The Way We Loved
Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto
Story by Vylenzh
Genre: Drama, Romance, Family and Hurt/Comfort.
[Haruno Sakura/Uchiha Sasuke]
Warning! Typo(s), OOC, AU and many more.
.
.
The Way We Loved
Chapter 1: Sebab Akibat
.
.
.
Minato's POV
Aku menatap sendu seorang wanita yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit dari kaca pintu kamar inapnya. Kedua matanya terpejam damai seakan telah menantikan ajal yang mungkin akan menjemputnya. Tanganku tanpa sadar bergerak menyentuh kaca pintu di hadapanku—membayangkan yang kusentuh adalah dirinya.
Aku segera menurunkan tanganku dan mengepalkannya kuat. Kedua kakiku mundur dua langkah ke belakang dan memalingkan muka.
Ini tidak benar! Aku tidak boleh seperti ini. Aku sudah melupakannya. Aku tak bisa lagi membayangkan hal bodoh itu lagi.
"Namikaze-san?" Seorang wanita dengan pakaian dokter mendekatiku. "Benar, Namikaze Minato-san?"
Aku mengangguk. "Anda—?"
Wanita itu tersenyum tipis. "Saya Tsunade. Dokter yang merawat Mebuki-san selama ia dirawat di rumah sakit. Juga yang menelepon Anda," tambahnya.
"Bagaimana keadaannya?" tanyaku seraya memandang Mebuki sendu. Ya, Mebuki atau kini bernama lengkap Haruno Mebuki—nama seorang wanita yang dulu pernah mendiami hatiku. Wanita yang pernah menjadi bagian dari masa laluku.
"Dia tidak dalam keadaan yang baik. Penyakitnya telah menyebar ke paru-parunya. Mungkin waktunya tidak akan lama lagi," jelasnya.
"Kenapa Anda memanggil saya kemari? Saya tidak memiliki hubungan apapun dengannya," tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku.
Tsunade tersenyum penuh arti. "Anda yakin?"
Aku menatapnya bingung. "Sebenarnya ada apa Tsunade-san?"
-.-.-.-.-
"Sebenarnya Mebuki-san telah menjanda sejak kelahiran putrinya. Suaminya meninggalkannya setelah mengetahui bahwa bayi yang dikandung Mebuki-san bukanlah darah dagingnya. Mebuki-san bercerita pada saya bahwa bayi yang dilahirkannya adalah hubungan cintanya dengan seorang pria yang tak mungkin bertanggung jawab karena telah memiliki keluarga. Namun, dengan penyakitnya, Mebuki-san sangat mengerti bahwa dia takkan bisa merawat putrinya hingga dewasa. Jika Mebuki-san tiada, kemungkinan besar adalah putrinya berakhir di panti asuhan. Dia tidak menginginkannya, satu-satunya cara agar putrinya dapat hidup normal adalah dengan Anda merawatnya, Namikaze-san."
"S-siapa namanya?"
"Sakura. Haruno Sakura."
-.-.-.-.-
"Mebuki." Aku memanggilnya lirih. Wanita yang terbaring di depanku ini tak bergeming sedikitpun dengan panggilanku. Aku menghela nafas panjang lalu duduk di kursi yang berada di samping ranjang.
"Mebuki, kenapa kau tidak mengatakannya bahwa kau memiliki anak dariku? Apa kau merasa takut aku tak menerimanya karena aku sudah memiliki keluarga? Aku bukanlah pria yang tidak bertanggung jawab seperti itu, Mebuki. Aku tau aku salah dengan mengkhianati Kushina pada saat itu namun bukan berarti kau menanggungnya sendiri. Kau juga pada saat itu telah menikahi Kizashi, apa reaksinya? Pasti sangat marah bukan? Aku menyesal, Mebuki. Hingga kini aku menyesal menyembunyikan pengkhianatanku dari Kushina. Aku menyesal telah melakukan hal itu denganmu. Tapi bukan berarti kau dapat menanggung segalanya sendiri. Hasil dari kesalahan kita berdua, seharusnya kau mengatakannya."
"Sakura, kan namanya? Cantik. Dia pasti seperti dirimu. Aku belum berani melihatnya. Aku tidak berani melihat buah hati kita, Mebuki. Maaf. Aku sangat takut. Aku takut melihat dosa di masa laluku dengan melihat wajah putriku ini. Maafkan aku."
Air mata yang kutahan pun mengalir di kedua sisi wajahku. Aku tak kuasa lagi untuk mengatakannya. Mengatakan bahwa segalanya juga adalah kesalahanku. Mimpi buruk di masa laluku yang aku pendam dalam-dalam. Mimpi buruk yang pada akhirnya, hari ini bangkit lagi dengan satu bukti nyata yang mungkin akan menghancurkan keluargaku kini.
"M-mi-nato," panggilan lirih membekukanku. Aku mengangkat kepalaku dan segera menangkap mata Mebuki yang menatapku dalam. Dia tersenyum di balik masker oksigennya. "K-k-au d-da-tang."
"Mebuki."
"T-te-rima-ka-sih su-dah d-datang." Terbata-bata dia berusaha berbicara. Nafasnya terdengar tak beraturan. "S-sa-kura. Sakura, a-aku mo-hon rawat di-a," ucapnya dengan senyum tulus di akhir kalimat.
"Mebuki, a-aku tak bisa. Aku sudah memiliki keluarga. A-aku—"
"A-aku m-mo-hon. I-ni keingi-nan te-rakhirku me-lihatnya tu-mbuh normal s-seper-ti gadis lain-nya. Tolong ya, Mina-to. D-dia putrimu juga. A-aku harap k-kau me-nyayanginya. Putriku tersayang, Sakura," ucapnya disertai senyum lebar di wajahnya. Kedua matanya lalu tertutup rapat dengan suara mesin di sebelahku yang mengeluarkan bunyi 'tiit' panjang.
"Mebuki, Mebuki! Bangunlah... Mebuki..." Teriakanku sia-sia, hanya menggema di ruang tersebut. Air mataku keluar kembali tanpa bisa lagi kucegah. Menangisi kepergian Mebuki yang meninggalkan seorang putri di dunia yang kejam ini.
"Maafkan aku, Mebuki... Maafkan aku..."
-.-.-.-.-
Gedung panti asuhan itu berdiri gagah di hadapanku. Walaupun sudah nampak tua, gedung itu masih tampak layak dihuni. Dengan langkah berat aku memasuki gedung itu dan menemui kepala panti asuhan ini.
"Selamat datang. Ada keperluan apa kemari?" tanya seorang wanita tua yang sepertinya kepala panti asuhan ini.
Aku memandangnya ragu lalu beralih ke bayi yang terlelap di gendonganku.
"Ah, apa Anda ingin menitipkan bayi manis ini di sini?" tanya wanita tua itu menebak.
"Ah, iy—"
"UWEEE!"
Tiba-tiba Sakura—bayi di gendonganku—menangis keras. Kedua matanya terbuka—menampakkan manik hijau indah yang langsung tertutup beberapa saat kemudian. Kedua tangannya tampak menggapai-gapai udara kosong.
"Ssh, ssh, berhenti menangis Sakura. Pa—" Aku berhenti sesaat, lalu tersenyum sayang kepadanya. "Papa ada disini, sayang. Sakura tidak sendirian."
Tak lama kemudian Sakura berhenti menangis lalu kembali tertidur. Dia tampak manis sekali. Oh Tuhan, aku tak tega meninggalkannya ke panti asuhan.
"Maaf," ujarku tanpa sadar. Aku menatap wanita tua di hadapanku. "Saya sebenarnya ingin... menyumbangkan sebagian rezeki saya kesini."
"Oh itu. Saya kira ada hal lainnya. Maaf ya sampai menebak Bapak mau menitipkan putri Bapak sendiri. Itu kan tidak mungkin." Wanita tua itu menundukkan kepalanya rendah meminta maaf. Lalu wanita tua itu mengambil salah satu buku tebal di sampingnya dan membuka sebuah halaman. "Atas nama siapa?"
Aku menatap bayi di gendonganku lalu tersenyum.
"Sakura. Atas nama Sakura."
-.-.-.-.-
Kushina's POV
Aku berdiri dengan gelisah di ruang tamu, menunggu Minato yang seharian ini tak ada kabarnya sejak pagi ini. Tadi pagi Minato izin pergi untuk menemui klien-nya, namun tak ada kabar setelahnya. Aku pun menelepon kantornya dan menanyai sekretarisnya yang mengatakan bahwa jadwal Minato hari ini kosong.
Jika kosong maka pergi kemana Minato? Aku bertanya-tanya khawatir. Aku tidak mau berpikiran buruk dengan Minato yang berbohong, mungkin saja dia ada masalah di kantornya dan tidak mau membebaniku yang sedang hamil anak kedua kami ini.
Tanganku pun mengusap perut besarku yang telah memasuki bulan ke-9 ini, tinggal menghitung hari saja untuk melihatnya, bayi kecil kami yang akan menambah kehangatan keluarga kecil kami ini.
Beberapa menit kemudian aku mendengar suara mobil. Itu pasti Minato, aku bersyukur dia sudah kembali. Semoga tidak ada satupun hal yang kurang darinya.
"Tadaima." Minato mengucapkan salam sesaat setelah dirinya membuka pintu rumahku. Namun, aku tak berniat untuk mendekatinya seperti biasa. Aku tak yakin aku berani mendekatinya dengan seorang bayi di gendongannya.
"M-minato. Dia siapa? Bayi itu... siapa?" tanyaku terbata-bata. Aku menatap takut dengan pikiran buruk yang tiba-tiba mendiami pikiranku.
"Kushina, dia Sakura." Minato berhenti sejenak tampak menarik nafasnya panjang-panjang. "Anakku."
Aku terpaku di tempat mendengarnya. Padahal Minato hanya mengatakan satu kata itu namun aku seperti mendengar petir yang menyambar diriku.
Tidak. Aku tidak perlu mendengar Minato menjelaskan apapun. Bahkan dengan satu kata itu aku tahu apa artinya. Dengan satu kata itu aku mengerti bahwa keluarga kecilku yang selama ini kubayangkan indah itu bohong. Bahwa Minato yang kupikir adalah sosok pria dengan kesempurnaannya itu tak lebih seperti pria brengsek di luar sana. Minato yang setia itu adalah pria brengsek yang telah mempermainkanku.
Dia telah mengkhianatiku.
Tiga kata itu sudah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
"Kushina, aku—"
"JANGAN MENDEKAT!" teriakku. Aku membalikkan badanku, berjalan pelan seperti seonggok mumi yang tak memiliki daya untuk hidup lagi. Air mataku mengalir turun tanpa suara.
Aku tidak ingin memikirkan apapun. Aku ingin tidur dan berharap ini hanya mimpi.
Oh Tuhan... Kenapa kau memberikan cobaan kepada keluarga kecilku ini?
Namun, sebelum aku mencapai kamar, perutku terasa sangat sakit. Aku merasakan cairan mengalir di antara kedua kakiku.
"Akh!"
"Kushina!"
Aku terjatuh memegangi perutku. Darah mengalir deras di bawah kakiku. Rasa sakit itu membuat kegelapan mulai menenggelamkanku. Hal terakhir yang kuingat adalah wajah Minato yang tampak sangat khawatir.
-.-.-.-.-
Author's POV
"Papa, kenapa Mama tidak bangun-bangun?" tanya Karin kepada Minato—sang Ayah—yang menggendongnya.
"Mama lelah, sayang. Mama kan baru melahirkan adik Karin jadi Mama butuh istirahat," jelas Minato pelan.
"Oh." Karin—gadis cilik yang berumur tak kurang dari 4 tahun itu mengangguk. "Jadi, Mama akan bangun kan, Pa?"
"Pasti, sayang. Mama pasti akan bangun." Minato mengusap lembut surai merah putri sulungnya lalu mengecupnya sayang.
"Mama pasti akan bangun," bisik Minato kepada dirinya sendiri. Sorot matanya menatap sendu dan bersalah kepada sang istri yang terbaring lemah.
"Maafkan aku, Kushina... Tolong bangunlah. Demi Karin dan Naruto."
-.-.-.-.-
Dua bulan yang lalu, Kushina dilarikan ke rumah sakit karena pendarahan hebat. Naruto—bayi yang dilahirkannya malam itu untungnya selamat namun tidak dengan Kushina. Dia mengalami keadaan kritis yang membuatnya koma. Menurut para dokter karena goncangan jiwa sebelum melahirkan lah yang membuatnya seperti ini. Pikirannya yang tidak stabil membuatnya tak memiliki keinginan untuk bangun dari tidur panjangnya.
Malam ke-60, Minato mendatangi kamar inap sang istri kembali. Menjenguknya untuk memberikan semangat-semangat positif agar Kushina dapat bangun.
Duduk di samping ranjang Kushina, Minato memegang tangan dingin sang istri.
"Tanganmu dingin sekali, Kushina. Tapi kau tenang saja aku akan menghangatkannya untukmu," ujar Minato. Dia menggenggam tangan kiri Kushina dengan dua tangannya lalu diusap-usapnya. "Seperti masa lalu kan, Sayang?"
"Kushina, untuk kesekian kalinya aku meminta maaf padamu. Maaf karena aku telah mengecewakanmu sebegitu dalamnya. Bahkan air mataku telah habis selama dua bulan ini menangisi diriku yang bodoh ini. Aku sungguh minta maaf, Sayang. Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Aku tak ingin kehilanganmu. Tolong bangunlah. Demi Karin yang terus menanyaimu. Demi Naruto yang terus menangis dan membutuhkan ASI-mu. Dan demi aku yang bodoh ini. Kalau kau bangun nanti, aku tidak peduli kau akan memukulku, memarahiku bahkan membunuhku. Aku tau dosaku tak sebanding dengan rasa sakitmu. Biarkanlah aku menanggung semua ini tapi aku mohon dengan amat sangat biarkanlah Sakura memiliki kehidupan normal. Sakura hanya korban dari dosa orangtua kandungnya."
"Aku mungkin tidak tau diri masih menginginkan Sakura berada disini karena aku tau, kesakitanmu berasal darinya tapi tidak bisakah kau mencintainya, Kushina? Sakura hanyalah bayi kecil tak berdosa yang hanya memiliki aku, ayah kandungnya. Aku tak mungkin tega meninggalkannya di panti asuhan ketika aku masih bernafas di dunia ini. Aku—"
"M-minato," panggilan lirih memotong perkataan Minato.
"Kushina? Kau sudah sadar?" Minato menatap Kushina senang. "Aku akan memanggil dokter. Kau—kau tunggulah," ucap Minato. Ia akan pergi namun diurungkannya ketika sebelah tangannya dipegang oleh Kushina. "Kushina, aku—"
"Jangan pergi, tetaplah disini," ucap Kushina. Masker oksigen di wajahnya telah diturunkan sehingga membuatnya lebih leluasa bicara. "Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Tentang anakmu."
-.-.-.-.-
Kushina's POV
Sebenarnya, sejak Minato datang ke kamarku. Aku sudah bangun. Aku memejamkan mataku karena rasa pusing yang mendera di kepalaku. Aku lupa bagaimana aku bisa terbaring disini. Aku sungguh tak mengingatnya. Satu-satunya yang kusadari adalah bayiku telah lahir dengan kempesnya perutku. Aku harap bayi kecilku baik-baik saja. Karena aku tidak mengingat apapun hingga saat ini.
Ketika Minato datang, aku berpura-pura tertidur. Awalnya aku berniat mengagetkannya namun ternyata aku malah mengingat kembali alasan aku berada disini. Mimpi buruk yang membuatku terbaring disini. Anak itu, Sakura. Putri kandungnya dari wanita lain.
"Aku mungkin tidak tau diri masih menginginkan Sakura berada disini karena aku tau, kesakitanmu berasal darinya tapi tidak bisakah kau mencintainya, Kushina?—"
Mencintainya? Tidak. Aku tida mungkin bisa melakukannya. Mungkin aku akan membencinya. Seumur hidupku.
"—Sakura hanyalah bayi kecil tak berdosa yang hanya memiliki aku, ayah kandungnya. Aku tak mungkin tega meninggalkannya di panti asuhan ketika aku masih bernafas di dunia ini—"
DAN KAU TEGA MENGKHIANATIKU DENGAN WANITA LAIN? Lebih tega kau atau aku, Minato? Kau benar-benar jahat. Pria brengsek sialan.
"Aku—"
"M-minato," panggilku lirih memotong perkataan Minato.
"Kushina? Kau sudah sadar?" Minato menatapku senang. "Aku akan memanggil dokter. Kau—kau tunggulah," ucap Minato. Ia akan pergi namun diurungkannya ketika sebelah tangannya kupegang. "Kushina, aku—"
"Jangan pergi, tetaplah disini," ucapku. Masker oksigen di wajahku telah kuturunkan sehingga membuatku lebih leluasa bicara. "Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Tentang anakmu."
"Sakura? Tidak, kau sebaiknya dicek dokter. Kau baru bangun setelah dua bulan terbaring."
"Minato, siapa aku bagimu?" tanyaku spontan. "Kenapa? Kenapa kau tega melakukannya. Kenapa kau tega mengkhianatiku. Saat itu padahal kita telah memiliki Karin kan? Usia pernikahan kita juga sudah memasuki tahun ke-3. Tapi kenapa kau membuatku kecewa? Masihkah kau mencintaiku? Dan anakku, masihkah kau mengharapkan mereka?"
"Kushina, aku mencintaimu dan kau satu-satunya."
"Lalu kenapa?" tanyaku mendesak. Air mataku sudah mengalir di kedua sisi wajahku. "Kenapa kau tega mengkhianatiku? Siapa wanita itu? Bagaimana kejadiannya? Jelaskan padaku!"
Minato menatapku sedih. Memalingkan mukanya dia menceritakannya. Kronologis pengkhianatan sialannya.
"Malam itu, perusahaan mengalami kegagalan yang sangat besar. Beberapa proyek tidak berjalan sesuai rencana. Beberapa investor banyak yang mengundurkan diri dari perusahaan karena mendengar kabar burung tentang perusahaan yang akan bangkrut. Akhirnya, dengan terpaksa aku harus—"
"Kau mem-PHK 50% buruh pabrikmu, benar? Aku tau saat itu. Malam itu kau tidak pulang ke rumah. Jadi, malam itu kau..."
"Benar, Kushina. Malam itu aku merasa pusing dan lelah. Sebagai seorang pemimpin aku merasa tidak menjalankan tugasku dengan benar. Aku minum-minum di bar hingga tengah malam lalu bertemu dengan dia, Haruno Mebuki. Wanita itu telah menikah dan sedang memiliki masalah di rumah tangganya. Kemudian kami mengobrol hingga tanpa sadar kami telah melakukannya," cerita Minato dengan menyesal.
Ia tampak sangat menyesal tapi entah kenapa aku tak merasa kasihan. Tidak, aku bahkan tidak berniat untuk memaafkannya. Dia telah melakukannya selain denganku. Dia benar-benar pria brengsek dan aku tak sudi memaafkannya. Dan sekarang dia memintaku untuk merawat anak hasil hubungan gelapnya?
"Lalu dimana dia?" tanyaku tanpa menyebut wanita sialan itu. Aku takut mereka masih berhubungan hingga kini. "Kenapa kau membawa anakmu?"
"Mebuki sudah meninggal, Kushina. Hari ini adalah pertama kalinya aku bertemu dengannya lagi setelah kami melakukannya. Dia dalam keadaan kritis, dia memanggilku untuk pesan terakhirnya yaitu merawat putrinya dan aku jujur Kushina bahwa aku tidak mengetahui bahwa kami memiliki anak dari hubungan malam itu."
Aku menatap langsung ke dalam matanya dan aku tahu Minato jujur akan hal itu. Dia sama sekali tidak berbohong.
Aku terdiam sejenak menenangkan hatiku yang sudah berdegup kencang sedari tadi. Aku memikirkan seluruh perkataannya dan kupikirkan masak-masak. Mebuki sudah meninggal. Aku tidak berduka akan hal itu karena aku tidak mengenalnya dan aku tidak sudi mengenal wanita yang telah membuat suamiku berpaling.
Oh Tuhan, apa yang harus ku perbuat? Karena naluriku sebagai seorang Ibu adalah kasihan. Ya, aku kasihan kepada anaknya. Aku mungkin mengerti kenapa Mebuki menitipkan anaknya kepada Minato karena dia tak ingin anaknya hidup dengan sia-sia di panti asuhan. Ia ingin anaknya hidup normal dan seluruh Ibu di dunia ini menginginkannya.
"Baiklah, aku akan membiarkanmu merawatnya Minato," ujarku pada akhirnya.
Minato menatapku bahagia. "Kau bersungguh-sungguh?"
"Ya, tapi ada keinginanku yang ingin kaupenuhi." Minato menatapku penasaran. "Pertama, aku tak mau Namikaze menjadi namanya. Aku tak sudi mempunyai nama yang sama dengannya. Kedua, jangan pernah protes dengan sikapku kepadanya. Aku tak mau kau mengomentari bagaimana perlakuanku kepadanya nanti karena aku tidak akan pernah mencintainya. Aku akan membencinya seumur hidupku."
Minato terdiam mendengar perkataanku. Sejenak hening menyelimuti kamar ini. Tak lama kemudian Minato tersenyum tipis. "Baiklah jika itu maumu, Kushina. Aku akan melakukannya."
"Kau... menerimanya begitu saja?"
"Lalu apa? Memangnya ada lagi yang bisa kulakukan selain menerimanya? Aku bersyukur kau tidak menginginkan perceraian. Aku sungguh mencintaimu, Kushina. Dan jika ini satu-satunya cara aku mencintaimu maka aku akan melakukannya."
-.-.-.-.-
Enam Belas Tahun Kemudian
Sakura's POV
"Pagi Papa, Mama, Karin-nee dan Naruto," sapaku di pagi hari itu sebelum aku mendudukkan diri di salah satu kursi kosong di meja makan tersebut.
Papa sejenak menghentikan aktivas makannya untuk membalas sapaanku. "Pagi Sakura. Kau terlambat hari ini, hm?"
Aku tertawa. "Iya, Pa. Maafin Sakura. Tadi malam begadang ngerjain tugas."
Naruto mendengus kepadaku. "Ngerjain tugas atau nulis cerita yang 'iya-'iya', Sakura-chan?" ejeknya kepadaku tanpa mengalihkan dari makannya.
"Eh, 'iya-iya' apa sih," sanggahku cepat lalu mendelik kepada Naruto yang tersenyum geli di sela-sela makannya.
"Ya itulah, kau kan pasti mengerti sendiri," sahut Naruto.
Oke, aku memang mengerti apa maksud perkataan Naruto. Dan yang kulakukan semalam memang sedang menulis tapi bukan yang 'iya-iya'. Lalu darimana Naruto mengetahui hobiku itu? Ish...
"Sudah, sudah. Sakura, lekaslah makan nanti kau terlambat." Papa menghentikan perang dingin antara aku dan Naruto. Jika Papa tidak menghentikannya aku pasti akan melanjutkan perang ini.
Aku memulai sarapanku. Dalam diam aku menatap seluruh keluargaku. Ada Papa yang berambut pirang dengan mata biru menyejukkan. Papa lah sosok pujaanku selama ini dan aku berharap bisa menemukan seorang pria sepertinya. Lalu Naruto yang fotocopy-an Papa hanya dikurangi sepasang tanda lahir dan bentuk mata Mama.
Kemudian, Mama dan Karin-nee. Mereka memiliki rambut merah panjang yang indah. Sebagai seorang anak, tentu aku mengagumi dua sosok wanita di keluargaku ini. Hanya saja...
"Karin, bagaimana Iwa?" tanya Mama.
"Membosankan," sahut Karin. "Disana selalu hujan. Pengambilan gambar akhirnya dipindah ke dalam ruangan. Oh, sungguh membosankan, Ma."
"Oh benarkah? Sayang sekali. Jadwalmu bagaimana?"
"Kosong hingga waktu yang lama," ujar Karin seraya mengendikkan bahu tidak peduli.
"Karin," panggil Papa lalu menatap langsung mata Karin. "Papa harap—tidak, tapi Papa mau kau lulus tahun ini. Papa tidak mau melihat kau menunda-nunda sekolahmu."
Karin mengerang sebal. "Iya. Aku mengerti. Aku akan berusaha."
"Jangan berusaha tapi harus," ujar Papa tajam.
Karin di usianya yang ke-20 tahun ini memang masih duduk di kelas 3 SMA. Karirnya sebagai model membuatnya harus mengulang sekolahnya, yang pertama ketika SD dan yang kedua ketika SMP. Jadwal yang sering berbenturan dengan sekolahnya membuat ia sering izin tidak masuk. Dan Papa tidak menyukainya.
"Oh ya, minggu depan makan malam diluar, ayo?" ajak Karin tiba-tiba. "Aku sudah lama tidak menraktir Papa, Mama dan—" Karin menatap ke diriku lalu beralih ke Naruto. "—Naruto. "
"Wah, ide bagus, Karin. Kita juga sudah lama tidak makan sekeluarga," ucap Mama antusias. "Papa, Mama dan Naruto pasti mau kan?"
Aku tersenyum miris mendengar kalimat terakhir Mama. Lagi-lagi tidak ada aku di dalamnya. Tidak, bukan lagi-lagi tapi selalu. Sejak kecil Mama tidak pernah menganggapku ada, bagi Mama aku hanyalah sesosok bayangan yang tidak perlu diingat.
Aku sudah biasa, tapi merasakannya secara langsung setiap hari tidak pernah tidak membuka luka di hatiku. Dulu aku tidak mengerti kenapa Mama memperlakukanku seperti ini tapi makin aku besar, hanya berbekal namaku yang berbeda dari seluruh keluargaku. Aku sudah mengerti bahwa aku hanyalah anak yang tidak diinginkan di keluargaku ini.
Haruno Sakura.
Nama dari seorang anak yang tidak diharapkan di keluarga ini.
Haruno Sakura.
Aku.
-.-.-.-.-
Dengan langkah pelan kedua kakiku menuju halte bus yang tidak jauh dari rumah. Aku berjalan ringan seakan tak memiliki beban, walaupun kenyataannya aku memiliki beban pikiran yang setiap hari selalu menggangguku.
Ketika aku sedang sibuk dengan pikiranku, tiba-tiba sebuah tangan memegang tanganku dan menarikku ke sebuah gang yang sepi. Aku nyaris berteriak bila tidak mengetahui siapa pemilik tangan itu.
"Sasuke."
"Hai," sapa Sasuke tanpa dosa. Dia tersenyum tipis lalu memelukku erat, menenggelamkan kepalaku di dadanya yang bidang. "Aku merindukanmu," bisiknya lirih.
" Hm, aku juga."
Sasuke melepas pelukannya lalu menatapnya lembut. "Kau tak apa-apa?"
Aku tersenyum menatap Sasuke. "Memangnya aku terlihat kenapa-napa?"
"Tidak," ujar Sasuke seraya menggeleng samar seraya mendekatkan wajahnya padaku hingga akhirnya bibir kami saling memagut. Tangan kanan Sasuke memegang tengkukku sedangkan tangan kirinya melingkari pinggangku.
Aku memejamkan matanya dan membalas ciuman Sasuke. Jantungku berdebar kencang meskipun ini bukan kali pertamanya kami berciuman. Rasanya selalu sama dan aku sangat menyukainya.
"Sasuke," bisikku lirih lalu mendorong pelan dada Sasuke. Aku menarik nafas panjang setelah pagutan lama kami terlepas.
Sasuke mengusap pipiku sambil menatapku dengan mata sayunya. Dia tersenyum tipis kepadaku lalu menarikku kembali ke dalam pelukannya.
Aku menyandarkan kepalaku kepadanya dengan nyaman. Berada di pelukannya aku selalu merasa tenang bahkan ketika aku memiliki masalah terberat pun. Sasuke, dia satu-satunya yang dapat mengobati lukaku ini.
Aku sangat mencintainya dan aku tidak pernah menginginkan perpisahan darinya. Aku tidak ingin dia meninggalkanku dan aku tidak akan meninggalkannya karena dia satu-satunya bagiku. Uchiha Sasuke.
-.-.-.-.-
Author's POV
Tanpa Sakura maupun Sasuke sadari seseorang melihat mereka. Seseorang yang kini menggeram kesal dengan kedua tangan yang terkepal erat.
"Bagaimana bisa—?"
Orang itu berbalik lalu berjalan menjauhi Sakura dan Sasuke. Langkahnya berat dan tampak marah.
"Aku tak akan membiarkannya. Aku tak akan membiarkan dia menghalangiku," ucapnya lirih sebelum hilang diantara kerumunan orang.
-tbc-
Hai, ada cerita baru dariku. Maaf untuk penambahan utang. Aku memang jahat _
Mind to Review?
