(Never) Gonna Be Fine

(by: Kirei Kazami)

. . .

Terdengar suara pintu dibanting dari ruang tengah. Byungjoo yang terduduk di dapur hanya melirik sekilas, lalu fokusnya kembali pada makanannya. Meskipun ramen dingin di depannya sama sekali tak menarik seleranya, tapi Byungjoo lebih memilih membagi perhatiannya untuk makanannya ketimbang melihat pertengkaran kakaknya dengan ayahnya. Rasanya kepalanya mau pecah.

Dari arah tangga, kakak perempuan tertuanya datang. Di sudut bibirnya terlihat sebuah memar dan matanya basah. Byungjoo hanya diam, pandangannya mengikuti kemana arah perempuan itu pergi. Dia ke kamar mandi sebentar, lalu kembali ke dapur dan menuju pantry. Sepertinya kakaknya baru saja mencuci mukanya, terlihat dari hampir seluruh wajahnya yang basah.

"Kau sudah makan, Byungjoo?" tanya Hojoon sambil membuka pantry dan melihat persediaan makanan di sana. Ekspresinya berubah ketika hanya melihat sekaleng sarden dan sekotak besar pasta.

"Aku sedang makan, noona," sahut Byungjoo pelan. Kakaknya pasti baru saja bertengkar dengan suaminya. Byungjoo tahu itu.

"Itu ramen tadi sore, bekas Sangwon," ujar Hojoon. Dia menuang sarden kalengan yang ditemukannya di dalam pantry ke teflon kemudian memasaknya. Byungjoo hanya melirik ke arah tangga ketika Hansol kakaknya naik ke kamarnya dengan langkah rusuh setelah dimarahi ayahnya habis-habisan. "Kau juga tidak memakannya. Aku akan memanaskan sarden dan membuat pasta, kita makan berdua. Okay?"

"Hum,"

Byungjoo tak dapat menolak. Dia hanya membiarkan Hojoon memasak dan menunggunya dalam diam. Tanpa sadar, tangannya mendorong mangkuk berisi ramen di depannya dan seketika meletakan kepalanya di atas meja makan. Byungjoo lelah. Tiga jam yang lalu dia baru saja pulang sekolah. Lelah dalam segala artian yang kau pikirkan.

Setelah sekitar sepuluh menit kemudian, Hojoon selesai memasak. Dia menyajikan pasta dan sarden dalam satu mangkuk, sebenarnya membuat Byungjoo merasa sedikit jijik. Dan Hojoon terlihat hanya mengeluarkan satu mangkuk. Byungjoo tahu artinya ini, kakaknya pasti butuh teman untuk bicara.

"Kau menjijikan, noona. Kenapa kau menyatukan pasta dan sardennya? Lagipula kenapa juga kita harus makan dalam satu mangkuk," protes Byungjoo.

"Makan saja. Ini enak," kata Hojoon singkat sambil mengacak rambut Byungjoo.

"Yak!"

Hojoon hanya tertawa ringan. Byungjoo menatap kesal kakaknya, tapi dia hanya menurut ketika Hojoon menyodorkan sendok dan memberinya isyarat untuk segera makan. Diam-diam Byungjoo memperhatikan kakaknya. Banyak-sedikit kakaknya memang berubah setelah menikah; dari sifatnya, kepribadiannya. Bahkan Byungjoo sadari hampir semua hal tentang kakaknya memang berubah. Terutama hubungannya dengan suaminya, Hyosang. Byungjoo mengenal pria itu sejak dulu masa-masa kakaknya masih duduk di sekolah menengah terakhir. Dulu mereka hanya berpacaran, dan hubungan mereka sangat baik. Tapi setelah mereka menikah sekarang, tanpa sadar Byungjoo sering merasa kasihan dengan kakaknya.

"Noona, kenapa kau betah bersama Hyosang hyung? Aku kasihan dengan keadaanmu sekarang," tanya Byungjoo pelan, khawatir di lantai atas Hyosang dapat mendengarnya.

Mendengarnya, Hojoon hanya menoleh sedikit. Lalu dia tersenyum dengan senyumnya yang khas. "Kau hanya tidak mengerti, Byungjoo. Hyosang baik, hanya saja akhir-akhir ini sifatnya sulit ditebak,"

"Karena itu dia memukulimu?" ujar Byungjoo cepat.

Hojoon tak menjawab. Dia berpura-pura tak mendengar dengan sibuk menyuap pasta ke mulutnya. Byungjoo menghela nafas. Sudahlah, mungkin ini memang masalah internal mereka yang bersifat privasi. Dan mungkin memang tak seharusnya Byungjoo ikut campur.

"Lain kali kau harus pulang bersama Sangwon atau Hansol. Aku mulai khawatir dengan mereka," ujar Hojoon. Dia mengalihkan pembicaraan, dan Byungjoo menyadari itu.

Byungjoo meletakan sendoknya, lalu memandang kakaknya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku selalu berdoa untukmu, noona,"

Samar, Byungjoo dapat melihat Hojoon tersenyum. Ketika pasta yang mereka berdua makan sudah habis, Hojoon masih diam dan tak mengatakan apapun. Ah, Byungjoo tak pernah mengharapkan Hojoon berterimakasih. Pada akhirnya Byungjoo hanya terdiam. Tetapi Hojoon berbalik ketika setengah jalan menaiki tangga.

"Terimakasih, Byungjoo-ah. Itu karena aku terlalu mencintai Hyosang. Sekarang tidurlah –oh, dan seringlah mengajak Yoonchul atau Jiho bicara. Okay?"

Lalu Byungjoo hanya mengangguk.

. . .

Byungjoo tidak pergi ke kamar Yoonchul atau Jiho, dia tidak menuruti perintah Hojoon. Lagipula, mungkin saja kakak dan adik tirinya itu sudah tertidur –atau mungkin untuk Jiho, sepertinya dia memang belum pulang. Byungjoo langsung pergi ke kamarnya dan kemudian menghempaskan tubuhnya ke kasur. Seketika tubuhnya terasa diliputi dingin. Pelan-pelan matanya terasa berat.

Tiba-tiba pandangannya terbayang oleh visualisasi kejadian yang sudah dilewatinya selama sehari ini. Mulai dari bangun tidurnya, berangkat ke sekolah, jam sekolahnya, pulang ke rumah, lalu jam tidurnya. Tunggu, Byungjoo kembali mereview. Dalam rutinitas sehari-harinya tak pernah ada makan malam. Mungkin ada, tapi Byungjoo tak pernah menyebutnya begitu.

Pikirannya kembali terganggu ketika mendengar suara desahan liar perempuan dari kamar di sebelahnya. Kamar Yoonchul. Cepat-cepat Byungjoo menutup seluruh tubuhnya dengan selimut –tidak ingin membayangkan apa yang dilakukan kakak tirinya di kamar sebelah dengan pacarnya. Tapi sedetik kemudian dia mendengar suara pintu kamar Yoonchul digebrak dengan keras, lalu suara ayahnya yang kembali memaki terdengar lagi.

Yoonchul adalah kakak tirinya, pindah bersama Jiho adiknya dan ibunya ke rumah Byungjoo setelah ibu kandung Byungjoo meninggal. Ayahnya memang memiliki dua istri, yang satu adalah ibunya dan satu lagi ibu Yoonchul dan Jiho. Jujur saja, Byungjoo agak menjaga jarak dengan Jiho dan Yoonchul. Bukan karena dia tak suka, tapi karena entah kenapa dia merasa canggung dengan keduanya. Terutama Jiho; menurut Byungjoo, anak itu terlihat jarang berbicara. Bahkan kalau diingat-ingat, sepertinya dia memang belum pernah berbicara sedikit pun dengan Jiho.

Walaupun begitu, bukan berarti Byungjoo tak menerimanya. Hojoon, Hansol dan Byungjoo merasa senang ketika pertama kali dua saudara tirinya itu datang dan tinggal satu rumah bersama mereka. Tapi itu tak berlaku kepada Sangwon, adik bungsu mereka. Di sekolah, Byungjoo tahu Sangwon dan Jiho pernah terlibat kasus perkelahian dan mereka berada di pihak yang berlawanan.

Ayahnya bekerja di rumah sepanjang hari, mengaku bekerja sebagai supervisor sebuah Korporasi besar yang bahkan seluruh anaknya pun tak pernah tahu apa namanya. Ibu tirinya –ibu Yoonchul dan Jiho– adalah editor kecil-kecilan di sebuah perusahaan penerbitan buku. Terkadang Byungjoo merindukan ibunya, dan dengan membayangkan kerja keras ibu tirinya, rasa rindunya entah kenapa dapat terbalas begitu saja.

Kadang terpikir oleh Byungjoo, hidupnya memang rumit.

Byungjoo memejamkan matanya. Berusaha mengabaikan semua gangguan dari luar pandangannya –berusaha untuk rileks. Tapi tetap saja tidak bisa. Suara desahan dari kamar sebelah masih terdengar samar di pendengarannya. Ditambah lagi suasana kamarnya yang hening. Byungjoo menggerutu pelan. Lalu dia beranjak bangkit dari kasurnya dan menuju nakas di samping ranjangnya. Dia mengambil sesuatu dari dalam sana –sebuah benda yang berkilat di bawah sinar lampu kamarnya.

Cress…

Cairan hangat berwarna merah pekat menetes pada lantai kamar Byungjoo ketika dia menggoreskan potongan silet itu ke pergelangan tangan kirinya. Rasanya sangat perih, tapi Byungjoo diam saja. Matanya terpejam, tapi seperti ada yang melesak-lesak ingin keluar dari matanya. Matanya tiba-tiba terasa panas. Byungjoo menggigit bibirnya untuk menahan sakit. Tidak, dia tidak boleh berhenti. Dia belum merasa tenang.

"Byungjoo hyung– YAK! KAU GILA?!"

Pintu kamarnya terbuka dan di sana ada Sangwon. Byungjoo hanya menatapnya dengan ekspresi datar. Dia melihat Sangwon langsung meninggalkan skateboardnya di depan pintu kamarnya dan berlari ke arahnya dengan panik. Sedangkan Byungjoo, dia masih diam dan masih membiarkan darah mengalir dari pergelangan tangan kirinya. Darah yang menetes di lantai semakin banyak –dan jujur saja, itu membuat Sangwon ketakutan sekaligus mual.

"Hyung! Apa yang kau lakukan hah?! Kau gila?!" seru Sangwon. Dia membawa Byungjoo ke tempat tidur dan memaksanya untuk duduk. Kemudian, sambil membalut tangan Byungjoo yang berdarah dengan kain entah apa yang ditemukannya, dia sibuk meracau tak jelas. "Kau kenapa?! Kau tahu –kau bisa saja mati karena kelakuan gilamu itu! Kau mau bunuh diri, eh?! Kau ini kenapa, hyung?!"

Byungjoo masih diam.

"Hojoon noona! Hyosang hyung! Hansol hyung!" Sangwon berlari keluar dari kamar Byungjoo sambil memanggil Hojoon dan Hyosang. Bahkan ketika langkahnya hampir terjerembab, Byungjoo melihat anak itu masih melanjutkan larinya.

Detik selanjutnya, Byungjoo tak dapat melihat dengan jelas. Dia hanya melihat Hojoon yang datang bersama Sangwon dan Hansol dengan panik, lalu menghampirinya dan meneriakan kata-kata yang terdengar samar di telinga Byungjoo. Terakhir, Hyosang datang bersama Yoonchul dan Hojoon menghampiri keduanya sambil berkata sesuatu dengan panik.

Sampai akhirnya Byungjoo benar-benar kehilangan kesadaran.

. . .

Hari ini, sepertinya hari terdingin dalam hidup Byungjoo.

Salju mulai menebal di lapangan sekolahnya yang luasnya tiga kali luas kelasnya. Hari ini kelasnya sangat sepi –hanya ada sekitar lima belas orang siswa yang masuk hari ini di kelasnya. Sisanya absen dengan alasan yang sama. Di musim dingin, ini hal yang biasa terjadi. Meskipun diberi kesehatan tubuh yang berlebih di cuaca ekstrim seperti sekarang ini, sebenarnya Byungjoo tak pernah merasa beruntung. Merasa menyesal juga tidak.

Sekarang Byungjoo cukup merasa kedinginan. Meskipun penghangat ruangan di kelasnya disetting dengan suhu tertinggi, sekali lagi, di kelasnya ada lima belas orang lainnya –ditambah seorang guru yang kelihatannya juga kedinginan, itu berarti kehangatan dalam ruangan itu harus dibagi-bagi juga.

Tapi Byungjoo yakin, tubuhnya yang merasa paling kedinginan. Luka yang masih terbalut perban di tangan kirinya juga masih terasa begitu perih. Meskipun sudah dua bulan berlalu, tapi luka di pergelangan tangannya terlalu dalam. Beruntung karena letaknya agak jauh dari pembuluh nadinya. Tetapi sekalipun dijahit, Byungjoo masih saja merasakan sakitnya sampai sekarang.

Tiba-tiba fokusnya teralih pada sebuah pemandangan di tengah lapangan bersalju di bawah sana. Seorang anak berambut merah yang hanya mengenakan seragam sekolah –tanpa jaket atau penghangat lainnya– dipukuli oleh sekelompok anak lainnya tanpa ampun. Bahkan dua di antaranya membawa tongkat baseball.

Awalnya Byungjoo hanya memandangnya dengan datar. Tapi seketika dia terbelalak saat mengenali seseorang dari anak-anak yang memukuli anak berambut merah itu.

Dan lama-lama Byungjoo juga mengenali siapa anak berambut merah itu.

Anak berambut merah itu Jiho, adik tirinya. Dan seorang anak berambut coklat terang yang ikut memukuli anak berambut merah itu, salah satu yang membawa tongkat baseball, Byungjoo mengenalinya sebagai Sangwon. Adiknya.

Byungjoo sibuk dengan pikirannya. Bahkan dia sama sekali tak menyadari sekarang anak berambut merah itu ditinggal sendirian di tengah lapangan bersalju itu. Samar, Byungjoo melihat beberapa bercak merah di hamparan salju di sana.

Sampai Byungjoo tak menyadari tatapan garang gurunya di depan kelas.

"Hei Byungjoo, Park saem memanggilmu, bodoh," bisik Yukwon, teman sebangkunya.

Cepat-cepat Byungjoo menoleh ke depan kelas, dan dia mendapati gurunya setengah melotot menatapnya.

"Kim Byungjoo, buat essay tentang distrik Cheongdam, Incheon, dan Daegu, masing-masing empat lembar dalam aksara hanja. Aku ingin melihat tugasmu di mejaku besok sebelum pulang sekolah," ujar Park saem sambil membuka bukunya.

Byungjoo menghela nafas dengan resah. Sialan, batinnya. Pikirannya benar-benar bercabang sekarang. Dia memikirkan tugasnya yang harus selesai besok, menebak-nebak apakah anak berambut merah dan coklat itu benar-benar Jiho dan Sangwon atau bukan, sekaligus berusaha mengabaikan rasa perih pada luka di tangan kirinya.

Sepertinya memang harus ada yang dia bicarakan dengan Hojoon atau Hansol di rumah nanti.

. . .

Sepulangnya dari sekolah, Byungjoo hanya menemukan Hansol yang sedang makan di depan TV di ruang tengah. Byungjoo hanya mendiamkannya, pasti kakaknya itu bolos hari ini. Byungjoo memutuskan untuk langsung ke kamar Hojoon. Dia juga berharap semoga saja Hyosang masih bekerja dan tak di sana.

Tapi langkah Byungjoo terhenti ketika mendengar bentakan dari kamar Hyosang dan Hojoon.

"Kau! Apa yang kau lakukan dengan laki-laki itu huh?! Kau sering sekali bertemu dengan Hyunho akhir-akhir ini!"

"Tidak, dengarkan aku, Hyosang… Aku hanya kebetulan bertemu dengan Hyunho, dan akhir-akhir ini dia meminta bantuanku untuk membuat skripsinya–"

Bruak!

"Perempuan bodoh! Kau tahu kenapa dia begitu? Itu karena dia masih menyukaimu!"

Byungjoo semakin membeku ketika mendengar suara debuman keras.

"Hiks –kumohon, Hyosang… J-Jangan lakukan itu –akh!"

Teriakan-teriakan itu seketika berhenti. Byungjoo menatap pintu kamar di depannya dengan bertanya-tanya –apa yang terjadi di sana? Byungjoo mulai mengkhawatirkan Hojoon di dalam sana, perasaannya buruk. Tapi dia terlalu takut untuk mengetuk pintu kamar kakaknya itu dan bertanya apa yang terjadi. Tidak, itu pasti pemikiran bodoh. Bisa-bisa Hyosang yang sedang dalam pengaruh emosi memukulinya seperti dia memukuli Hojoon.

"Hei, ada apa?"

Yoonchul keluar dari kamarnya dan mendapati Byungjoo tengah berdiri di depan kamar Hojoon dan Hyosang dengan ekspresi bingung. Byungjoo agak tersentak, tapi cepat-cepat dia menggeleng. Sempat terpikir oleh Byungjoo untuk menceritakan apa yang dilihatnya di sekolah tadi kepada Yoonchul. Tapi, tidak –dia takut kalau nantinya Yoonchul akan salah pengertian. Byungjoo takut Sangwon akan mendapat masalah baru.

"Tidak ada apa-apa hyung. Aku ke kamar dulu," ujar Byungjoo. Yoonchul hanya mengangguk dan kembali masuk ke kamarnya.

Entah sudah berapa kali Byungjoo menghela nafas berat hari ini. Dia segera menyeret langkahnya menuju kamar, berharap bisa beristirahat dengan tenang. Mungkin dia bisa bercerita kepada Hansol atau Hojoon besok. Perlahan tangannya meraih perban di laci meja belajarnya. Tak lama kemudian, Byungjoo membuka perban lama di tangan kirinya dan kemudian menggantinya dengan yang baru. Dia sedikit meringis ketika anti-septik menyentuh celah lukanya yang sedikit terbuka.

"Byungjoo! Hojoon noona! Kalian dimana?! Yoonchul hyung!"

Belum sampai lima menit kemudian, suara teriakan Hansol terdengar dari luar kamarnya. Byungjoo segera merampungkan pekerjaannya dan segera bangkit dari ranjangnya. Tapi belum sempat dia keluar dari kamarnya, Hansol sudah membuka pintu kamarnya dengan ekspresi panik.

"Jiho!"

Byungjoo menurut saja ketika Hansol menariknya ke bawah, tepatnya menyeretnya ke ruang tengah. Ada apa dengan Jiho? Tiba-tiba Byungjoo kembali teringat kejadian yang tadi dilihatnya di lapangan sekolah. Seketika perasaannya bertambah buruk.

Entah kenapa, hanya dia yang ada di sana. Padahal tadi Hansol memanggil Hojoon dan Yoonchul juga. Ah, sudahlah.

Hansol menunjuk TV yang masih menyala dan mengisyaratkan Byungjoo untuk melihatnya. Byungjoo tak mengerti apa maksud kakaknya itu, tetapi dia hanya menurut. Sore itu sebuah stasiun TV swasta sedang menyiarkan berita sore. Dan Byungjoo benar-benar kaget begitu menyaksikan berita itu.

"…Kami masih berada di lapangan SMU Ye Dang, lokasi penemuan mayat pelajar laki-laki yang diidentifikasi bernama Shin Jiho. Diduga mayat ini adalah korban kekerasan dan pembullyan oleh pelajar lainnya. Korban meninggal setelah dipukuli dan ditinggalkan di bawah hujan salju dalam keadaan luka berat, terbukti dari ditemukannya luka memar di kepala, perut, dan pipi, serta beberapa tulang rusuknya yang patah. Korban juga ditemukan hanya dengan mengenakan seragam sekolah. Saat ini, polisi masih menyelidiki kronologi terbunuhnya korban dan mencari siapa pelakunya. Saya, Lee Chanho, melaporkan langsung dari tempat kejadian,"

Tepat ketika berita itu berganti dengan iklan, Hansol dan Byungjoo menemukan Yoonchul yang dengan ekspresi shock berdiri di belakang mereka.

. . .

Yoonchul adalah orang terakhir yang meletakan bunga mawar putih di atas pusara Jiho. Sebelumnya, Hansol dan Byungjoo serta beberapa teman sekolah Jiho telah meletakan serangkaian bunga serupa dan pergi lebih dulu. Tapi Byungjoo masih di sana, dia menunggu Yoonchul. Di bulan Januari yang masih terasa dingin itu, Byungjoo seakan ingin mengucapkan salam perpisahan kepada adik tirinya yang bahkan belum pernah berbicara sedikit pun dengannya.

"Maafkan aku karena tidak pernah mengajakmu bicara, Jiho," lirih Byungjoo. Jujur saja, seperti ada segelintir rasa bersalah dalam benaknya. Entah bagaimana dengan perasaan Yoonchul.

"Meminta maaf untuk apa? Kau tahu, Jiho tidak akan mendengarmu dari atas sana," cetus Yoonchul, nadanya bercampur antara sinis dan sendu. Tatapannya menerawang ke langit yang agak mendung. Mendengarnya, Byungjoo hanya diam.

Setelah berdoa untuk Jiho, Byungjoo dan Yoonchul bergegas untuk pulang. Ah, Byungjoo lupa bagaimana kabar Hojoon. Akhir-akhir ini Byungjoo memang jarang melihatnya di rumah. Menurut persepsinya, mungkin Hojoon sedang sibuk dengan kuliahnya karena kakaknya itu pernah cerita kalau sebentar lagi dia akan menjalani sidang skripsi.

Kemarin siang, polisi ke rumahnya dan membawa Sangwon untuk dimintai keterangan atas keterlibatannya dalam kasus pembunuhan pelajar di sekolahnya. Entah hal apa yang pertama kalinya membuat Jiho dan Sangwon bermusuhan sampai berakhir seperti ini. Byungjoo juga menyesali hal ini –Byungjoo menyesali sikapnya yang baru disadarinya sangat acuh kepada dua adiknya itu. Meskipun dari ibu yang berbeda, Jiho tetap adiknya kan?!

Beberapa menit perjalanan pulang, taksi yang mengantar mereka sampai di depan rumahnya. Hari itu rumahnya tetap saja sepi. Dia hanya menemukan Hansol yang sedang makan di ruang tengah. Mungkin ayahnya sedang di ruang kerjanya, entah melakukan apa. Entah itu bekerja atau melakukan hal lain, Byungjoo tak mau lagi peduli dengan kelakuan ayahnya yang benar-benar keterlaluan itu.

Sungguh, Byungjoo sangat merindukan Hojoon. Hanya kakaknya itulah satu-satunya tempat bercerita bagi Byungjoo.

Masih dengan setelan jas hitam, Byungjoo berjalan menuju kamar Hojoon dan Hyosang. Ah, akhir-akhir ini Byungjoo juga jarang melihat Hyosang. Atau mereka sudah berbaikan? Jadi hubungan mereka sudah membaik dan memutuskan untuk berlibur ke suatu tempat? Atau jangan-jangan mereka sudah membeli rumah sendiri? Byungjoo tersenyum samar membayangkannya.

Satu ketukan, dua ketukan, Byungjoo masih sabar menunggu Hojoon membuka pintu kamarnya. Bodoh sekali dia, dia berpikir kalau Hojoon dan Hyosang tidak di rumah tapi masih juga bersikeras mengetuk pintu kamarnya dan berharap salah satunya membukakan pintu.

Byungjoo masih tersenyum samar, lalu membuka pintu kamar Hojoon dan ternyata tak terkunci.

Byungjoo mendapati Hojoon terbaring di tempat tidur sendirian. Senyumnya mengembang lagi, mungkin kakaknya baru pulang dan kelelahan. Pantas saja tadi dia tak melihat Hojoon di upacara pemakaman Jiho.

Tapi samar Byungjoo mencium bau busuk dari dalam kamar Hojoon.

Dan Byungjoo langsung jatuh terduduk ketika menyadari Hojoon yang terbaring dengan sebuah pisau yang menancap di dadanya. Mata gadis itu terbuka dan terlihat bola matanya sudah mengkerut, wajahnya memutih melebihi pucat. Seprai di kasurnya penuh dengan bercak darah kering yang bermuncratan dimana-mana.

Byungjoo menutup mulutnya, antara tak percaya dan menahan perutnya yang bergejolak hebat akibat reaksi bau busuk yang menyengat di kamar itu. Sekarang dia tahu dari mana asal bau busuk itu.

Pandangan Byungjoo teralih pada sebuah ponsel yang tergeletak di kolong ranjang. Ponsel Hojoon. Ketika mengambilnya, layar ponsel itu menyala dan menunjukan aplikasi chat messenger yang terbuka. Caption terakhir dari chat itu bertanggal seminggu yang lalu, dan pengirimnya adalah Hyosang.

Byungjoo segera menyadari baterai ponsel itu yang kurang dari lima persen. Cepat-cepat Byungjoo membaca caption terakhir dari chat itu.

"Maafkan aku, Hojoonie… Aku memang terlalu mencintaimu. Kita bertemu lagi nanti,"

Tangan Byungjoo mulai mendingin, bersamaan dengan layar ponsel itu yang mulai mati karena kehabisan baterai.

. . .

Epilog:

"…Kali ini, Incheon kembali dikejutkan dengan penemuan mayat laki-laki berumur sekitar 23 tahun di sebuah gudang tua bekas penyimpanan amunisi. Diduga, mayat yang identitasnya masih belum jelas ini meninggal akibat keracunan cairan nitrus yang ditemukan terkandung dalam darahnya. Polisi masih menyelidiki motif kematian korban, beberapa dugaan seperti percobaan pembunuhan atau bunuh diri masih terus dianalisa. Saya, Lee Chanho, melaporkan langsung dari tempat kejadian…"

[FIN]