a hetalia fanfiction:

pitter patter

pitter patter © Tsukkika Fleur

Hetalia: Axis Powers © Hidekaz Himaruya

saya tidak mengambil keuntungan materiil apapun dalam pembuatan fanfiksi ini.


Hari ini Gilbert tengah berbaik hati menjenguk Elizaveta yang terpaksa terkurung di dalam apartemennya selama tiga hari belakangan. Ia membawa semangkuk sup, karena sup memang menu yang terbaik saat hujan dengan deras mengguyur, yang dibelinya di tengah perjalanan.

Ia mengetuk pintu kamar. Tidak ada jawaban.

"Liz?"

Di kamarnya ternyata tidak ada siapa-siapa.

Gilbert mengernyit. Perempuan itu tidak mungkin kelayapan keluar rumah namun ia tidak ada di rumah? Ia kemudian meletakkannya di atas meja dan …

Ah. Pintu menuju balkon ternyata terbuka sedikit.

Ia mendekati bingkai jendela dan melongok dari sana, Elizaveta, perempuan keras kepala itu, berdiri di sana. Gilbert kemudian hanya mengamati, bagaimana kesepuluh jari milik Elizaveta bergerak lincah di atas balkon sambil memejamkan mata. Ia juga membuat percikan-percikan air memenuhi tangannya dan hujan turut membasahi ujung-ujung poni serta puncak kepalanya.

Akhirnya dibukanya pintu tersebut dan perempuan itu bergeming. Suara-suara genting yang ditubruk angin dan titik-titik air memenuhi kepalanya.

"Lagu apa yang kaumainkan di kepalamu itu, heh?"

Kedua tangan Elizaveta berhenti secara mendadak dan Gilbert bisa melihat ada ucapan-ucapan jelek yang diucapkan di hati perempuan itu—untuknya tentu saja.

"Kau mengganggu, trims."

"Aku hanya penasaran, kenapa ada perempuan senekat dirimu; baru sembuh dari sakit lantas sudah hujan-hujanan sambil sok-sok bermain piano di atas genangan air?"

"Karena kau tidak mendengarnya," kilahnya cepat. Kedua tangan itu kembali membentuk formasi, siap-siap untuk memainkan not-not yang mungkin sama atau berbeda dari yang tadi, Gilbert tidak tahu. "Kalau kau mendengarnya mungkin kau tetap akan berdiri manis menatapku dari balik jendela."

"Oh, kau sadar juga rupanya."

Elizaveta mendengus. "Punggungku gatal soalnya." Alih-alih kembali bermain, matanya menengadah pada bulir-bulir air yang turun membasahi daun-daun pohon yang ada di dekatnya. "Kau bisa ambil ponselku dan dengarkan lagu yang terakhir kumainkan."

Gilbert memutar bola matanya dan berjalan ke belakang punggung Elizaveta. Tangannya ditengadahkan, sama-sama membasahinya dengan air hujan.

"Malas ah, bagaimana kalau kaunyanyikan saja sekaligus tangan-tanganmu sibuk menyentuh tuts-tuts khayalanmu itu?"

"Suaraku jelek, lho."

"Memang." Gilbert menyengir. "Tapi ada hujan yang meredamnya jadi gendang telingaku sedikit tidak keberatan."

Mendengarnya, Elizaveta tertawa. Rusuk milik Gilbert disikut dan mereka mulai bernyanyi melawan kerasnya deru hujan deras.


end.


a/n: terinspirasi dari channel di ytb LambertLambert Lambert, terima kasih pada teman saya yang tiba-tiba ngirimin link-nya dia hehe.

.

.

.

Epilog

Hujan akhirnya berhenti menderas dan mereka terduduk kelelahan setelah tertawa—mereka malah tidak jadi bernyanyi—terlalu lama. Gilbert memandangi rinai-rinai hujan yang semakin tipis. Elizaveta bersandar padanya dan mendendangkan lagu yang tak ia kenali.

Tak lama, Gilbert mengerutkan kening."

"Hei, Liz."

"Ya?"

Laki-laki itu terdiam sebentar. "Kayaknya aku melupakan sesuatu."

Giliran Elizaveta yang mengerutkan kening. "Apa?"

" … "

" … ung, Gil?"

Jeda beberapa detik sebelum Gilbert tiba-tiba bangkit dan memekik.

"Astaga, supnya!"

Terlambat, sudah dingin.