Gone With the Wind

First Episode: Will and Fate. Hope and Destiny

Eyeshield 21 © Inagaki Riichiro-Murata Yuusuke

Phantomhive © Own the story

Eyeshield 21 FanFiction Award: Season of September

Winter

Warnings: OOC much. Typo and misstypo, maybe. Gaje. Abal.

Don't like, don't read

Mata hazel cerah gadis itu melebar dan mengecil seiring dengan deru nafasnya yang memburu. Keringat dingin membasahi permukaan dahinya yang ditutupi oleh helaian rambut keemasan. Dia tahu kakinya begitu sakit, tapi dia tak bisa menghentikan lajunya. Tidak untuk saat ini.

Angin berhembus sangat kencang dan tanpa ampun, menerpa wajah cantiknya yang tanpa perlindungan. Gadis itu tahu dia mengerang kesakitan—jauh didalam lubuk hatinya—tapi dia tidak mau berhenti. Tidak sekarang.

Kakinya tetap berusaha menembus tebalnya salju yang menumpuk hingga menutupi mata kakinya. Dia tahu kakinya berteriak, minta diberhentikan fungsinya untuk sesaat. Tapi dia mengabaikan seruan itu. Dia abaikan rasa sakit yang menusuk kakinya—seolah ditusuk oleh jarum yang beku—dan terus melangkah.

Dingin. Dia tahu. Dia bukanlah idiot. Tapi mungkin cukup bodoh karena dia nekat menembus malam musim dingin pasca badai salju sendirian. Namun sekali lagi—walaupun sekujur tubuhnya dilanda sakit yang luar biasa dan dianggap bodoh—dia tidak bisa berhenti.

"Kemana sih si bodoh tak punya otak itu?" gerutunya keras-keras—mungkin setengah berteriak—ditengah sunyinya jalanan yang tengah dia sibak. Dan gerutuannya itu tidak berarti banyak, karena suaranya terpendam sempurna oleh deruan angin yang bising.

Matanya bergerak kekanan dan kekiri, berusaha menangkap apapun yang terlihat bergerak. Tidak cukup hanya dengan berlari dan berteriak jika dia ingin menemukan pemuda berandal yang melanggar aturan dari manajernya. Setidaknya, begitulah.

Habashira Rui seenaknya sendiri berlari—dengan tujuan untuk berlatih—padahal dia tahu malam ini dingin dan pasca badai salju. Tapi dia tetap ngotot, kekeuh ingin latihan. Dia tidak mendengarkan teriakan dari para anak buahnya—anggota klub Amefuto SMU Zokugaku lain—dan mengabaikan manajernya.

Tsuyumine Megu sekarang berusaha menemukannya. Atau lebih tepatnya, mengejarnya. Bagaimana mungkin dia, seorang manajer klub amefuto mengabaikan kapten bodoh yang seenaknya sendiri? Tidakkah laki-laki bodoh itu tak menyadari bagaimana khawatirnya mereka?

"Kutendang bokongnya saat aku menemukannya nanti." gerutuan Megu bertambah besar dan kasar, mengingat betapa kesal dan jengkelnya dia pada pemuda itu. Dan khawatir.

Phantomhive ©

Pemuda itu tetap berlari dan berlari. Dia tetap akan berlari meskipun kakinya sakit sekali. Dia tetap akan berlari meskipun dia tahu sekujur tubuhnya telah berubah warna menjadi biru, saking dinginnya.

Dia juga tetap akan berlari, meskipun akan membuat paru-parunya tersumbat. Persetan apa kata anak buah tolol itu! Persetan dengan manajer idiot itu! Yang terpenting baginya saat ini adalah turnamen musim semi, yang sudah didepan mata.

Hei, ini tahun terakhirnya! Dia sudah kelas 3 SMU. Sebentar lagi masa mudanya di SMU akan habis. Dan dia tidak melakukan apapun untuk menutup masa mudanya? Tentu saja tidak. Dia takkan membiarkan hidupnya ini sia-sia. Tidak untuk sekarang!

Hanya sekali ini saja, dia ingin berdiri di atas panggung penghargaan, membawa umbul-umbul SMU Zokugaku bersama seluruh anggota klub Amefutonya. Juga bersama Megu. Karena itu dia tak bisa berhenti sekarang! Ini demi dirinya sendiri, demi Zokugaku, demi anak buahnya yang tak berotak dan demi Megu…

"Habashira!" lengkingan seorang perempuan terdengar, merayapi telinganya tanpa permisi. Seketika itu juga ia sadar dari lamunan sesaatnya, dan kembali menghadapi kenyataan bahwa ia sedang berlatih secara ilegal. Dan sekarang, manajernya yang galak dan menyeramkan telah menemukannya.

Tsuyumine Megu, telah menemukan Habashira Rui yang tengah berlari dan terengah-engah. Dan itu merupakan pertanda buruk bagi tujuan Habashira—yang entah baik atau buruk. Mendesah sebentar, pemuda itu kemudian memutuskan untuk mengabaikan panggilan dari manajernya dan tetap berlari. Walaupun ia tahu resikonya, tapi ia tetap ngeyel berlari.

Sayang, cara yang ia tempuh untuk menghindari Megu—mengabaikannya—tidak berjalan lancar. Megu justru semakin gencar berteriak, meneriakkan berbagai macam ancaman. Beruntung, kakinya sedikit lebih cepat dari kaki Megu. Ia masih bisa lepas dari tebasan bokutou Megu.

Tetapi keadaan itu tak berlangsung lama. Megu, dengan cepat menguasai keadaan. Dia hampir menyamai kecepatan lari Habashira. Dan karena dia sedang terbakar amarah, kecepatan larinya bahkan sanggup menyamainya.

Tidak. Dia takkan membiarkannya. Setelah mata hazelnya berhasil menemukan sosok pemuda berandal tak tahu diri itu, dia tak mau melepaskannya. Dia takkan membiarkan pemuda itu melarikan diri lagi.

Dia sudah tahu kalau Habashira akan mengabaikannya. Habashira sangat keras kepala. Sekeras apapun peringatan darinya—atau dari siapa saja—jika ia sudah punya niat, ia akan nekat melakukannya. Dan, ini adalah salah satu keadaan ter-menyebalkan dari Habashira menurut seorang Tsuyumine Megu.

Hanya karena keinginan egoisnya, dia dan juga seluruh anggota klub American Football lainnya harus bekerja keras. Ia juga tidak menyadari kekhawatiran dan kemarahan seluruh anggota klub amefuto. Dan itu adalah bagian paling menyebalkan darinya. Ia menganggap intuisinya adalah yang paling benar, padahal tidak selalu begitu.

"Idiot!" teriak Megu nanar. Tangannya terulur, mencoba meraih lengan Habashira yang terayun karena gerakan larinya. Hasilnya, percobaan pertama tidak berhasil. Lengan panjangnya tak mampu digapai oleh Megu. Namun Megu juga sama seperti Habashira. Dia keras kepala, dan pantang menyerah.

Megu menggigit bibir bawahnya—yang berwarna biru pucat akibat pengaruh suhu—dan menyipitkan mata. Gadis itu kemudian menjulurkan lengannya—tertutupi oleh lengan mantel musim dinginnya yang berwarna krem—sejauh mungkin, berusaha meraih satu saja jari Habashira.

Dan dia berhasil. Jarinya berhasil menggenggam kelingking Habashira, dan akhirnya Habashira berhenti dari usahanya melarikan diri.

Hening. Megu tetap pada posisinya semula—menggenggam kelingking Habashira—dan Habashira masih berdiri, terpaku. Satu-satunya suara yang sanggup ditangkap oleh telinga mereka adalah desisan angin musim dingin.

Habashira menggigit lidahnya, berusaha memikirkan kata apa yang akan ia katakan untuk memecah keheningan antara dirinya dan manajernya. Dan, tak ada satu kata-pun yang terlintas di otaknya. Tapi ia tetap akan memutuskan kecanggungan diantaranya dan Megu.

"Apa si—"

PLAAK!

Sebuah tamparan keras yang mengalahkan deru angin terdengar, mendarat di pipi Habashira ketika ia berusaha memecah hening.

"BODOH! Apa yang ada diotak udangmu itu, idiot?" semprot Megu, sedikit mengerang dan terdengar merana. Habashira hanya bisa tertegun, tak sanggup menjawab pertanyaan Megu.

Hening kembali. Mata hazel cerah Megu membelalak, menetap mata hitam Habashira dengan tajam. Pemuda itu tetap diam, sedikit shock atas perlakuan perempuan yang berdiri sambil melotot di depannya. Megu memang galak dan menyeramkan, tapi tak pernah sampai menampar muka. Kali ini, gadis berambut keemasan itu benar-benar marah.

"Megu… aku tak bermaksud—"

"Bermaksud apa? Bermaksud membuat kami khawatir? Bermaksud membuat kami marah? Bermaksud membuat kami capek? Sayangnya, jika memang kau tidak bermaksud begitu, kami memang begitu!" Megu berteriak nanar. Tubuhnya bergetar saking marahnya. Apakah Habashira tidak menyadarinya?

Hening, untuk yang kesekian kalinya. Keadaan menjadi lebih canggung dan kaku. Habashira menggigit bibir bawahnya, mencoba menemukan kata lain yang bisa menjelaskan maksudnya pada Megu. Ia tahu kalau tindakan ngawurnya ini akan berakibat fatal: kemarahan Tsuyumine Megu.

Satu henbusan nafas yang sangat panjang, kemudian Habashira memejamkan kedua matanya. Kalut. Apapun alasan yang ia katakan pada Megu pastilah langsung di tepisnya. Sulit sekali mengajak wanita ini berkompromi.

"Habashira… aku mohon…" Megulah yang sekarang mengisi keheningan. Kelopak mata Habashira langsung terbuka begitu mendengar suara Megu yang terdengar memelas, memohon. Merana. Dan ketika manik hitam kelamnya bertemu dengan manik hazel cerah Megu, ia terkejut. Mata hazel gadis itu hampir berwarna merah—dan berair.

"Megu… kau… menangis?" celetuk Habashira, spontan. Ia terkejut sekaligus miris. Megu, gadis tergarang di SMU Zokugaku menangis karena dirinya—yang seenaknya sendiri. Walaupun ia tak mau mengatakannya, ia sedikit merasa bersalah juga.

"Diam kau…hiks… Jelek! Kau kira… hiks… aku menangis karena…hiks… apa hah?" Megu menjawab pertanyaan Habashira sambil mengusap pipinya, menyingkirkan beberapa tetes air mata yang mengalir. Walaupun begitu, nada suaranya tetap garang dan mengerikan.

"Aku tahu aku mungkin salah… tapi aku tidak bermaksud membuatmu melakukan semua ini. Kau tak perlu mengejarku sampai… sampai seluruh badanmu biru semua…" timpalnya, membuang muka. Ia tak sanggup berhadapan dengan mata cokelat Megu yang tengah berair. Itu membuatnya sakit.

"Kalau tak kukejar, apakah kau akan sehat walafiat dan hidup sampai sekarang? Ini pasca badai, tolol! Bagaimana kalau kau membeku? Bagaimana kalau kau mati kedinginan?" Megu menyentak, masih tersisa isakan dalam suaranya. Matanya menatap Habashira nanar, mengabaikan tatapan Habashira yang seolah jijik melihatnya menangis.

"Mana mungkin aku akan—"

"Semua kemungkinan itu ada, bodoh! Apa sih yang ada diotakmu itu? Berlari seperti orang gila setelah badai. Mungkin saja akan ada badai susulan! Kalau begitu bagaimana bisa aku membiarkanmu berlarian?"

Lagi-lagi yang terdengar sekarang hanyalah deru angin musim dingin yang berembus melewati raga mereka. Megu memotong celetukan Habashira begitu saja, tak mau mendengar perkataannya. Hatinya penuh dengan gelombang-gelombang kemarahan setiap kali Habashira membela dirinya. Namun, di akhir dia tetap tak bisa menyembunyikan kalau kemarahannya adalah karena dirinya mengkhawatirkan keadaannya.

"Aku… aku hanya ingin kita—klub futbol Zokugaku—meraup kesenangan. Untuk sekali saja. Aku ingin kita menginjakkan kaki di podium, membawa umbul-umbul bergambar bunglon dan mengangkat piala. Hanya itu keinginanku…" Habashira menyeletuk, tak lagi membuang muka. Ia memberanikan diri untuk menatap mata Megu—sembab, merah dan mengerikan. Suaranya terdengar yakin, penuh percaya diri. Matanya yang hitam pekat menyala, berkilat.

"Karena itu kau seenaknya sendiri?" Megu bertanya, merendahkan suaranya dan mencoba untuk tidak mencak-mencak. Alasan Habashira sedikit menyentuhnya, membuatnya sedikit menimbang-nimbang antara tetap menaikkan suara atau merendahkan suara.

"Kira-kira begitulah… Hal lain apa yang bisa aku lakukan selain berlatih? Aku bukan jenius seperti Agon atau Sena." Jawabnya sembari mengangkat bahu dan menaikkan sebelah alis. Cengiran perlahan menghiasi wajahnya, berusaha mencairkan suasana yang kaku sedari tadi. Tapi cengiran itu tak membantu banyak.

"Tapi kau bisa mengira-ira! Hanya idiot yang berlatih di musim dingin pasca badai salju!" Megu kembali menaikkan suaranya. Habashira seketika kehilangan cengiran anehnya setelah telinganya menangkap semburan Megu.

"Lalu apa yang harus aku lakukan?" bisik Habashira, frustasi. Ia meremas jemarinya, membuat buku-buku jarinya memutih.

"Kau kan bisa berlatih di gym! Tidakkah opsi itu terlintas di otak kecilmu itu?" Megu juga ikut berbisik. Dia juga frustasi. Nada suaranya pasrah, dan lagi-lagi terdengar merana.

"Aku sudah melakukannya tadi pagi." Jawab Habashira cepat, berusaha untuk tidak menatap mata Megu.

"Lalu?" Megu berkacak pinggang, tidak puas dengan jawaban Habashira yang terdengar santai.

"Karena itu aku berlari. Kau tahu sendiri… turnamen musim semi sebentar lagi." Sergahnya, sedikit membentak Megu. Habashira sedikit jengkel juga karena Megu tak berhenti memberinya pertanyaan yang selalu mendesaknya.

"Ya Tuhan, Habashira! Itu bahkan masih lima bulan lagi! Kau tak perlu berlatih intensif! Aku punya program. Dan kau tak seharusnya memaksakan diri!" Megu berteriak frustasi. Tidak seharusnya ia menggunakan turnamen sebagai alasannya! Tapi ternyata bukan hanya Megu yang geram. Habashira juga begitu: marah.

"Masih lima bulan? Kau tahu sendiri bagaimana kondisiku, kan? Lima bulan itu waktu yang singkat bagiku…" bentaknya keras-keras. Batinnya tak kuat lagi memendam kekesalan. Ia muntahkan begitu saja, dan korbannya adalah Megu.

Megu tersentak begitu Habashira membentakknya. Dia menghirup nafas dalam-dalam, kemudian menundukkan kepala. Tenggorokannya kini tersumbat, tak sanggup menemukan sepatah kata yang sanggup membalas perkataan Habashira. Dia tahu, dia tahu apa yang dimaksud oleh Habashira. Dia tahu betul. Dan kenyataan itu membuatnya sesak.

Hening.

"Megu, lima bulan itu bagiku sama seperti hembusan angin musim dingin tadi. Sekejab, hilang begitu saja…"

© Phantomhive

"—sudahlah. Aku sudah tahu semuanya, dok. Aku hanya mengembalikannya kemari." Megu berbisik, berdiri didepan kamar pasien Habashira sambil memeluk jaket yang dikenakan pemuda itu untuk jogging. Manik hazel gadis itu menatap lurus kebawah, kearah jemari kakinya yang berwarna kebiruan.

"Tolonglah. Kalau dia terus melanggar aturan-aturan yang kuterapkan, hidupnya bisa lebih pendek lagi…" dokter paruh baya tersebut menepuk pundak Megu dan tersenyum lemah. Di tangannya, berkas Habashira. Matanya yang teduh membuat Megu merasa bersalah telah merepotkannya.

Anggukan singkat menjadi jawaban Megu. Setelah mendapat jawaban dari gadis itu, dokter itu melangkah menjauh kemudian menghilang.

"Hfft…" dia menghembuskan nafas panjang, kemudian menyandarkan kepalanya yang berat—seolah ditimpa berton-ton gajah—ke tembok dan memejamkan mata. Keadaan ini terlalu berat untuk dia emban sendirian. Hanya dirinya-lah yang tahu—selain keluarganya—tentang kondisi kesehatan Habashira yang parah. Bahkan anak buahnya tidak tahu.

Habashira menderita radang pernapasan akut. Artinya, ia menderita tuberculosis. Musuh utamanya adalah udara dingin dan kecapekan. Kedua hal itu sanggup membuatnya kehilangan kesadaran. Bahkan, sanggup mencabut nyawanya.

Hal itulah yang sejak tadi memicu kemarahan Megu. Hari ini adalah gilirannya menjaga Habashira. Saat dia kembali setelah mengangkat telepon dari salah satu anggota yang menanyakan kondisi Habashira—karena Habashira jarang datang latihan akhir-akhir ini— dia telah mendapati sebuah kasur kosong.

Setelah menanyakannya pada beberapa suster, akhirnya dia bisa mengejar Habashira dan mengembalikannya ke rumah sakit lagi.

"Nona Tsuyumine, Tuan Habashira memanggil Anda." Suara seorang suster yang lembut membuyarkan lamunan Megu. Seketika, dia membuka matanya dan mengangguk pelan. Menghirup nafas sesaat—menenangkan diri—kemudian membuka pintu geser kamar pasien Habashira.

Tergeletak tanpa daya dengan selang infus menembus kulitnya, ia menatap mata Megu. "Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Megu. Tentang kondisiku."

Menelan ludah, Megu berjalan perlahan mendekati kasur Habashira. Setelah dilihat dari dekat, kulit Habashira saat tertempa sinar lampu neon terlihat begitu pucat. Bukan lagi terlihat seperti seorang berandalan kacangan seperti yang dikenal orang-orang. Dan Megu miris melihatnya.

"Apa yang ingin kau bicarakan denganku?" Megu bertanya dengan suara serak. Sorot matanya terhadap Habashira masih sama: miris.

"Abaikan aku." Jawab Habashira singkat. Suaranya sama seraknya dengan suara Megu. Ia memberanikan dirinya untuk menatap langsung ke mata Megu. Seketika itu juga, gadis berambut keemasan itu terbelalak.

"Abaikan? Maksudmu aba—"

"Ya, jangan pedulikan aku." Habashira memotong pertanyaan Megu. Ia meninggalkan Megu dalam keadaan terbengong-bengong, mulutnya masih setengah terbuka dan alisnya bertaut.

"Jangan pedulikan aku dan kesehatanku. Sudahlah. Asalkan kita bisa menang itu saja sudah cukup…" gumamnya pelan. Kali ini menunduk, memandangi tangan kirinya yang tertusuk jarum dan selang infus. Dan ia menghela nafas panjang.

"Maksudmu, kau ingin ikut bermain? Ingin mendapatkan porsi latihan yang sama dengan anggota lain?" Megu menimpali, disusul dengan anggukan singkat dari Habashira. Dan sedetik kemudian, tidak ada yang angkat bicara. Megu mengalihkan pandangannya dari sosok Habashira, sedangkan Habashira masih memandangi tangannya yang terinfus.

"… Aku ingin kita menang. Tapi aku juga tak ingin kau mati. Bagaimanapun juga." Megu mendesah, masih menghindari tatapan mata Habashira.

"Aku juga." Timpal Habashira pelan. Suaranya sedih, penuh keputusasaan. Dan suaranya membuat hati Megu tersayat-sayat. Lidahnya kelu dan tak sanggup mengatakan apa-apa lagi. Kesehatan Habashira kritis, sedangkan keadaan timnya juga diambang keretakan.

Hening. Yang menderu di telinga mereka adalah suara hembusan angin kencang musim dingin yang mengetuk-ketuk jendela kamar pasien Habashira. Dua manusia itu tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Kalut.

Megu memikirkan segala kemungkinan terbaik yang menguntungkan kedua belah pihak: para anggota amefuto Zokugaku Cameleons dan juga Habashira Rui. Tapi dia selalu menemui jalan buntu. Tak ada cara lain selain tidak membiarkan Habashira beristarahat dan Cameleons harus berjuang sendirian tanpa kehadiran Habashira ditengah-tengah mereka.

Tapi mereka pasti kalah kalau tak ada Habashira…

"Megu…" suara Habashira merusak suasana kalut yang menelimuti ruang rawat inapnya sekaligus membuyarkan angan Megu. Manik mereka seketika bertemu, menimbulkan kecanggungan sesaat diantara mereka berdua. Kemudian gadis bermata hazel itu mengangkat bahunya, memberi sinyal pada Habashira untuk melanjutkan perkataannya.

"Aku akan meminta izin pada ayahku agar aku dipulangkan. Aku harus ikut latihan. Aku harus ikut pertandingan pembukaan—bukan. Aku harus ikut disemua pertandingan." Lanjutnya, menundukkan wajahnya dan menggigit lidah panjangnya. Ekspresi kesedihan bercampur putus asa terpatri diwajahnya.

Meskipun begitu, matanya tidak padam.

"Habashira… Itu terlalu beresiko. Untuk kita, untukmu dan juga untukku." Megu menyahuri, menggenggam jaket Habashira sampai buku-buku jarinya memutih. Matanya memandang gemas pada Habashira—gemas karena Habashira begitu keras kepala.

"Aku mau mengambil resiko itu." Sahut pemuda itu cepat. Alisnya bertaut. Tekadnya sudah bulat rupanya. Dan entah mengapa sorot mata penuh semangat itu membuat Megu jengkel setengah mati. Ingin rasanya dia menebas pemuda didepannya dengan samurai asli.

"Pff." Megu tertawa tertahan. Melimpahkan emosi yang bergejolak di perutnya dengan cara yang aneh, tertawa. Dan tertawanya adalah jenis tertawa yang menghina—jahat. Matanya berkilat meremehkan saat memandang Habashira.

"Kau kira dengan tubuh seperti itu kau bisa mengikuti latihanku seperti biasa? Dengan tubuh yang tinggal berbalut kulit, dengan kulit pucat seperti mayat, dengan kondisi tubuhmu yang terus mengeluarkan darah setiap kali kau batuk? Menggelikan…" timpalnya sengit, tertawa tertahan seperti tokoh antagonis disela-sela kalimatnya.

"Setidaknya kau tahu aku kuat berlari." Habashira menyahuri, tak kalah sengit. Tangannya mencengkeram selimut hingga rasa sakit menyerang telapak tangannya. Megu, kali ini sudah keterlaluan.

"Sadarlah Habashira! Kondisimu itu sudah tidak memungkinkan! Latihan biasa saja kau bisa semaput ditengahnya, apalagi latihan intensif! Aku tak bisa membayangkan kau berlumuran darah ditengah latihan! Pikirkanlah perasaan anak buahmu! Pikirkanlah perasaan keluargamu! Pikirkanlah perasaanku!" Megu berteriak kencang, histeris. Perlahan, butiran air mata meleleh dari kedua manik berwarna hazel. Dan seiring dengan bertambahnya jumlah butiran air yang terjun bebas dari kedua matanya, gadis itu terisak.

Habashira terdiam dibuatnya. Ia tak biasa menghadapi gadis yang sedang menangis. Karena memang Megu sangat amat jarang ia dapati sedang menangis. Dan kini, gadis tangguh itu menangis. Dan alasannya adalah seperti tadi saat gadis itu mengejarnya: mengkhawatirkannya.

Titik inilah, ia merasa dirinya buruk sekali.

Pemuda itu tak sanggup mengatakan apapun. Sepatah kata pun tak meluncur dari mulutnya. Lidah panjang kebanggaannya kelu, seolah tak bisa dijulurkan lagi. Hanya suara isakan Megu yang terdengar, mengisi keheningan diantara mereka. Bahkan deru angin tak sanggup mengalahkan isakan Megu—merana dan sarat akan keputusasaan.

"…Megu…" hanya satu kata itu yang sanggup meluncur dari mulut Habashira—yang telah kaku dan terasa sakit saat ini. Tak ada kata lain terlintas dikepalanya selain nama gadis itu. Otaknya dilintasi terlalu banyak pertanyaan. Seribu jenis 'mengapa' bertimbulan di otaknya.

"Sudahlah. Kau tak perlu mengatakan apapun." Timpalnya, sembari menghapus air mata yang meninggalkan bekas di pipinya. Setelah dia menghapus jejak air mata disana, dia melemparkan jaket Habashira ke kursi. Lalu dengan hentakan yang keras, dia membuka pintu geser ruang rawat inapnya dan mendapati tiga orang yang dia kenal tengah berada didepan mukanya.

Anggota klub amefuto Zokugaku…

Seketika itu juga, raut wajah Megu menjadi panik. Matanya terbelalak dan mulutnya menganga. Berarti mereka berdua mengetahui rahasia itu? Rahasia bahwa Habashira terserang tuberculosis akut dan tak sanggup disembuhkan?

"Kalian? Kalian mendengar semuanya?" bisik Megu ketakutan. Dia gemetar. Dadanya naik turun. Kalau ketahuan bisa gawat. Pasti anak-anak buah Habashira akan membuang Habashira. Atau, mereka akan melakukan hal yang diluar akal…

Dan sebuah anggukan yang merupakan jawaban mereka membuat darah Megu surut sampai ke kuku-kuku jari kakinya.

TBC

Dengan tidak elitnya

Author's Note: Ergh. Ini menyeramkan. Sumpah, saya baca ulang ini tiga kali, dan saya masih menganggap fic ini gaje abal payah. Detailnya terlalu bertele-tele. Bikin reader bosen. Iya gak? Iya banget. (_ _'' )

Ini rencananya mau dibikin oneshot super duper panjang. Tapi berhubung kepanjangan, jadi terpaksa saya potong menjadi dua bagian. Auh. Saya apdet deh begitu udah masuk beberapa ripyu. Yang jelas, tanggal 25 harus selesai, kan? Iya kan Panitia? :DD

Habashira maupun Megu OOC banget. Habashira jadi kelihatan lemah dan tak berdaya, sedangkan Megu jadi kelihatan lemah lembut dan baik hati. -_-'' #digolok

Yap. Tinggalkan review yah. Jangan mem-fave diam-diam. *PD gilak* Leave a signed review, btw. Anonymous boleh sih, tapi kalau bisa signed sekalian aja bagi yang udah punya akun. Biar mbales reviewnya gak susah. Oke? :)) *alibi*

Review shite, ne? ^^