"Hin, lu udah ngerjain biologi belom ?"
"Hmm."
"Eh, Hin, nanti jadi gak ke Konoha Mall ?"
"Hmm."
"Hina-chaaann, lo ngambil penggaris imut gue yaaa ?"
"Hmm."
"Oi Hin. Lu denger gak sih gue ngomong apa?"
"Hmm."
"Lama-lama gue panggil Neji-nii aja deh.."
"Eh, ngapain manggil nii-san gue ? Lu mau gue PD III sama dia ?"
"Astaganagabonarjadidua, nih anak baru denger kalo gue ngomong Neji-nii...huft.."
Disclaimer : Eh Naruto itu punya siapa sih ? Gue amnesia mendadak #dirajam om Masashi
Naruto © Masashi Kishimoto
Is she normal ? © Himeureka
Rated : T
Genre : Romance, Humor, Drama
Warning : OOC sangatsumpah, Gajeness , Abalness, Typo bertebaran, etc.
Pairing : SasuHina, NaruHina, NaruSaku, NejiTen, etc
Terpaksa pake asas: Don't like Don't read !
Gadis berambut hitam itu dengan cepat menoleh ke arah gadis di sampingnya, yang sedari tadi cukup menganggunya. Gadis itu yang akrab dipanggil Hinata itu memasang wajah sesuram mungkin. Ia memilih seperti itu agar gadis berambut pink di sampingnya tidak terlalu banyak bicara. Namun, dugaannya ternyata salah. Gadis pink itu, Sakura, malah semakin memancing emosinya untuk membalas.
"Well, lo gak usah pasang tampang suram gitu. Lagian kalo lo PD III sama Neji-nii gue gak rugi kok." Balas Sakura setelah melihat wajah gadis yang dikenalnya sejak SMP itu menampakkan salah satu wajah yang paling membuatnya bosan. Sedang Hinata akhirnya hanya bisa menghela nafas dengan sangat berat. Ok. Itu lebeh. Maksud author, helaan nafas Hinata itu seperti saat author menghadapi ulangan Fisika dan Kimia. Sumpah kepala bisa ngepul kalo inget rumusnya yang kelewat banyak. Kadang-kadang saya lebih suka kalo Aurielle Evans ngajarin kimia dibanding guru saya sendiri. Apalagi matematika, ampun deh, mungkin cuma Ruine-chan aja yang bisa ngajarin saya.
Oke, jangan hiraukan kegalauan sang Author suram ini. Bek tu de stori.
Hinata mengerucutkan bibirnya, memandang lawan bicaranya kesal.
"Iya. Gue bakal rugi sangat kalo itu terjadi. Neji-nii bakal nyebelin abis kalo dia udah ngadu sama Papi." Sungutnya seraya menatap cover novel yang dibacanya sejak tadi. Namun karena gadis pink di sebelahnya, kegiatan itu terhenti seketika, dan langsung membuat mood Hinata lebih buruk.
"Ya udah. Gue juga gak bakal mau repot-repot ke kelas Neji-nii yang rada horor itu..." jawab Sakura horor (?). Ia bergidik takut. Kelas Neji-nii, kelas IIX IPA 1 memang terkenal akan kehororan para penghuninya. Eit, jangan salah, yang dimaksud dengan penghuni di sini bukanlah arwah penunggu atau apalah itu. Mereka benar-benar penghuni kelas tersebut, yang tidak lain dan tidak bukan adalah para murid seram yang dapat dilihat hanya dari wajahnya saja. Jadi wajar saja jika para adik kelas yang polos dan tak berdaya ini lebih memilih bersembunyi jauh-jauh ketimbang harus ke kelas terkutuk itu.
"Ralat bruther [1], bukan 'rada' ya, tapi 'sangat'." Sergah Hinata yang akhirnya ikut merinding setelah Sakura menyebutkan kelas terhoror yang pernah ia datangi.
"Hah? Iya deh. Tapi kan itu kelas kakak lu, bru."
"Weleh, sebodo. Bukan kelas gue ini.." jawab Hinata santai seraya menjulurkan lidahnya. Sakura hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Whatever lah. Eh iya, lo udah ngerjain Biologi belom?" tanya Sakura mengalihkan pembicaraan yang tak jelas itu.
"Menurutlu, tampang gue gimana ?" Hinata kembali menatap Sakura dengan tampang datar. Seringai dan satu alis yang terangkat membuatnya tampak perfect untuk meyakinkan Sakura. Namun, tetap saja terlihat...suram. Dengan hanya melihat wajahnya saja, Sakura sudah dapat menyimpulkan bahwa gadis beriris lavender yang menjadi teman sebangkunya ini belum mengerjakan tugas praktek Biologi yang diberikan Kakashi-sensei hari kamis lalu. Dan dua hari lagi hari kamis akan tiba. Namun, bukan Hinata namanya jika tidak seperti ini.
"Belom sama sekali." Balas Sakura seraya memandangi temannya yang aneh ini.
"Yup. Anak pinter." Hinata kini memasang senyum lebarnya. Ia senang jika Sakura dengan mudah mengetahuinya. Dengan begitu, mungkin ia bisa menyon- ehem, maksud author melihat sedikit jawaban Sakura. ##
"WTH lo, tapi ekonomi udah kan ?" tanya Sakura yang mulai membuka lembar kerja siswa a.k.a LKS Ekonomi yang dibawanya hari ini. Ia memang sudah niat untuk, ehem, melihat jawaban yang benar dari temang sebangkunya itu.
"Udah dong !" jawab Hinata dengan semangat 45. Ia tak akan ragu jika yang dikerjakannya adalah ekonomi, subject yang selalu membuatnya girang sendiri. Walaupun guru yang mengajar lebih tidak menyenangkan bagi para murid sendiri. Namun Hinata tak perduli. Toh, ia memang suka Ekonomi sejak dulu. Jauh lebih baik daripada math yang suka membuatnya pusing tujuh keliling. Lagi-lagi Sakura hanya bisa menggelengkan kepalanya heran.
"Ya udah, mana LKS lo ?" tanya Sakura tanpa basa-basi dan langsung merogoh rogoh isi tas sang gadis indigo.
"Cari aja, ada kok di tas." Jawab Hinata sembari mengalihkan pandangannya menuju buku selanjutnya yang ia taruh di atas meja. Sebenarnya sih bukan buku. Melainkan komik. Entah kenapa Hinata mengingatkan pada seseorang di sini? ##
#Authordigantungreaders#
"Aih, dasar Asos..." ujar Sakura tanpa sengaja saat ia tengah membuka LKS milik Hinata. Dilihat dari wajah Sakura yang tak bisa diartikan dengan jelas itu #dilemparSakurasampemars#, bisa kita simpulkan bahwa ia sedang mengamati, ehem, jawaban milik Hinata yang kelewat banyak. Jadi bisa dibilang, anak keturunan Hyuuga itu memang berbakat di bidang IPS.
"Apaan tuh?" tanya Hinata bingung.
"Anak sosiologi. Lo kan anaknya Kurenai-senpai." Jawab Sakura santai. Tak disangka bahwa gadis indido itu akan berblushing ria meski sebentar setelah mendapatkan pujian yang jarang ia dengar dari mulut temannya itu.
"Hah? Gue kan emang suka tuh subject dari dulu," balas Hinata sumringah. Rasanya hidungnya semakin panjang saja. "Wew, Kurenai-sensei tetep aja galak sama gue." Lanjutnya tiba-tiba. Pada kalimat terkahir itulah, sang gadis Indigo lebih terlihat suram dan mungkin akan pundung di pojokan jika saja sang author tak menenangkannya. Hehehe. #Authordigebukinmasa#
"Emang lo kata Kurenai-sensei doggy apa? Pake galak segala." Protes Sakura sedikit menyindir. Kadang-kadang Hinata memang sulit untuk menggunakan kata-kata baku yang baik. Mungkin sama seperti sang author yang sedang mengalami masa kesuraman akhir-akhir ini.
'Eh, maksud lo apa nyindir-nyindir gue hah!'
Haduh ini author, ya sudah, bek to stori lagi yoo.
"Jya. Lo kan gak tahu waktu gue dipanggil sama dia kemaren." Sahut Hinata sedikit kesal. Ia menghentikan aktivitasnya kembali dan menoleh pada teman sebangkunya yang mulai ehem, mengerjakan soal.
"Emang lo kenapa?" tanya Sakura tanpa menoleh lagi dan tetap fokus pada LKS yang kini tengah ia kerjakan.
"Dia gak terima presentasi gue. Heran, perasaan gue udah ngasih yang terbaik deh?" protes Hinata lemah. Ia menghempaskan tubuhnya dengan bersender pada bangkunya.
"Ckckck. Anak dan Ibu sama saja ya..." balas Sakura asal tanpa menyadari bahwa ia akan mendapatkan deathglare terbaiknya dari sang gadis Hyuuga. Sementara Hinata bersiap dengan tatapan mata yang menajam sempurna, tidak terlihat seperti Hyuuga yang biasanya. Sakura baru menyadari aura hitam yang berasal dari arah kanannya yang tidak lain dan tidak bukan adalah milik Hinata Hyuuga. Tanpa aba-aba mulai pun Hinata segera berteriak keras pada sahabat baiknya itu.
"He? MAKSUD LOOO?"
Dan dimulailah kejar-kejaran yang tak dapat disamakan dengan film india jaman kuda gigit besi, Kuchek Kuchek Bajuhe. Sedangkan sang Author makin terpuruk karena merasa diabaikan.
-o0o-
"Payah, ck. Malas sangat gue pulang." Gumam Hinata pelan. Bel pulang telah berbunyi nyaring sekitar 10 menit yang lalu, ya sekitar jam 15.20. Namun Gadis Hyuuga itu masih diam tanpa bergerak menjauh sedikitpun dari bangku tempatnya duduk. Sementara gadis pink di sampingnya masih berkutat dengan buku matematika yang dipelajarinya sejak tadi beserta kamus saku matematika yang turut serta dalam kegiatan tersebut. Jangan ditanya raut wajah Hinata, ia sudah menampakkan wajah paling suram saat ini.
"Lo mau nginep di sekolah? Wah cinta sangat sama sekolah." ujar gadis pink itu tiba-tiba tanpa menjauh dari buku tebal di hadapannya. Hinata menoleh seraya menghela napas pelan, heran melihat sahabatnya begitu sibuk dengan subject yang amat menjengkelkan itu.
"Hah, tahu ah..."
"Mangkanya jangan terlalu 'gak suka' sama keluarga sendiri.."
"Ck. Lo kan gak tahu nyang sebenarnya."
Hinata's POV
Oke. Perkenalkan namaku Hinata Hyuuga. Oh iya, maaf kalo aku sangat telat memberitahu karena para readers sudah mengetahuinya sejak awal. Ini dikarenakan sekarang aku sedang dalam masa kegalauan akut, ditambah lagi sang author yang membuatku mendadak lebih suram dari biasanya. Ah, sumpah itu gak penting. To the pointlah. Yah jangan tanya kenapa aku gak suka pulang ke rumah. Pertama aku ceritain dulu, aku punya satu kakak laki-laki, satu adik perempuan dan satu ayah (?). Memang kalau dihitung cuma empat orang dalam satu rumah, dan tentu bukan masalah untuk seorang gadis sepertiku. Tapi akan jadi masalah kalau ketiganya bersikap tidak 'normal'.
Dimulai dari kakak laki-lakiku yang biasa ku panggil Neji-nii, Neji Hyuuga. Seorang cowok bertempramen keras, tegas dan bertanggung jawab. Ditambah lagi dia sangat jenius, dibandingkan denganku. Semua itu nilai plus dari seorang Neji Hyuuga. Oleh karena itu, seluruh gadis di KHS banyak yang mengejarnya. Aku sendiri tidak tahu apakah ia masih single atau tidak. Karena ikatan ini pula, aku sering dijadikan pengantar surat cinta oleh para senpaiku. Dan itu menyebalkan ! Tapi kamu gak akan tahu sifat sebenarnya. Dia itu amat sangat overprotective terhadapku. Dia juga terlalu disiplin sampai-sampai membuat peraturan keluarga yang menyatakan bahwa aku dan adik perempuanku gak boleh keluar di jam malam, jam 19.00. Bayangkan betapa menderitanya hidupku ini. Oke itu lebay. Kadang aku harus membuang waktu begitu saja karena bertengkar dengan nii-sanku tercinta itu. Biasanya kami meributkan hal-hal yang tidak penting dan akhirnya malah menjadi penting. Namun, kadang-kadang dia bisa jahil padaku. Aneh gak sih ? Namun, dibalik semua itu, aku tahu bahwa Nii-san adalah orang yang penyayang dan baik hati. Hanya caranya saja yang kadang keterlaluan. Cukup untuk nii-san.
Orang kedua adalah adik perempuanku yang masih duduk di bangku SMP Konoha kelas dua, Hanabi Hyuuga. Gadis yang aku anggap cebol ini memang cukup cantik, tapi wajahnya yang cantik gak sama dengan tingkah laku aslinya. Ia malah menjurus ke arah laki-laki dibanding gadis remaja umumnya. Bahkan dia jauh lebih parah dari aku yang agak tomboy ini. Dia jarang berbicara denganku, tapi jika sudah bertengkar, ampun ! apapun akan dibuka satu persatu, mulai dari masalah yang paling privasi sampai masalah keluarga. Dia lebih suka menyindirku secara terang-terangan. Dia benar-benar mirip sama cowok kalo dia pakai baju milik Neji-nii. Tapi sayang, Papi gak pernah setuju kalau dia memakai baju cowok, karena perempuan tetaplah perempuan. Begitu petuah yang biasa dia berikan pada Hanabi.
Dan orang terakhir yang 'agak' normal di keluargaku ialah Papiku sendiri Hiashi Hyuuga. Dia memimpin Hyuuga Corp, sebuah perusahaan besar yang menduduki peringkat 3 dalam negara Hi ini. Kebanyakan bidang yang digeluti perusahaan ini antara lain pengolahan minyak bumi serta kegiatan ekspor -impor barang ke luar negeri Hi. Jangan salah Neji-nii juga ikut ambil bagian dalam perusahaan tersebut. Begitu-begitu ia sudah menduduki jabatan manajer pemasaran. Oke, Papiku yang agak normal ini juga bisa berubah drastis. Dia bisa menjadi abnormal kembali saat aku terlambat masak setelah dia pulang bekerja. Satu kali aku pernah mengalami hal itu, Papiku tiba-tiba berubah menjadi bayi yang merengek minta susu. Jelas hal itu membuatku sweatdrop sejenak melihat pemandangan mengerikan tersebut. Maklum, Papi punya alasan tersendiri untuk bermanja-manja pada satu-satunya anak normal yang ia punya sejak sang istri meninggal dunia. Dan beruntung nii-san selalu menyadarkanku untuk segera bertindak (?) agar Papi tidak menjadi-jadi.
Begitulah hidupku yang maha suram ini. Siapapun gak akan tahan perlakuan orang-orang abnormal seperti mereka.
Hinata's end POV
"WTF pake ujan lagi. Huft.." keluh Hinata sembari menopang dagunya dengan kedua tangannya. Ia memandang jendela yang berada di samping tempat gadis pink di sebelahnya duduk. Hujan turun dengan tiba-tiba, membuat beberapa murid yang baru keluar tertimpa musibah kehujanan. Sakura berhenti sejenak dari aktivitasnya di kala stres. Bagi Hinata kebiasaan aneh pada sahabtnya itu malah membuatnya semakin aneh. Hanya Sakura seorang yang selalu belajar matematika saat kegalauan dan depresi melanda. Ckck. Author jadi ingat pada seseorang yang selalu melakukan aktivitas tersebut.
Sakura menoleh ke arah Hinata yang masih melamunkan hujan yang turun dengan derasnya. Tanpa berkata-karena ia sedang malas bicara- ia segera memasukkan buku-buku yang kadang membuat Hinata suram itu ke dalam tas jinjingnya. Kemudia ia melihat ke arah jendela sejenak, melihat pemandangan di bawahnya. Ia terus memperhatikan beberapa murid yang mau menerobos hujan bahkan tanpa payung sekalipun, hingga akhirnya matanya tertuju pada satu sosok yang dikenalnya. Pemuda berambut kuning yang tampak mencolok meski dilihat dari kejauhan seperti yang dilakukan gadis pink ini. Pemuda yang sanggup membuat gadis Hyuuga di sampingnya terluka. Bukan luka secara fisik, namun luka yang hanya Hinata Hyuuga tahu.
Kali ini Sakura menoleh kembali pada Hinata yang terlihat menyedihkan dan lucu di saat bersamaan. Terbesit rasa kasihan terhadap gadis Hyuuga di sampingnya. Sakura tahu bahwa Hinata merindukan kasih sayang seseorang yang dekat dengannya. Sayangnya, seseorang itu tak pernah menyadari akan perasaan Hinata padanya. Hinata tak pernah menunjukkan rasa kecewa sama sekali di depannya, bahkan ia lebih sering membuat lelucon konyol yang bisa membuat teman-temanya tertawa. Namun, Sakura tahu, dan mengenal sifat Hinata yang mudah rapuh tentu saja. Ia yakin Hinata terluka banyak.
"Hin, itu ada 'dia'..." Sakura berucap pelan sembari menunjuk orang yang dibicarakannya dari jendela. "Lo gak mau liat ?"lanjut Sakura tanpa mengalihkan pandangannya pada pemuda kuning yang baru saja membuka payungnya. Hinata menoleh ke arah Sakura perlahan. Melihat Sakura yang masih terpaku dengan pemandangan di bawah, malah membuatnya enggan untuk ikut melihat. Ia mengganti posisinya dengan menengkurapkan kedua tanganya membentuk sebuh bantal, berharap ia bisa tidur di tengah cuaca buruk seperti ini. Baru semenit kemudian, Sakura mengalihkan pandangannya menuju gadis di sebelahnya. Lagi-lagi helaan napas yang terdengar dari mulutnya.
"Sampe kapan lo mau kayak gini, Hin ? Udahlah, anggap dia temen aja. Gak harus pake benci kan ?" tegur Sakura seraya menyikut pelan lengan sang gadis indigo. Hinata pun bereaksi. Ia bangun dengan mata setengah terpejam.
"Siapa yang bilang gue benci dia ? lo aja asal nyimpulin kayak gitu." Balas Hinata sewot.
"Lo kan gak jawab apa-apa tadi, malah tidur segala." sergah Sakura cepat
"Sak, gue kan ngantuk, emang salah kalo gue tidur?" Hinata beralasan dan kembali mengambil posisi sebelumnya, membentuk tanganny seperti bantal empuk.
"Kenapa tidurnya baru sekarang? Kan bisa sebelum gue ajak ngomong." Balas Sakura tak mau mengalah.
"Gue baru pengen tidur, bru." Hinata beralasan lagi. Ia pusing mendengar ocehan Sakura.
"Ya udah gue ngalah. Jadi yang tadi..." Sakura berucap dengan rasa penasaran, membuat gadis di sampingnya mengalah pula.
"Well, menurutlo logis gak kalo gue bilang gue gak suka sama cowok?"
"Hah? What? Lo les-!"Sakura melotot tak percaya namun belum sapai selesai, Hinata sudah memotong.
"Aduh, bukan juga, gue bukan lesbi. Back to the first question deh. Menurut lo gimana ?" Hinata mengarahkan pikiran aneh yang sempat terlintas di otak Sakura menuju pointnya.
"Aih, gimana ya? Mungkin...aneh?" Alis Sakura terangkat, bingung harus menjawab dengan kata yang cocok. Hanya itu yang ada di pikirannya sekarang.
"Dimananya yang aneh ?" tanya Hinata tenang.
"Ya aneh lah, berarti itu menunjukkan kalo lo gak normal!" Sakura berusaha meyakinkan jawabannya benar, dan itu langsung membuat Hinata mengerti. Kata-katanya memang sulit dimengerti. Ia pun tak tahu harus mengucapkan bagaimana. Jadi pendapat orang lainlah yang membuatnya percaya.
"Oh gitu. Yaudah. Udah ngerti kan ?" Hinata tersenyum tipis.
"Hah? Apanya?" tanya Sakura kembali bingung. Hal itu sempat membuat Hinata sweatdrop sejenak. "Pertanyaanlo tadi udah lo jawab dengan sendirinya, pinter." Jawabnya pada Sakura.
"Hah? Maksudlo..." Sakura masih mengira-ngira. Ia takut sahabatnya ini akan marah.
"Ya yang tadi lo bilang. Gue gak normal." Pernyataan diulang kembali oleh Hinata dengan rasa bangga (?)
"Jadi lo bener-bener gak suka sama cowok ? Itu serius?" Tanya Sakura lagi.
"Menurutlo tampang gue sekarang gimana?" Hinata meyakinkan Sakura lagi dengan tatapan matanya. Sakura hampir kebingungan menjawab. Namun, mata itu...
"Serius."
"Itu ngerti."
" Ya ampun, Kami-sama ! What happened with you, Hina ? Apa yang bikin lo berubah jadi kayak gini?" tanya Sakura bertubi-tubi setelah mengalami schok berkepanjangan.
"Menurut lo siapa?" tanya Hinata tenang.
"Keluarga lo?" Sakura menebak asal.
"Tet-tot! Anda salah!" Hinata menjawabnya menyeringai ke arah Sakura yang masih berpikir keras. Dan kemudia, Sakura terpikirkan oleh seseorang yang dikenalnya... Mungkinkah ?
"D-dia?"tanya Sakura hati-hati.
Hinata tak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis. Tak ada rasa kecewa yang bisa membuatnya menangis, tak terlihat sama sekali bahwa perasaannya terluka. Hanya saja tatapan matanya kosong. Sakura bisa melihat hal itu. Spontan ia menutup mulutnya. Rasanya ingin menangis melihat sahabatnya dalam keadaan seperti ini.
"Tenang. Gue gak perlu dikasihani kok," jawab Hinata tenang. Ia tahu bahwa sahabatnya ini akan menangis jika ia tak menghentikannya. "Gue Hinata yang jauh lebih baik dari kemarin. Pertama sakit, tapi seiring waktu gue menikmatinya. Dan gue benar-benar baik." Sakura menatap iba pada sahabatnya itu. Oh Kami-sama, sebegitu terlukanyakah hati sang gadis indigo? Ia benar-benar tidak menyangka bahwa Hinata menanggung sakit yang terlalu berat. Ia selalu tersenyum di depannya, wajar jika ia tak mengetahui apapun yang dirasakan sahabatnya itu.
"Tapi... lo gak apa-apa kan ? Jujur sama gue ?"
"Menurutlo ?"
"Mungkin...lebih baik setelah cerita sama gue.." jawab Sakura seraya menyunggingkan senyum tipisnya. Hinata tertawa keras, hingga membuat Sakura bengong seketika. Namun, terlihat setitik air mata muncul dari salah satu kelopak matanya. Hinata kemudian tersenyum pahit. Sakura cukup terkejut dengan reaksi sang gadis indigo yang berubah-rubah ini. Namun, Sakura cukup tahu hanya dengan melihatnya saja. Hinata sedang membutuhkan seseorang.
"Kalo lo mau nangis, nangis aja. Gak selamanya lo harus nahan diri." Tak tahan membendung air matanya, Hinata memeluk Sakura. Titik air itu kini berubah menjadi sebuah tangisan yang lebih deras. Sesekali Hinata berteriak, menumpahkan rasa di dalam hatinya yang telah terkurung selama setahun. Ia tahu, cepat lambat Sakura akan tahu tentang hal ini, meski ia bersembunyi sekalipun. Sungguh ia bersyukur memiliki sahabat seperti Sakura, yang membiarkannya menangis dalam rengkuhannya. Rengkuhan seorang sahabat. Air mata yang mengalir deras tak lama membasahi seragam sang gadis pink. Entah sudah berapa lama Hinata menangis. Ia hanya bisa membiarkan gadis itu menangis lebih lama. Terkadang ia mengelus rambut indigo sanga gadis dengan penuh kasih sayang. Mungkin dengan begini ia cukup bisa menggantikan seseorang yang di deperlukan oleh Hinata. Kedua gadis itu tetap dalam posisi yang sama selama dua jam. Hujan yang turun semakin deras seiring dengan tangisan sang gadis indigo.
-o0o-
Hinata's POV
"Tadaima..." ucapku dengan lemas setelah mengganti sepatuku dengan sandal rumah. Aku hampir saja roboh di depan pintu tadi, jika saja aku gak melihat mobil kakakku yang telah terparkir di garasi. Jika ia melihatku gak mematuhi peraturan, yah mengganti sepatu dan bergegas masuk, mungkin aku sudah terpanggang sejak tadi. Ah, rasanya tubuh dan otot wajahku sakit semua. Badanku terasa kaku setelah yang kulakukan tadi bersama Sakura. Menangis selama dua jam itu ternyata tidak baik. Aku baru merasakannya akibatnya sekarang. Mataku menjadi bengkak dan rasanya rahangku mengeras kaku. Seluruh badanku jadi aneh begini. Mataku juga rasanya kabur-kabur begitu. Kenapa ya ? Dan- Arghh! Ittaaaai~! Wat de pak ! Sakit gila ! Sepertinya aku menabrak sofa di ruang tamu. Sayangnya kakiku yang jadi korban! Ahhh, ya ampun ! Dan sepertinya ada sosok tinggi berdiri tidak jauh di depanku. Ah, sepertinya aku sial hari ini.
End Hinata's POV
Hinata tengah mengaduh kesakitan setelah sukses kakinya menabrak sofa di ruang tengah. Sementara tepat di depannya sang nii-san berdiri melihat adik pertamanya meringis seraya memegangi kaki kanannya.
"Kamu kenapa dek? Lagi pengen nyium sofa?" tanyanya dengan nada mengejek. Satu alisnya tertarik ke atas dan seringai jahil muncul di wajahnya. Hinata hanya bisa merengut menahan kesal sembari mengelus ngelus kakinya.
"Ye, bisanya ngeledek! Bantuin kek, adeknya lagi begini juga." Protesnya pada Neji. Yah, Kakak-adek ini kayaknya sebentar lagi perang Konoha deh.
"Bayar gak ? Kalo gak ya udah...bye, bye.." jawab Neji santai. Ia baru saja bersiap melenggang pergi di saat sebuah sandal meluncur ke arahnya dan tepat mengenai jidat lebar yang dia banggakan (?). Sungguh ia berusaha menahan marah pada orang yang telah melemparnya alas kaki itu dengan sengaja. Ia menoleh ke arah adiknya yang sekarang masih mengelus-ngelus kakinya tanpa mau menatap sosok laki-laki di depannya.
"Kamu maunya apa sih, dek? Grrr!" tanya Neji dengan tidak sabaran, empat siku telah bertengger manis di pelipisnya. Hinata kembali memonyongkan bibirnya maju tak gentar (?)
"Lagian, Nii-san gak mau bantuin ! Pelit ! Padahal aku kan lagi kesakitan begini... nanti aku bilangin Papi supaya uang jajan Nii-san dikurangin !" ujarnya atau err, ancamnya dengan baik (?) hingga membuat Neji mengalah pada kelakuan manja adiknya ini.
"Iya, iya. Nii-san minta maaf deh... Abis kamu kayak orang linglung gitu waktu dateng, kan asik kalo kamu kesakitan gitu, hehehe..." ujar Neji sambil tertawa garing. Yang melihat hanya bisa mengerucutkan bibirnya sekali lagi. Neji kemudian membantu adik kesayangannya ini berdiri. Ia langsung menggendong adiknya ke punggungnya. Tidak mungkin ia akan membiarkan adiknya seperti ini karena sebesar apapun adiknya membencinya ia selalu menyayanginya dengan caranya sendiri. Sang adik menurut dan kembali menyengir lebar. Hinata mengalungkan tangannya pada leher Neji dengan manja. Hal itu, sempat membuat Neji tersenyum.
"Kamu lagi galau ya dek ?" tanya Neji tiba-tiba hingga membuat gadis indigo di punggungnya kebingungan menjawab. Ia galau gak ya? Menurut dia sih biasa aja, suram pun gak cocok.
Dengan asal Hinata menjawab "Dilema, nii..."
Sementara Neji yang mendengarnya hanya bisa menampakan raut wajah 'hah?' dengan bingung.
-o0o-
Setelah sampai di kamar Hinata yang tenang dan gelap, Neji segera mendudukkan adiknya di tepi ranjang. Ia pun segera menyalakan saklar lampu tengah yang cukup menerangi kamar itu sampai ke ujung.
Kamar itu cukup luas untuk seorang cewek seperti Hinata, namun warna hijau soft yang menutupi dindingnya selalu membuat Hinata nyaman. Ranjang yang berukuran tak terlalu besar itu dipenuhi dengan boneka teddy bear pemberian sang ayah yang selalu memberinya oleh-oleh dari luar negeri. Padahal ayahnya tahu ia tak menyukai boneka. Kecuali boneka yang ia anggap istimewa. Boneka teddy bear pemberian mendiang ibunya. Boneka itu selalu bertengger manis di dekar bantalnya. Hanya dengan memeluknya, Hinata merasa berada di dekat ibunya. Oleh karena itu, walaupun boneka itu telah usang dimakan usia, Hinata tidak pernah mau membuangnya.
Setelah mengoleskan balsam pada jempol kaki Hinata yang bengkak, Neji segera berdiri sambil menaruh tas sang adik ke meja belajarnya yang tidak jauh dari ranjang.
"Kalo udah selesai ganti baju, kamu langsung ke bawah. Nii-san udah masakin spagetti kesukaan kamu," Ujar Neji yang disambut dengan cengiran lebar sang adik. Neji hanya bisa sweatdrop dengan suara krik krik yang mengiringinya. Kemudia dia melanjutkan ucapannya, " Terus nanti Papi pulang cepet, kita makan malem bareng malem ini."
"He? Tumben Papi pulang cepet? Kesambet ya nii?" balas Hinata heran. Neji menajamkan matanya sebentar, membuat Hinata ketakutan. Ia lupa kalo ia salah bicara.
"Hush! Kamu ni, kalo ngomong gak pake mikir dulu. Ada yang mau diomongin sama papi ke kita." Jawab Neji agak dengan nada sakartis. Hinata yang mendengar kembali berngambek ria. Ia hanya bisa ber-ooh dengan kerucut di bibirnya.
"Maaf deh.."
"Ya udah, cepetan mandi terus ganti baju. Nii-san tunggu di bawah."
"Heeh." Jawaban Hinata mengakhiri percakapan kakak beradik ini. Neji pun pergi meninggalkan Hinata yang baru saja akan ganti baju. 'Apa yang papi mau omongin ya ? Kok firasat gue gak enak ya ?' tanyanya dalam hati. Ia sungguh berharap bahwa tidak akan ada lagi kesialan yang menimpanya.
-o0o-
Hinata kini sedang berjalan santai menuruni tangga menuju ruang makan. Ia telah berganti baju dengan atasan kaos yang terlihat longgar dipadu dengan celana jeans ketat selutut. Rambutnya masih basah setelah dikeramas. Ia memutuskan untuk menggerainya dulu, membiarkan angin yang mengeringkannya. Tapi anehnya, setelah mandi matanya tetap bengkak, dan kini agak berair. Hinata cukup menyesal telah menangis berlebihan begini.
Saat ia sampai di ruang makan, makanan telah siap dan...satu makhluk telah duduk manis di sana. Gadis berkuncir pendek dengan poni dijepit tengah itu tidak lain dan tidak bukan adalah adik Hinata sendiri, Hanabi. Sepertinya ia sangat senang dengan hidangan makan malam kali ini, spagetti dan daging asam manis kesukaannya. Neji memang pandai memasak, sama seperti Hinata. Namun waktunya yang terbatas –sekolah dan pekerjaan- membuatnya hampir tidak bisa meluangkan waktunya untuk masak. Ia dan Hinata tidak pernah mau menggunakan banyak pelayan seperti keluarga kaya lainnya. Mereka tidak pernah mau bergantung pada orang lain lebih banyak. Sungguh ciri khas Hyuuga yang aneh dan hebat. Hinata merenung sekali lagi pada pemandangan di depannya. Hinata juga baru sadar jika nii-san nya ini punya waktu untuk hari ini. Entah kenapa, semua terjadi hari ini agak aneh.
"Nee-chan ngapain bengong di situ ? Ngeliatin aku ya ? Aku emang cantik, jadi gak usah diliatin sebegitunya dong.." kata Hanabi dengan narsisnya, membuat Hinata tersadar dari lamunannya. Ia lupa sama sekali jika masih berdiri di dekat ruang makan.
"Wew, GR sekali anda hari ini nona muda. Baru diliatin sama saya, gimana diliatin pakde brunomars lo, dek ?" sindir Hinata yang malah membuat nona kecil di depannya semakin melebarkan cengirannya.
"Yah, dia mah mantanku, jadi aku udah biasa diliatin dia." Jawab Hanabi ngarang. Sedangkan Hinata yang merasa sewot ber- 'huek' ria setelah mendengar jawaban adik tomboynya yang tiba-tiba berubah jadi narsis. Mungkin Virus itu ditebarkan oleh sang author yang akhir-akhir ini bernarsis ria di depan kamera temen. Neji yang mendengar percakapan itu dari dapur hanya bisa tertawa kecil.
Tak lama, sang ayah pulang dengan wajah cukup serius tapi santai alias sersan. Beda dari biasanya, yang selalu merengek pada Hinata ketika anak perempuan normalnya terlihat di depan mata. Hinata benar-benar merasa hari ini sangat aneh.
"Pi, udah pulang ? Sini aku bantuin," ujar Hinata ramah, setelah merasa atmosfer di sekelilingnya berubah ketika ayahnya bersikap seperti itu. Ia mendekat pada Hiashi untuk mengambil tas kerjanya. Hiashi hanya tersenyum simpul dan menggelengkan kepalanya, "Papi ganti baju dulu ya ? Kalian tunggu aja dulu di meja." Ucap Hiashi sambil melenggang menuju kamarnya. Yang ditinggal hanya bisa ber-bengong ria.
Setelah lama menunggu, muncullah Hiashi dengan mengenakan pakaian santainya di rumah. Tak perlu waktu lama, ia segera duduk bergabung dengan anak-anaknya.
Pertama di berdeham, kemudian dia diam. Seperti ingin bicara, namun sulit untuk keluar. Hal itu malah membuat Hinata makin penasaran.
"Papi..."
"Ayo mulai. Itadakimasu." Ucap Hiashi memotong. Kemudian, ucapannya itu diikuti oleh ketiga anaknya. Mereka pun makan malam dengan tenang. Namun, Hinata tak berselera lagi karena rasa penasaran memenuhi kepalanya. Dengan terpaksa ia mengambil sedikit spagetti yang sebelumnya ia inginkan. Makan malam itu pun berakhir dengan tenang. Hanya Hinata yang sepertinya tak tenang.
"Erhm," Hinata pun segera tersadar dari pikirannya setelah mendengar ayahnya berdeham. "Sebenarnya ada yang ingin Papi bicarakan sama kalian, terutama kamu...Hinata," ucap Ayahnya tenang. Hinata cukup terkejut dengan ucapan Ayahnya pada kalimat terakhir. Sampai-sampai ia harus menelan ludah untuk mencerna perkataaan sang ayah agarnya otaknya bekerja dengan semestinya.
"Hinata ?"
"Y-ya, Pi?"
"Kau akan dijodohkan dengan anak keluarga Uchiha," ucap ayahnya pelan tapi pasti. Seakan dihantar listrik 1000 watt #aduhauthorlebeh#, Hinata terkejut bukan kepalang, bukan karena rasa tegang tadi, tapi karena kalimat yang diucapkan ayahnya barusan. Neji bersikap tenang, ia telah diberitahu oleh ayahnya kemarin sore. Sulit untuk mengatakannya, maka dari itu, ia ingin ayahnya yang mengatakannya. Sedangkan Hanabi, benar-benar terkejut dengan keputusan ayahnya yang aneh dan tiba-tiba itu. Ia hampir terbatuk mendengarnya.
"A-apa?" Jujur Hinata berharap pendengarannya salah atau otaknya yang akhir-akhir ini sedang korslet. Hiashi paham akan kesulitan anaknya untuk menerima, maka sekali lagi ia berusaha mengucapkan kalimat petaka tadi.
"Kau dijodohkan dengan anak keluarga Uchiha." ucap Hiashi berusaha meyakinkan Hinata untuk percaya. Ya ampun, Hinata benar-benar seperti ditelan bumi. Ia tak bisa bersuara, tak juga bisa bergerak. Dia benar-benar tak bereaksi.
"Pertunanganmu akan dilaksanakan dua minggu lagi," ucap ayahnya tanpa memperdulikan keadaan Hinata yang tengah shock saat ini. "Besok kau akan-"
"T-tidak ! Pokoknya aku gak akan mau ! Aku gak mau !" Hinata berlari setelah memotong ucapan ayahnya tadi. Ia segera menuju ke kamarnya dan mengunci pintunya dengan cepat. Tubuhnya bersandar pada pintu dengan napas tersengal-sengal. Perlahan tubuhnya turun dan tetap bersandar di sana. Air mata telah mengalir sejak tadi. Ia belum benar-benar bisa mencerna semua ucapan ayahnya. Oh Kami-sama katakan itu bohong ! aku gak mau ada laki-laki dalam hidupku ! teriaknya dalam hati. Ia tak mau. Sudah cukup untuk merasakan sakit. Sulit untuknya untuk mendengar pernyataan menyakitkan. Ia benar-benar merasa hari ini begitu sial. Ia sudah dua kali menangis karena sebuah perasaan menyebalkan ini. Ia tak mau berurusan dengan laki-laki lagi. Sejak setahun yang lalu, ia memutuskan untuk tidak mengenal laki-laki lain, ataupun menikah. Dengan keyakinan itulah ia bisa bertahan hingga sekarang. Dan janjinya runtuh seketika setelah, ah ! Sumpah ia tak ingin mendengarnya lagi ! Ia tak akan sanggup jika dipaksa seperti ini.
Malam itu, sang gadis indigo menangis hingga tertidur. Air matanya mengering dan membekas di wajah cantiknya. Sang rembulan yang menerangi malam hanya bisa terpekur menunggu sang gadis bergerak dari tempatnya, memandangnya lagi seperti malam-malam sebelumnya.
