Sora bikin HimuroxMurasakibara! (gak tau nama pairingnya) Sora tau, ini fic sudah membuat With and Without terlantar. Sora ini malas banget yah~ Tapi Sora tiba-tiba kepikiran ide ini, daripada lupa, mending ditulis kan~?

Namaku Murasakibara Atsushi. Umurku 19 tahun. Pekerjaanku koki di restoran di kota. Yang kusukai.. Tentu saja snack. Aku tinggal sendirian di sebuah apartemen di Tokyo. Orang tuaku? Maukah kalian berbaik hati untuk tidak menanyakan soal almarhum mereka? Aku sudah lama tinggal di Tokyo. Kota Tokyo yang sekarang sangat berbeda dengan yang dulu. Dulu memang bukannya damai secara keseluruhan, tapi kini kedamaian malah nyaris tidak ada. Terorisme dimana-mana, pembunuhan, pengintaian, bahkan walaupun aku tidak membaca Koran atau menonton TV, aku tahu. Aku beberapa kali terlibat dalam kejadian macam itu.

Walaupun begitu, kehidupanku terhitung normal. Setidaknya aku bukan korban pengintaian teroris. Yang tiap saat diliputi ketakutan, selalu sembunyi dan nyaris tidak pernah keluar rumah. Ada temanku di restoran yang hidup seperti itu, kasihan kan? Aku bersyukur menjalani kehidupan sebagai 'orang biasa'. Aku benci teroris. Mereka mengusik kehidupan kami, membunuhi teman dan keluarga kami, hanya karena keinginan mereka tidak terpenuhi. Hidupku biasa saja dan aku mensyukurinya.

Ya, aku menjalani kehidupan yang biasa saja di kota yang penuh terorisme ini, hidup yang monoton dan membosankan, tapi 'orang itu' muncul di hadapanku dan mengubah hidupku.


Aku menemukan 'orang itu' di gang dekat restoranku. Tubuhnya berlumuran darah dan terluka parah. Wajahnya tertutup darah dan rambut hitamnya yang berantakan dan basah karena hujan deras yang sedang turun. Yang kupikirkan saat itu adalah, "Untuk apa aku peduli? Dia hanya akan membuat hidupku makin sulit,"

Itu pikirku, aku tidak mau repot. Aku tidak peduli dengan nasib orang yang sekarat di depanku ini. Aku egois, ya aku tahu. Aku sama sekali tidak peduli, sama sekali tidak. Hidup normal saja sudah banyak beban, untuk apa aku peduli pada beban orang lain?

Jadi kenapa, saat aku tersadar pemuda itu sudah ada di punggungku selagi aku berjalan pulang? Tanpa sadar aku menolongnya. Mungkin kebanyakan orang di anime akan berkata, "Aku merasa dia tidak boleh dibiarkan mati,"

Tapi perasaanku berbeda dari mereka. Jauh berbeda. Aku malah merasakan sesuatu yang berbahaya dari pemuda ini, sesuatu yang membuatku berpikir, "Dia tidak seharusnya ditolong," atau, "Mulai sekarang akan berbahaya," dan juga, "Orang ini akan mengancam hidupku,"

Jadi kenapa aku malah membaringkannya di ranjang, melepas jaket serta kausnya, dan membalut luka-luka di tubuhnya? Mungkin Akachin benar, terlalu banyak snack bisa menurunkan kerja otak. Harusnya aku mendengarkan nasihat Akachin yang itu. Ah sudahlah, jadi sekarang apa yang harus kulakukan? Atau, apa yang sedang kulakukan?

Daritadi aku duduk di sebelah ranjang, mengamati pemuda ini. Aku menunggunya terbangun. Ah, iya, setidaknya saat bangun harus ada makanan tersedia. Kelihatannya dia pucat sekali. Wajahnya mirip wajah pengemis yang kulihat tiap pagi di jalan 2 hari sebelum kematian pengemis tersebut. Pengalaman yang cukup membuatku tahu kalau pemuda berambut hitam butuh makan.

Apa yang akan kumasak untuknya? Kare sepertinya enak, diluar hujan pula, ah tapi apa makanan pedas bagus untuknya? Aku tidak tahu sih. Bagaimana kalau sup ayam? Ah iya aku lupa beli daging kemarin. Udon juga sepertinya enak, tapi sepertinya jangan deh, bahannya juga gak ada. Di lemari hanya ada snack-ku. Di kulkas ada banyak sayuran, tapi entah masih bagus atau tidak. Lama kubeli tapi tidak pernah kumakan, kayaknya lebih baik tidak kumasak deh.

Yang tersisa hanya beras dan bumbu masak di dapur. Bubur satu-satunya pilihan. Nanti kalau dia sudah lebih sehat aku akan pergi belanja. Kalau aku ingat ya, gak janji. Jadi malam ini aku makan bubur dengannya ya? Walaupun aku koki restoran barat aku bisa kok bikin bubur. Saat Okaachin sakit aku sering membuatnya. Tunggu, ngapain ngomongin Okaachin?


Aku sudah membawa bubur di tanganku dan hendak meletakkannya di meja kecil dekat ranjang. Tiba-tiba pemuda tadi membuka mata. Kelopak mata itu terbuka perlahan, menampakkan mata abu-abu yang cantik. Mata itu menatapku yang memegang semangkuk bubur dan menuju ke tempatnya. Mata abu-abu itu, terlihat galak dan jinak. Waspada dan damai. Dia bisa saja membunuhku atau membiarkanku menyuapi bubur ini. Darimana aku tahu? Entahlah, darimana ya? Akachin pernah bilang firasat itu senjata terakhir manusia.

Karena aku berfirasat dia berbahaya, apa itu berarti dia memang berbahaya? Tapi kupikir-pikir, bagiku dia mirip serigala yang terpojok. Gelap, buas, matanya dipenuhi ketakutan dan kepasrahan. Aduh, aku tertular siapa ya? kenapa aku bicara begini? Dan harus kubilang, pemuda ini menarik. Seandainya aku perempuan, aku bisa jatuh cinta padanya.

Tapi saat ini dia terus menatapku dengan wajah lemah dan berharap. Aku benci orang yang berekspresi begitu. Membuatku jadi ingin membuang segalanya demi menolong mereka.

"Kau.. mau makan..?" tanyaku pada pemuda tersebut. Dia terdiam, tidak mau menjawab.

"Ah, kutaruh disini ya," ujarku lagi sambil meletakkan mangkuk itu di meja kecil tempat aku hendak meletakkannya tadi, dan aku duduk di sebelah pemuda itu.

Aduh, untuk apa aku meletakkannya disana kalau aku duduk di sebelahnya? Aku memang aneh.

Pemuda tadi terus menatapku, apa dia tidak percaya padaku? Ini memang bukan zaman yang tepat untuk percaya pada orang asing, tapi hei, aku membuat ini untukmu. Setidaknya makanlah.

Dia tidak percaya padaku, jadi kusuap sesendok bubur dan kumakan setengah dari sendok itu. Sisanya? Kusodorkan pada pemuda itu. Bukannya aku tidak sopan dengan memberi makanan sisa, tapi dengan begini dia bisa percaya padaku. Kurasa.

Akachin bilang aku jarang berpikir, tapi sepertinya tahun-tahun sudah membangkitkan kemampuan berpikirku. Karena pemuda itu menerima sendok yang kusodorkan dan menelan isinya. Aku tersenyum melihatnya, dia betul-betul serigala terluka ya? Aku benci orang sepertinya.


"Siapa namamu?" tanyaku saat mangkuk bubur yang akhirnya kami habiskan berdua itu kosong. Pemuda itu tidak menjawabku, malah balik bertanya.

"Kalungku mana..?"

Kalung?

"Kalung?" jawabku, mengutarakan pertanyaan di otakku. Dia kembali menatap mataku, ragu. Aku menghela napas dan memegang kedua pipi pemuda itu.

"Aku tidak bohong," ujarku padanya. Mata abu-abunya membulat.

"Aku tidak tahu apa-apa tentangmu, bagaimana aku akan percaya?" tanyanya. Aku kurang mengerti sih maksudnya apa. Pokoknya kalau kita lebih mengenal lagi dia akan percaya padaku kan?

Aku memegang bahu pemuda itu dan menatap matanya lekat-lekat.

"Namaku Murasakibara Atsushi. Soal warna rambutku, jangan ditanya aku juga tidak tahu. Umurku 19 tahun. Lahir tanggal 9 Oktober. Aku tinggal sendiri. Kerjaku koki di restoran dekat stasiun. Dulu aku pemain basket. Aku suka snack, tapi aku benci sayuran. Terutama wortel." Ujarku panjang lebar, membuat pemuda di depanku ini mengernyit, mata abu-abunya terlihat bingung.

"Kenapa? Sekarang kau tahu tentangku kan? Sudah percaya padaku?" tanyaku padanya. Mulut yang selalu datar di wajahnya yang pucat itu melengkung tersenyum. Suaranya yang selalu berbentuk bisikan kini mengeluarkan tawa yang tulus. Suara itu seolah menyinari kamarku yang remang dengan kebahagiaan dan ketulusan pemuda di hadapanku. Sepertinya aku tertular seseorang, cara bicaraku aneh ya?

"Namaku Himuro Tatsuya," ujarnya sambil mengulurkan tangan padaku. Untuk pertama kali sejak dia datang kesini, aku merasakan kalau akhirnya dia membuka diri padaku. Dia berhenti mewaspadaiku, dan melepaskan segala tekanan yang dia berikan padaku sedari tadi.

Suaranya betul-betul tegas, tapi terdengar lembut. Aku menyukai suaranya. Senyumnya sangat menenangkan. Aku senang melihatnya tersenyum. Kami baru berteman, dan aku sudah menyayanginya. Tunggu, tapi apa benar kami teman? Aku hanya memungutnya di jalan dan membawanya pulang. Tapi aku ingin menjadi temannya.

Tapi senyum dan suaranya tidak menghilangkan kesan 'berbahaya' yang kini dia sembunyikan dalam-dalam.

"Himuro Tatsuya.. Murochin," gumamku sambil mengangkat mangkuk yang sudah kosong itu.

Pemuda itu—Murochin—memiringkan kepala sambil mengeluarkan senyumannya itu lagi.


"Murochin, mau mandi..?" tanyaku padanya yang masih terduduk di ranjangku. Ya, itu ranjangku. Ranjang kecil yang hanya cukup untuk satu orang. Mungkin aku mesti tidur di sofa nanti.

Murochin menggeleng, aku tidak memaksa, lagipula lukanya baru kubalut dan kucuci tadi. Kurasa tidak apa-apa, yang penting lukanya sudah bersih.


Aku tidak bisa tidur. Aku masih terbangun saat jarum jam sudah menunjukkan angka 2. Kupandang keujung ruangan tempat ranjangku berada. Murochin berbaring disitu, wajahnya tidak terlihat karena dia membelakangiku. Aku tidak bisa tidur, aku tidak bisa tidur di sofa. Ranjangku satu-satunya tempat dimana aku bisa tidur. Tapi Murochin tidur disitu.

Aku bangun dan duduk di sofa, berniat keluar sebentar ke minimarket atau kemana, lah. Aku hendak keluar, lalu aku ingat, dulu Akachin pernah bilang kalau keluar rumah di saat dingin aku harus memakai mantel. Mantelku masih tergantung dipingir ranjang. Aku berusaha berjalan sepelan mungkin agar Murochin tidak terbangun. Rasanya mengganggu tidur orang yang terluka bukanlah ide bagus.

Aku mendekati ranjang dan mencari mantelku, tidak ada. Rasanya saat aku membawa Murochin pulang masih ada? Saat dicari tidak pernah ada.

"Atsushi..?"

Tebak suara siapa itu. Tentu saja suara Murochin yang baru saja terbangun.

Aku menatap Murochin, Murochin menatapku.

Kulihat Murochin yang meringkuk di ranjangku, matanya mengarah padaku. Kakinya yang menekuk tertutup selimut tipis yang biasa kupakai tidur. Tangannya memeluk.. mantelku?

Jadi kau yang mengambil mantelku, Murochin.

"Kenapa, Atsushi? Sudah malam kan?" Tanya Murochin sambil duduk di ranjang.

"… Aku tidak bisa tidur. Aku membangunkanmu ya?" jawabku sambil menunduk.

"Kuduga kau tidak bisa tidur selain di ranjang sendiri, bukan? Mau tukaran?"

Aku mempertimbangkannya sejenak. Lalu mengangguk kecil. Murochin tersenyum dan berdiri.

"Cepat tidur ya, Atsushi," ujar Murochin sambil berjalan ke sofa yang bertatakan selimut yang kupakai tadi.

Murochin orang baik.


"Ah, ohayou, Atsushi,"

Suara Murochin menyapaku yang baru bangun tidur sementara yang punya suara memegang dua mangkuk berisi nasi.

"Mau sarapan?" Tanyanya padaku sambil tersenyum. Aku tentu sangat ingin sarapan.

Kami duduk berdua di sofa tempat Murochin tidur dengan TV kesayanganku, yang di mata orang hanyalah TV usang, menyetel sebuah kartun tentang makhluk kotak berwarna kuning yang tinggal di rumah nanas yang sedang berburu ubur-ubur dengan bintang laut pink temannya.

Selama ini teman yang kubawa masuk kesini, walaupun hanya sedikit, selalu mengataiku kekanakan. Tapi Murochin tidak mengataiku, dia hanya tersenyum sambil berusaha membujukku untuk memakan sup sayur yang dia buat tadi. Katanya sayurnya masih bagus, setidaknya kulkasku berguna juga.

"Ayolah, Atsushi, aku tahu kau tidak suka sayur, tapi makanlah," ujarnya lagi, masih berusaha membujukku.

Aku menggeleng dan menuangkan sup di mangkukku ke mangkuk sup Murochin yang sudah kosong. Murochin tersenyum pasrah padaku dan menyendok sup tersebut. Dia pasti mau memakannya, jadi aku berdiri hendak mengambil snackku yang ada di lemari. Atau begitu pikirku.

Murochin malah menyodorkan sendoknya ke mulutku. Ralat, dia bisa dibilang…, memaksaku memakan sup itu. Murochin… Kau kejam…

"Bagaimana, Atsushi? Enak, kan?" tanyanya sambil tersenyum—lagi.

Aku agak bingung, lalu mengangguk dengan agak enggan. Supnya memang enak. Ternyata untuk ukuran orang yang ditemukan terluka di gang di tengah hujan, dia pandai memasak.

Murochin tersenyum lagi, "Mau menghabiskannya sendiri?" tanyanya sambil menyodorkan mangkuk tadi.

Dan, dengan enggan lagi, aku mengangguk.


Sudah dua hari aku tinggal dengan Murochin. Dia orang baik, Murochin sering membantuku belanja, bersih-bersih, dan kadang memasak. Tapi harus kuakui dia kadang bisa jadi sangat misterius. Kadang dia membuatku bingung. Entah otakku saja atau memang dia membingungkan.

Kadang kulihat dia berdiri di balkon apartemenku dengan tatapan menerawang yang aneh. Kadang juga kutemukan dia sedang duduk di pojok ruangan, terlihat memikirkan sesuatu. Singkatnya, aku sering melihatnya bengong padahal tidak ada yang bisa dibengongkan disini. Apartemenku damai saja, kok.

Oh ya, ngomong-ngomong kemarin pulang kerja aku menemukan sesuatu di kantung mantelku. Kalung perak. Ada cincin di rantainya. Saat aku melihatnya, aku merasa ada sesuatu yang harus kulakukan dengan kalung ini. Tapi entahlah.., aku lupa. Jadi kalung itu kubiarkan saja di kantung mantelku.


Lalu, hari berikutnya, Murochin tidak ada saat aku pulang ke apartemenku.

Aku tidak mencarinya.

Kupikir Murochin pasti hanya pergi belanja atau semacamnya.

Diluar hujan deras.

Payungnya masih di apartemen.

Murochin tidak membawa payung.

Lukanya belum benar-benar sembuh.

Aku cukup yakin hujan tidak akan membuat kondisi luka setengah sembuh jadi lebih baik.

Dan aku tidak mencarinya.

Aku egois, sangat.

Jaket maupun mantelku sama sekali tidak menghilang dari lemari.

Jaket Murochin yang sedang dijemur juga masih ada.

Yang berarti dia keluar hanya dengan kaus dan celana yang selalu dipakainya itu.

Aku tetap tidak mencarinya.

Aku hanya duduk di sofa, sambil menyetel TV.

Ada acara berita sore. Entah kenapa, aku menontonnya.

Baru tiga hari berlalu setelah situasi panas di kota Tokyo ini mereda. Pemimpin kelompok teroris yang mengancam warga belakangan ini diisukan terlihat di kota. Warga sekitar Tokyo diharap berhati-hati terhadap orang ini-

PET.

TV itu langsung kumatikan.

Aku tidak tahu sih seperti apa pemimpin terorisnya, tapi Murochin bisa dalam bahaya kalau begini.

Aku tidak pernah peduli pada berita.

Aku tidak peduli pada orang lain, asal hidupku damai dan bahagia.

Aku hanya ingin hidup tenang begini sampai mati nanti.

Aku sama sekali tidak ingin pergi ke kota saat pemimpin teroris dikabarkan berkeliaran.

Begitulah aku yang dulu.


"Murochin..!"

Tidak kulihat Murochin.

"Murochin..!"

Tidak ada jawaban dan senyumannya yang lembut.

"Muro..chin.."

Aku lelah berlarian di kota, apalagi di tengah hujan deras.

"Murochin dimana…"

Nafasku sesak.. Aku lelah, kotanya cukup ramai. Apa aku bisa menemukan Murochin…?

"Murochin…"

Suaraku mulai serak. Siapa yang bisa mempertahanku suaranya setelah berteriak selama hampir 2 jam? Yah.., aku bisa saja, tapi orang yang sedang menangis biasanya suaranya memang serak kan? Sepertinya tanpa sadar aku menangis. Aku tidak juga menemukan Murochin.

Murochin kemana sih?! Aku sudah menelusuri hampir seluruh kota!

"Murochin..! Kau dimana..!?"

TBC

Maafkan kesalahan/keOOCan chara! Bikin POV Mukkun itu susah ternyata. Dia terlalu polos, jadi mulai sekarang, POVnya bakal gantian antara Mukkun/Himuro. Sebenernya sih karena Sora gak kuat nulis POV Mukkun terus-terusan, susah sih! Sora gak tau sih bakal berapa panjang fic ini, berapa chapter jadinya. Berarti, CHAPTER BERIKUT POV HIMURO! INGAT, POV HIMURO!

Oh iya, Sora ngerasa kalo genrenya kurang pas, ada saran?

RnR jangan lupa yah~