Disclaimer: All characters belong to Hajime Isayama. But this story purely mine. I don't take any profit from this work. It's just because I love it.

Warning: drabble; au, miss-typo(s), implicit content. Rate: M. Genre: romance

Note: untuk meramaikan levihan week day 2. Prompt: black.

[Sebab di antara semua warna, mereka memilih hitam.]


klandestin

.

Adalah malam yang membenteng di antara mereka. Dan ada selimut kusut, bantal bersisian, baju-baju disisihkan. Mereka polos dengan tubuh berlapis peluh, kecup di bahu, di ceruk leher, garis rahang, pipi, hidung, kelopak mata, dan sudut bibir, dan bibir, lidah.

Embusan napas terlalu kentara di antara hening yang mendominasi. Tangan bertaut dan tubuh berkonvergen. Lampu mati, gelap, dan gelap. Dan desahan, erangan, tahanan napas. Helai cokelat yang menempel di pipi, terlalu erat, membelainya terlampau halus dengan gumam-gumam yang terujar begitu taksa.

"L-Levi."

Dan Levi akan membalasnya dengan intensitas desah yang sama. Mengujar Hanji berkali-kali dengan gerak yang berepetisi. Lagi-dan lagi. Mereka gila dalam malam, dalam gelap yang memanas, pada waktu yang berhenti. Sisa yang terlihat hanya cokelat di mata Hanji dan kilat di mata kelabunya sendiri. Tapi, tak sedikit, ada cahaya terimplikasi, pada setiap tatap di antara gerak, gejolak, dan renjana. Mereka tetap bersinar di antara gelap.

"Lagi."

Tak ada stagnasi, maka semua tak akan berhenti. Levi memacu lagi dan Hanji berteriak lagi. Dua kali, tiga kali, hingga mereka lupa sudah berapa kali.

Ketika akhirnya berhenti, jarum jam sudah membelah lebih dari sepertiga malam. Selimut dinaikkan, sebatas dada, dan bahu mereka masih bersentuhan di dalamnya. Levi masih dapat mendengar napas halus yang diembus wanitanya, dan ia akan merengkuhnya, membawanya bersandar pada bahu yang masih lembap, tapi tak pernah kehilangan rasa nyaman.

Ia akan berkata dengan kasual.

"Apa aku perlu menyalakan lampu?"

Tapi Hanji selalu menolak. Ia menggeleng dan menyusup di leher lelakinya. Mengembus napas dengan intensitas yang teratur. Hingga akhirnya tertidur dalam larut.

Levi tak pernah bertanya, meski selalu ada waktu di mana ia ingin menatap keseluruhan Hanji dalam bias cahaya, jelas dan jelas, atau senyumnya yang mengembang di antara desah-desah napas, juga semburat kemerahan di atas belah pipi yang mengilat dalam peluh. Ia ingin melihat bagaimana Hanji meneriakkan namanya, dalam terang dan siraman lampu, senyum kecil yang tersembunyi dalam kecup, ia ingin lihat. Ingin sekali.

Tapi, pada akhirnya, Levi mengerti.

Seperti itulah cara Hanji memiliknya. Dalam gelap dan kelam. Tak ada warna selain kilat di netra.

Mereka tak perlu spektrum untuk merasa dan menatap kepada sepasang netra pasangannya. Tak perlu rona merah jambu, tak perlu merah di sekujur tubuh, tak perlu lebam-lebam biru. Gelap membawanya terbang bersama perasaan penuh, melesak hingga rasanya tak bisa ditampung lagi. Tak ada warna lain dan tak ada objek lain.

Hanya ia, hanya ia.

Sebab di antara semua warna, mereka memilih hitam.

.

.

(end.)