Vocaloid © Yamaha, Crypton.
Ini baru prolog singkat yang menggambarkan isi kepala 'pelaku'. Cerita sebenarnya baru dimulai di chapter selanjutnya.
― Saat Bel Berbunyi ―
PROLOG
11 November 2011, xx:xx
Ada satu kalimat yang selalu aku sukai sejak kali pertama aku mendengarnya. Kutipan indah yang berdenging di telingaku hingga saat ini, tak pernah lepas dari memori.
Manusia dapat berubah dari 'tidak mengetahui' ke 'mengetahui', namun tidak bisa kembali dari 'mengetahui' ke 'tidak mengetahui'.
Konyol, memang.
Jelas. Itu adalah kalimat yang kudengar dan kubaca dari film dan novel tertentu. Kalimat picisan yang dengan segera mampu dipatahkan dengan kutipan favoritku yang lain,
Melupakan bukanlah dosa. Yang merupakan dosa adalah tidak pernah mengingat apa yang kau lupakan.
Kau tahu apa sisi menariknya? Kedua kutipan tersebut berasal dari judul yang sama. Entah karena penulisnya adalah seorang amatir yang tidak konsisten atau memang disengaja untuk menggambarkan betapa kontradiktifnya hati manusia.
Jika dibilang begitu, setelah aku pikir lebih lanjut, bukankah sama saja dengan mengatakan bahwa aku, yang menyukai kedua kalimat tersebut, adalah sosok yang kontradiktif?
Aaah, tentu.
Aku adalah orang yang kontradiktif. Semua orang begitu. Semua manusia begitu. Aku berani memotong satu jariku untuk setiap manusia yang tak pernah mengalami kelabilan di dunia ini.
Manusia adalah makhluk labil, menyedihkan, tidak konsisten yang sangat suka menyangkal diri sendiri. Mereka bahkan menyangkal bahwa mereka menyangkal diri sendiri.
Hei.
Mau kuceritakan sesuatu yang menarik?
Semua manusia takut membunuh. Entah terpaksa atau tidak, begitu kau akan membunuh seseorang untuk pertama kalinya, ketakutan yang dirasakan benar-benar menyiksa.
Jantung berdegup kencang. Jemari bergetar hebat. Keringat dingin membasahi tubuh. Insting manusia yang melarang tubuh untuk tidak melakukan salah satu dosa terbesar bagi manusia. Segel berlapis yang membatasi diri.
Namun begitu kau membunuh orang untuk pertama kalinya,
—segel itu akan terlepas.
Jemarimu tak lagi bergetar.
Begitu sebuah nyawa telah mengalir, jatuh melewati sela-sela jarimu, kau akan paham. Manusia itu lemah. Manusia adalah makhluk yang rapuh. Nyawa manusia sesungguhnya sama sekali tidak berarti.
Mereka mati begitu jantung mereka ditusuk.
Mereka mati begitu kepala mereka dihancurkan.
Mereka mati saat tak mampu bernafas.
Mereka mati saat kehabisan darah.
Mereka mati karena racun mengalir di dalam tubuh.
Mereka mati karena MEMANG SEPANTASNYA MEREKA MATI.
Ahahaha.
Maaf. Biarkan aku tertawa sejenak.
"..."
Mereka memanggilku pembunuh. Mereka menyebut karya seniku sebagai perbuatan keji dan terhina. Mereka tak mengerti bahwa ini adalah permainan tertinggi yang diizinkan untuk para 'makhluk' yang berhasil melepas segel dan melampaui manusia.
Kau ingin tahu bagaimana aku memandang kalian?
Itu seperti kalian memandang tikus.
(hei, setidaknya aku berbaik hati dan secara sengaja mengganti semut—dan bahkan kutu—dengan tikus)
Sama seperti para pelukis menciptakan lukisan menakjubkan, aku menciptakan mahakarya yang hanya dimengerti sebagaian orang.
Sama seperti para manusia kurang akal yang memainkan nyawa tikus demi menghabiskan waktu, aku pun memainkan nyawa manusia hanya demi hal yang sama.
Wahai para manusia bodoh. Bergembiralah.
Sesaat lagi kalian akan menyaksikan salah satu permainan yang baru saja selesai kuciptakan. Permainan sederhana yang kalian sebut sebagai teka-teki. Permainan sederhana yang kalian sebut sebagai misteri.
Bisakah kalian memecahkan setiap misteri yang dibuat olehku yang melampaui manusia ini? Bisakah kalian mengetahui dan menangkap serigala yang menyamar di antara para domba sebelum ia menunjukkan diri?
(atau, 'aku' yang berada di antara para manusia?)
Keputusan untuk ikut atau tidak berada di tangan kalian.
Pada akhirnya, kalian hanyalah penonton.
Pada akhirnya, kalian hanya pembaca.
Tugas kalian hanya menyaksikan, berpikir, dan menganalisa.
Lalu menyombongkan pemikiran yang kalian anggap benar.
Nah, para manusia beruntung yang tak perlu menjadi bagian dari permainan ini.
Mampukah kalian menunjukkan padaku potensi yang kalian miliki?
Saat Bel Berbunyi,
—semuanya sudah terlambat.
