Wonwoo yang tidak mengetahui tujuan hidupnya, dan mingyu yang hanya hidup untuk menjalankan tujuannya.

-Purpose of life-

"Aku bergabung dengan kalian" ucap seorang pemuda berkulit tan. Rambut coklatnya basah oleh keringat, walaupun dapat ditebak bahwa itu bukanlah warna asli dari rambut pemuda itu karena pada pangkal rambut yang pasti baru bertumbuh masih berwarna hitam. Nafasnya masih tersenggal karena ia memang baru saja berlari memasuki markas yang luas namun terpencil ini.

"Wah wah anggota baru" ucap seorang lelaki yang baru saja muncul dari balik tembok tua yang warnanya telah di dominasi oleh lumut. Lelaki itu bertepuk tangan dengan seringaian tipis dibibirnya.

Seungcheol, choi seungcheol. Orang yang baru saja keluar dari balik tembok itu adalah choi seungcheol. Ia adalah seorang yang cukup penting peranannya dalam kelompok ini, bisa dibilang bahwa ia adalah tangan kanan sang bos besar yang menciptakan kelompok ini.

Tepatnya seungcheol adalah ketua organisasi kelompok yang selalu melakukan aksi pemberontakan di korea, ia akan selalu melaporkan semua perkembangan yang telah kelompoknya perbuat kepada atasannya yang berada disebuah tempat, yang bahkan tak seorang pun dari anggota tahu. Hanya seungcheol.

"Kau yakin?" Tanya seungcheol pada pemuda berambut coklat itu.

"Ku rasa kau bahkan terlaku tampan untuk melakukan bom bunuh diri. Kenapa kau tidak mendaftar pada sebuah agensi besar dan menjadi artis terkenal disana? Ku rasa itu lebih menghasilkan banyak uang" lanjutnya membuat beberapa orang yang ada disana ikut terkekeh.

"Apa kau mau berjanji bahwa kau takkan berkhianat?" Tanya seungcheol tepat dihadapan pemuda itu, yang lain sontak terdiam ingin mendengar apa jawaban dari pemuda yang tiba-tiba datang dan berteriak bahwa ia ingin menjadi bagian dari mereka.

"Aku yakin. Aku tidak membutuhkan uang karena tujuan hidupku hanyalah untuk mati, dan aku pikir, dari pada nantinya aku mati dengan sia-sia, lebih baik aku mati dengan berguna bagi orang lain walaupun yang kupilih sekarang adalah orang-orang yang tergolong melenceng, tapi setidaknya aku akan berguna" jawab pemuda berambut coklat itu.

Seungcheol sedikit mendongakkan kepalanya untuk menatap mata pemuda dihadapannya karena memang pemuda ini tidak bisa dibilang pendek, bahkan seungcheol merasa seperti seorang kurcaci jika terus berdiri dekat dengannya.

"Dan... aku berjanji untuk tidak akan berkhianat"

Wonwoo, seorang pemuda dengan ransel biru yang cukup besar dipunggungnya berjalan entah kemana. Semuanya telah berakhir sejak beberapa waktu yang lalu.

Wonwoo adalah sebatang kara, dibesarkan dalam sebuah panti asuhan kecil dengan jumlah anak yang tergolong banyak. Ia memutuskan untuk pergi dari panti asuhan itu setelah ia duduk dibangku sekolah menengah, walaupun sempat bingung akan dimana ia tinggal, sampai seorang lelaki yang sepertinya sedang mabuk merampas semua harga dirinya pada saat itu. Wonwoo tidak tahu apa yang harus ia lakukan, hingga pada akhirnya wonwoo atau mungkin hidupnya memutuskan untuk menjadi seorang jalang hanya untuk bertahan hidup.

Sekarang, wonwoo memilih untuk menyudahi pekerjaan nistanya itu. Ia kabur untuk yang kedua kalinya. Segalanya seperti dejavu bagi wonwoo, ia hanya berjalan tak tentu arah, tanpa tujuan atau apapun. Ia hanya mengikuti kemana kakinya ingin melangkah.

Seoul memang sangat ramai pada siang hari, bukan hanya siang, kota ini memang selalu ramai, tidak ada kata tidur untuk kota metropolitan seperti ini. Namun semuanya terasa berbeda, orang-orang berlari sekuat tenaga mereka dan berteriak tidak jelas hanya untuk memperingatkan yang lain bahwa keadaan sedang terancam. Ledakan beberapa kali terdengar dari berbagai arah disusul dengan suara tembak-menembak yang mendominasi setelahnya. Mobil polisi dengan sirine yang cukup memekakkan telinga terus menguar beserta orang-orang berseragam yang keluar dari mobil itu dengan senjata api ditangan mereka.

Memang sulit untuk mengerti apa yang terjadi saat ini, tapi semua orang tahu bahwa keadaan sedang tidak aman dan mereka harus secepatnya menjauh dari tempat ini, tapi semua itu tidak berlaku bagi wonwoo. Pemuda dengan wajah datar ini justru melawan arus orang yang berlari menjauh dan memilih untuk mendekat ke sumber suara itu. Ia tahu polisi tidak akan mencegahnya karena polisi itu juga pasti sibuk untuk mencari tahu apa yang terjadi, sampai sepasang mata hitamnya berhasil menangkap pergerakan seseorang yang mungkin adalah salah satu pemberontak.

Seseorang itu berada dibalik pohon yang cukup besar dan tidak mudah dilihat oleh orang lain, bahkan wonwoo hampir tidak melihatnya jika saja ia tidak menyandung sebuah batu yang sukses membuatnya hampir terjatuh sehingga ia memutuskan untuk berhenti berlari dan melihat sekitar, disanalah ia menemukan seorang lelaki berbalut jaket tebal dan masker yang menutupi wajahnya sampai hanya mata yang terlihat. Wonwoo mendekat ke arah lelaki yang sedang bersembunyi itu. Ia dapat melihat nafas lelaki itu memburu, yang menunjukkan bahwa lelaki itu sedang kelelahan.

Beberapa langkah wonwoo mendekat, seseorang itu dengan sigap mengarahkan pistol ke arahnya membuat wonwoo sedikit terlonjak. Namun didetik berikutnya wonwoo tersadar untuk mengangkat kedua tangannya.

"A-aku bukan bagian dari mereka"

Lirih wonwoo namun ia masih dapat memastikan bahwa seseorang itu dapat mendengar jelas suaranya.

Wonwoo tidak tahu apa yang terjadi berikutnya, ia hanya merasakan sebuah tangan yang melingkar dipergelangan tangannya dan mengajaknya berlari menjauh dari keramaian yang terjadi sebelum semuanya berubah menjadi gelap.

"Hei, sudah bangun?"

Wonwoo mengerjapkan matanya beberapa kali untuk mencerna apa yang sedang terjadi. Tempat yang benar-benar tidak ia kenali, dan seseorang yang juga tidak ia kenal terlalu membuat otaknya berpikir keras.

"Aku mingyu. Salah satu dari mereka"

Wonwoo mengalihkan pandangannya untuk menatap orang yang kini berada di samping tempat tidur yang sedang ia tempati. Rambut coklat, rahang tegas, mata kelam, dengan warna kulit berbeda dari yang ia miliki.

Wonwoo menatap mata itu dalam, ia pernah melihat mata ini. Ya, ini adalah mata seseorang yang ia lihat dibalik pohon besar dengan dengan balutan jaket hiram tebal dan masker. Kini wonwoo mengetahui maksud kata 'mereka' yang diucapkan orang ini tadi. Orang ini, mingyu, adalah bagian dari pemberontak itu.

"Sungguh aku bukan bagian dari mereka, aku bukan polisi, dan aku tak akan melaporkanmu kepada siapapun. Tolong jangan bunuh aku" ujar wonwoo yang sukses membuat mingyu terkekeh. Jujur, wonwoo cukup takut berdekatan dengan mingyu setelah ia mengetahui bahwa mingyu adalah orang yang tidak bisa dikategorikan baik. Orang yang bisa saja membunuhnya dalam sekejap, memotong tubuhnya lalu membuangnya.

"Kau punya apa untuk ku bunuh?" Tanya mingyu sembari bangkit dari kursi disamping tempat tidur dan beranjak mengambil minuman di nakas dalam kamar itu.

"Aku... aku tidak mempunyai apa-apa" jawab wonwoo lalu menduduk setelahnya.

"Untuk apa aku membunuh orang yang tidak mempunyai apa-apa" sahut mingyu. Air di gelas yang baru saja ia ambil sudah habis dengan sekali tenggak.

"Lalu untuk apa kau meledakkan bom itu dan membunuh banyak orang yang juga mungkin tak mempunyai apa-apa, sama seperti ku" tanya wonwoo. Entah keberanian dari mana tapi kali ini ia benar-benar ingin tahu alasan dibalik pekerjaan mereka.

"Aku meledakkan bom itu hanya untuk mengalihkan perhatian. Orang-orang itu saja yang berada terlalu dekat dengan bom. Itu salah mereka, dan wajar saja kalau mereka mati" jawab mingyu santai lalu duduk di tempat semula dan kembali menatap wonwoo.

"Lantas siapa nama mu? Mengapa kau tidak berlari bersama orang bodoh lainnya?" Tanya mingyu. Wonwoo menoleh kearahnya hanya untuk melihat wajahnya lalu kembali menunduk.

"Aku wonwoo. Aku hanya ingin tahu, jadi aku mendekat" jawab wonwoo seadanya.

"Kau tidak takut jika ada sebuah bom lagi yang meledak dan kau akan mati karena itu?" Tanya mingyu lagi.

"Tidak. Aku tidak mempunyai tujuan hidup, jadi jika aku mati pun tidak masalah" ujar wonwoo. Mingyu kembali terkekeh mendengar jawaban itu.

"Lalu kenapa kau memintaku untuk tidak membunuhmu?" Wonwoo menoleh menatap mingyu. Pikirannya mengatakan bahwa mingyu adalah orang jahat, sedangkan hatinya menganggap mingyu adalah orang yang baik. Wonwoo hanya bingung untuk mengikuti hati atau pikirannya.

"Aku hanya... uhm... mungkin terlalu takut untuk mati" jawab wonwoo. Mingyu mengacak surai hitam wonwoo gemas. Wonwoo memang terlalu manis untuk ia bunuh.

"Baiklah wonw- uhm, apa margamu?" Ya, mingyu belum mendengar marga wonwoo saat pemuda manis ini memperkenalkan diri tadi.

"Aku tidak mempunyai marga" jawab wonwoo yang sukses membuar mingyu mengernyitkan alisnya bingung. Sadar akan kebungungungan diwajah mingyu, wonwoo menghela nafasnya dalam, berpikir untuk bercerita atau tidak, tapi sepertinya mingyu tidak seperti yang ia pikirkan. Hatinya lebih pantas ia ikuti.

"Aku tidak tahu siapa orang tuaku, bibi jeon pun tidak mengetahuinya. Mereka menemukanku saat aku masih bayi didalam sebuah kardus didepan pintu panti asuhan, dan tidak ada catatan apapun disana. Selama ini aku selalu memakai marga bibi jeon, tapi aku sadar bahwa aku tidak pantas untuk itu, dan jadilah sekarang aku tidak memakai marga apapun" jelas wonwoo.

"Siapa bibi jeon?" Tanya mingyu.

"Pengurus panti. Dia baik, sangat baik tapi aku mengecewakannya. Oleh karena itu aku memilih pergi dari panti" ujar wonwoo.

"Sepertinya aku juga belum mendengar margamu tadi?" Tanya wonwoo.

"Apakah orang sepertiku masih harus membawa nama keluarga? Tidak, itu sangat memalukan. Lagi pula, aku memang sudah lama melupakan mereka. Mereka terlalu munafik" jawab mingyu.

"Setidaknya kau lebih beruntung dapat mengenal mereka"

"Tidak ada keberuntungan yang kudapat sama sekali" wonwoo terdiam mendengar ucapan mingyu. Sepertinya, mingyu mempunyai masalah yang besar dengan keluarganya sampai menaruh kebencian yang dalam kepada mereka.

"Sudahlah lupakan. Kau boleh pergi dari sini. Maaf untuk membekapmu hingga kau pingsan. Oh ya, satu lagi, tolong jangan beri tahu siapapun tentang ini. Aku harus pergi sekarang" ujar mingyu lalu mengambil jaketnya dan pergi begitu saja meninggalkan wonwoo yang masih terpaku ditempatnya.

"Kerja mu cukup bagus untuk mengalihkan perhatian mereka, walaupun kami belum sempat masuk ke dalam acara itu. Sepertinya aku harus mempercayaimu sekarang" ucap seungcheol sembari menepuk pundak mingyu.

Pemberontakan yang mereka lakukan kemarin sebenarnya adalah untuk masuk ke dalam sebuah acara penting negara.

Seperti yang orang-orang awam ketahui, terorisme untuk menguasai sebuah negara, dan itulah mereka. Acara itu memang sangat penting dan mengundang beberapa pemerintah besar seoul. Walaupun mereka sudah berhasil membuat kekacauan, tapi sayangnya mereka gagal untuk memasuki acara itu dan membunuh para petinggi yang hadir disana.

"Tidak apa-apa. Mungkin bukan hari ini" lanjut seungcheol dan mendapat anggukan dari anggota lainnya.

"Lusa presiden akan mengadakan pidato di alun-alun kota mengenai pemberontakan kemarin. Pasti sangat ramai, dan mungkin ini kesempatan kita" ujar seorang lelaki dengan tubuh yang bisa dibilang mungil. Wajahnya tergolong manis, sangat sulit dipercaya bahwa ia adalah sebagian dari teroris.

"Bagus jihoon-ssi, carilah informasi lebih lanjut" ujar seungcheol.

"Persenjataan kita mulai menipis, sepertinya kita butuh pasokan yang lebih banyak" lelaki betubuh tinggi dengan wajah dingin turut buka suara.

"Baiklah, aku akan segera menyediakan yang baru. Tolong kumpulkan persenjataan yang masih ada jisoo-ssi" jawab seungcheol. Bisa ditebak bahwa jisoo adalah orang yang mengendalikan persenjataan kelompok ini. Kemarin, jisoo lah yang menjelaskan bagaimana cara meracik bom dan memberi persenjataan lengkap pada mingyu, dan untungnya mingyu adalah orang yang cukup pintar sehingga dapat mengerti semuanya dalam sekejap.

"Ingat semuanya, lusa kita akan kembali beraksi. Dan untukmu..." seungcheol menunjuk mingyu

"Tetaplah bekerja dengan baik" ujarnya lalu pergi meninggalkan semua yang masih berada di markas.

"Aku yakin kau tidak akan berkhianat" ujar seorang berambut blonde yang tiba-tiba merangkul bahu mingyu. Mingyu yang terkejut hanya mengangguk.

"Oh ya, aku soonyoung, kwon soonyoung. Kau pasti belum mengenalku kan? Pastinya karena aku juga belum mengenalmu" ujarnya.

"Mingyu" sahut mingyu, untuk sekedar memberitahukan namanya.

"Err kau dingin sekali bung. Oh ya, aku beritahu saja, kemarin, tepatnya malam sebelum kau bergabung dengan kami, seungcheol kejam itu baru saja membunuh salah satu dari kami yang tertangkap menolong seseorang yang tidak kami kenali. Jeonghan, sebenarnya dia cukup hebat, namun karena kesalahan kecil, ia harus mati dengan sia-sia. Itu sebabnya aku tidak ingin kau menjadi pengkhianat sepertinya" ujar soonyoung. Mingyu hanya menahan rasa untuk tertawa saat mendengar soonyoung yang menyebut seungcheol dengan sebutan 'kejam' yang jelas-jelas juga dapat mendefinisikan setiap orang yang berada dalam kelompok ini. Mereka akan membunuh siapa saja yang menghalangi jalan mereka, apa itu tidak termasuk kejam?

"Kita tidak boleh menggunakan hati dalan setiap pekerjaan yang kita lakukan karena itu dapat membuat rasa iba yang memuakkan itu muncul. Bahkan seseorang seperti kita, mungkin diharamkan untuk merasakan cinta. Sungguh miris, namun aku menyukainnya" lanjut soonyoung. Mingyu tersenyum. soonyoung benar, mereka tidak boleh menggunakan hati dalam pekerjaan mereka. Dan memikirkan tentang tragedi jeonghan, walaupun mingyu tidak mengenal siapa jeonghan tapi apakah ia akan berakhir sepertinya karena ia juga telah menolong seseorang lelaki manis dan bahkan mengizinkannya untuk beristirahat di rumah kecilnya yang bobrok itu.

Mingyu membuka pintu rumahnya dan menimbulkan derit yang cukup nyaring dari pergesekan antara kayu dan lantai. Ia membuka jaketnya dan melemparnya kearah sofa. Tubuhnya bahkan terlalu lelah untuk sekedar membuka sepatu, membuatnya langsung menidurkan dirinya di kasur sempit yang ia punya.

Memejamkan matanya, dan terlelap sepenuhnya tanpa menyadari seseorang membuka sepatunya dan meletakkan benda tersebut di tempat yang seharusnya. Menyelimutinya dengan selimut hanya yang ia punya lalu menyingkirkan helaian rambut yang menutupi matanya.

Wonwoo tidak pergi kemana-mana.

Mingyu terbangun setelah indra penciumannya menangkap aroma ramen yang cukup membuat kesadarannya kembali. Semalam ia terlalu lelah untuk makan, jadi ia memutuskan untuk langsung tidur.

Ia mendudukkan dirinya di kasur, mencoba mencerna lebih lanjut bebauan yang membangunkan dirinya, ia hanya tinggal seorang diri, lalu siapa yang memasak ramen sepagi ini?

Meninggalkan kamar, mingyu berjalan memasuki dapur sempitnya yang memunculkan sosok asing yang sepertinya ia kenal. Seseorang itu berbalik dengan dua mangkuk ramen ditangannya dan sukses membuat mingyu sedikit terlonjak. Wonwoo masih berada dirumahnya, wonwoo belum pergi.

"Oh uhm.. Selamat pagi" ujar wonwoo lengkap dengan senyum manisnya walaupun mingyu masih dapat mencium keterkejutan di awal kalimatnya.

"K-kau... uhm maksudku, selamat pagi" sahut mingyu. Jujur, mingyu sendiri sangat terkejut melihat keberadaan wonwoo.

Sementara wonwoo hanya tersenyum lalu melenggang ke meja kecil yang ada di kamar. Rumah mingyu memang tidak luas, hanya ada sebuah kamar, ruang tamu, dapur kecil, dan satu kamar mandi. Tidak ada ruang makan, mingyu menaruh meja kecil dikamarnya yang memang di fungsikan untuk menaruh makanan.

Wonwoo duduk dan bersiap melahap ramennya diikuti dengan mingyu.

"Uhm... kau tidak keberatan kan?" Tanya wonwoo sebelum memakan ramennya.

"Silahkan saja, dan terimakasih. kau adalah orang pertama yang membuatkan ku sarapan" mingyu terkekeh kecil lalu memasukkan suapan pertama ramen itu kemulutnya.

"Benarkah? Uhm maaf jika aku hanya membuatkan ramen untukmu, aku hanya dapat menemukan ini di dapur" ujar wonwoo disela acara makannya.

"Tidak apa-apa, lagi pula aku memang hanya menyimpan ramen untuk persediaan. Rumah ini terlalu sempit untuk menyimpan makanan lainya" mingyu tersenyum lalu memakan ramennya entah sudah suapan keberapa.

Ada perasaan hangat saat ia melihat wonwoo tersenyum, perasaan senang melihat pergerakan wonwoo, bahkan hanya gerakan mata wonwoo saja sudah berhasil membuat jantungnya berdegup dua kali lebih kencang, bahkan lebih kencang daripada saat ia meledakkan beberapa bom. Mungkin wonwoo adalah bom baginya, namun jauh lebih indah.

"Uhm... wonwoo?" Wonwoo mendongakkan kepalanya untuk menatap mingyu yang memanggilnya.

"Ya?"

"Kau tidak pergi?" Tanya mingyu akhirnya setelah berhasil menghabiskan satu mangkuk ramen yang cukup membuatnya kenyang.

"Maaf sebelumnya, tapi aku tidak tahu harus pergi kemana. Bisakah aku menginap disini untuk beberapa hari? Setidaknya sampai aku mendapatkan pekerjaan" ujar wonwoo takut-takut namun mingyu segera melemparkan senyum yang teramat manis, ia bahkan ragu bahwa yang berada di depannya adalah seorang teroris.

"Tentu saja. Kau bisa membuat rumah ini lebih hangat, tidak seperti biasanya. Rumah ini terasa lebih berarti denganmu didalamnya" wonwoo hanya terdiam atas ucapan mingyu. Wonwoo mengambil gelasnya dan menengguk air yang tinggal setengah itu lalu menghabiskannya.

"Terimakasih" ujar wonwoo. Wonwoo menunggu perkataan 'sama-sama' atau apapun balasan yang semestinya ia dapat, namun kali ini tidak. Mingyu hanya diam menatap wajahnya dalam. dan detik berikutnya, wonwoo dapat mendengar derit kursi yang digeret mendekat kearahnya, sekarang mingyu bukan lagi berada dihadapannya, namun mingyu berada disebelahnya, menatapnya dengan lekat.

Dalam jarak sedekat ini, wonwoo dapat melihat bahwa mata mingyu bukanlah berwarna hitam kelam seperti yang ia lihat sebelumnya. Mata mingyu berwarna coklat tua nyaris hitam jika hanya melihatnya sekilas. Wonwoo dapat merasakan bahwa tubuh dihadapannya ini sangat lelah dengan melihat kantung mata yang menghitam, mingyu pasti selalu tidur larut malam.

Pandangan wonwoo terus menatap sosok mingyu dihadapannya yang terus mencoba mengikis jarak diantara mereka. Dan saat merasakan bibir milik mingyu berada diatas miliknya, wonwoo menutup matanya, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi.

Mingyu melumat bibir wonwoo lembut. Tangannya mulai mengelus pipi wonwoo lembut lalu melepaskan ciumannya. Wonwoo membuka matanya menatap mingyu yang juga sedang menatapnya.

"Kau tahu bahwa orang-orang seperti kami tidak boleh memiliki cinta" ujar mingyu. Wonwoo masih terdiam.

"Itu akan merepotkan, sungguh merepotkan. Kami bisa mati kapan saja jika kami terancam. Bahkan mungkin ancaman bukanlah dari orang lain, melainkan dari diri kami sendiri" mingyu berhenti sejenak untuk mengambil nafas.

"Kami tidak segan melakukan bunuh diri jika kami benar-benar terancam. Sedangkan cinta hanya dapat menghambat pekerjaan kami. Tapi... entah apa yang kurasakan saat aku melihatmu. Hati ku merasa hangat hanya dengan melihat senyummu. Aku tidak pernah merasa seperti ini sudah lama sekali. Melihat senyummu sama seperti melihat senyum ibu ku yang telah lama meninggal karena perbuatan ayahku" mingyu terkekeh kecil atas perkataannya. Wonwoo masih diam, mendengarkan apa yang dikatakan oleh mingyu.

"Aku sangat menyayangi ibuku. Dia adalah satu-satunya orang yang paling kucintai. Dan... aku merasakan itu padamu"

wonwoo terkesiap atas perkataan mingyu. Entah ia harus percaya atau tidak, pikiran dan hatinya kembali berpikir dengan arah yang berbeda.

"Aku benci mengatakan ini adalah cinta, karena aku telah muak pada perasaan itu. Perasaan itulah yang membuat hatiku sakit saat melihat ayahku membunuh ibuku tepat dihadapanku. Apa aku juga harus membunuhmu untuk menghilangkan perasaan itu?"

Wonwoo membekap mulutnya dengan tangannya sendiri. Apakah ia akan mati hari ini hanya karena membuat seorang yang jahat jatuh cinta kepadanya?

Mingyu mengambil pisau yang kebetulan ada diatas meja dan mengarahkannya kepada wonwoo. Wonwoo hanya menutup matanya, menahan tangisnya dan mulai mengutuk karena ia tidak mengikuti pikirannya.

Mingyu orang jahat, dan selamanya akan begitu.

"Mengapa kau datang untuk membuatku lemah wonwoo?" Mingyu menggerakkan ujung pisaunya menyentuh permukaan kulit pipi wonwoo. Hanya membentuk sebuah garis tanpa meninggalkan bekas luka sedikitpun. Wonwoo masih menutup matanya.

"Kau takut? Mengapa kau tidak lari sekarang? Jika kau lari, maka aku berjanji bahwa aku tak akan mengejarmu" ujar mingyu.

Wonwoo perlahan membuka matanya. Pipinya masih merasa dingin akibat tertempel besi tajam yang dipegang oleh mingyu. Wonwoo bisa saja lari saat ini, wonwoo sangat takut, tapi entah kenapa hatinya sangat tenang sehingga membuatnya masih tetap duduk diam dihadapan mingyu.

"Kau tidak mau pergi?" Tanya mingyu memastikan dengan pisau yang diarahkan kehadapan wajahnya menjadi pembatas antara wajahnya dan wonwoo.

"Baiklah" ujar mingyu. Ia mengangkat pisaunya keatas, siap menghujam wonwoo saat itu juga.

Wonwoo menutup matanya kembali, berharap bahwa ia masih akan hidup besok. Mingyu menurunkan pisau itu cepat kearah wonwoo, namun wonwoo tidak merasakan apapun selain benda kenyal dibibirnya yang terus bergantian mengulum bibir atas dan bawah miliknya.

Mingyu tidak membunuh wonwoo.

Mingyu melemparkan pisaunya ke sembarang arah lalu menyentuh pipi wonwoo dan berganti ke dagu wonwoo untuk membuat bibir yang tertutup itu terbuka. Wonwoo yang menyadari itu semua menurut dan membuka mulutnya mengizinkan lidah mingyu bermain didalamnya. Cukup lama wonwoo terdiam sebelum akhirnya ia mengikuti permainan mingyu dengan lidah mereka yang saling perperang.

Tangan wonwoo yang sedari tadi terdiam mulai berani ia gerakan. Wonwoo mengalungkan tangannya di leher mingyu untuk sekedar memperdalam ciumannya. Wonwoo tidak gugup hanya untuk kegiatan seperti ini, karena inilah pekerjaannya dulu. Tapi entah kenapa, wonwoo merasakan sesuatu yang lain saat mingyu yang melakukannya.

Mingyu melepas ciuman mereka dan berganti menciumi leher putih wonwoo. Dengan mudahnya mingyu memindah tempat persinggahan wonwoo yang semula di kursi menjadi di pahanya. Wonwoo pun tidak sadar sejak kapan kakinya telah melingkar di pinggang mingyu. Tangan mingyu mulai menelusup kedalam kemeja putih polos wonwoo, dan mulai meraba perut rata wonwoo. Mingyu menggunakan satu tangannya yang bebas untuk membuka kemeja wonwoo dan wonwoo hanya pasrah membenamkan wajahnya di ceruk leher mingyu, membiarkan mingyu bekerja lebih jauh.

"Aakh mingyu" desahan yang sedari tadi tertahan menguar begitu saja saat merasakan tangan mingyu yang mulai bermain pada nipple nya. Sementara mingyu kini memilih untuk menikmati bibir manis wonwoo dengan tangan yang terus bermain pada dada sang pemuda manis itu.

Kemeja wonwoo telah sepenuhnya terbuka walaupun belum terlepas. Mingyu melepas ciumannya dan menatap lekat tubuh shirtless wonwoo lalu tertawa kecil.

Wonwoo sedikit heran melihat mingyu yang tiba-tiba melihatnya seperti itu namun itu tidak berlangsung lama saat mingyu tiba-tiba menggendongnya untuk beralih ke kasur yang terletak tak jauh dari sana.

Hanya desahan yang terdengar setelah itu. Mereka sama-sama menyadari bahwa mereka sudah jatuh dalam lembah cinta tanpa mereka rencanakan sebelumnya. Berawal dari keingin tahuan wonwoo, dan mingyu yang begitu saja percaya dengan wonwoo bahwa wonwoo tidak akan membahayakannya.

Hari ini, wonwoo menemukan tujuan hidupnya yang hanya untuk mingyu, dan mingyu menemukan tujuan yang lebih penting dari apa yang ia pikirkan di awal, wonwoo adalah hal terakhir yang ia inginkan.

Jam sudah menunjukkan pukul 12.34, sudah cukup lama dari acara sarapan yang berujung dengan derit ranjang pada pagi itu.

Wonwoo membaringkan dirinya disebelah mingyu yang sedang memeluknya. Hanya berbalut selimut dengan masing-masing yang kelelahan.

"Kenapa kau tidak membunuhku tadi?" Tanya wonwoo.

"Aku tidak mungkin sanggup untuk membunuhmu. Jika aku membunuhmu maka aoa yang kudapat? Aku hanya akan mendapat sakit hati yang sama seperti dulu"mingyu mengeratkan pelukannya kepada wonwoo.

"Kau tahu bahwa aku bukanlah orang baik-baik. Terlalu banyak orang yang telah menyentuhku, bahkan mungkin kau adalah orang yang ke... aku tidak tahu" ujar wonwoo.

"Kita sama-sama bukan orang baik wonwoo. Neraka akan menerima kita bersama nanti" jawab mingyu.

Wonwoo terkekeh dan memukul dada mingyu kecil membuat mingyu juga ikut terkekeh.

Hari ini, mereka menemukan tujuan hidup mereka yang baru.

-tbc-

Yoyo~ gue bawa ff baru lagi, padahal utang ff masih banyak -_- entah kenapa gue cepet bosen banget, tapi tenang aja 'you're my freedom' tetep gue lanjut. Ff 'the sound of famery' juga lagi dalam proses(?) Yang masih nunggu harap sabar ya...

DEMI APA INI FF RATED M PERTAMA GUE! Padahal kalo baca mah sering/? Oke maap kalo kurang errr dan gak nyampe yang terlalu nganu(?) Jujur gue masih gak berani, gue belum cukup umur :" yang gini aja sampe keringet dingin/?

Ff ini bakal gue bikin twoshoot aja, biar utang gue gak terlalu numpuk:" ide buat ff ini muncul pas ada teror di jakarta kemaren. Jujur gue ngeri walaupun gue gak dijakarta. Buat yang dijakarta harus tetep hati-hati ya! Bukan dijakarta doang, seluruh indonesia. Pokoknya jaga diri kalian baik-baik. Terakhir, review ya guys :* salam nemplok!