Maze Runner Trilogy © James Dashner
saya tidak mendapatkan keuntungan materiil macam apa pun atas pembuatan fanfiksi ini.
.
a/n : feel ngetik minewt balik lagi pas udah nonton Death Cure heuheu ((meskipun sakit sih/HEH). Masih adakah penghuni di kapal ini? huehue. Selamat membaca!
"Palette"
[1/7]
Satu minggu yang lalu umurnya baru saja mencapai angka sembilan belas dan Newt sadar semua itu terjadi tanpa ada momen istimewa, tanpa pula tanda kecil seperti matanya menangkap warna yang selama ini Thomas racaukan ketika menemukan belahan jiwanya di umur tujuh belas. Newt tidak terlalu menuntut agar warna-warna itu muncul, tapi mendengar ocehan serupa dari setiap lingkar pertemanannya terkadang membuat Newt jengah (mereka mengagumkan, Newton!—kata Brenda suatu kali, kawan gadisnya yang bekerja di sebuah kedai kopi tidak jauh dari kampus. Macchiato buatan Brenda memang enak, tapi lama-lama rasanya ingin mengeluh juga jika suatu waktu Newt berkunjung dan gadis itu lagi-lagi bercerita soal bertapa cantiknya warna semu cokelat kopi itu, atau pekatnya espresso, atau juga bubuk gula karamel bersama warna saus madu di atas panekuk).
Seringkali Newt mempertanyakan bagaimana sistem belahan jiwa di dunianya berjalan, mengenai warna, mengenai pertemuan yang tak pernah orang duga, bahkan mengenai monokrom yang hanya dapat ia pahami selama sembilan belas tahun ini. Oh, Newt tak bohong kalau secuil rasa penasaran selalu muncul (misal seperti bagaimana bisa Thomas lebih dulu melihat warna sedangkan ia masih menunggu, astaga) meskipun akhirnya Newt tak kuasa untuk menuntut. Ia pikir hidupnya saat ini pun baik-baik saja, tak ada yang perlu dikeluhkan, atau juga disesali.
Memang secantik apa warna-warna itu? Yang kerap kali diracaukan Thomas dan Brenda setiap saat, setiap detik, setiap waktu? Namun Newt lagi-lagi menyimpannya seorang diri. Mungkin dia akan tahu nanti—mungkin.
"Newton!"
Bahu Newt tersentak kecil, ia menoleh sembari membuka pintu loker dan mendapati Thomas berlari ke arahnya. Timing yang bagus, dengus Newt dalam hati, mata kuliah pragmatik Profesor Janson baru saja usai dan kini Thomas tiba. Lihat apakah mereka berdua akan membahas hal serupa atau tidak.
"Hai, Tommy," sapa Newt, mengulas senyum tipis. "Bagaimana kelasmu tadi?"
"Awesome—tapi bukan itu yang ingin aku bahas," jelas Thomas cepat, bola mata Newt berotasi malas. "Dengar, aku tidak tahu Profesor Janson sudah membahasnya denganmu atau belum, tapi aku berani bersumpah kalau aku cuma kelepasan soal anggar dan—"
"Oh, bagus!" Newt mengerang sebal, paha kanan ditepuknya asal. "Pantas saja pria tua itu tiba-tiba keras kepala sekali soal perekrutan anggota baru dan semua ini karena kau Tommy—"
"Aku bilang itu tidak sengaja—"
"Terserah apa alasanmu." Mata memicing jengah, lalu gelangan getir. "Sudah cukup sulit berdebat dengan Gally dan sekarang Profesor Janson? Yang benar saja!"
"Hei, hei, dengar Newt," suara Thomas melembut, ia menarik bahu Newt agar saling berhadapan dan sedikit permintaan atensi. "Well, yah, mereka begitu karena belum tahu. Maksudku, kalau kau sedikit memberikan penjelasan aku rasa Gally atau Profesor Janson bisa mengerti."
"Lalu menunggu sampai aku dapat tatapan simpati, begitu?"
Thomas tertegun sejenak, sorot matanya menebar teduh yang agak ganjil. "Kau tahu bukan itu maksudku."
Newt mendesah pelan. "Aku tahu," sahutnya. "Sori, Tommy."
"No problem." Senyum simpul diulas. "Toh akhirnya semua kembali lagi—"
Kemudian, suara Thomas seakan lenyap. Bentuknya seperti partikel-partikel dalam radio rusak, samar dan berulang kali hingga sekon di mana kepala Newt terasa pening. Pelipisnya berkedut sesaat, lalu sebuah ledakan, ledakan, ledakan secara konotatif yang terjadi pada bola matanya. Seolah ia melihat big bang, atau benturan antara metal di sepanjang aspal jalanan, atau mungkin bunga api yang diletupkan pada waktu tengah malam dan—ya, Tuhan, warna! Newt mendadak sesak, tidak, tidak, tidak salah lagi; bayang-bayang monokrom itu lenyap dalam sekejap!
"Newt?" Suara Thomas menelusup, nadanya mengandung cemas. "Newton? Kau oke?" Ia gesit meraih lekukan siku Newt sebelum tubuh pemuda pirang itu limbung, seperti orang linglung, binar matanya jauh dari fokus. "Newt, ada apa?"
Yang dipanggil mengerjapkan mata beberapa kali, dipijatnya kening dengan kerutan tipis, lalu napas berhembus panjang. "… terlalu banyak."
"Hah?"
"Warna-warna itu," pijakannya kembali utuh, raut wajah Newt mendadak terlihat jauh, jauh lebih cerah dan tidak sepucat tadi. "Tommy … aku lihat warna!"
Statis yang janggal, lalu, "… eh?"
~OvO~
"Tunggu sebentar Newt!"
"Yang benar saja! Kenapa baru sekarang dan jaraknya sedekat—argh!"
Thomas tidak tahu apa yang membuatnya sangat terkejut; fakta bahwa apa yang bisa dilihatnya mengenai belahan jiwa kini sama-sama bisa Newt lihat (oke, itu amat sangat mengejutkan, karena terjadinya benar-benar di luar dugaan), atau laju lari Newt yang tidak Thomas sangka sedikit melebihi kecepatan larinya; Thomas pikir ambil saja kedua-duanya. Ia tidak memprediksi Newt akan berlari tanpa tedeng aling-aling, meninggalkan pintu loker yang terbuka sehingga Thomas terlambat mengambil start dan memastikan loker Newt tidak jadi sasaran curian (meski isinya tak jauh dari kamus dan diktat tebal yang membosankan). Lari Newt seperti orang kesetanan, tidak tentu arah dan sempat-sempatnya diseling teriakan macam; aku tidak tahu apa sebutannya untuk warna-warna yang sangat banyak itu tapi astaga Tommy mataku sampai berair tapi bukannya aku menangis! Apa ini normal? Apa ini NORMAL?
Bodoh juga kalau Thomas harus menjelaskan di saat mereka berlari melewati lorong loker, koridor kelas, lantas menjadi bahan tontonan ketika kaki menjejak rerumputan taman tengah kampus. Thomas tidak meminta Newt berhenti, tapi terkadang sudut matanya akan awas di sekitar pergelangan kaki kanan si pirang. Ia hanya berusaha memastikan, sungguh.
Selang beberapa menit kemudian—mungkin, yang ternyata tidak cukup lama bagi Thomas—laju lari Newt melambat, semakin lambat, dan berhenti tepat di depan gedung teater tidak jauh dari fakultas seni. Thomas tidak bertanya mengapa Newt mengambil destinasi yang jelas-jelas cukup jauh dari fakultasnya sendiri, ia urung bertanya dan mencoba membandingkan dengan dirinya yang dulu.
Bertemu dengan belahan jiwamu, tak ubahnya seperti insting yang menuntun ke mana kau akan pergi. Jatuhnya terdengar sangat chessy dan roman picisan sekali dan klise, tapi hei, tak ada yang tahu bagaimana skenario hidup itu berjalan.
"Bloody hell," bisik Newt, agak tersengal karena kelelahan. Ia tidak meminta perintah atau menunggu pertanyaan Thomas dan lekas menapaki undakan anak tangga sembari mendorong pintu utama teater. Thomas mengekor di belakang. "Jelaskan Tommy, kenapa aku merasa harus ke tempat ini?"
Tawa Thomas meledak, tapi cepat-cepat ia sembunyikan begitu Newt mendelik sinis. "Sori, tapi aku cuma bisa bilang kalau itu hal yang lumrah …" Bahu berkedik kecil. "… mungkin."
"Mungkin?"
"Nah, bagaimana menjelaskannya, ya," ibu jari dan telunjuk mengusap dagu, lagaknya bak orang sedang berpikir. "Sulit dijelaskan secara verbal, asal kau tahu." Kemudian topiknya melipir ke arah lain. "Omong-omong, bagaimana?"
"Apanya?"
"Warna," dua alis Thomas naik-turun dengan jenaka. "Siapa kira-kira orang yang saat ini mengalami hal serupa, eh?"
Newt berhenti tidak lama, menatap Thomas seakan pemuda jangkung itu salah satu dari sekian kumpulan manusia yang ternyata bisa menyebalkan di saat tertentu, sebelum akhirnya menggeleng pasrah dan melanjutkan langkah. Kini ia mengambil jalur menuju ruang panggung, detik ketika Thomas sengaja mendahului Newt dengan iseng bersama cengir main-main di wajahnya sedangkan satu tangan mendorong pintu. Newt memberinya decakan jengah tapi Thomas tidak peduli.
Lagi-lagi deretan anak tangga kali pertama menyambut, yang setiap sisinya penuh dengan kursi empuk sewarna darah. Ah, Thomas lupa, barangkali Newt belum tahu warna darah itu seperti apa.
"Jadi," lanjut Thomas, "kenapa kita ke sini?"
Akan tetapi jawabannya tak lekas muncul dari bibir Newt, manakala ketika keributan kecil terdengar dari arah panggung, dari kerumunan mahasiswa yang entah meributkan hal apa, sampai seruan salah satu dari mereka mendominasi.
"Warna-warna itu! Holy crap, kameraku bahkan bukan lagi hitam dan putih!"
"Err, Minho …" Panggil seorang gadis di antaranya, berambut pirang berkepang satu. "Apa maksudmu?"
"Maksudku ini!"
Alih-alih Newt yang bereaksi, Thomas jauh lebih peka dan tubuhnya mematung dalam seperkian sekon. Ia mengerjapkan mata tidak percaya, mengambil satu langkah lebih maju hingga membelakangi Newt, tak lama setelah itu bola mata membelalak. O-oh …
"Minho!" Kawan lainnya ikut berseru, kali ini laki-laki. "Itu berarti …"
"Tidak salah lagi! Ini tentang belahan jiwa!"
"Hah!" Newt berseru, nyaris menyerupai pekikan. Thomas meringis dalam hati, damn. "Jadi warna dan orang ini —"
"… pssh, Newt?"
Ibarat adegan-adegan canggung dalam drama televisi, Newt tersadar dan ia spontan membekap mulut. Thomas berjengit pelan ketika ia langsung melempar fokus ke arah kerumunan tengah panggung yang entah sejak kapan, serentak mengalihkan atensi dan memandang mereka berdua dengan tatapan penuh tanda tanya. Kemudian, kecanggungan itu diperparah saat seorang pemuda sedikit bongsor, berbahu tegap dan rambut gaya spike, rahang tegas berlekuk Asia juga sepasang matanya yang kecil sekaligus unik, memisahkan diri dari kerumunan. Sekilas Thomas mendapati bagaimana keping gelap itu melirik sosok di belakangnya, melirik Newt, beberapa detik sebelum akhirnya dua pasang mata saling bertemu.
Orang bilang, jangan pernah mempertanyakan bagaimana hati itu berjalan. Jangan mempertanyakan insting, apalagi untuk dua hati yang sebelumnya tidak pernah dipertemukan. Barangkali di mata dunia, belahan jiwa tak ubahnya enigma yang sampai saat ini pun, kerap kali menaruh misteri.
"Sori untuk yang tadi," tutur Newt, berapologi. Fokusnya mengerling sekeliling dan anggukan sopan ia lakukan. "Tadi itu semacam impuls terlalu kaget."
"Kau juga lihat?"
"Ya?" Kening mengerut. "Ah, maksudmu, warna-warna itu,"
"Warna," tegas si pemuda Asia. Demi Tuhan, rasanya Thomas perlu meyakinkan diri berulang kali kalau dia memang Minho—berlebihan sih, tapi persetan. "Wow." Ia menyugar rambutnya dari arah depan ke belakang. "Well, ini mengejutkan. Aku tidak pernah menyangka kalau sebenarnya aku gay. Jadi, hai, kau yang disebut belahan jiwa itu?"
Thomas menepuk kening. Oh, dear ...
tbc
