Gadis itu menahan seorang pemuda yang terbaring di sebuah ranjang putih sebelum pemuda itu benar-benar memasuki ruangan operasi—ruang dari akhir hidupnya, apakah hidup atau mati. Ranjang dorong itu berhenti. Gadis itu mengeluarkan isakan tangisnya saat pemuda yang dicintainya harus menggantungkan hidupnya yang hanya dua puluh persen ke dalam operasi ini.
"Kita pasti akan selalu bersama, selamanya. Kau percaya hal itu bukan, Momo?" ucap pemuda itu. Dia mengerti, dia tahu betul apa yang berada di pikiran gadis bermata hazel yang berdiri di sampingnya dan menatapnya dalam-dalam.
Tangisan gadis mungil itu mulai menghilang perlahan. Dia mendongakkan kepalanya dan menatap mata emerald indah yang berada di hadapannya, mata yang selalu membuatnya tersihir tanpa mampu untuk melepaskannya kembali.
"Berjanjilah jangan pernah meninggalkan aku. Janji?" ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya.
Pemuda itu ingin sekali tertawa—namun berusaha untuk ditahannya. Dia mengangkat tangannya dan mengeratkan jari kelingkingnya dengan gadis mungil tersebut. Dengan penuh ketegasan dan kepastian, ia menjawab kata-kata gadis itu. "Selama ada kamu di sampingku, aku tidak akan pernah melanggar janji ini. Aku berjanji demi kamu, Momo!"
.
.
.
.
.
Bleach © Tite Kubo
.
.
Partner for Life
.
.
Promise
.
.
.
.
Suasana senja menghiasi kota Karakura secara konstan. Setiap tempat mulai mendapati warna jingga itu terekspos mendominasi langit yang semula berwarna biru cerah. Warna jingga itu terang, namun mendamaikan. Langit itu menemani perjalanan pulang mereka menuju rumah—atau bahkan keluarga yang menanti kehadiran mereka walau hanya demi sekedar makan malam bersama. Tapi, seorang gadis berambut coklat masih tetap duduk di kursi taman tersebut, walau banyak orang yang mulai meninggalkan tempat itu—dan meninggalkannya sendirian.
Gadis itu melamun sembari menatap setangkai bunga yang berada dalam genggamannya saat ini. Bunga itu tidak segar, justru sudah mulai layu. Tapi, gadis itu tidak peduli. Ia terus mengamati bunga itu tanpa henti sampai dia merasa bahwa bahunya baru saja dipukul lembut seseorang. Gadis itu menolehkan kepalanya dan mendapati sesosok pria berambut orange yang sedang berdiri di belakang tempatnya duduk.
"Kenapa melamun?" sapanya lembut.
Gadis itu tersenyum. "Hanya berpikir," sahutnya.
Pemuda itu diam—mungkin ia mengerti apa yang dipikirkan gadis di hadapannya. Ia lebih memilih duduk di samping gadis tersebut, namun agak sedikit berjarak. Suasana diam menyelimuti atmosfer mereka, tapi tak seorangpun yang berniat membuka percakapan. Mereka terlalu sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, dan terlalu segan untuk mengganggu pikiran orang yang berada di sebelah mereka.
Gadis itu menghembuskan nafasnya yang berat. Ditatapnya sekali lagi bunga yang berada di genggaman tangannya itu, kemudian ia memutar kepalanya ke tempat pemuda berambut orange itu duduk. Pemuda itu menolehkan kepalanya setelah gadis itu memandangnya, dan dia tersenyum.
"Itu tulip?" tanyanya sambil menunjuk bunga yang sedang berada dalam genggaman gadis itu.
Gadis itu hanya mengangguk—tidak membuka mulutnya walau hanya untuk berbicara satu patah katapun.
"Untuknya?" tanyanya lagi.
Dan, seperti semula. Sang gadis hanya menjawabnya dengan anggukan kepala.
Hening. Suasana itu kembali mendominasi percakapan mereka, namun tatapan mata mereka tidak lepas antara satu sama lain. Gadis itu merubah posisi duduknya agak miring ke arah pemuda tersebut. "Apa tidak apa-apa, Ichigo?"
"Apanya?"
"Menjenguknya sekarang?" sahut gadis itu.
Pemuda itu mengerutkan keningnya. "Tentu saja tidak apa-apa! Dia sudah terlalu lama menunggumu, Hinamori."
Gadis itu menggeleng. "Tapi, aku takut!"
"Aku percaya kalau kau pasti bisa melakukannya!" jawab pemuda itu sambil menyunggingkan senyumnya di akhir ucapannya.
Gadis itu kembali terdiam. Ia menatap bunga tersebut lekat-lekat. Masih cantik, walaupun mulai layu. Gadis itu mengangkat tangannya yang sedang menggenggam bunga dan memperhatikan bunga tersebut yang sedikit bergerak dihembus angin.
"Bungamu sudah layu," ucap pemuda itu.
Gadis itu kembali memutar kepalanya dan menatap Ichigo. "Ya, aku tahu!"
Ichigo berdiri dari tempatnya dan berjalan menjauhi Hinamori. Gadis itu hanya menatap kepergian Ichigo dengan tanda tanya besar di kepalanya. Namun beberapa saat setelah itu, ia melihat Ichigo kembali datang dengan seikat bunga tulip di tangannya.
"Ini untukmu," ucap Ichigo sambil mengulurkan bunga tersebut tepat di depan wajah Hinamori.
"Untukku?" tanyanya kebingungan.
Pemuda itu menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal. "Bunga itu untukmu, untuk kau berikan kepada Toshiro. Bungamu sudah layu, tidak mungkin kau akan memberinya bunga yang sudah layu, bukan!"
Gadis itu mengembangkan senyumnya. Ia mengulurkan tangannya dan menerima seikat bunga yang Ichigo berikan untuknya, agar ia bisa memberikannya untuk Toshiro. Gadis itu kembali terhanyut. Perih sekali rasanya saat mengingat bahwa pemuda itu masih belum membuka matanya sampai saat ini, tapi Hinamori mengerti, Toshiro sedang berjuang, berjuang untuk menepati janji yang telah mereka ukir bersama.
"Ayo, Ichigo!" ajak gadis itu.
.
.
.
.
.
Hinamori membuka pintu ruangan tersebut. Cat putih mendominasi seluruh ruangan itu, bahkan lantai dan kasurnya pun memiliki warna yang serupa. Mata hazel coklatnya yang indah menjelajahi ruangan tersebut dan berhenti di satu titik, tempat dimana Toshiro terbaring selama ini. Selang-selang infus dan tabung oksigen masih dengan setia melekat di tubuhnya.
Hinamori memberanikan dirinya melangkah memasuki ruangan tersebut. Tubuhnya bergetar. Entah sudah berapa lama dia benar-benar meninggalkan ruangan ini, meninggalkan Toshiro berbaring sendirian di tempat ini. Padahal dia yang meminta Toshiro berjanji untuk terus hidup, tapi malah dirinya yang menyerah dan membiarkan Toshiro berjuang sendirian sampai terakhir Toshiro koma seperti saat ini.
Gadis itu duduk di sebuah kursi yang tersedia dan menatap Toshiro yang masih menutup matanya. Ditelusurinya wajah pemuda itu dengan tangannya. Hinamori rindu. Ya, dia merindukan wajah ini tersenyum lembut untuknya, tertawa bersamanya, memeluk dan mendekapnya dengan hangat, menemaninya sampai batas waktu benar-benar memanggilnya.
"Toshiro, ini aku!" ucapnya dengan suara bergetar menahan tangis. "Aku tidak tahu apa kau mau memaafkanku setelah sekian lama aku tidak pernah datang untuk menjengukmu di sini. Aku takut! Takut kau tidak menepati janjimu lalu pergi meninggalkanku," sambung gadis itu.
Airmata mulai turun membasahi kedua belah pipinya yang putih. Gadis itu menangis. Hinamori menangis setelah sekian lama ia menahan tangisnya.
"Tapi, sekarang aku sadar kalau kamu masih tetap berada di sini untuk memenuhi janjimu padaku waktu itu. Janji sebelum kau masuk ke ruangan operasi itu. Apa kau masih mengingatnya, Toshiro?"
Hinamori mengelus pelan pipi pemuda itu. "Aku selalu lari dari kenyataan. Tapi, sampai kapanpun aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri!"
Gadis itu mengubah posisi duduknya sambil menghapus airmatanya—serta tangannya yang masih tetap memegang erat seikat tulip yang akan ia berikan untuk Toshiro. Dia menggigit bibir bawahnya, bingung apa kata pertama yang baik untuk dikatakannya.
"Aku tidak tahu apa kau mendengarku atau tidak," ucap gadis itu akhirnya. "Tapi aku harap kau bisa mendengarku. Aku membawakan ini untukmu, Toshiro!" gadis itu meletakkan bunga tersebut di atas tubuh Toshiro.
"Mungkin kau bingung kenapa aku memberikanmu bunga tulip. Tapi, apa kau tahu arti bunga ini?" tanya gadis itu. "Bunga ini melambangkan perasaanku terhadapmu!"
Hinamori menghirup nafasnya dalam-dalam sebelum ia mengatakan inti dari kalimatnya. "Aku mencintaimu, Toshiro. Aku tidak akan mengulangi kebodohan yang dulu pernah kulakukan. Aku akan di sini terus, berjuang membantumu, selamanya, karena aku sangat mencintaimu!" ucap gadis itu sambil menggenggam erat tangan pucat Toshiro.
Hinamori kembali menatap wajah Toshiro lekat-lekat. "Dan bunga ini sebagai bukti kata-kataku, bahwa aku memang benar-benar mencintaimu—selamanya!"
Bersamaan selesainya ucapan Hinamori, gadis itu merasakan tangan Toshiro yang berada dalam genggamannya mulai bergerak secara perlahan. Gadis itu tertegun. Dan dia lebih terkejut lagi saat pemuda di hadapannya itu mulai membuka kedua matanya dan memanggil namanya dengan suara lirih.
"Toshiro, kamu... kamu sudah bangun?" tanya Hinamori tidak percaya.
Pemuda itu tersenyum. "Tentu saja. Aku kan sudah berjanji padamu untuk tidak meninggalkanmu sendirian," jawabnya setelah jeda beberapa menit.
Hinamori menitikkan airmatanya. "Terima kasih, Toshiro!"
"Sudah, tidak apa-apa. Jangan menangis, ya!" ucap pemuda itu sambil berusaha menghapus airmata yang mengalir di pipi gadis itu. "Aku tidak suka melihat gadis yang kucintai menangis seperti ini."
Hinamori mengangkat kepalanya. Dia tersenyum mendengar ucapan Toshiro. "Aku—aku juga mencintaimu, Toshiro!"
"Aku tahu itu," jawabnya.
Tanpa mereka tahu, Ichigo memperhatikan semua kejadian yang mereka lakukan di dalam. Pemuda itu tersenyum.
"Dia benar-benar mencintaimu dengan tulus, Toshiro. Apa nantinya aku juga bisa mendapatkan cinta yang seperti itu?" tanya Ichigo pada dirinya sendiri.
~The End~
Hai, minna-san~
Yurisa datang lagi bawa fict abal, hehehe…
Kali ini Yurisa bikin multichapter yang di tiap chapter, isi ceritanya itu beda-beda dengan tokohnya yang juga beda-beda. Gapapa kan?
Yah, Yurisa harap, kalian suka…
Last, Mind to Review, guys?
