Woo bikin fic baruu :D *ditendang* *yang kemaren aja belom selesai*
Hmm, tenang. Yang TTM itu bakal selesai secepatnya. Dan ini, aku cuma mau bikin prolognya aja. Kalo pada suka aku lanjut, kalo gak aku buang! Eh enggak ding, aku dengan tidak tau dirinya pasti bakal nerusin fic ini. Jadi maaf aja kalo ada yang gak suka :D
Oke, capcus..!
Dia, seorang gadis cilik berumur 6 tahun tengah memandangi sang ibu yang tengah memainkan piano dengan suara yang tercipta dalam harmoni indah. Memperhatikan bagaimana ibunya begitu menghayati setiap tuts yang dia tekan, dengan mata yang terpejam seolah jiwa dan hatinya yang tengah bermain, sedangkan raganya hanya dijadikan perantara.
Sesekali disapukan pandangannya pada ratusan orang yang turut mengalir bersama kesyahduan nada yang timbul. Ada yang berdiam mematung, jiwanya terbang entah kemana karena terlalu larut menikmati. Ada yang terlihat tengah menyeka air matanya. Ada yang memandang takjub hingga lupa berkedip. Ada yang reflek menahan nafas karena tidak menyangka dentingan piano itu begitu menghanyutkan.
Dan kali ini, matanya kembali terfokus pada sang bunda yang berada disana, diatas panggung megah dengan cahaya biru yang menyorot menambah keanggunan dirinya. Gaun berwarna soft pink yang membalut tubuh rampingnya, dengan rambut pirang panjang yang tergerai indah jatuh di bahu putihnya yang terbuka.
Sedetik kemudian, wanita anggun itu telah menyelesaikan lagu terakhir di penampilannya mala mini. Seperti biasa, sorak sorai para penonton dan tepukan tangan memenuhi gedung besar itu. Tak lupa bertangkai-tangkai mawar merah dilemparkan penonton-penonton itu kearah panggung, sebagai tanda mereka sungguh puas dengan hiburan malam ini.
Dan sang pianis itu tersenyum sambil membungkukkan badannya, menandakan dia turut senang bisa menghibur ribuan pasang telinga itu, kemudian dirinya turun menuju belakang panggung, menemui putri kecilnya yang sedaritadi sudah lari kesana sesaat setelah ia menyelesaikan pertunjukkannya.
"Kaa-chan!" gadis cilik itu melompat kearah ibunya yang baru saja memasuki ruangan dirinya.
"Hai, sayang."
"Kaa-chan tadi kelen cekali, cantik. Kaa-chan hebat! Nanti kalau cudah becal, aku mau jadi kaya Kaa-chan, boleh?" kata putri kecilnya dengan lidah cadel miliknya.
"Boleh, sayang. Sekarang ayo kita pulang, sudah terlalu larut dan Kaa-chan yakin, putri kecil Kaa-chan pasti sudah menguap daritadi, kan?" Ibu muda itu tersenyum lembut, lalu menggandeng tangan mungil putrinya yang juga menggenggam boneka beruang kecil berwarna cokelat.
Ibu dan anak itu kemudian pergi, meninggalkan gedung yang juga mulai berkurang satu-persatu dari tamu-tamu yang bertandang kesana.
Ditempat lain, ada seorang pria kecil yang tengah sibuk menenggelamkan dirinya di hamburan majalah-majalah yang tergeletak berserakan di lantai ruang tamu rumahnya.
Matanya dengan intens memperhatikan apa yang tercetak disana, raut wajahnya yang serius justru nampaknya malah memperimut dirinya.
"Sedang apa, sayang?" kata seorang pria sambil mendudukkan dirinya disamping putranya.
Sang anak mendongak lalu tersenyum kecil,
"Tou-chan, bagaimana cala membuat ini?" jari telunjuk mungilnya kemudian menunjuk sebuah gambar ayam panggang yang terlihat begitu menggiurkan.
Ayahnya memandangi objek yang dimaksud anaknya itu, kemudian memasang pose seperti orang tengah berpikir serius.
Pria kecil itu terdiam melihat ayahnya yang sepertinya tengah berpikir serius, maka dirinya memilih ikut memasang pose yang sama. Dengan tangan kanannya yang menopang dagu miliknya, lalu kening putihnya yang mengerut dan pandangan matanya yang seolah menerawang.
"Kau mau membuat itu?" tanya ayahnya.
"Iya, culit tidak ya Tou-chan? Aku celing liat Tou-chan macak, tapi aku gak tau gimana calanya. Tou-chan ajalin aku dong." kata sang anak polos, tak ayal membuat sudut bibir milik ayahnya tertarikm keatas membentuk sebuah senyum.
"Iya, nanti Tou-chan ajarin kamu. Sekarang, kamu tidur. Sudah malam."
"Baik, Tou-chan, tapi janji ya ajalin aku macak." Pria kecil itu menyodorkan jari kelingkingnya kehadapan sang ayah, yang pastinya disambut dengan jari kelingking ayahnya.
Dalam gendongan ayahnya, pria kecil itu menuju kamar miliknya. Membaringkan tubuh mungilnya disana, dengan selimut biru muda yang membungkus tubuhnya, dia siap terbang ke alam mimpi diantar kecupan hangat sang ayah dikeningnya.
Kau tak akan bisa memilih keinginanmu jika takdir tak menginginkannya. Maka dalam rentang waktu kedepannya, persiapkan dirimu dengan pilihan takdir yang seolah mempermainkanmu dengan memilihkan sesuatu yang kau benci. Memaksamu terkurung dalam sesuatu yang bukan dirimu. Kau sudah menolak, berteriak, bahkan kau sudah melampiaskan kemarahanmu pada Tuhan, tapi takdir tak akan semudah itu menjadi baik. Kau harus mengikuti permainannya. Seolah labirin yang kau juga tak ketahui apa yang kau akan dapatkan jika nanti telah sukses mencapai titik akhirnya.
Yang kau tahu, labirin ini terlalu rumit. Berkelok dengan ribuan tikungan yang semakin membuatmu bingung, putus asa, bahkan membuatmu kembali memaki Tuhan.
Tapi kau tak sendirian, labirin ini terlalu luas untuk hanya mengujimu seorang diri. Dan perintah sang takdir hanya teruslah melangkah, biarkan dia yang menuntunmu. Takdir mungkin memang mempermainkanmu, tapi dia tidak sejahat itu membiarkanmu terombang-ambing tanpa tujuan pasti. Takdir meyakinkanmu untuk terus menjejakkan kakimu kedepan, semakin mendekati 'hadiah' yang telah dipersiapkan takdir bagi siapa saja yang mau bermain dengannya.
Dan tugasmu hanya satu: lewati labirin itu dan kau akan bahagia, atau meringkuklah disalah satu tikungannya dan mati serta mengering disana.
Oke, itu cuma prolog jadi wajar kalau pendek. belum masuk ke cerita, jadi masih ngebingungin.
Review jika memang kalian suka cerita ini dan mau kulanjutin secepatnya. Kalau tidak ada yang review yaudah deh aku nyelesain TTM dulu baru fokus ke ini.
Yak, saran, komentar serta kritiknya silakan ditulis :D
