Disclaimer : the ownership of the series belongs to Ishida Sui. No profit taken from making this story
Warning : suggestive theme involved in some dialogues, mature-theme talks, will present the adult scene in few next chapters, the continuation of previous fanfic titled Moonlight Beam.
RING
by Leon
part I
(with Kirishima Touka and Kosaka Yoriko)
.
.
.
Segelas kopi hitam tanpa gula di tangan kiri dan sebungkus onigiri buatan toko 24 jam di tangan kanan. Bukan kombinasi yang aestetik memang tapi apa daya, ia sudah terlambat sekitar 7 menit dan harus berlari secepat cahaya jika ingin mengejar bus pertama di pagi hari. Belum jalan yang dilewatinya sedikit becek oleh tetesan hujan sejak semalaman. Mantel yang dikenakannya juga ikut berkibar terkena angin. Mengambil oksigen dengan rakus, ia bersiap untuk melakukan sprint sejauh 20 meter dalam waktu 5 menit. Warna kuning bus sudah terlihat dari kejauhan dan ia mempercepat langkahnya.
Kirishima Touka. 21 tahun. Mahasiswi neurosains tahun terakhir yang sedang meneliti tentang hubungan frekuensi senggama dengan peningkatan kadar serotonin dalam otak. Katakanlah sedikit nyeleneh dan imoral, tetapi hey ini sains bro.
Gadis ini mengecat rambut biru dongkernya menjadi sehitam malam sejak tahun pertama. Mungkin ia selalu masa bodoh dengan cuap-cuap omong kosong orang-orang tetapi ia punya profesor yang sangat patuh terhadap asas normalitas. Menyerah pada aturan, ia rela menjadi mahasiswi biasa-biasa saja. Ia pun lebih memilih untuk tinggal di dorm kampus dan lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan digital. Hidup sebagai mahasiswi pas-pasan sangat menguntungkan keputusannya itu. Namun, ada yang berbeda kali ini. Kosaka Yoriko, sahabat karibnya sejak masih ingusan tiba-tiba mengirimkan pesan beruntun padanya dua hari yang lalu. Bahwa, ia akan bermain ke Tokyo. Tujuannya untuk apa, oh tentu saja untuk menyelesaikan segala dokumen kepindahannya ke Gunma setelah menikah. Hiroshima adalah lokasi yang bagus untuk memulai segalanya dari awal, begitu juga dengan pesta pernikahan. Selain itu, ia punya tujuan lain.
Kantor pelayanan negeri hanya buka di jam kerja. Touka terpaksa meninggalkan Yoriko ke sana seorang diri namun awalnya ia memaksa ingin mengantar. Gadis itu malah mengusir Touka yang sudah ikut sleepover bersamanya di rumah relasi dekatnya di Tokyo. Meski, jaraknya sedikit jauh dari kampusnya. Well, tidak akan jadi masalah. Apapun untuk Yoriko akan Touka lakukan. Terlebih, ini akan menjadi momen paling indah yang akan dilihatnya sepanjang hidupnya.
Ia pun mengejar tanpa melayukan senyum di bibirnya.
.
.
.
"Kau masih ingat dengan toko perhiasan yang waktu dulu biasa kita lewati saat pulang sekolah, 'kan, Touka-chan?"
Touka menyelesaikan draft papernya cepat-cepat hari itu. Ia bahkan meminta izin untuk pulang lebih awal dan untung saja hari ini ada pesta besar di departemennya. Semua orang akan mabuk dan lupa. Ia meneleng ke arah Yoriko dan mengangguk. "Aku masih suka lewat sini kok. Ada book shop dan kafe baru lho. Kau tahu, aku menjadi coffee addict semenjak naik ke tahun kedua. Rasanya ingin keluar saja dan menyesal sudah memilih jurusan ini. Hahhh."
Cara Yoriko menyembunyikan tawanya masih tak berubah. Sudut mata Touka meliriknya dalam diam. "Ah! Beberapa toko sudah tutup kira-kira dua tahun lalu tapi segera diganti dengan toko yang lain. Sekarang pun jadi lebih ramai."
"Ung!" tandas Yoriko bersemangat. Ia menyampirkan beberapa helai anak rambutnya yang terjatuh ke belakang telinga. "Benar-benar sangat nostalgik. Aku merasa seperti jadi anak SMA lagi. Hihi."
"Yeah. Watashi mo."
Keduanya kembali melangkah dalam diam hingga tiba di toko perhiasan berplakat Rose Jewelry. Sesuai namanya, ukiran-ukiran di sepanjang etalase toko dihiasi oleh bentuk-bentuk mawar. Dipelitur dan diberi warna hangat seakan cocok untuk menarik perhatian wanita-wanita muda yang tidak teralu menyukai glamoritas. Bunyi bel kecil berdenting saat mereka masuk dan keduanya disapa ramah oleh penjaga toko. Banyak yang berubah, terutama dari dekor, tetapi aura yang terasa tetap sama. Sangat menenangkan.
Yoriko tampak sibuk mengamati deretan-deretan cincin emas bertabur berlian dan mutiara di depannya. Di sampingnya, Touka hanya mengekor tanpa berbicara. Sesungguhnya ada satu hal yang mengusik benaknya sejak kemarin. Ia hanya tak tahu kapan harus mengutarakan hal ini. Mungkin selepas mereka pulang.
"Ah! Aku mau yang ini. Bisa carikan untuk ukuran ini?" Yoriko mengeluarkan secarik kertas memo dan memberikannya kepada penjaga di balik meja kaca. Ia diminta untuk duduk sebentar dan menunggu. Menoleh ke arah Touka. "Touka-chan, ada sesuatu yang ingin kau katakan? Sepertinya kau terlihat bingung."
Snap. Sahabatnya yang satu ini memang sangat pandai membaca mimik dan gestur.
"E-etoo, nanti saja. Saat kita kembali ke rumah bibimu, oke?"
"Um, baiklah. Jika ada sesuatu yang sangat mengganggumu, tolong jangan sembunyikan dariku ya."
Touka hanya tersenyum lemah. "Tentu."
Setelah menyerahkan kartu kredit dan menyelesaikan transaksi, masing-masing angkat kaki untuk pulang. Selama perjalanan kecil menuju halte bus, Touka menunjuk deretan toko dan kafe yang tadi disebutnya pada Yoriko. Tatkala tiba di pemberhentian bus, mata Touka seakan terhipnotis dengan tulisan tattoo parlor di depan pintu sebuah etalase kaca di antara toko kue dan boneka. Pilihan yang tidak biasa untuk memulai bisnis rasanya. Terlebih, dari kejauhan pun hanya terlihat suasana hitam gothic yang terpancar dari sana. Namun, pandangannya justru tertarik lebih dalam. Ia jadi teringat dengan percakapan konyol masa lalu antara dirinya dan Kaneki. Suara Yoriko membangunkannya dari lamunan.
"Touka-chan? Touka-chan? Kau baik-baik saja?"
"O—oh ya. Maaf. Aku tadi melihat sesuatu."
Yoriko mengudikkan bahunya dan menarik lengan gadis itu. Keduanya melanjutkan perjalanan menuju pemberhentian terakhir dengan bus untuk mengurangi pemborosan waktu. Selama di dalam tabung bergerak itu, mereka saling bertukar cerita dan memutarbalik memoar-memoar masa lalu. Sedikit banyak, Touka juga menyelipkan kisahnya yang sedikit rumit dengan Kaneki Ken. Tetapi, ia lebih banyak diam dan menyimpannya hanya untuk berdua tanpa ada kuping-kuping yang ikut mencuridengar. Yoriko pun sama halnya. Kuroiwa Takeomi tidak mendapat porsi yang banyak dalam dongengnya. Namun, Touka kerapkali menemukan gadis itu mengulang-ulang kata yang sama: dia sangat manis. Mendengar itu saja sudah membuat hati Touka lebih tenang. Sahabatnya telah menemukan orang yang tepat untuk memulai kehidupan baru dari nol.
Setelah setengah jam berlalu, mereka turun di halte yang sudah sepi dan hanya ada ngengat berkeliaran mencari kehangatan cahaya lampu. Berjalan kaki sebentar dan berbelok menuju jalan menanjak. Suara nyalak anjing di balik pagar bersahut-sahutan membuat keduanya kocar-kacir berlarian seperti anak kecil. Tertawa-tawa seakan lupa umur. Tepat di rumah kedua yang berhiaskan pohon sakura, dengan nafas yang tergopoh-gopoh, mereka masuk.
"Tadaima!" sapa Yoriko. Seorang wanita paruh baya bercelemek keluar menyambut. "Maaf kami pulang agak malam, bi. Touka-chan baru selesai kuliah jam 5 sore tadi."
"Iie iie, daijobu. Makan malam sudah siap. Setelah mandi, bibi tunggu di bawah. Bibi juga sudah menyuruh Acchan memanaskan kamar mandimu."
Yoriko memeluk bibinya itu dengan kuat-kuat. "Arigato, baa-san!"
Touka mengikuti langkah Yoriko menuju lantai dua, tepat di kamar tamu yang digunakannya untuk menginap selama dua malam di Tokyo. Ia turut menyimpul senyum menyapa sang pemilik rumah yang baik hati itu.
Malam mereka tidaklah sepanjang seperti kala keduanya masih duduk di bangku sekolah. Touka paham Yoriko harus bangun pagi-pagi sekali karena akan kembali ke Hiroshima dengan kereta pukul 5 pagi esok. Setelah berendam, berpakaian dan menikmati makan malam, keduanya duduk selonjoran di atas karpet dengan tepi ranjang sebagai penahan punggung. Ada meja kotatsu yang ditarik demi menghangatkan kaki-kaki kurus yang keletihan. Yoriko memekik puas.
"Guwaaah. Uhh, hari yang panjang ya. Antrean tadi pagi sangat banyak dan didominasi oleh gadis-gadis muda seusiaku. Apakah mereka juga memiliki urusan yang sama ya? Hihi."
Rambut Touka masih sedikit basah. Ia mengambil handuk kecil dan menyapu-nyapukannya. Tangan kirinya sibuk menggenggam ponsel. Fokusnya tetap pada suara gadis di sampingnya. "Kurasa penduduk Tokyo yang lebih banyak mengurungkan niat untuk tetap tinggal di sini semakin meningkat saja. Kehidupan di kota semacam ini menurutku sangat tidak sehat terutama bagi mereka yang mencari ketenangan. Setelah urusanmu selesai, kau pulang, tidur dan terbangun. Siklus itu akan berputar hingga kepalamu muak dan akan pecah."
"Haha. Penjelasan Touka-chan sangat menyeramkan. Jadi, apa aku harus bersyukur karena sebentar lagi akan—benar-benar pindah dari sini?"
Mendengarnya, gadis yang dahulu kerap dibayang-bayangi oleh rasa bersalah ini terdiam sesaat. Yoriko mengikuti arah pandang Touka dan ikut bersimpati. Tetiba, suasana itu menjadi melankolis. Rasa hangat yang menjalar dari bawah kaki mereka hanya berhenti di situ saja. Sesungguhnya, keduanya belum siap untuk menghadapi apapun yang akan keluar dari mulut masing-masing setelahnya. Touka memberanikan diri dan menoleh terlebih dahulu. Kotak kecil berisi cincin yang dibeli sahabatnya itu beberapa jam yang lalu diletakkan di atas meja kotatsu. Pandangannya lurus ke sana.
"Touka-chan pasti berpikir kenapa yang membeli cincin pernikahan adalah pihak perempuan dan bukannya calon mempelai laki-laki, 'kan?"
Gadis itu mengangguk. Yoriko melanjutkan. "Aku yang memaksanya." balasnya tanpa ragu sambil menyunggingkan senyum lebar. "Selain mengurus dokumen, setidaknya aku punya alasan kuat untuk menginjak daratan Tokyo lagi. Aku ingin—aku ingin bertemu dengan Touka-chan sekali lagi. Mengobrol denganmu hingga larut. Membicarakan hal-hal sepele yang membuatku bisa tertawa terpingkal-pingkal. Mendengarkan musik dari pemutar CD, menonton film, dan tertidur di bawah selimut. Kurasa tak ada satupun anak gadis seusiaku yang benar-benar bisa memahamiku sebaik dirimu, Touka-chan. Aku bukanlah anak yang mudah bergaul dan lebih senang duduk di kelas. Toh jika ada yang ingin mengobrol denganku biasanya itu tidak akan berlangsung lama. Mereka akan pergi begitu urusan mereka selesai. Touka-chan pun terlihat sama sepertiku. Hari itu aku mengumpulkan niat besar-besar untuk menepuk pundakmu dan berkenalan. Mungkin kita bisa menjadi teman baik, pikirku. Awalnya, aku sempat menyerah begitu melihat reaksi Touka-chan yang tidak terlalu err—bersahabat. Tapi, aku paham kok. Kita sama-sama payah. Haha."
Gadis berambut eboni sepundak itu menghapus bulir embun di pelupuk matanya sebelum melanjutkan. Ia mengambil nafas panjang dan menghela kuat-kuat. "Kuroiwa-kun adalah anak laki-laki satu-satunya di keluarganya. Kami bertetangga saat masih di Hiroshima. Tapi aku pindah mengikuti ayah yang harus bekerja di Tokyo saat masih 9 tahun. Aku tidak betul-betul ingat bagaimana interaksi yang kumiliki dengannya. Hanya memori singkat sebagai anak kecil. Perjodohan adalah hal yang biasa di dalam keluarga besarku. Hal ini sudah ditanamkan bahkan semenjak aku memasuki masa remaja. Ayah dan ibuku, kakek dan nenekku, paman dan bibiku pun—mereka bertemu karena perjodohan. Kurasa, mereka bahagia. Tidak ada yang salah dengan itu. Empat tahun lalu, saat aku hampir berbohong pada Touka-chan, kami bertemu lagi untuk pertama kalinya. Orang tua kami sepakat untuk mengikat kami berdua hingga di waktu yang tepat kami telah sama-sama siap, pernikahan segera digelar. Aku berujar pada Kuroiwa-kun tepat sebulan yang lalu dan mendengar hal itu, keesokan harinya ia datang beramai-ramai dengan keluarga besarnya. Haha. Tepat lima hari dari hari ini, kami akan mengikat janji yang sesungguhnya di kuil. Kuharap—ah—aku memaksa Touka-chan untuk datang. Aku menyisihkan sedikit gaji yang kudapat dari membuka toko kue di sana untuk—"
Selembar amplop putih tanpa tulisan disodorkan Yoriko kepada Touka. Gadis itu mengangkat alisnya sedikit. "Kumohon terimalah. Aku tidak berharap penolakan."
Kesungguhan terpancar di setiap kerutan di wajah Kosaka Yoriko. Tak pernah sebelumnya ia mendapati sahabat perempuannya itu berujar seolah itu sudah menjadi bagian dari plot hidup yang ditulisnya sendiri. Sangat tegas dan kukuh. Gadis cilik yang dahulu tak memiliki teman untuk bercerita kini berubah layaknya kupu-kupu yang mulai memekarkan sayapnya perlahan-lahan. Ia berada jauh di depan dari titiannya sekarang.
Touka merasa tengah berada di dalam pesawat ulak alik. Jemarinya hanya melayang di udara namun genggaman erat Yoriko menyuruhnya untuk berpijak dengan benar. Tawa haru Yoriko adalah satu-satunya hal yang ingin didengarkannya sekarang. Gadis itu memeluknya seakan itulah pondasi untuknya bertahan. Air matanya tumpah dan membasahi pundak Touka. Sebaliknya, Touka hanya diam membatu.
Yoriko tidak banyak bertanya. Ia menggelar selimut dan menyuruh gadis di sebelahnya untuk tidur. Cahaya lampu diturunkan dan sayup-sayup angin menjadi melodi pengantar lelap.
Di tengah-tengah guncangan batin yang masih membebani hatinya, Touka mendengar Yoriko bergeser ke arahnya. Berbisik-bisik.
"Touka-chan, apakah—umm—apakah akan terasa sakit saat pertama kali?"
Sontak kepala gadis berambut gelap itu menoleh. Ia mendapati ekspresi linu di wajah Yoriko. Ia terkekeh kecil. "Yup! Tapi, setelahnya kau akan meminta lagi, lagi dan lagi. Tipsnya adalah kau harus benar-benar rileks, Yoriko. Jika kalian berdua sangat baru dengan hal ini, maka boleh kusarankan untuk googling. Tunjukkan kepadanya bagaimana menstimulasi organ intimmu karena di situlah titik awalnya. Kita memiliki lubrikan alami jadi manfaatkanlah sebaik mungkin. Kalian harus seimbang dalam menentukan segalanya. Tanpa pemaksaan. Istilahnya adalah foreplay. Kau boleh mencatatnya jika perlu."
Touka berbicara seolah ia diminta untuk mendemostrasikan how to make love properly di depan kalangan umum. Ia lupa jika yang mendengar public speech-nya itu adalah gadis duapuluh satu tahun yang berciuman pun tak pernah.
Wajah Yuriko memerah seperti kepiting rebus. "To-Touka-chan benar-benar ahli dalam hal ini ya."
"Errr, be-begitulah?"
"Kuharap hubunganmu dengan Kaneki-kun selalu berjalan dengan baik." balasnya dengan nada tulus. Namun, gadis di sebelahnya justru menghela nafas ragu, membuat jidat Yoriko mengkerut halus. "Apa ada sesuatu di antara kalian berdua?"
Touka sedikit menimbang-nimbang sebelum angkat suara. Ia memiringkan posisinya. Berhadapan dengan Yoriko. "Ketika kau sudah terbiasa dengan melakukan aktivitas intim untuk meredakan stres, kau akan menjadi adiksi dengan hal itu. Well, aku sudah pernah cerita tentang betapa rasa frustasi membuatku ingin cepat-cepat buang diri dari kampus dan menyerah lalu pura-pura amnesia,' kan? Sejujurnya, selain kopi hitam, aku akan memaksanya untuk tidur denganku. Untuk keluar dari rasa frustasi itu. Kurasa laki-laki manapun takkan bisa menolak saat kusodori liangku yang sudah setengah basah dan berdenyut minta diisi. Pernah dalam sebulan aku dan dia bisa melakukannya lebih dari sepuluh kali. Rasanya seperti mencabut stop kontak ke dalam lubang berulang-ulang kali tapi kau tak pernah bosan. Dengan dan tanpa kondom. Tapi kami selalu rutin memeriksakan diri. Kita sama-sama bersih hingga hari ini dan kuharap akan terus seperti itu."
Rasanya sangat aneh saat sahabatmu sendiri menceritakan hal yang privat dan lebih baik disimpan saja. Beberapa potong kata ada yang tak sampai dalam kepalanya dan ia memilih untuk mengabaikannya saja. Mungkin beginilah Touka berbicara secara jujur akan masalahnya. Namun, Yorika tetap mendengar dan tidak menyela. Yang diinginkan sahabatnya itu adalah sebuah kekuatan tanpa menyudutkan. Argumen netral di akhir kisahnya.
"Lalu, datanglah hari di mana ia menolak untuk pertama kalinya. Aku tahu ia super sibuk. Ia sedang menulis buku sejak tahun keduanya. Proyek sebelum lulus. Kalau boleh dibilang, ia lebih banyak bercumbu dengan laptopnya ketimbang denganku. Aku senewen dan rasa frustasiku membengkak gila. Karena penasaran dengan apa yang dilakukannya, aku berpura-pura menjadi mahasiswi nyasar yang kebingungan mencari toilet di kampusnya. Alih-alih ingin menyumpahserapah, yang kudapat hanyalah sejumlah publikasi yang mencetak wajahnya banyak-banyak. Ia begitu terkenal di kampusnya. Aku tahu itu kok tapi tetap saja aku tidak bisa menyembunyikan amarahku."
Ia menghela nafas panjang lagi. Melakukannya di setiap break. Mengurangi kadar karbondioksida dan nitrogen dalam paru-parunya. Air wajahnya berubah lebih bercahaya dengan sulaman senyum di sudut-sudut bibir.
"Kemudian, aku akhirnya sadar. Kumulai segalanya dengan baik-baik, baik di kampus ataupun hubunganku dengannya. Kami tidak tidur bersama nyaris delapan bulan. Saat tahun baru lalu, kami mabuk dan yeah. Tanpa pengaman tapi kurasa aku sedang dalam kontrasepsi. Dan—kurasa akibat gap yang cukup lama itu, bahkan dalam setiap sentuhan, sudah tidak ada lagi rasa yang spesial. Kau tahu, kau akan paham bagaimana kopulasi bisa berjalan mulus begitu lonjakan elektris seolah menyambar dari berbagai arah di tubuhmu. Itulah yang kurasakan begitu tubuhku dan tubuhnya menyatu. Hanya, akhir-akhir ini sensasi itu mulai menghilang. Entah apa ada yang salah denganku atau dengannya. Aku tidak berani menuntut apa-apa. Aku dan Kaneki bahkan tidak tahu harus menyebut apa hubungan aneh ini. Friends with benefit, mungkin?"
Sosok yang menyimak berdehem sekali lalu mengangguk. Ia seakan sudah tahu akar permasalahannya tapi tidak berniat menggurui. "Selama perasaan Touka-chan dan Kaneki-kun sama, penghalang apapun tidak akan jadi masalah. Aku tidak begitu familiar dengan umm itu, tetapi bagaimana kalau kuberi saran?"
"Tentu."
"Bagaimana kalau kalian memulainya dari awal lagi? Seperti saat pertama kali bertemu dan berkenalan? Lalu saling menyukai dan—"
Di sini, Touka segera memotong. "Tunggu, tunggu sebentar. Aku belum cerita ini ya? Sesungguhnya pertemuan pertama kami sangatlah tidak romantis layaknya di komik-komik shoujo, Yoriko. Aku hanya memberinya uang recehan untuk membeli mi instan karena kebetulan saja ia saat itu bekerja paruh waktu sebagai kasir konbini. Dan jika pertama kali yang kau maksud adalah kehilangan keperawananku, aku tidak ingin hal itu terulang lagi karena baik aku dan dirinya sama-sama bodoh, setengah mabuk, idiot, tidak berotak dan hanya mementingkan urusan bagaimana miliknya yang sudah berdiri gagah ingin mempenetrasi milikku. Masa bodoh terhadap resiko dan akibat, lebih-lebih apa itu cinta. Esok harinya berpura-pura untuk tidak saling mengenal."
"Oh. Eh, umm—yah—tidakkah kalian memiliki momen yang cukup romantis untuk dikenang?"
"Biar kuingat, hmm, saat ia mentraktirku sebaskom Baskin Robbin hingga akhirnya aku muntah-muntah? Atau saat dia berpura-pura pandai bermain gitar padahal itu semua hanyalah rekaman dari Youtube? Atau saat ia ingin menjadi sok poetic dengan membacakan resital puisi kuno yang sama sekali asing di telingaku. Nope, nope, semua itu jauh dari kata romantis."
Yoriko tak sanggup menahan gelak tawanya. Ia menutup wajahnya dengan selimut. Touka memutar bola matanya. "Aku tak tahu kalau Touka-chan dan Kaneki -kun sangat payah dalam berpacaran bergaya klasik. Hihi."
"Yeah. Kurasa berpacaran bukan istilah yang tepat untuk disematkan. Kami berbicara dengan bahasa tubuh. Secara harafiah." jawabnya berusaha sarkasme, tetapi tidak membuat Yoriko berhenti terkekeh.
"Um, berbeda denganku, aku dan Kuroiwa-kun hanya tahu cara saling menggenggam tangan. Awalnya kami sama-sama canggung untuk melakukannya di tengah-tengah banyak orang. Tetapi, kami berdua paham jika ada yang lebih baik untuk disimpan ketimbang diumbar di khalayak publik. Perkenalan kami cukup singkat, seperti memutar kembali kaset tua. Namun, rasa kikuk itu perlahan lenyap begitu aku dan Kuroiwa-kun menyadari jika kami benar-benar ditakdirkan untuk bersama. Hanya hati kecilku yang yakin akan hal itu. Sangat kekanakan ya?"
Touka menggeleng. "Tidak kok. Kurasa memang begitulah yang seharusnya."
Yoriko tersenyum letih. Ia sempat menguap lebar sebelum melanjutkan. "Jika memang tidak punya hal yang berkesan untuk dikenang, bagaimana jika membuat yang baru?"
"Seperti..."
"Hmm?"
"...apa?"
Bunyi detik jam dinding terdengar seperti bel magenta. Menjadi pengisi kevakuman sesaat. Touka merasakan selimut yang membungkus tubuhnya ditarik ke atas. Yoriko menggelung tubuhnya dan berubah seperti cocoon. Dengkuran lembut mengikuti ritme nafasnya yang stabil. Oh, ia terhenti di tengah-tengah dialog yang dirasakannya baru saja menyentuh garis start itu. Kekecewaan Touka tidak berlangsung lama, ia memahami dan ikut berlabuh dalam labuan mimpi beberapa menit setelahnya.
Namun, ia seperti mendengar gadis di sampingnya berbisik kecil. Entah itu suara dari lubuk hatinya sendiri atau apalah.
"Berilah sesuatu yang bisa dikembalikan namun tak akan lenyap."
Dan di malam itu, mimpi Touka seolah menuntunnya menuju suatu tempat yang ingin didatanginya sejak petang tadi. Bergerak seolah itulah jawaban kegelisahannya.
Begitu terbangun karena kaget tidak menemukan sosok Yoriko di sampingnya, Touka cepat-cepat mengenakan pakaian tebalnya dan turun dari kamar. Tas jinjing kecil sudah disampirkan di depan pintu dan Kosaka Yoriko benar-benar akan melangkah menuju masa depannya. Tanpa ragu.
.
.
.
To be Continued
Catatan Sesal Author :
Like I said, my brain usually gives bizarre fantasies. So, I wrote this.
The main focus is absolutely the ehem-ehem part. But I'll keep it for later.
Thanks for reading.
