Disclaimer: I do not own Inuyasha nor Haikyuu!
"If there's a book that you want to read, but it hasn't been written yet, then you must write it." Toni Morrison.
Chapter 1 – Hinata Shouyou
Pairing: Kagome/Hinata.
Prompt: Tobe (Terbang).
Summary: Hinata dan Kagome−teman masa kecil, waktu bersama, dan sebuah pernyataan yang terkesan sepele adalah perpaduan sempurna untuk membuat mereka berada di ambang zona persahabatan.
Bel yang menandakan bahwa sekolah berakhir di hari itu membuat Hinata yang gugup kian tegang. Dengan langkah kaku dan terseret juga kepala tertunduk ia melangkah keluar kelas. Hari itu, ruang olahraga tempat timnya biasa berlatih ditutup untuk renovasi, sepeda gadis yang ia taksir pun sedang dalam perbaikan. Dalam kata lain, hari itu adalah peluang emas yang telah lama ditunggunya: Pulang bersama orang yang ia sukai.
Dengan padatnya jadwal latihan klub, tentu saja itu adalah kesempatan yang terbilang langka.
Sebuah kesempatan yang membuat perutnya seakan terpilin dari dalam dan jantungnya seperti hendak melompat keluar dari tubuhnya. Hanya dengan memikirkan hal itu saja, tangannya sudah sedingin es. Hinata meremas perutnya yang kian terasa tidak nyaman, saat ia mengangkat kepala, tak jauh dari tempat lokernya berada, sudah ada tiga teman seperjuangan di klub voli yang menunggu; Tanaka, Nishinoya, dan Kageyama.
Hanya dengan menatap ekspresi wajah Kageyama saat itu, tiba-tiba, ia hampir mendapat firasat buruk.
Saat ia berjalan mendekat, Tanaka bertanya dengan nada khawatir, "Kau tidak butuh obat sakit perut, Hinata?"
"Eh?" Penyangkalannya kembali tertelan saat ada tangan yang merangkul bahu kirinya, Hinata menoleh, dan wajah yang didominasi oleh senyum cemerlang sang libero memenuhi pandangannya.
"Hari ini kau akan pulang bersamanya, kan?" Respon yang didapat Nishinoya dari laki-laki yang mengidolakan Chiisana Kyojin itu adalah sebuah anggukan.
Berbeda dengan kedua kakak kelasnya, Kageyama menambahkan dengan maksud meledek, "Yakin tidak ingin pergi ke toilet terlebih dahulu?"
Dengan bibir mengerucut, middle blocker yang menjadi salah satu faktor kebangkitan Tim Voli Karasuno itu menyahut ketus, "Kageyama berisik!" Setter itu hanya memberikannya senyum tipis asimetris yang terkesan sinis. Dua tahun berada dalam satu tim yang sama membuatnya paham, itu adalah cara Kageyama menyemangatinya.
Dengan berapi-api, Nishinoya dan Tanaka yang berada di kanan dan kirinya menepuk punggung Hinata dengan keras secara bersamaan sambil berkata lantang, "Tenang saja, kurasa gadis itu juga menyukaimu." "Berjuanglah, Hinata!"
Dengan cengiran khasnya, Hinata menjawab mantap, "Ossu!"
Teriakan pemberi semangat dari kedua kakak kelas mengiringi kepergian Hinata. Tak lama berselang, kepala jingga itu sudah menghilang dan tertelan oleh kerumunan murid yang hendak pulang ke rumah mereka masing-masing.
"Noya-san, kita juga harus berjuang!" Ucap Tanaka dengan tegas, laki-laki yang diajak bicara pun menyanggupi, keduanya segera mengatur rencana untuk belajar bersama menghadapi ujian yang akan datang agar mereka bisa lulus dan diterima di perguruan tinggi yang sama dengan Kiyoko Shimizu.
Disaat kedua teman satu tim volinya itu sibuk meributkan mata pelajaran yang mereka anggap sulit, Kageyama tertegun di tempat kala mengingat sifat Hinata yang sering kikuk dan gugup, lantas, ia menyuarakan kerisauannya, "Semoga si bodoh itu tidak muntah di depan gadis yang disukainya."
Dua kepala langsung menoleh ke arahnya, secara serentak, pelbagai kemungkinan terburuk tergambar di benak keduanya. Sedetik kemudian, empat mata itu kembali menatap pintu tempat Hinata menghilang.
Dengan air muka penuh kebijaksanaan, Tanaka yang tak mengamini kekhawatiran adik kelasnya itu berkata, "Sepertinya tidak. Bila kau lihat, senyumnya tadi berkilau dengan cahaya keemasan, persis seperti yang terpampang di wajahnya saat kau pertama kali memberikan operan bola melambung kepadanya, Kageyama."
"Eh?" Hanya itulah respon yang terselip dari sang pengumpan Karasuno.
"Cahaya keemasan, Hinata, Higurashi ..., " gumam Nishinoya pada dirinya sendiri sebelum menyelesaikan kalimatnya dengan terlalu lantang dan penuh dengan keoptimisan seperti biasanya, laki-laki penuh semangat itu berkata, "sama seperti arti nama mereka yang selaras, aku yakin Hinata akan baik-baik saja!"
.
.
.
Sesuai perjanjian, gadis itu menunggunya di gerbang sekolah. Hinata mempercepat laju sepedanya sebelum kembali melambat kala jarak mereka menyempit. "Maaf telah membuatmu lama menunggu."
Menepis kekhawatiran sahabatnya, Kagome menggelengkan kepala seraya tersenyum kecil. "Tidak, aku juga baru keluar."
"Kalau begitu, ayo!" ajak Hinata. Gadis itu mengangguk sebelum duduk di jok belakang.
Dengan senyum sumringah, Hinata mulai mengayuh pedal sepedanya. Meski tenaga yang ia keluarkan kala itu lebih besar, entah mengapa perjalanan pulang tak seberat seperti menuju sekolah. Remaja itu mengendarai sepedanya dengan hati-hati ketika menuruni bukit dengan jalan yang berkelok-kelok. Dua tahun sudah ia bersekolah di sana, tentu saja ia sudah hafal letak jalan yang tidak mulus dan tikungan yang mengharuskan ia meningkatkan kewaspadaannya.
Lagipula, kali ini ia tidak bersepeda sendiri, di belakangnya terdapat muatan yang berharga, gadis bertubuh mungil yang sudah beberapa bulan ini bersaing dengan voli dalam mengisi kepalanya. Higurashi Kagome, gadis berambut hitam kelam dengan mata biru kelabu indah yang memiliki sifat ramah itu adalah anak teman ibunya.
Dahulu, mereka selalu bermain bersama ketika gadis itu menghabiskan liburan musim panasnya di rumah kakek dan neneknya yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Hingga saat ini, ia memang belum sepenuhnya paham mengapa gadis itu pindah dari kota besar seperti Tokyo dan memilih 'tuk tinggal bersama kakek dan neneknya di Miyagi. Akan tetapi, apapun yang menjadi penyebabnya, Hinata mensyukuri hal itu.
Sedikit kikuk, Kagome yang berpegangan pada pinggang Hinata bertanya, "Ano, maaf telah merepotkanmu." Dengan kalimat penuh ketulusan, remaja periang itu segera menepis kekhawatiran penumpangnya. Beberapa detik kemudian, gadis itu kembali membuka suara, "Um, apa aku berat?"
Kendaraan roda dua itu meluncur dengan mulus, laki-laki itu menggeleng dengan mantap. "Sedikit, tapi tenang saja Kagome-chan, ini tidak lebih berat dari latihan yang timku lakukan."
Senyum kelegaan terpatri di wajah gadis itu. Setelah beberapa waktu tenggelam dalam hening yang nyaman, Kagome kembali membuka percakapan, "Ne, kudengar Inter-High sebentar lagi," sebagai jawaban, sang sahabat mengangguk. "Bagaimana persiapan kalian?"
"Meski formasi tim kami tidak seperti tahun lalu, aku cukup yakin dengan kekuatan kami." Dengan senang hati, Hinata bercerita panjang lebar tentang kegiatan klub voli yang diikutinya, latihan rutin, juga beberapa latih tanding yang akan diadakan. Perlahan-lahan, ketegangan yang menaungi laki-laki itu mulai menghilang, kecanggungan memudar, pembicaraan mereka pun bergulir dengan natural dan penuh canda tawa seperti biasanya.
Tak ingin kebersamaan mereka lekas usai, Hinata mengusulkan untuk menghentikan perjalanan sejenak. Tak memiliki alasan dan keinginan untuk menolak, Kagome menyetujui ide sahabatnya itu. Beberapa waktu kemudian, sambil mengunyah roti isi yang Hinata beli di warung kelontong yang dijaga oleh pelatih Ukai, mereka sudah duduk di atas bukit kecil, menatap lapisan warna yang memenuhi langit tatkala matahari kembali ke peraduannya.
Dengan perut yang terisi dan kerongkongan yang basah, mereka bersantai di atas rerumputan. Kedua kaki mereka lurus, dengan kedua lengan di sisi tubuh sebagai tumpuan, sepasang remaja itu memandang kota di kejauhan yang terbingkai oleh deretan warna hijau.
Hijau lembut yang memanjakan mata. Kagome mendongak, atap biru telah tergantikan oleh jingga lembut. Cerah namun indah.
Selang beberapa waktu, gadis itu kembali memandang kejauhan, suaranya lembut kala bergumam, "aku tidak dapat berkata bahwa aku tidak pernah melihat yang lebih indah dari ini, tapi tetap saja, pemandangan senja ini ..., sangat indah, Shou-kun."
"Hm," Hinatapun mengangguk.
Masih dengan senyum yang terulas, Kagome memejamkan mata. Dengan mata terpejam, ia masih dapat melihat cahaya keemasan dari balik kelopak matanya yang tertutup. Tiga kata yang baru saja muncul di kepalanya kembali terpintas di benaknya.
Cerah, namun indah. Seketika, satu wajah terbersit di benaknya. Wajah laki-laki yang mendeskripsikan dengan sempurna tiga kata itu, laki-laki yang selalu memancarkan kehangatan, laki-laki yang kini berada di sampingnya, yang selalu sukses membuatnya tertawa disaat ia merasa enggan tersenyum sekalipun. Itu adalah hal besar baginya!
Melalui Hinata, ia yang harus mengecap getir perpisahan yang disebabkan oleh jurang perbedaan waktu dapat kembali bangkit dan menapak kaki di atas bumi dengan semangat baru. Dan dengan semangat barunya itu, Kagome tak ingin lagi terseret arus kenangan pedih ratusan tahun lalu di masa lampau. Oleh karena itulah, ia tersenyum lembut dan menoleh 'tuk memandang sang sahabat yang kian bertambah besar di hatinya.
Baru saja iris biru itu menjamah indah dunia, kelopak mata Kagome yang terbuka sontak melebar ketika ia menyadari bahwa laki-laki itu tengah menatapnya dengan sorot mata dalam nan lembut. Otomatis, darah menyebar dua kali lebih banyak ke wajahnya. Rona merah muda di pipi Kagome merambat ke telinga dan lehernya ketika Hinata berkata dengan sungguh-sungguh, "senja memang sangat cantik."
Tak ada waktu bagi gadis yang pernah menjelajah waktu itu menerka maksud dari 'senja' di pernyataan Hinata; Apakah itu senja yang mereka saksikan? Atau senja yang menjadi arti dari nama kuil tempat ia dibesarkan dan nama keluarganya?
Direntang waktu berikutnya, keduanya saling menatap lekat. Seakan hendak menggambar setiap gurat senyum yang nampak dan menyimpan semburat warna yang muncul di air muka satu sama lain secara presisi di dalam hati. Tatapan yang 'kan dengan mudah diartikan sebagai tatapan cinta.
Tetapi, saat lima detik itu berakhir dan mereka kembali ke alam sadar. Dengan kikuk, keduanya lantas cepat-cepat meluruskan badan yang entah sejak kapan condong pada satu sama lain, dan memalingkan wajah yang lebih merah dari boneka Daruma, lalu berusaha sekeras mungkin untuk terlihat santai.
.
.
.
Meski dalam kesunyian, sisa perjalanan yang mereka tempuh dalam waktu dua puluh menit terasa sekejap mata. Dan sekarang, di sinilah Hinata, berdiri di beranda rumah nenek dan kakek Kagome, ia hanya memperhatikan gadis itu meluruskan rok yang ia kenakan sebelum membungkuk kecil dan berterima kasih atas tumpangan yang telah diberikan dengan suara halusnya itu. Sambil tertawa gugup dan mengusap bagian belakang kepalanya, Hinata mengatakan bahwa hal itu bukanlah apa-apa.
Setelah itu, lagi-lagi Hinata mengakar di tempatnya berdiri, telapak tangannya terasa dingin, menelan ludah pun menjadi sulit. Selama beberapa puluh detik yang terasa seperti seabad, ia hanya dapat berdiri dengan mulut terkunci.
Menekan kegugupan, Kagome tertawa kecil sebelum bertutur, "tadi itu sangat menyenangkan, Shou-kun." Setelah hening untuk beberapa saat, dengan sepenuh hati si sulung Higurashi berucap, "aku sangat berharap impianmu tercapai, tim voli Karasuno dapat memenangkan Inter-High dan dapat melangkah jauh di Kejuaraan Nasional. Tapi, selain itu, aku juga berharap ... " kata-katanya menghilang di tengah jalan, kepalanya lantas tertunduk ragu selagi ia menata ekspresi, mempersiapkan hati, dan mengumpulkan nyali.
Dalam heran, Hinata menikmati bagaimana buku-buku jari Kagome yang saling bertautan itu memutih, bagaimana cara gadis itu menggigit bibir bawahnya, bagaimana tetangganya itu menatap dengan malu dari balik bulu mata lentiknya yang lebat, dan bagaimana Kagome mengangkat kepalanya, lalu memperlihatkan rona merah muda yang membuat wajah gadis itu terlihat kian manis sebelum memandangnya tepat di mata dan mengeluarkan sebuah pernyataan. Pernyataan yang mengukuhkan posisi mereka yang berada di penghujung pertemanan dan berada di permulaan hubungan baru. Satu kalimat yang terkesan sepele namun berdampak besar bagi keduanya. "Aku sangat berharap kita akan memiliki kesempatan seperti tadi lagi," imbuh remaja perempuan itu.
Pupil yang menjadi pusat safir cokelat laki-laki itu melebar. Untuk pertama kalinya semenjak kepindahan gadis itu, ia melihat wajah Kagome berbinar dengan keriangan yang murni tanpa beban, persis seperti saat mereka kecil dahulu. Untuk kali pertama sejak mereka kembali bertemu, Hinata menangkap kilat cahaya di permata biru kelabu milik gadis itu. Kilat yang menyiratkan keceriaan tanpa bayang-bayang kemurungan.
Berasal dari kehangatan di hatinya, seluruh darah yang mengalir di nadinya berubah panas serupa api yang menjalar. Perasaan yang meluap di dirinya saat melihat kebahagiaan di wajah gadis yang ia kasihi itu lebih kuat bila dibandingkan ketika ia berhasil menipu sang lawan dengan feint, lebih indah jika disandingkan saat spike-nya berhasil menaklukan manusia setinggi dua meter dari Sekolah Kakugawa, begitu hebat hingga dapat menyaingi perasaan takjub kala ia berada di titik tertinggi, menyaksikan pemandangan dari puncak di area pertandingan, dan kedahsyatan perasaannya waktu itu dapat disejajarkan dengan semua kemenangan yang telah ia raih bersama teman setimnya.
Tubuh Hinata seakan memiliki jalan pikiran sendiri, dengan kedua tangan dan lutut yang sedikit tertekuk juga kepala yang tertunduk, laki-laki itu meneriakan kata kemenangan yang sama ketika ia berhasil menambah poin untuk tim volinya di dalam suatu pertandingan. "YOSHAAA!"
Sesaat sunyi. Angin berdesau. Jangkrik bernyanyi. Satu-satunya yang menjadi balasan adalah salak anjing di kejauhan. Lima detik kemudian, barulah Hinata menyadari apa yang baru saja ia lakukan. Matanya terbelalak. Secara mental ia panik. Secara fisik ia tak berkutik. Kakinya terpaku di tanah, tubuhnya membeku kaku seperti terkena sihir Medusa. Tanpa tersedia mantra yang dapat membatalkan kutukan, tak ada harapan untuknya dapat kembali bergerak. Kebodohan yang ia lakukan sudah terjadi dan tak dapat ditarik lagi.
Setelah waktu merangkak beberapa lama, dengan perlahan ia menegakkan tubuh, meski dirundung ragu, ia mengangkat wajah. Nyali yang ia kumpulkan sudah cukup untuk mempersiapkan alasan juga pembenaran atas perilaku spontannya itu dan menatap wajah gadis yang disukainya.
"Gome! Ma-maksudku ... " Kedua tangan terulur ke depan dengan telapak tangan mengarah ke luar, Hinata menggeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat, menyesali tingkah konyolnya.
Tetapi, semua kerisauan laki-laki itu musnah seketika dan tergantikan dengan kelegaan kala yang Hinata lihat bukanlah tatapan aneh, bingung, geli, apalagi merendahkan dari Kagome. Yang menyambutnya adalah senyum sepenuh hati yang kian lebar tergurat dalam keriangan. Sebuah senyum yang tak ayal lagi menular pada dirinya. Sedetik kemudian keduanya tertawa kecil secara bersamaan.
Dengan itu, tangannya kembali ke sisi tubuh dan ia dapat mengeluarkan isi hatinya secara ringan tanpa beban, "bersamamu juga terasa sangat menyenangkan bagiku, Kagome-chan. Aku juga berharap kita lebih memiliki banyak waktu berdua." Setelah Hinata menyelesaikan kalimat itu, dari panas yang terasa, ia tahu bahwa pipinya pasti sudah sewarna dengan rambut Tendo, middle blocker dari Shiratorizawa.
Gadis itu mengangguk, dengan nada halus Kagome berkata, "Sampai bertemu lagi besok Shou-kun, terima kasih banyak untuk hari ini."
Atas kalimat perpisahan itu, Hinata tidak mempunyai waktu untuk merasa kecewa karena kebersamaan yang mereka miliki hari itu 'kan berakhir sebab, secara mendadak, pipi kanannya sudah bersentuhan dengan sepasang kelopak lembut nan lentur yang selama ini hanya dapat diimpikannya.
Pada detik itu, kenyataannya, Hinata hanya berdiri di tempat, memandang punggung Kagome yang sedang berjalan menjauh, sebelum gadis itu berhenti sejenak di ambang pintu untuk menatap ke arahnya dengan wajah bersemu kemudian menghilang di balik pintu.
Namun, Hinata berani bersumpah, saat kecupan singkat yang ia terima, semua yang ada sekelilingnya tertelan oleh cahaya putih lembut yang terang benderang, cahaya yang dapat menghasilkan nada merdu, menciptakan perasaan damai di benaknya, dan membuat udara yang ia jejalkan ke dalam paru-paru serupa madu.
Dan kala itu ia teramat yakin, ia dapat melihat warna dari arus angin yang menerpanya. Hembusan angin yang sama itulah yang membuatnya tak lagi menjejak tanah.
Hanya bermodalkan asmara yang membumbung di dada, tanpa berlari maupun melakukan gerakan terkecilpun, saat itu, Hinata Shouyou, terbang!
~HSXHK~
TnM's note: What more can I say, except 'I'm falling fast and hard for Haikyuu!' Dan ..., baca One-Shots Collection Volleyball Hearts milik Yours Always memicu kumpulan cerita ini. Panjang, rating, dan pairing di bab-bab selanjutnya akan bervariasi.
Utk semua reader, minna saiko arigatou.
