Terlihat seorang yeoja memegang sebuah novel dan duduk sendiri di bawah pohon belakang sekolah. Inilah kebiasaan yeoja tersebut saat istirahat sekolah. Ia lebih memilih mengasingkan diri seperti itu daripada bergosip ria dengan teman sekelasnya. Hingga temannya menyebut dirinya, Introvert.
. . .
Introvert Luhan
. . .
Lonceng tanda pulang sekolah berbunyi. Semua siswa berlomba untuk pulang. Namun, di ujung kelas terlihat yeoja bertubuh mungil dengan santai merapihkan tempat duduknya. Tanpa memperdulikan temannya yang sudah lebih dulu meninggalkan kelas.
Sesampainya di rumah, Luhan segera masuk kamar. Hanya ada Luhan di rumah sederhana ini. Ibu Luhan sudah meninggal 5 tahun lalu, dan saat itu pula ayah Luhan pergi dari rumah. Sampai saat ini, Luhan tidak tahu bagaimana keadaan dan dimana keberadaan sang ayah.
Usai membersihkan diri, Luhan ke dapur untuk memasak ramyun. Inilah makanan Luhan setiap harinya. Ia terlalu malas untuk memasak nasi. Toh, hanya dia sendiri yang akan memakannya. Setelah matang, dengan cepat ia makan. Karena sebentar lagi ia akan pergi ke perpustakaan untuk bekerja.
Berbeda dengan teman yang lain, Luhan sedikit lamban dalam pelajaran. Ia sudah berulang kali memanfaatkan waktu luang untuk belajar di perpustakaan, tapi tidak berhasil. Luhan baru akan paham, jika ada seseorang yang menjelaskan dengan sabar padanya.
"Aarrrrgghhhh!"
Semua buku yang ada di rak depan Luhan terjatuh dan menimpa kepalanya. Beginilah Luhan jika sudah blank. Ia sering memikirkan hal yang bahkan ia sendiri tidak tahu. Terlihat atasan Luhan yang berjalan kearahnya.
"Apa yang kau lakukan? Sudah berulang kau seperti ini. Kau ingin dipecat? Cepat rapihkan dan setelah itu bereskan gudang," bisik Nam sajangnim padanya.
"Jeoseonghamnida," kata Luhan dengan membungkuk di depan atasannya.
. . .
Pagi ini, Luhan berangkat sekolah dengan jalan kaki. Hanya untuk naik bus saja Luhan tidak memiliki uang. Mau tak mau ia harus berangkat dan pulang sekolah jalan kaki. Terlambat merupakan kebiasaan Luhan, hingga satpam dan guru konseling sudah hafal dengan sikapnya.
Suatu keberkahan pagi ini Luha tidak terlambat sekolah. Oh tidak, mungkin ia tidak terlambat, namun wali kelas Luhan memanggilnya ketika sampai di depan kelas.
"Ikut aku ke ruang kepala sekolah."
Mendengar perkataan wali kelasnya, Luhan menunduk dan berjalan mengekor. Sudah sangat sering Luhan mendengar cemoohan yang dilontarkan oleh temannya. Ia pun hanya memasukkan perkataan itu di telinga kanan dan dikeluarkan di telinga kiri.
Setelah sampai, Luhan dipersilahkan duduk oleh kepala sekolah. Luhan tau, sangat tau bahkan apa permasalahannya hingga ia harus menghadap kepala sekolah.
"Kapan kau sanggup membayar sekolahmu?"
Luhan sudah menduga, jika ini yang jadi masalahnya. "Maaf, saya belum memiliki cukup uang untuk membayar sekolah."
"Uang sekolahmu menunggak hingga 6 bulan. Terpaksa saya harus mengeluarkanmu dari sekolah. Maafkan saya, bukannya saya kejam, namun itulah peraturannya," kata kepala sekolah.
"Iya pak, tak apa. Memang saya yang tidak sanggup membayar biaya sekolah. Maafkan saya, permisi," kata Luhan.
Tatapan tidak suka dan berbagai cemoohan kembali terdengar ketika Luhan keluar dari ruang kepala sekolah. Ia menghiraukan begitu saja perkataan kasar yang diucapkan. Luhan membereskan barangnya yang ada di loker.
Plukkk
Sebutir telur yang dilempar oleh siswa lain sukses pecah di kepala Luhan. Telur-telur yang lain pun juga dilemparkan di badan Luhan. Tak hanya itu, mereka juga melempar tepung, kopi, air cucian piring dan ikan pada Luhan. Namun ia hanya diam menerima itu semua. Setelah semua barang dibereskan, Luhan keluar dari gedung sekolah dengan keadaan yang mengenaskan.
Luhan duduk di halte. Tampak orang lain memperhatikannya. Namun, ia tak peduli. Luhan menunduk dan meneteskan air mata tanpa isakan. Bagaimana bisa ia menjalani kehidupannya yang seperti ini.
"Gwaenchana?"
. . .
TBC?
. . .
A/N: Annyeong! Entah kenapa ide ini keluar begitu saja dari otakku. Menarik gak? Sepertinya ini aku buat gak sampe 5 chap. RnR!
170619
