lupa bawa laptopku.
Mamori memandang kosong ke langit-langit kamarnya dan menghela napas lagi. Hiruma memang tidak menyimpan perasaan apapun kepadanya. Mamori sama sekali tidak punya harapan.
.
To Be Continue
(Tidak ada catatan kecil XD)
