Disclaimer : Yana Toboso

Pair : Ciel Phantomhive – Sebastian Michaelis

Rating : T

Warnings : Shounen Ai, Shouta, AU, OOC, typo(s) – maybe


Seorang remaja dengan helaian dark navy-blue tengah melangkah perlahan menyusuri tepian South Road, sebuah jalan kecil yang mengitari satu blok persil kavling di kota tempat tinggalnya. Remaja lelaki itu tampak sesekali mengusap-usap kedua telapak tangan — berusaha untuk mendapatkan sensasi hangat — begitu menyadari suhu di sekitarnya bertambah turun. Ia hanya bisa merutuk dalam hati, mengingat dirinya belum sempat menjahit kembali beberapa robekan kecil di lengan dan topi pada jaket usangnya yang sudah tipis.

'Ck. Bocah sialan. Lihat ulahmu, menjijikkan! Berapa kali kubilang — kalau kau benar-benar mendengarkan — jangan pernah makanan, sekalipun sisa! Kau tidak pantas untuk memakan makanan mewah seperti itu! Lebih baik kau melanjutkan tugasmu, bersihkan seluruh dapur kotor ini, lalu pulanglah! Lebih baik kau mengais makanan diluar, dan jangan sampai aku mendapatimu memungut sisa-sisa dari hidangan ini!'

Lelaki kecil bertubuh kurus itu menghentikan langkah, mengusap perutnya yang terasa begitu perih. Tak heran, sehari ini ia belum mendapatkan makan. Niatnya untuk mengambil sisa-sisa hidangan dari restoran tempatnya bekerja gagal sudah. Dan, hei... itu sampah. Daripada anak itu melihat hidangan — yang pastinya masih layak dimakan sekalipun sisa itu — terbuang begitu saja di tempat pembuangan, lebih baik kalau dia manfaatkan, bukan? Lagipula ia sama sekali tidak mencuri, atau semacamnya – mengingat beberapa temannya justru sering menyelipkan beberapa sisa bahan makanan yang nyaris utuh pada saku jaketnya, memberinya kesempatan agar ia dapat makan. Namun apa boleh buat, hidup terkadan memang tidak adil.

'Kau harus bertahan hidup, dear. Kau tahu, aku sangat menyayangimu lebih dari apapun – bahkan lebih dari diriku sendiri. Kau... harus terus hidup... untukku, untuk dirimu sendiri. Karena aku yakin – sangat yakin – suatu saat kau akan menemukan kebahagiaanmu. Pasti...'

Sembari merapatkan jaket usang miliknya, ia kembali melangkah, namun kali ini kembali terhenti pada deretan rumah-rumah kecil yang berderet di sepanjang jalan. Dipandangnya sekeliling – lampu hangat yang menyala dibalik pintu rumah yang tertutup, suara tawa riang anak-anak bersama orangtuanya, alunan musik klasik yang menenangkan – dan dalam sekejap, wajah yang selalu terlihat datar kini berubah sendu.

'Bibi... '

Remaja itu mempercepat langkah, mencari tikungan kecil yang berujung buntu, sebelum akhirnya bersandar pada tembok nan dingin. Dijatuhkannya tubuh mungilnya itu tanpa ragu sedikitpun, terduduk begitu saja diatas gumpalan salju. Sedikit menggigil, ia meraih sebuah benda yang tersimpan dibalik jaket tipis dan sweater yang ia gunakan. Benda yang selama ini selalu menemaninya bertahun-tahun. Benda yang – entahlah – tapi sepertinya itu menjadi satu-satunya jejak peninggalan kedua orangtuanya. Disematkannya benda yang sudah tidak utuh tadi pada seutas tali dan di pasangnya menjadi seuntai kalung sederhana.

Tubuh rapuh itu semakin bertambah menggigil sampai ia memutuskan untuk melipat kaki menuju dadanya dan menyembunyikan wajahnya dibalik kedua lutut. Samar, ia menajamkan telinga, mendengar setiap nada demi nada yang melantun lembut, seolah mengajaknya untuk turut hanyut dalam lullaby penghantar tidur. Berusaha mengabaikan perih di perut dan dinginnya suhu, remaja berparas elok itu menutup kedua matanya perlahan,

'berharap semuanya dapat cepat berlalu...'

.

"The things I yearned for. The things I treasured. The me who lost everything."

.

.

.

Faicentt, proudly present

WINTER OF LOVE

West Bridgford 1840

Serpihan salju tipis menuruni salah satu sudut selatan kota Nottingham. Tidak ada yang terlihat spesial di pagi bersalju ini. Tentu saja, dengan minimnya populasi yang tidak lebih dari lima ratus kepala keluarga, kota ini terlihat begitu redup. Dan pula, ini sabtu, saatnya untuk memanjakan diri dengan beristirahat di rumah. Well, setidaknya itu yang dipikirkan sebagian besar orang saat ini.

Bahkan di tepi jalan South Road pun hanya terlihat beberapa orang yang melintas dengan tergesa-gesa — sembari merapatkan overcoat mereka —dengan harapan dapat segera menghangatkan diri diruangan yang nyaman. Bahkan kereta kuda yang biasanya melewati jalan South Road pun dapat dihitung dalam beberapa jam. Oh, ayolah, dinginnya musim salju yang sampai pada titik -6 derajat celcius tentu bukan suhu yang ideal untuk menghabiskan waktu diluar rumah, bukan?

Begitu pula dengan pemilik rumah kecil yang sangat sederhana di sudut salah satu blok persil, ia tampakmasih pulas menikmati tidurnya. Baru saja sosok kecil itu hampir terbangun akibat dinginnya udara yang menembus selimut tuanya dan membekukan buku-buku kakinya, sampai

PRAANNG !

— "Aaah!" Terdengar seruan pendek dari arah dapur yang tidak jauh dari kamarnya. Membuat pemilik wajah manis yang setengah terlelap itu tersentak kaget.

"Oh, Ciel!" Sesosok pemuda dengan helaian strawberry blond-hair miliknya menyembul dibalik pintu. "Syukurlah kau sudah bangun. Bard! Maylene! Ciel sudah sadar!" Setelah berteriak pada temannya — yang diduga melakukan kekacauan barusan — pemuda tadi dengan wajah riang menghampiri Ciel yang tengah terduduk – sepertinya masih setengah sadar – dengan wajah pucat seputih kertas.

"Fi..nny?" Remaja mungil itu mengernyitkan dahi, bingung. "Apa yang kalian lakukan disini? Dan ini " . Ia memandang sekeliling ruang, tampak terlihat kurang yakin, " kamar...ku?"

"Kami? Disini? Ck. Apa kau tidak tahu etika sopan santun, bocah?" Seorang pria dengan tubuh tegap memasuki kamar. Dibibirnya tampak diselipkan sebatang rokok yang sepertinya memang tidak berniat ia nyalakan.

"B-bard!" kali ini gadis dengan helaian maroon-nya memasuki kamar tergopoh-gopoh. "Ah! Maaf Ciel, kami tadi..." Ia memain-mainkan kedua telunjuknya, sedikit gugup. "Kami tadi... tidak sengaja mengotori dapurmu..." akunya lirih.

Ciel mendengus kecil, membuang pandangan kearah jendela yang tertutup butiran salju. Sudah biasa, pikirnya. Kembali ditatapnya ketiga orang yang berdiri tidak jauh darinya, "Yang aku mau tahu, mengapa kalian bisa disini? Dan bukankah kemarin... aku —"

"— pingsan?" Ciel terhenyak. Dipandangnya Bard dengan tatapan datar, namun sarat akan tanda tanya. Bard menghela nafas pendek. "Well, memang kemarin saat pulang kami mencarimu. Dan dia..." tunjuknya pada Finny, "...dia yang menemukanmu pingsan dalam keadaan terduduk di salah satu sudut gang. Beruntung kau tidak terserang hipotermia, bodoh."

"Hipo...termia?" Sepasang mata indah Ciel menatap kebawah. Begitukah, mengapa aku tidak mati saja?

"Jangan bilang pada kami kalau kau mau bunuh diri." Ucap Bard tiba-tiba. Sontak kedua orang disana – termasuk Ciel – tersentak kaget. "Hanya orang bodoh yang membiarkan dirinya membeku diluar, bukan? Hah, tidak kusangka, hanya karena kau tidak diperbolehkan mengambil sisa, lantas kau mau mengakhiri hidupmu."

Tangan kecil nan rapuh dibalik selimut itu mengepal. Wajah minim ekspresinya selintas terlihat menahan... marah, mungkin? "Aku..."

"Su-sudahlah..." Maylene melerai. Bagaimanapun juga mereka sudah saling mengenal sejak lama, tidak enak kan, kalau ribut hanya karena hal seperti ini?

"Maylene benar." Sambung Finnian. "Ah, Ciel! Aku dan Maylene membuatkanmu makanan. Menu hari ini... fish and chips." Pemuda itu mengambil nampan yang sedari tadi dipegang oleh Maylene dan tersenyum lebar, "Makan ya, kau pasti lapar. Maaf, tapi kami hanya bisa membuatkan seadanya."

"Dan sedikit menghancurkan dapurmu." Tambah Maylene dengan suara lirih.

Ciel melebarkan kedua matanya. Mereka...

'Kau tidak sendirian Ciel.. Tidak pernah benar-benar sendirian...'

"M-maaf..." Ciel menundukkan kepala, menyembunyikan semburat kemerahan yang menghiasi paras manisnya. Mereka bertiga... Teman-temannya yang sungguh baik. "Maaf selalu merepotkan kalian. Terimakasih."

Baik Bard, Finnian maupun Maylene saling pandang sejenak, sebelum akhirnya tersenyum dan menghampiri sosok yang mereka sayangi itu. Untuk pertama kalinya, Ciel benar-benar merasa beruntung memiliki orang yang masih memperhatikannya.

.

Ciel Durless.

Seorang remaja laki-laki yang baru saja menginjak usia 14 tahun ini. Remaja dengan wajah arogan yang seakan menantang tapi begitu manis — well, terlalu cantik untuk ukuran anak laki-laki — dengan sepasang mata cerulean yang indah dengan bias dinginnya. Kulitnya yang pucat seputih salju dan tubuh kurus dengan tinggi tidak lebih dari seratus lima puluh sentimeter, tentu membuat beberapa orang sempat salah sangka dengan gender yang ia miliki.

Namun dibalik fisik yang terlihat rapuh, satu sosok bertubuh mungil itu memiliki pendirian dan watak yang cukup keras. Teman-temannya sempat berpikir, seandainya anak itu berada dari keluarga yang berada, sudah bisa dipastikan bahwa ia akan mengasah otak encer-nya itu dengan baik — bukannya malah menjadi children labour di sebuah restoran sederhana West Bridgford.

Abad Revolusi Industri, dimana pergantian besar-besaran tenaga manusia oleh tenaga uap, rupanya tengah melanda, tak terkecuali kota kecil di Nottingham. Hal itu berdampak buruk bagi masyarakat luas, salah satunya adalah pengeksploitasian anak - anak atas tenaga mereka, dengan gaji yang kecil atau kerap kali disiksa, atau yang sering disebut dengan Children Labour. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak yang hidup miskin atau sebatang kara, dan tidak memiliki pendidikan tinggi. Ciel adalah salah satu dari anak-anak itu, dimana diusia yang tergolong muda, ia harus bekerja keras demi memperoleh sesuap nasi.

Namun sayang, sang manajer restoran, Monsieur Aleister Chamber, seorang warga negara Perancis yang menetap dan bertugas mengawasi restoran milik seorang bangsawan Inggris, berlaku sangat tidak adil pada remaja manis itu. Banyak dari kerja keras Ciel yang dianggapnya buruk, bahkan seringnya sang Monsieur memotong upah yang seharusnya diterima. Walau begitu, sang anak tetap bersikeras untuk bekerja – walau tiga sahabat baiknya menyarankannya untuk tidak, dan berniat membantunya – dengan alasan untuk tetap bertahan hidup.

Bard, atau lebih lengkapnya Baldroy, seorang pria berusia 30 tahun asal Inggris ini melirik bocah kecil yang tengah menikmati sarapan nya dengan tenang. Miris. Sekalipun kata-katanya tadi terdengar kasar, tapi sungguh, ia menyayangi bocah itu. Ia kenal – sangat kenal – dengan almarhumah Angelina Durless, temannya semasa kecil.

Ciel, dulunya hidup bersama sang bibi, Angelina Durless. Entah bagaimana kisah tentang kedua orangtua anak manis itu – Bard kurang mengerti. Yang ia ketahui, bahwa Ciel yang tinggal bersama bibinya, harus mengalami kejadian pahit. Sang bibi, meninggal akibat dibunuh oleh sekawanan perampok. Meninggalkannya sendiri dengan rumah kecil sang bibi.

Belum cukup sampai disitu, ditempatnya bekerjapun, ia masih sering disiksa sesama rekan kerja, bahkan majikannya. Sungguh, Bard tidak habis pikir. Mengapa anak mungil seperti Ciel harus menghadapi kesuraman seperti ini? Membuatnya terkadang ragu, apakah Yang Diatas benar-benar adil pada umatNya.

Sepasang iris blue-grey miliknya masih memandang sang bocah. Dibalik sifat keras kepala dan angkuh nya, Ciel terlihat begitu... polos. Sesekali bibir tipis Bard menyunggingkan senyum melihat usaha kedua temannya – Maylene dan Finnian – tengah menghibur Ciel dengan berbagai cara.

Bard menghela nafas pelan. Well, ini cukup baginya. Asal melihat Ciel dan kedua temannya senang, sudah sangat cukup. Ia berjanji dalam hati, untuk terus menjaga kehangatan yang tercipta diantara mereka – ia, dan sahabat-sahabatnya.

Musim salju tidak harus selalu dingin, bukan?

.

Helaian dark vavy-blue tampak mengintip dari balik dinding partisi dapur. Wajah mungilnya tampak gelisah memperhatikan sekeliling restoran.

"Kau serius, Maylene?" Sepasang mata cerulean indah milik Ciel menatap waspada, "Monsieur Aleister tidak kesini, kan?"

"Tenang saja," Maylene memastikan, "Dia sendiri yang menyuruh Bard untuk membereskan dan mengunci semua pintu malam ini."

Ciel menghela nafas lega. Kepalanya menoleh begitu ada seseorang yang menyentuh pundaknya dan memasukkan beberapa potong lauk yang sudah diplastik kedalam kantong coat miliknya. "Apa in — Bard?" Sepasang alis miliknya terangkat saat berhasil meraih bungkusan plastik di kantongnya.

"Ambillah, untuk makan malam mu."

"Tapi —" Wajah pucat Ciel terlihat ragu. Sungguh, ia bukan pengemis yang mengharapkan sisa makan. Lagipula, tentu ia tidak ingin kena semprot dari atasannya yang kejam itu. Diberi hukuman untuk yang kesekian kalinya? Tidak perlu, terima kasih. Tapi karena sakit yang mengakibatkan ia tidak bekerja selama dua hari ternyata membuat sang boss kesal dan tidak membayarnya untuk hari ini. Pastinya, remaja itu tidak punya penghasilan untuk makan malam nanti. Namun tidak dipungkiri, perutnya benar-benar lapar saat ini.

"Tidak apa, Ciel." Maylene meyakinkan. "Lagipula sudah tidak ada costumer lagi yang berkunjung, dan makanannya masih sisa. Sayang kan, kalau dibuang?"

Ciel menunduk perlahan, sebelum akhirnya memandang wajah kedua teman terbaiknya dengan seulas senyum tipis. "Terima kasih."

"Sama-sama, bocah." Baik Bard maupun Maylene balas tersenyum. Sekali lagi ditepuknya pundak Ciel pelan. "Pulanglah, sudah jam 6. Pastikan kau langsung pulang kerumah tanpa ada acara tidur di gang sempit seperti kemarin."

Bocah berumur 14 tahun itu tersenyum masam. Tentu saja sindiran itu mengena. "Yeah. Lagipula aku tidak ingin mendapat ceramah yang lebih lama dari kemarin." Balasnya sembari melangkah dan melambaikan tangan. Ia membuka pintu dapur – yang langsung menuju jalan setapak – dan melanjutkan perjalanannya kerumah.

Tangan kecil miliknya terus menggenggam kantong kiri dimana bungkusan makanan tadi berada. Hangat makanan dibalik kantong itu terasa sampai tangannya. Remaja itu tersenyum dalam hati. Mensyukuri keberadaan teman-teman yang sangat memperhatikannya. Dengan sedikit tergesa, ia berbelok menuju jalan utama. Namun langkahnya terhuyung seketika akibat tidak sengaja tertabrak seseorang dari arah yang berseberangan.

"Ah! Maaf!" Ucap orang itu sembari menahan tubuh Ciel yang sempat oleng. "Kau—" Ucapan itu terhenti begitu merasakan hentakan ditangannya.

Ciel – segera memasang wajah angkuhnya – menatap sang penabrak dengan kesal.

"Sekali lagi, maaf. Aku sedikit terburu dan—" Sepasang mata ruby memandang iris cerulean milik Ciel dengan lembut, "—sepertinya kau juga terburu sampai-sampai tidak melihatku yang berjalan cepat, iya kan?"

Tepat sasaran. Ciel membuang mukanya yang sedikit memerah. Ia akui, memang tidak begitu memperhatikan pandangan depan, tapi tetap saja tidak akan ia akui dari mulut.

Tawa geli mengalun lembut dari bibir sang penabrak. Ia membersihkan serpihan salju yang menempel di kepala Ciel, membuat sang pemilik ketawa sedikit risih. "Hei, kenapa anak-anak masih diluar? Kau tahu ini jam berapa? Apakah orangtuamu tidak khawatir?"

Sekali lagi, sebelah tangan kecil menghentakkan tangan besar dan hangat dari kepalanya dengan kasar. Dan – hei, apakah tadi ia bilang hangat? Ah, lupakan satu kata itu. Mata bulat Ciel menatap tajam pemilik ruby dihadapannya. "Itu bukan urusanmu, Tuan sok ikut campur!"

Alis pria dihadapannya terangkat – heran. Sedikit jengkel juga melihat ketidak-sopanan bocah itu. Namun wajahnya kembali melembut saat melihat bibir si remaja yang perlahan membiru – kedinginan. "Maaf kalau begitu. Ya sudah, pulanglah. Anak kecil sepertimu tidak baik berada diluar, apalagi saat dingin ini. Dan juga —" Seringai tipis yang muncul diwajah rupawan sang pria membuat Ciel tidak sadar mundur dua langkah kebelakang , "—jangan sampai aku kau mati beku hanya karena menabrak 'Tuan sok ikut campur' ini."

Wajah Ciel terasa panas. Semburat kemerahan menghiasi sepasang pipi kurus pucat miliknya. Mengerikan, mungkin itu yang ada dibenak Ciel sekarang. Tentu saja, langkah yang ia lakukan selanjutnya, menundukkan badan – sedikit ragu – dan tanpa berpikir dua kali ia segera berlari menuju rumah. Menjauh dari orang – aneh – yang baru saja ia temui.

Tapi, entah kenapa jantungnya berdebar tidak terkontrol, terlebih setelah melihat wajah pria dengan seringai, errr... mesum itu, mungkin?

Memelankan laju lari, Ciel memegang puncak kepalanya tanpa sadar. Entah kenapa, hangat dari tangan besar itu masih membekas. Kalau boleh mengaku, ia merasa begitu nyaman dengan sentuhan itu. Begitu lembut dan... menenangkan.

'Mungkin pria tadi memang bukan orang jahat...'


to be continue...


a/n :

Akhirnya kesampaian juga untuk menjelajah fandom ini. Fic multichapter, perkenalan dari saya di fandom Kuroshitsuji. Sebuah pemikiran yang tidak sengaja 'clingg!' saat hampir tertidur di kelas Teori Perkotaan. Mau tidak mau saya harus mengucapkan terima kasih kepada Dosen saya yang secara tidak sengaja memberi saya sebuah ide. Dan karena ide itu pula saya tidak jadi tertidur selama kuliah berlangsung. *takjub sendiri*

Well, tidak banyak kata lagi, apabila ada komentar, saran, masukan, kritik yang dapat dipertanggungjawabkan atau apapun itu... saya membuka pintu Review lebar-lebar untuk reader sekalian :D

-Faicentt