Rintik air hujan bervalensi raksasa mengguyur kota Tokyo sejak siang hari. Bulir-bulir air terasa sakit ketika menyentuh kulit, menandakan deras serta kuatnya kekuatan alam dalam menumpahkan fenomena musiman yang menjadi penghambat aktivitas luar para penghuni kota metropolitan tersebut.

Di emperan toko—banyak warga dari berbagai kalangan, berteduh. Payung yang menjadi pertolongan pertama, nampaknya tidak bisa berkontribusi banyak, mengingat kencangnya angin serta hujan yang terlalu liar.

Seragam sekolah, bahkan seragam kantoran atau jas yang biasa terlihat sangat maskulin di tubuh sang pemakai, sekarang terlihat sangat rapuh. Terlihat merepotkan. Kain yang menyerap bulir-bulir air hujan menyakitkan itu terasa semakin berat—membuat si pemakai mulai merasa risi dan menggigil karena angin kencang yang ikut serta mendampingi hujan yang mengamuk di sore hari.

Gemeletuk gigi menjadi melodi utama—selain kasak-kusuk dari beberapa orang yang sibuk dengan ponselnya, menghubungi sanak atau rekan yang bisa dimintai tumpangan kendaraan beroda empat yang masih bisa selamat beraktivitas di tengah cuaca buruk.

Namun di antara ratusan manusia, ada seorang pemuda yang tengah berlari. Melesat seperti orang gila, kesetanan di tengah hujan deras.

Suara kecipak tergesa-gesa ditimbulkan dari sepatu kulit berwarna cokelat tua yang menjadi satu-satunya pelindung kaki. Tanpa jas hujan—sekedar mantel atau jaket pun tidak—pemuda itu terus menerobos ganasnya cuaca Tokyo. Tak menghiraukan sepatunya yang mulai sedikit terkelupas dan air hujan yang valensinya over kapasitas, mulai menyusup melalui celah-celah mungil yang seharusnya berguna sebagai tempat sirkulasi udara implisit di alas kaki.

Namun walau dengan kondisi alas kaki yang sudah berhasil diterobos hujan, pemuda itu tidak memiliki inisiatif untuk berdiam sejenak—entah hanya untuk sekadar berteduh dengan motif tidak ingin membuka akses lebih jauh untuk penyakit masuk angin serta flu dan demam berkunjung, atau membeli sandal sebagai ganti, antisipasi dari kutu air yang menggerogoti sela-sela jemari kaki, ataupun berdiam sejenak menikmati secangkir cokelat hangat.

Ketiga opsi wajar yang kontras dengan kondisi sekarang itu nampaknya menjadi prioritas terakhir—atau mungkin, sama sekali tidak terpikirkan oleh pemuda itu. Jangankan urusan alas kaki—kemeja berwarna putih yang sudah basah total pun tidak jadi penghalang. Seakan-akan tubuhnya tidak merasa terbebani oleh garmen yang kerap menyerap air dan menambah massa, pemuda itu tetap berlari sekencang-kencangnya.

Jalanan yang lebih sepi adalah keuntungan tersendiri, tidak perlu mengerem hanya untuk antisipasi peregangan nyawa konyol yang terjadi akibat peristiwa tabrak lari. Kecepatan lari yang konstan tetap setia.

'Aku harus tiba di sana itu secepatnya—jangan sampai mereka melakukannya!'

Raut wajah yang memancarkan kepanikan luar biasa. Napas terengah-engah. Bibirnya separuh terbuka, kondisi berlari membuatnya untuk harus memasok oksigen dengan teratur ke dalam paru-parunya.

Terkadang, pandangannya sedikit mengabur, karena tanpa sengaja, bulir nakal jatuh tepat di kelopak mata, membuatnya harus mengurangi kecepatan karena daya penglihatan yang menurun untuk sekejap. Ia mengumpat kesal setiap hal itu terjadi.

Setiap detik sangat berharga.

Hanya tinggal beberapa meter lagi, sebelum ia berhasil tiba di sebuah rumah bergaya Eropa kuno yang mendiami sisi barat Tokyo. Tempat itu berada di area pinggiran dekat perbatasan—entah dengan kota mana, pemuda itu tidak punya waktu untuk memikirkan letak geografis tanah kelahirannya.

Yang ada dipikirannya hanya satu:

'Tidak boleh terlambat. Aku harus mencegah mereka.'

Dengan itu, suara dobrakan pintu menjadi penanda bahwa tubuhnya sudah berhasil mencapai teritori tujuan. Tidak peduli dengan delikan tajam dari para penjaga berseragam serba hitam yang berdiam di teras rumah eropa tersebut—dan jangan lupakan sekuriti yang juga bersiaga dekat gerbang utama—pemuda itu tak acuh, melanjutkan perjalanannya yang terburu-buru.

Taman yang dihiasi air mancur berpatungkan Poseidon pun tidak sempat dikagumi—ia telah melihatnya berkali-kali sejak kali pertama datang ke sana—hanya menjadi latar yang dilewatinya sekilas.

Tanpa tedeng aling-aling, tanpa memedulikan tetesan air dari tubuhnya yang masih terasa sedikit berat, pemuda itu berlari memasuki bangunan, menaiki tangga yang mengantarkannya ke lantai tempat ruangan yang ditujunya berada.

Pemuda itu meringis pelan, di sini ia mulai merasa pakaiannya sangat menganggu.

Basah.

Berat.

Ingin rasanya menanggalkan kemeja putih—yang sudah menjadi transparan—itu, namun keinginan itu ia tahan, ia masih punya urusan lain yang jauh lebih penting ketimbang tebar pesona pada para pelayan wanita yang sekarang tengah menatapnya secara diam-diam dari balik belokan dan beberapa tempat yang biasa menjadi tempat bercengkerama mereka.

Koridor yang menjadi pemandangan utama setelah ia berhasil menjajaki anak tangga terakhir, terlihat sepi.

Gelap.

Namun siapa peduli, pemuda itu tetap bersikukuh dan dengan langkah tergesa-gesa, menuju sebuah ruangan yang daun pintunya dihiasi ukiran malaikat dan sosok dewa-dewi Yunani, wajah-wajah mereka tersenyum damai serta menenangkan—mungkin maksudnya supaya artistik, tapi baginya sekarang hiasan itu terkesan seperti sebuah lelucon penuh ironi yang benar-benar buruk—lalu tangan yang kulitnya sedikit keriput karena air hujan itu menyambar kenop dan mendorongnya hingga membuka.

"Ah. Kau sudah kembali, Thanatos. Apakah pikiranmu sudah cukup menerima detoksifikasi dari curahan hujan di luar sana?"

.

OLYMPIANS

Kuroko no Basket © Fujimaki Tadatoshi

AU. Crime.

Kami tidak mengambil keuntungan materiil apapun dari penulisan fanfiksi ini.

Chapter 1: Recognition

.

Bukan salah Kagami Taiga kalau ia terlambat tiba di tempat kerja hari itu.

Oh, ayolah, ia kan baru mendarat di negara ini kurang dari empat hari yang lalu, dan waktu yang ia punya sejak itu sampai pagi ini dihabiskannya dengan mengurus birokrasi mengenai kepindahan tempat tinggal serta transfernya dari Washington ke NCB—National Central Bureau—Interpol cabang Jepang. Dan jet lag, jangan lupakan soal jet lag. Itu adalah agenda rutin Kagami jika melalang buana membelah angkasa dengan rentang waktu lebih dari sepuluh jam. Terkantuk-kantuk saat tiba, nyaris saja ia meninggalkan kopernya di Bandara Narita tempo hari.

Terkutuklah perjalanan panjang yang berawal dari Dulles International Airport, Washington.

Memang ini adalah tanah kelahariannya dan tempat ia menghabiskan sebagian masa kecilnya, tapi setelah pergi ke Amerika dan tinggal, sekolah, lalu bekerja di sana hingga belasan tahun, jujur saja pemahamannya akan kanji jadi sedikit—atau sangat—karatan. Kenapa sih tidak ada yang mengingatkannya kalau papan penunjuk yang ada di stasiun itu belum tentu ditulis dalam bahasa internasional? (Oke, ia memang agak salah, seharusnya ia benar-benar menghapalkan stasiun tempatnya mesti turun dan membaca dengan serius bagian papan yang menyediakan Huruf Latin.) Kalau ia lebih berhati-hati, pasti Kagami tidak akan perlu melewati acara keliru mengambil kereta di Hibiya Line, menyadari dengan agak terlambat kalau ia menuju ke arah yang salah, lalu keluar untuk berlari ke peron seberang, berdesakan dengan lautan manusia pagi yang semuanya ingin naik, kemudian turun di Kasumigaseki dan berlari satu blok menuju Gedung Pemerintahan Pusat nomor dua, tempat NPA—National Police Agency bermarkas. Ditambah, semalam ia begitu bersemangat memulai kerjanya di tempat baru sehingga tidak bisa tidur.

Hanya pagi lain yang wajar dari hidup seorang Kagami Taiga, dan tidak, itu sama sekali bukan salahnya kalau ia sampai di lantai Departemen Kejahatan Terorganisasi dalam kemeja yang berantakan, rambut acak-acakan, dan mata panda yang menyeramkan; sama sekali bukan salahnya.

Hal yang dilakukannya setelah pintu lift membuka adalah mencegat orang pertama yang dilihatnya, membuat lelaki yang sedang berjalan di depan elevator itu berhenti mendadak begitu Kagami menepuk pundaknya dari samping.

"Permisi, aku Kagami Taiga, baru ditransfer ke sini," beruntung Bahasa Jepang-nya masih terbilang lancar dalam lisan, biarpun mungkin agak cacat di bagian kesopanan, "aku ingin tahu di mana—"

"Ah, Kagami-kun agen dari Interpol itu, ya," kata lelaki berambut biru muda itu lebih ke pernyataan dibanding pertanyaan, "rapat unit sepertinya baru saja dimu—"

"Di mana?"

"Jalan terus di sepanjang lorong ini, lalu ambil belokan ke kiri. Pintu yang paling ujung, aku juga mau ke—"

"Thank you!"

Lelaki itu sepertinya menyerukan sesuatu lagi tentang ketuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk tapi Kagami terlanjur melesat ke belokan yang dimaksud, kembali berlari seakan nyawanya sedang dikejar kiamat. Di akhir belokan itu, ia mengetuk—atau menggedor, sekali lagi jangan salahkan dirinya ya, orang yang agak panik kan cenderung menggunakan tenaga berlebih karena terburu-buru—pintu kayu keras-keras lalu menerjang masuk tanpa menunggu balasan.

"Kagami Taiga dari Interpol, maaf aku terlambat!" Baru ia mau membungkukkan badan, satu tata kelakuan sopan yang baru diingatnya lagi saat pulang ke Jepang, tapi seseorang keburu menapar bagian belakang kepalanya—dan sebagai catatan, itu bukan pukulan main-main.

"Kau terlambat!"

"Aku tahu, makanya tadi aku bilang 'maaf aku terlambat', aku salah naik kereta karena keliru mengingat sta—"

"Intinya kau terlambat!"

"Maaf!"

Ia pikir memang tidak ada intinya berdebat, maka akhirnya ia tetap membungkukkan badan, berharap itu cukup untuk membuatnya berhenti dibentak.

"Terima kasih, Hyuuga-kun," sebuah suara feminin berdeham dari bagian depan ruangan, Kagami menegakkan tubuh dan mendapati seorang wanita berperawakan mungil dengan rambut cokelat setelinga sedang berdiri di balik podium, matanya tajam saat beralih ke arahnya, "Kagami Taiga—kau terlambat!"

Ia membungkuk dan menyerukan maaf sekali lagi, merutuk dalam hati, kalau unitnya berisi orang-orang yang doyan berteriak semacam ini. Taruhan, dua hari lagi ia pasti bakal memiliki gaya berbicara yang sama.

Lelaki yang dipanggil Hyuuga, orang yang menghadiahinya tepukan selamat datang di kepala tadi, menyuruhnya duduk sambil bersungut-sungut, menggumamkan sesuatu tentang anak baru yang tidak tahu sopan santun dan tidak bisa tepat waktu. Kagami dengan hati-hati mengambil tempat di kursi kosong di seberangnya sambil diam-diam mengamati; lelaki itu berambut hitam yang dipotong pendek, dengan kacamata bertengger di hidungnya dan wajah penggerutu, tapi entah bagaimana ia berhasil mendapat kesan berwibawa dan berpengalaman dari cara Hyuuga membawa diri. Oh, tidak, tunggu, jangan bilang kalau orang ini adalah kepala unitnya—

"Tolong semuanya kembali fokus ke sini," wanita yang di depan mengetukkan jarinya ke podium, "akan kuberi kalian kesempatan untuk berkenalan nanti, tapi sebelumnya, Kagami-kun, karena kau baru di sini, aku Aida Riko—dan mungkin seperti yang kau sudah tahu—pengganti Inspektur Senior Nijimura."

Kagami memberi sebuah anggukan yang menunjukkan kalau ia awas akan hal itu. Kata "Nijimura" sukses membuat pikirannya yang semula berputar-putar disekitaran impresi pertama mengenai orang-orang diruang ini, penampilan pribadinya yang acak-acakan dan sialnya dirinya akibat kebodohannya yang tidak mempelajari aksara Katakana dan Hiragana dengan cermat menjadi terfokuskan sepenuhnya ke sebuah nama yang sudah sangat tidak asing untuknya.

Nijimura Shuuzou—Shuu. Nama itu menjadi salah satu dari orang-orang yang memenuhi kepalanya selama seminggu ini. Kasus pembunuhannya itulah yang membuat gempar kepolisian Jepang. Ia belum mendengar secara lengkap, tapi dari Interpol ia tahu kalau kematian Nijimura berhubungan dengan salah satu organisasi pembunuh bayaran dan pebisnis senjata ilegal paling dicari di tiga benua—Olympians.

Aida menekan tombol di remote dan proyektor menampilkan slide berikutnya, padahal Kagami juga belum sempat memerhatikan apa yang sebelumnya ada di sana. Sekarang di layar ada foto TKP, menampilkan dua orang lelaki berambut hitam terbaring di jalanan dalam sebuah gang, darah pekat yang setengah mengering membentuk genangan di sekitar tubuh mereka. Lelaki yang pertama, Nijimura, terbaring dengan lubang-lubang peluru menganga di dada kirinya, kedua matanya terbuka, seakan menatap sesuatu yang tidak tertangkap oleh kamera. Lelaki yang satunya lagi tergeletak tepat di sebelahnya, dengan lengan Nijimura di belakang lehernya dan sebelah tangan lelaki itu di bawah tubuh si Inspektur Senior, seakan sedang memapahnya ketika mereka dibunuh.

"Mendiang Inspektur Senior Nijimura dan Inspektur Himuro," wanita itu berkata dengan suram, seakan-akan ingin memaku kesadaran ke kepala mereka dengan memberi penekanan lebih pada kata mendiang, "dibunuh enam hari yang lalu, ditemukan di Akasaka oleh pejalan kaki di pagi hari."

Suasana rapat yang sempat gaduh karena kemunculan Kagami yang sangat tidak sopan, kembali pada sejatinya. Sunyi, seluruh atensi terarah pada wanita bermarga Aida yang memimpin rapat.

Kagami bisa merasakan rahangnya mengeras, buku-buku jarinya memutih, ia harus mengepalkan tangannya sekuat mungkin kalau tidak mau menghancurkan kursi.

"Waktu kematian diperkirakan sekitar pukul satu dini hari," slide selanjutnya menunjukkan luka disertai pengukur diameternya, "tiga tembakan di dada kiri, dua mematahkan rusuk dan mengenai jantung." Slide setelah itu berisikan Nijimura Shuuzou dan Himuro Tatsuya, dengan mata tertutup dan wajah yang mendingin, dibaringkan di meja autopsi, kain putih terlihat di ujung bawah foto mereka yang hanya diambil setengah badan.

Ketegangan mulai terasa di seluruh penjuru ruangan. Antara percaya dan tidak percaya, melihat kedua pria yang terkenal paling jenius dan tidak pernah gagal menjalankan tugas itu sekarang sudah terbaring kaku bak manekin.

Itu bukan pertama kalinya Kagami melihat jasad, langsung ataupun tidak langsung, tapi isi perutnya serasa di aduk-aduk, dan ada tangan tak kasat mata yang meremas hatinya. Tatsuya. Lelaki yang sudah dianggap seperti kakaknya sendiri. Mereka tumbuh dewasa di Los Angeles bersama-sama, sebelum Himuro memutuskan untuk kembali ke Jepang semasa kuliah kemudian melanjutkan ke akademi polisi dan bekerja di sana, sementara Kagami masuk ke Interpol dan meneruskan karirnya di Washington. Mereka masih terus berhubungan sepanjang waktu itu, bertukar kabar hampir setiap minggu, saling menceritakan kasus yang sedang ditangani, tetap bersaudara meskipun dipisahkan oleh jarak.

Shuuzou sendiri dikenalnya sebagai teman SMA, Kagami yang satu angkatan di bawahnya hanya sempat mengenal lelaki itu sebentar sebelum kondisi ayahnya membaik dan keluarga mereka kembali ke Jepang pada akhir tahun kedua SMA. Sesekali setelah itu, Shuuzou berkunjung ke Amerika bersama Tatsuya, dan kebanyakan berita tentang lelaki itu didengarnya dari Tatsuya. Semuanya berlangsung dengan normal-normal saja sepanjang itu, banyak kabar baik, Shuuzou diangkat jadi inspektur senior di usia yang sangat muda, Tatsuya dijadikan inspektur di posnya; beberapa buruk juga, seperti sewaktu ada yang meletakkan bom paket di kantor Tatsuya atau pengejaran kepolisian terhadap organisasi bernama Olympians yang tidak pernah selesai.

Lalu sekejap mata berikutnya—tahun-tahun selalu terasa begitu singkat—mereka berdua sudah tidak ada. Kedua inspektur ditemukan di gang dengan secarik pesan khas Olympians, organisasi yang tidak pernah terdengar aktivitasnya lagi sejak lima tahun terkhir. Kejadian itu membunyikan alarm di kepala semua petugas, termasuk Interpol; menangkap organisasi yang merentangkan operasinya hingga lintas negara dan benua memanglah tugas mereka. Kagami masih merasa bagai mimpi ketika ia mengajukan diri untuk ditransfer ke NCB Jepang, secepat mungkin mengemasi barang-barangnya dengan pikiran berkabut, lalu melangkahkan kakinya menuju bandara, memandangi lama pesawat yang akan mengantarnya kembali menuju tanah kelahirannya.

Yang mengantarnya menuju tanah tempat bajingan-bajingan pembunuh Tatsuya itu.

Di sinilah dirinya berada sekarang, bertekad menemukan para pebunuh itu sekaligus mengakhiri kasus yang tidak pernah bisa ditutup oleh Shuuzou dan Tatsuya. Kagami akan menemukan mereka, tidak peduli jika ia harus mengacak-acak seluruh Jepang berserta semua negara tempat organisasi itu beroperasi—ia akan menemukan mereka; ia bersumpah.

Kagami tidak begitu mendengarkan apa yang dikatakan Aida, namun ia menangkap garis besarnya—Tatsuya ditembak dua kali di perut, tapi yang menewaskannya adalah satu tembakan di kepalanya. Kagami menggertakkan giginya semakin kuat. Amarah yang berkumpul dalam dirinya membuatnya ingin mendobrak pintu ruangan, berlari ke lorong dan turun ke jalanan, mengamuk serta merubuhkan setiap bangunan yang ada di Chiyoda. Bisa-bisa ia akan sungguhan melakukan itu kalau tidak berhasil menangkap pembunuhnya. Semakin ia mengingat dan memikirkan hal itu, semakin ia merasa marah dan tekadnya semakin kuat. Kagami ingin menemukan mereka, ia akan menemukan mereka.

Slide berganti lagi. Kali ini menunjukkan barang bukti yang ditemukan oleh olah TKP di tempat kejadian, berupa secarik kertas dengan berisi sebaris kalimat dalam aksara Yunani. Kagami langsung paham apa maksudnya, di sinilah kasus ini memiliki hubungan dengan Olympians. Organisasi itu selalu meninggalkan tanda serupa di setiap target mereka. Potongan sajak atau epos Yunani kuno seperti Iliad atau Odyssey, atau apa pun yang menunjukkan kalau itu adalah hasil kerja mereka. Interpol Yunani telah dikerahkan untuk penyidikan, berusaha menemukan jejak-jejak mereka di sana, tapi nihil, justru Olympians tidak pernah beroperasi di negara itu. Aktivitas mereka yang paling tinggi berada di Jepang, sehingga hampir bisa ditarik kesimpulan kalau markas utama mereka berada di sini, bukan di negara yang unsur-unsurnya mereka gunakan; entah ironis atau apa sebutannya.

Sang Inspektur Senior, sambil terus menjelaskan tentang situasi mereka, bergerak ke slide selanjutnya, berupa terjemahan dari pesan yang ditinggalkan Olympians untuk mereka. Rupanya isinya diambil dari Life of Theseus oleh Plutarch—apa punlah itu.

Bahwa mereka berkemah di jantung kota dibuktikan baik oleh nama-nama daerah sekitarnya dan oleh kuburan orang-orang yang gugur dalam pertempuran. Sekarang untuk waktu yang lama ada keraguan dan penundaan dari dua sisi dalam membuat serangan, tapi akhirnya Theseus, setelah mengorbankan ke Phobos, atas ketaatannya pada seorang oracle, bergabung dalam pertempuran.

Barisan itu tidak lengkap, dan ada satu atau dua kata yang dihilangkan, seakan-akan menyesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Kepolisian telah mengumpulkan banyak kertas-kertas semacam itu, berhasil menerjemahkannya tapi tetap tidak mengerti maknanya—jika memang ada, kadang terpikir dalam benak mereka kalau Olympians hanya mengambil bait secara asal, tapi rasanya tidak begitu.

Satu lagi yang Kagami tahu tentang organisasi itu, mereka memiliki code name dengan nama dewa-dewi Yunani. Aida menekan tombol dan slide berikutnya muncul, kali ini profil tokoh dalam mitologi. Phobos, pembunuh mereka kali ini, dikenal dalam mitologi sebagai personifikasi dari rasa takut, kepanikan dan kekalahan. Begitu cara kerja Olympians, meninggalkan dengan persis nama-nama anggota yang berhasil membereskan target, seakan ingin diakui untuk hasil kerja mereka, seperti bajingan, bajingan-bajingan yang sinting.

Theseus sendiri, bukan nama dewa, melainkan pahlawan dari Athena yang membunuh Minotaur. Berdasarkan pesan-pesan yang masuk sebagai barang bukti, kepolisian punya teori bahwa target mereka diberi kode dengan nama selain dewa-dewi, meski hal itu tidak bisa dipastikan—lalu siapa yang dimaksud dengan Theseus di sini, Shuuzou? Dan apa peran Tatsuya hingga dibunuh juga, semacam collateral damage? Berpikir begitu membuatnya merasa lebih marah. Tatsuya tidak pantas mati dengan cara seperti itu. Kagami bakal mencabik-cabik si Phobos ini siapa pun dia—atau setidaknya memberi orang itu jotosan tepat di muka, sampai babak belur kalau perlu.

"—mi-kun, Kagami-kun!"

Ia tersentak, mengembalikan perhatiannya pada layar. "Ya?"

Aida mengembuskan napas, lalu menyipitkan mata. "Aku ingin kalian mengerjakan kasus ini dengan sungguh-sungguh, terutama kau; kami berharap banyak pada agen Interpol." Ia beralih pada si lelaki yang mengenakan kacamata. "Mulai dari sini kendali tim akan dipegang oleh Hyuuga-kun sebagai kepala unit, semua aktivitas anggota harus dilaporkan pada kapten kalian kecuali ada instruksi langsung dariku atau atasan. Baik, rapat kututup di sini."

Wanita itu melangkah ke tengah ruangan, mengulurkan tangannya di udara, sejajar dengan dada. Awalnya Kagami bingung apa maksudnya, tapi kemudian Hyuuga berdiri dari kursinya, diikuti dengan lelaki bertubuh besar dan berambut cokelat yang duduk di sebelahnya, lalu semua orang yang ada di sana. Mereka menumpukkan tangan dan sang kapten memberi isyarat padanya untuk bergabung.

"Ini unit unggulan," kata Aida serius, "masing-masing dari kalian terpilih untuk masuk ke sini dengan suatu alasan, dan aku ingin semuanya memaksimalkan segala yang kita punya." Rautnya wajahnya berubah, jadi lebih menantang, dan seulas senyum merekah di bibirnya. "Kita akan menangkap para pembunuh ini, Seirin—"

Semuanya berseru bersamaan bagai kor yang sudah terlatih, "FIGHT!"

Kagami agak terlambat mengikuti.

Dan apa nama unitnya tadi—Seirin? Ia mengerjap. Dikiranya tim itu akan bersikap lebih kaku dan formal, seperti yang sewajarnya, seperti yang di Washington juga, tapi kok ia malah merasa seperti tokoh-tokoh utama dalam sport manga atau yang semacam itu sih. Sebuah tim yang akan menjadi juara.

Ha, di semesta yang lain, mungkin; andai saja hidup memang sesederhana itu. Di semesta yang ini, mereka adalah tim yang akan mengakhiri sebuah organisasi pembunuh bayaran.

Setelah Aida meninggalkan ruangan, Hyuuga berdeham keras, membuat mereka semua mengalihkan perhatian padanya. "Seperti yang kita tahu," katanya, dan Kagami menyiapkan diri untuk sebuah pidato yang panjang dan membosankan, "ini adalah hari Seirin beroperasi sebagai unit resmi," ia terbatuk, mengibaskan tangan, "aku tidak akan mengadakan sesi perkenalan—berhubung kita semua memang sudah saling mengenal—jadi aku sebagai kapten dari tim ini mau mengucapkan," sedikit senyum muncul di bibirnya saat ia menatap si agen Interpol, "Kagami, selamat bergabung dengan unit ini."

Ada jeda sebentar, sebelum ia tersadar bahwa ia seharusnya membalas. Kagami membungkukkan badannya cepat. "Mohon bantuannya!"

Setelahnya, Hyuuga memperkenalkan anggota yang ada di sana satu per satu. Kagami tidak bisa langsung mengingat semuanya, tapi ada beberapa orang yang langsung terpatri dalam ingatannya selain Hyuuga sendiri: Kiyoshi Teppei, karena ia yang paling tinggi; Izuki Shun, karena langsung melontarkan lelucon yang tidak ia mengerti begitu namanya disebut (plus ternyata ia wakil kapten—dan sepertinya guyonannya garing, karena tidak ada yang tertawa); serta Koganei Shinji, karena senyumnya… tidak biasa.

"Oh, satu orang lagi yang harus kau kenal, Kagami, dia partner default-mu dalam tim ini," alis sang kapten mendadak mengerut, lalu menoleh ke sekelilingnya, "Kuroko—di mana anak itu?"

"Aku di sini," sahut suara yang datang dari balik punggungnya, mau tak mau Kagami berjengit kaget. Latihan di akademi dan bertahun-tahun pengalaman membuatnya terbiasa untuk waspada, tapi ia sama sekali tidak menyadari kehadiran lelaki itu di belakangnya. Ia membalikkan badan, mendapati sosok berambut biru muda yang tadi sempat ditemuinya sewaktu baru keluar dari lift. Mereka bertatapan. Lalu, otak Kagami mulai bekerja, kalau orang ini juga anggota tim, sedangkan ia tadi masih berada di luar ruangan sewaktu Kagami datang terlambat, berarti kan—

"Kuroko Tetsuya, profiler kita," umum Hyuuga.

"Senang bisa bekerja sama denganmu," kata lelaki itu datar.

Kagami hanya mengulang ucapannya yang sebelumnya, "Mohon bantuannya."

"Nah, sepertinya kalian akan cocok," sang kapten berujar dengan mantap, "kububarkan, kita berkumpul lagi di sini jam sepuluh, dan bawa data-data yang sebelumnya telah kalian dapat dari pos masing-masing. Ada pertanyaan?"

Anggota tim itu sedang berjalan keluar ketika Kagami beralih pada Hyuuga. "Aku punya satu, sebenarnya."

Sebelah alis lelaki berkacamata itu terangkat. "Apa?"

"Umm, ini mungkin tidak begitu penting, tapi aku, hanya penasaran…," Kagami melirik ke arah Kuroko sekilas, berusaha memastikan bahwa profiler itu masih berdiri di sana, entah untuk alasan apa, "boleh aku tanya siapa yang memberi nama untuk unit ini?"

Hyuuga akhirnya benar-benar tersenyum ketika menepuk-nepuk lengan atasnya. "Tidak ada, kebetulan saja nyaris semua yang berada di sini berasal dari tim basket yang sama sewaktu SMA. Seirin itu nama sekolah kami dulu." Ia menoleh sekali sebelum sepenuhnya keluar dari ruangan. "Dan tahu-tahu semuanya sudah setuju untuk menggunakan nama itu, yah, semoga kau merasa nyaman dengan kami."

-x-

Kagami Taiga tidak percaya yang namanya kebetulan. Yang ia pahami selama ini, semua hal tersusun di sana karena suatu alasan, membentuk sebuah rangkaian serta gambaran besar yang awalnya mungkin tidak bisa langsung dilihat, tapi ia percaya, pasti ada yang mengatur hingga jalannya jadi seperti itu. Pembunuhan Shuuzou dan Tatsuya, transfernya ke Jepang, ditariknya ia ke dalam Seirin, sebuah unit yang terdiri dari mantan pebasket SMA. Ah, apakah ia harus bilang kalau ia dan Tatsuya dulu juga bermain basket jalanan sejak kecil? Masa-masa yang menyenangkan, dengan Alex sebagai mentor mereka dan—yah, bukan saat yang tepat untuk mengenang itu. Mendadak, cincin—kembar dengan yang juga dimiliki Tatsuya, simbol persaudaraan mereka—yang tergantung menjadi bandul kalung di lehernya terasa berat.

"Untukmu, Kagami-kun."

Segelas kopi disodorkan padanya, Kagami mendongak, menerimanya dengan ragu setengah terkejut, sementara orang yang memberinya minum itu sudah meniup-niup pelan kopinya sendiri, duduk di sebelahnya. Ia bergumam kalau Kuroko tidak perlu melakukan itu, tapi si lelaki berambut biru muda itu hanya menaikkan bahunya.

"Kapten bilang tadi kita partner default," katanya, "anggap saja sebagai bentuk usahaku untuk berteman dengan Kagami-kun."

"Thanks," ujarnya, mulai mengambil beberapa tegukan meski cairan pekat itu terasa membakar lidahnya, "aku memang benar-benar memerlukan kopi, bagaimana kau bisa tahu?"

"Kelihatan begitu di wajahmu," jawab Kuroko, "dan jangan buat aku menegaskan soal lingkaran hitam di bawah mata itu."

Bibir Kagami tertarik membentuk cengiran, tiba-tiba teringat sesuatu di ruang rapat tadi. "Kuroko, kau sebenarnya juga tadi datang terlambat, kan? Kok bisa masuk tanpa ketahuan?"

Lelaki itu tersenyum, sangat samar. "Kau bisa anggap aku seperti bayangan."

Kagami mendengus, agak geli mendengarnya. Ia menenggak kopinya hingga hampir habis, membiarkan rasa hangat menuruni tenggorokan dan mengisi perutnya. Pikirannya kembali melayang ke kasus mereka.

Olympians. Tatsuya. Phobos.

Pasti ada suatu kaitan juga di antara semuanya, apa pun, di dunia ini selalu ada yang lebih dari sekadar kebetulan.

"Umm, Kagami-kun, boleh aku bertanya sesuatu?"

Yang dipanggil menoleh. "Hmm?"

"Aku tahu ini bukan urusanku," Kuroko menatapnya tepat di mata, membuatnya menyadari kalau lelaki itu memiliki warna mata yang sama dengan rambutnya; biru yang secerah musim panas, "tapi apa kau mengenal secara pribadi salah satu dari Inspektur Senior Nijimura atau Inspektur Himuro?"

Telak.

"Kenapa kau bisa berpikir sampai ke situ?"

"Sewaktu di ruangan tadi, kau mengepalkan tangan kuat-kuat," Kuroko meneguk kopinya dengan kalem, "rahangmu mengeras, aku bisa melihatnya di mata serta ekspresimu; itu amarah. Tentu kita semua juga merasakan hal yang sama," ia menoleh ke arahnya lagi, "tapi kau berbeda, bukan hanya rasa marah, ada kepedihan."

Kagami tertegun sebentar, benar-benar tidak berharap ada siapa pun yang menangkap hubungannya dengan kedua inspektur seperti itu. Sudut-sudut bibirnya tertarik, berusaha memberi cengiran, tapi malah jadi seperti meringis. "Kau suka mengamati orang, eh?"

Kuroko berkedip. "Aku profiler. Itu bagian dari pekerjaanku juga."

Senyum Kagami luntur.

Ia menghabiskan kopinya, lalu meremas gelas kertas itu dan melemparkannya ke tong sampah. Ada diam yang lama menggantung di udara. Ia tidak ingin mengelak lagi, toh tidak ada gunanya juga berusaha menghindar jika dimintai fakta oleh seseorang yang seperti ini, terutama kalau mereka akan bekerja dalam tim yang sama dan dijadikan partner.

"Tatsuya dan aku, teman sejak kecil—tidak, lebih tepatnya, saudara, dia sudah seperti kakakku sendiri. Aku hanya sempat mengenal Shuuzou dua tahun sebelum keluarganya kembali ke sini—dulu kami bertiga tinggal di Amerika—tapi memang tidak bisa dibilang kalau kami hanya sekadar kenalan, apalagi dia dekat dengan Tatsuya."

Kagami terdiam lagi, mendadak kalimatnya tersendat. Tapi Kuroko tidak mendesak lebih jauh, ia justru mengangguk. "Aku mengerti. Terima kasih sudah mau jujur, Kagami-kun."

Ia tidak menjawab, jadi profiler itu melanjutkan, "Itu motivasi yang kuat, aku yakin kita pasti akan menangkap siapa pun Phobos ini, beserta seluruh Olympians."

Kuroko berdiri, membuang gelasnya ke tempat sampah, lalu berjalan menjauh. Namun tepat sebelum ia menghilang di balik belokan, Kagami ikut berdiri dan memanggil, "Bagaimana denganmu?"

Lelaki itu menoleh. "Ya?"

"Semua yang ada di sini pasti memiliki alasan kan, kau sendiri, apa motivasimu?"

"Tidak semua yang tergabung di unit ini memiliki motif pribadi, Kagami-kun."

"… well, kau benar sih. Maaf aku menanyakan sesuatu yang aneh." Ia membuang pandangannya dan menggaruk kepala. "Lupakan saja."

"Tapi tidak apa-apa, akan kujawab yang itu," sahut Kuroko cepat, "aku ada di sini karena itu memang tugasku." Kagami menyaksikan ketika senyuman tipis muncul dan menghilang di bibirnya.

"Karena kewajiban kita adalah menegakkan keadilan, bukankah begitu?"

.

.

.

tbc

.

.

.

A/N : shizuka clytaemnestra dan alitheia di sini ^^b kolab kami kali ini akan mengangkat tema kriminalitas yang entah kenapa kebetulan lewat di otak kami masing-masing dan berlanjut ke chatting non-stop yang langgeng dan lahirlah fanfiksi ini. Maaf jika ada kesalahan penulisan dan kekurangan-kekurangan lain, bagaimana pun, kami adalah dua author yang masih jauh dari kata sempurna #bijakceritanya.

Mohon kritik dan sarannya ^^v

shizu dan al.