Ohayou, minna~

Nia yang amatir #plak baru saja menyelesaikan fic K ini!

Maaf jika banyak kesalahan ya...

Happy reading, minna~


DISCLAIMER : K sepenuhnya milik Gora Hands, but this story belongs to me ^_^

WARNING : Ga jelas, abal-abal, typo, alur tak menentu, dan perasaan tak terlalu tersampaikan

DANGEROUS WARNING : Yaoi, semua hal yang mempengaruhi readers tidak menjadi tanggung jawab author

PAIRING : Yata MisakixFushimi Saruhiko


"Moshi moshi... Ini Fushi-"

"Ini dengan Awashima! Scepter 4 baru menerima kabar dari HOMRA..."

"La-"

"Kusanagi Izumo menelepon untuk memberi tahukan hal ini untukmu..."

"Buat a-"

"Namun ia tidak tega dan menyuruhku membicarakan ini denganmu..."

"Merepot-"

"Jadi, bisakah kau berpikir jernih?"

"Daritadi kau memotong semua ucapanku."

"Ah, maaf."

"Kau ingin bica-"

"Seluruh anggota Scepter 4, termasuk a-"

"JANGAN MEMOTONG UCAPANKU SEMBARA-!"

"Anggota Scepter 4, termasuk aku, turut berduka cita..."

"Hah? A... Apa maksudmu?"

"Fushimi... Mantan partnermu..."

"Misaki?! Apa yang terjadi dengan Misaki?!"

"Fushimi... Yata sekarang..."


CAN'T LET YOU GO

A K Fanfiction

By Niaaa chan


(Fushimi's POV)

Langit terlihat sangat mendung, dengan awan-awan hitam yang membuat hari semakin gelap. Namun, kelamnya hari ini tidak sebanding dengan suasana hatiku sekarang. Sambaran petir dan halilintar kalah oleh gemuruh yang bergejolak di dadaku. Rintik-rintik hujan tak sederas bulir-bulir bening yang mengalir membasahi pipiku. Sakitnya bahuku yang tertabrak orang-orang dengan keras tak mampu-dan tak akan pernah bisa-menggantikan perihnya... perihnya perasaan memilukan ini.

Minggu pagi.

Seharusnya pagi ini aku mendekam di salah satu sofa apartemenku, dengan earphone di telinga dan secangkir kopi di tangan. Atau belanja berbagai macam kebutuhan harianku-minus sayuran-di minimarket yang terletak cukup jauh dari tempat tinggalku. Atau berolahraga di gym. Bahkan mungkin masih berselimut di tempat tidur berukuran king size. Aku seharusnya berada di apartemen, atau minimarket, atau tempat fitness. Bukan disini. Bukan disini. Bukan di rumah duka ini. BUKAN!

Aku benar-benar berharap yang kualami sekarang hanya sekedar mimpi. Mimpi buruk terburukku. Kedua lenganku memerah akibat cubitan bertubi-tubi yang kulakukan sendiri. Agar terbangun dengan segera dan mencuci muka yang terasa kusut. Nihil. Tak ada gunanya. Ini adalah realita! Oke, jujur aku menyukai kenyataan, tetapi bukan fakta yang satu ini. Tak peduli jika aku akan mencintai dan terus-terusan menonton film hantu dan semua yang berbau mistis, asal apa yang sekarang di hadapanku hanyalah nostalgia belaka. Hanya rekaan-seperti siaran televisi yang biasanya ada.

Di hadapanku. Tepat di kedua bola mataku. Sebuah balok kayu cukup panjang terletak di tengah ruangan yang dipadati orang-orang yang kukenal. Balok tersebut memiliki banyak ukiran-ukiran unik dengan sebuah lambang menghiasi tiap pojoknya. Lambang yang aku tahu. Lambang yang aku pun memilikinya. Lambang yang telah terbakar. Lambang HOMRA. Namun, balok kayu itu sama sekali tidak menarik perhatianku-juga lambang memuakkannya. Yang sedari tadi aku tangisi, hanya satu. SATU! Yaitu, sebuah benda yang terbaring di balok itu. Atau lebih tepatnya, seorang manusia yang sedang terbujur kaku di dalamnya.

Pemuda itu memiliki rambut berwarna cokelat kastanye, tergerai lemas tak berdaya. Kelopak matanya tertutup erat, tak dapat terbuka. Kedua bibirnya-pucat-terkatup rapat. Tidak ada lagi kata-kata kasar yang terucap dari sana. Seluruh tubuhnya diam. Kakinya diam. Badannya ada, tapi tak memiliki jiwa. Tak bernyawa. Ia mati. Dan ia adalah seorang-

"Misaki..."

-Yata Misaki.

Mantan partnerku ketika aku berada di HOMRA dulu. Seorang pemuda-yang memiliki nama belakang perempuan-yang berani memanggilku 'Saru'. Satu-satunya orang yang mengisi seluruh hatiku. Relung jiwaku. Yang memberiku semangat hidup-walau kami berpisah. Dan sekarang ia pergi. Bukan pergi dari sisiku lagi. Ia benar-benar pergi. Meninggalkan dunia. Meninggalkan klannya, menyusul Totsuka. Meninggalkanku... meninggalkan setumpuk memori yang terus berputar. Tak bisa diganti. Tak tergantikan.

Sungguh aku membenci hari ini. Tanggal 14 Februari-yang seharusnya menjadi hari kasih sayang-berubah menjadi hari terkelam dalam riwayat hidupku. Yang benar saja, baru kemarin aku tak sengaja berpapasan dengannya di taman kota. Baru kemarin kami saling menyapa dengan 'Misaki' dan 'Saru' seperti biasa. Baru kemarin aku mengetahui perasaannya terhadapku yang sebenarnya. Baru kemarin. Baru KEMARIN!

Jika saja ada berandalan yang ingin membunuhku, aku rela. Sayangnya, mereka tidak pernah muncul ketika aku putus asa. Dan aku tidak cukup berani menghujamkan lempengan besi tipis yang tiap hari kubawa tepat ke jantungku. Bisa-bisa di dunia sana aku malah terpisah dengannya. Dan ia kembali membenciku.

"Misaki..."

Aku rindu suaramu yang menghinaku-yang terdengar lucu di telingaku. Aku rindu tatapan penuh amarahmu yang kau tujukan padaku, Aku rindu pukulan-pukulan tongkat baseball-mu yang selalu meleset. Dan oh, aku juga merindukan skateboard yang sering kau kendarai di jalanan.

"Fushimi, daijobu ka?" satu sentakan keras di bahu menyadarkan seluruh lamunanku. Aku menoleh dan mendapati seorang wanita berambut cokelat muda berdiri. Tatapannya tenang, dapat kurasakan ia bersimpati terhadapku. "Aku mengerti perasaanmu..."

"Hn." Jawabku singkat. Tidak mungkin ia benar-benar mengerti apa yang sedang kurasakan. Ia tidak pernah kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya. Walaupun ia seorang letnan sekalipun, ia tidak dapat merasakan kesedihanku. Kepiluanku. Keputusasaanku. Tidak. Akan. Pernah.

"Aku turut berduka... Ia sangat bermakna untukmu. Sabarlah, Fushimi." Kini giliran atasanku-sekaligus raja biru-memegang pundakku yang sedikit bergetar. Kacamatanya ia gantungkan di tuxedo hitam yang dikenakannya.

"Hn." Jawabanku persis sama dengan sebelumnya. Menyuruh bersabar katanya? Ayolah, siapa yang dapat bersabar jika orang yang kau cintai meninggalkanmu dengan begitu banyak luka yang menggores? Berbekas. Aku sudah amat sangat bersabar, dan aku tidak yakin dapat menahannya untuk masalah yang satu ini.

Beberapa pasang mata memandangku lekat-lekat. Bukan seperti tatapan singa buas yang sedang mengancam, tetapi sendu. Ada sedikit perasaan bersalah yang tersirat disana. Mereka mendekat, dengan hentakan kaki yang terasa lemas-seperti orang tak bisa menopang tubuh mereka sendiri. Aura merah menyertai mereka. Aura merah yang menangis. Mengikhlaskan dengan keterpaksaan hilangnya seorang anggota lagi-setelah Totsuka dan Mikoto.

"Fushimi-kun, mungkin susah untuk melepaskannya. Tapi cobalah untuk mengikhlaskan kepergiannya. Aku yakin, ia sedang tersenyum lebar di atas sana." Seorang laki-laki gendut dengan mata sembab meninju pelan dadaku. Tepat di perasaan ngilu itu. Ia-Kamamoto-merupakan teman terdekat Misaki di HOMRA. Entah apa aku pantas membencinya atau harus berterima kasih.

"Ya." Dan jawabanku tak jauh berbeda dari yang sebelumnya. Lalu pandanganku beralih lagi ke tengah ruangan. "Kenapa?" aku pun membuka suara dengan tenggorokan yang tercekat. "Kenapa Misaki bisa ada disana?"

Dapat kurasakan mereka saling berpandangan dan menganggukan kepala. Kusanagi Izumo mendatangiku. Di saat seperti ini, ia masih bisa menyalakan dan menyelipkan rokoknya di belahan bibirnya. Bisa-bisanya ia tetap tenang ketika temannya meninggal. AKU SUNGGUH MEMBENCINYA!

"Yata-chan mendapatkan pendarahan yang cukup banyak di daerah kepalanya."

"Bukan itu yang kutanyakan. Kenapa Misaki bisa berdarah?"

"Jawabannya sedikit konyol. Kau tahu kan ia keras kepala dan tidak suka jika ada perempuan yang tersakiti?"

Ya. Aku tahu. Aku sudah tahu. Dari dulu.

"Kemarin, aku melihat berita di televisi tentang maraknya pemerkosaan yang beredar. Tentu saja, aku menyuruh Anna untuk berhati-hati. Tanpa sengaja, Yata mendengar hal itu dan segera membuat usul berpatroli. Aku sudah melarangnya, tetapi ia tetap keras kepala. Karena Kamamoto sedang sakit perut, akhirnya Yata pergi sendirian. Sudah enam jam ia tidak kembali ke barku. Anna mendapat firasat buruk sehingga aku segera mencarinya. Ketika kutemukan, ia sudah berlumuran darah dan terlihat kesakitan. Spontan, aku menelepon rumah sakit. Namun, jiwanya tak tertolong."

Jadi itulah penyebabnya. Bodoh. Kau bodoh, Misaki. Kau amat sangat bodoh. Hanya karena keras kepalamu, menyebabkan kita terpisah jauh. Ke dimensi lain yang tak bisa aku raih dan aku awasi. Benar-benar bodoh.

"Aku pergi dulu. Jaga diri, ya!"

Izumo melangkah ke pintu keluar rumah berduka ini. Disana, anggota-anggota HOMRA berdiri menyambutnya. Jika saja Misaki masih ada disana. Masih berdiri dengan senyuman khasnya dan tawa lebarnya. Tangannya memegang skateboard dan ada headphone melingkar di lehernya. Tanpa ragu-ragu aku pasti memeluknya. PASTI.

Jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Aku tetap duduk di sebelah balok kayu-peti mati-yang menjadi rumah Misaki nantinya. Aku sendirian di ruangan ini, bersamanya. Kuperhatikan lagi sosok itu. Sosok indah Misaki. Tanganku bergerak dengan sendirinya membelai lembut rambutnya yang lemas. Lalu beralih ke pipi putih mulusnya. Terasa dingin, seperti tumpukan salju. Dimana kehangatanmu yang dulu, Misaki? Tak bisakah kau keluarkan aura merahmu agar tak sebeku ini?

Pikiranku seolah melayang memandang Misaki yang seperti ini. Misaki yang diam, Misaki yang dingin, Misaki yang... mati. Tanpa sadar, air mataku turun membasahi wajahnya. Untuk kali ini-hanya saat ini-aku membiarkan diriku menangis. Andai saja kau dapat melihatku yang kehilanganmu. Aku pun tenggelam dalam pertanyaan-pertanyaan yang entah dijawab oleh siapa.

"Jaga diri ya, Misaki."

Apakah peti ini nyaman kau tinggali? Apa yang akan kau makan untuk sarapan, makan siang, dan makan malam? Apa yang akan kau kenakan jika musim dingin datang nanti? Siapa yang mendengarkanmu berceloteh? Siapa yang akan kau umpat? Siapa... yang selalu ada di hatimu?

Mikoto. Suoh Mikoto.

Nama itu terngiang-ngiang di telingaku. Hanya Aka no Ou-si raja merah-yang selalu kau elu-elukan. Hanya dia yang membuatku merasakan kecemburuan yang menjalar. Dan dialah penyebab utamaku mengkhianatimu dulu, Misaki. Kau tak ingin beranjak dari sisinya.

GLEK!

Kalimat terakhirku membuatku tercekat. Misaki memang tak pernah meninggalkan Mikoto sebelum ia merasa nyaman. Mikoto sudah mati. Seharusnya aku senang. Tapi itu dulu, dan ini sekarang. Sekarang, Misaki juga pergi. Apakah nanti dia akan berjumpa lagi dengan pemimpin HOMRA? Jika iya, berarti... berarti... Misaki akan ada di sampingnya lagi. Dan... dan... melupakanku.

Berkecamuk. Kata yang tepat menggambarkan situasi yang aku alami. Jiwaku bergemuruh, lebih sakit. Lebih ngilu. Lebih perih. Tak cukupkah takdir memisahkan aku dan Misaki? Belum cukupkah? Haruskah kau tempatkan kembali Mikoto di hatinya? Aku tidak mau. Ini tak boleh terjadi!

Serasa gila, tubuh tak berdaya itu terguncang-guncang keras karena ulahku. Aku berusaha membangunkannya. Biarlah Misaki membenciku lagi, aku tak peduli! Asalkan Misaki tak menempel dengan Mikoto, itu sudah cukup memuaskanku.

Bulir-bulir keringat membasahiku. Selama apapun dan sekeras apapun aku berusaha mengembalikan nyawanya, itu tidak berarti. Aku masih di titik nol, tanpa kemajuan, tanpa progress. Aku terduduk lemas, menjadikan peti mati Misaki sebagai sandaran.

Haruskah aku mengalah? Memberikan jiwa Misaki kepada Mikoto? Membuat perjuanganku selama ini untuk mempertahankannya sia-sia. Aku tidak bisa memilikinya.

Hey, tunggu! Jika aku tidak dapat memiliki jiwanya, maka aku masih bisa memiliki raganya. Biarpun tak bergerak, Misaki akan selalu ada di sisiku, bukan? Tanpa aku sadari, senyum 'itu' mewarnai bibirku. Senyum yang sama yang kuperlihatkan kepada Misaki ketika aku mengkhianatinya dengan terpaksa. Senyum... psikopat.

(End of Fushimi's POV)


If this love can't be handle rightly

If this feeling can't be controlled wisely

If this jealousy can't be removed easily

Who will be responsible for this, eh... Misaki?


(Anna's POV)

Aku duduk diam di salah satu sofa di bar Izumo-kun. Segelas jus apel berada di genggamanku. Tidak ada yang membuka suaranya kali ini. Semua diam. Seperti patung.

Hitam, itulah yang ada di penglihatanku. Kekelaman menghiasi ruangan ini. Semua tampak begitu menyeramkan. Biasanya, Yata-chan akan mulai mengoceh dan berakhir ditendang keluar oleh Izumo-kun bersama Kamamoto. Aku benar-benar takut dengan situasi ini.

Tiba-tiba, bola merahku-yang aku kantungi di saku gaun-melayang. Padahal, aku tidak menggunakan kekuatanku sama sekali. Ini sangat aneh. Saat kupandang ke atas, ternyata bolaku hanya ada tiga. Dimana satu lagi?

"Anna-chan, ada apa?" tanya Izumo pelan, mendekatiku.

"Bola... hilang satu..." jawabku.

"Oh, pasti terjatuh di rumah duka Yata-san. Kau memainkannya disana, kan?" kali ini suara Kamamoto terdengar. Dan benar saja, tadi aku menggenggam erat bola merahku di sebelah peti mati Yata-kun. Berarti, bolaku ada disana.

"Ayo... kita ambil..." aku menarik lengan Izumo, ingin kembali ke tempat tadi.

"Baiklah... Kamamoto, ikutlah dengan kami."

Akhirnya, kami bertiga-aku, Izumo, Kamamoto-berjalan ke rumah duka. Sebenarnya, aku tidak ingin ke tempat menyeramkan itu lagi. Tempat terakhir ketika aku melihat Totsuka dan Mikoto. Sekarang, Yata terbaring juga disana. Takdir kadang-kadang memang kejam.

Aku melihat dinding rumah duka itu berwarna putih bersih. Dengan beberapa pilar menjadikan bangunan itu tampak kokoh dan suci. Ya, kokoh namun rapuh. Rapuh karena ditangisi oleh ribuan-bahkan jutaan manusia di dalamnya.

Ketika aku mengambil bola yang tertinggal, firasat buruk menghampiriku.

DEG! DEG!

Firasat apa ini? Belum pernah aku setakut ini sebelumnya.

DEG! DEG!

Hentikan! Hentikan!

DEG! DEG!

Tidaaakkk! Kepalaku mulai pusing dan mataku berkunang-kunang. Tanpa komando, kedua kaki mungilku mendekati tempat peristirahatan Yata-kun. Semakin aku dekat dengan kotak kayu itu, semakin kencang pula detakan jantungku. Dan aku terkesiap ketika melihat isinya.

Peti itu bentuknya masih sama dengan yang kulihat tadi pagi. Ukiran kayunya tidak tergores dan lambang HOMRA masih menyala. Ikatan bunga krisan tetap ada di peti mati itu.

"Anna-chan, apa yang terjadi?" Kamamoto menghampiriku. Wajahnya terlihat pias saat sudah berada di sampingku. Ia terdiam, giginya terdengar bergemelutukan.

Di hadapan kami, terdapat sebuah peti mati.

Di hadapan kami pula, terdapat beberapa ikat bunga krisan.

Tetapi... dimana sosok pucat tak berdaya yang seharusnya ada disana?

DIMANA YATA-KUN?!

(End of Anna's POV)


TO BE CONTINUED~


Yak, cut! Hehehe... Gimana nih fanfic Nia? Maaf kalau bener-bener aneh. Maklum, Nia masih amatir dan baru berumur-ups! Hampir kelepasan =_= Segala kritik dan saran diterima dengan separuh hati #plak... maksudnya sepenuh hati... Yosh! Tunggu kelanjutannya ya!

Arigatou, minna~

Read and Review, onegai?