Almost Lovers
.
.
.
Disclaimer : Aoyama Gosho
Chapter 1
Inevitable Reunion
Shinichi Kudo berdiri dengan bosan, matanya menatap jam tangannya untuk kesekian kalinya. Gara-gara badai salju. Gara-gara cuaca buruk, semua penerbangan ditunda dan dia menemukan dirinya bersama ratusan orang-orang yang mengomel di bandara. Suara gerutuan dan kicauan geraman memenuhi ruangan tunggu. Detektif itu mendengus kemudian berjalan sambil menyeret koper kecilnya dan mencari tempat duduk yang nyaman untuk beberapa jam ke depan. Matanya yang tajam berkeliling kemudian menemukan sofa kecil di ujung ruangan yang belum diduduki. Dia mempercepat langkahnya dan hampir mencapai sofa itu, tiba-tiba ada seseorang menarik perhatiannya. Matanya membulat tak percaya ketika melihat sosok orang yang sedang duduk di sofa sampingnya. Rambut pirang strawberry dan wajahnya yang menunduk itu.
Jangan-jangan…
"Haibara?"
Gadis itu mengangkat wajahnya dari majalah fashion yang sedang dibacanya. Wajahnya terkejut tapi cepat berubah kembali dengan poker face-nya. Dia tersenyum sedikit dari balik kacamatanya melihat pria itu.
"Kudo-kun. Tak kusangka bertemu dengan kau disini," ujarnya dengan tenang.
"Haibara! Kita sudah berapa tahun tak bertemu?" tanya Shinichi senang. Kemudian dia duduk di samping gadis itu dan meletakkan kopernya di lantai. "Tidak ada yang duduk disampingmu kan?"
"Sejauh ini tidak ada sebelum kau datang," balas Shiho kemudian balik membaca majalah yang sedang dipegangnya.
Shinichi mendadak gugup. Sudah lima tahun sudah berlalu semenjak Black Organization dikalahkan dan mereka berhasil menemukan antidote APTX 4869. Dia kembali menjadi Shinichi Kudo dan Haibara terbang ke US. Gadis itu ingin melanjutkan penelitiannya. Shinichi tak mencegahnya walau dia tau Professor Agasa pasti kecewa karena dia ingin gadis itu tetap tinggal bersamanya. Dia tau kalau Haibara masih tetap rutin menelepon dan mengirim email ke Hakase tapi gadis itu malah jarang membalas email dan telepon dari dia sendiri. Dan dia mendadak sebal setelah teringat hal ini.
"Haibara, kau mau kemana?" tanyanya.
Shiho menutup majalahnya dan menatap Shinichi. "Miyano sekarang. Aku ada acara symposium di London besok,"ujarnya pendek.
"Bagamana kabarmu? Kau jarang membalas emailku."
"Aku baik-baik saja. Kadang terlalu sibuk untuk membalas email yang tak penting."
"Hei, apa emailku tak penting?" tanya Shinichi kesal.
"Hmm… Isi emailmu cuma berisi pertanyaan tentang kabarku dalam kalimat pendek, tetapi sebagian besar hanya berisi tentang kasus yang kau hadapi, dan seingatku, kau bukan psikiater atau pengacaraku. Lagipula kalau kau benar- benar ingin tau kabarku, kau bisa tanya Hakase langsung."
Shinichi menatapnya sebal. Gadis ini dari dulu selalu tak berubah, selalu membuatnya kesal dan membuatnya mati kutu.
"Sejak kapan kau mengenakan kacamata? Lagipula kacamatamu tanpa minus?" tanya Shinichi heran melihat kacamata berbingkai hitam yang menghiasi wajah gadis itu.
"Aku tidak mau dikenali orang."
"Heh? Kenapa emangnya sampai tidak ingin dikenali orang? Kau bukan idol atau sejenisnya kan?" goda Shinichi sambil meringis.
"Akhir-akhir ini banyak wartawan mengejarku," gumam Shiho pendek.
"Mengejarmu? Untuk apa?"
Shiho menyipitkan matanya,"Kau tak berubah, selalu ingin tau soal kehidupan orang lain."
"Hey, Hai—Miyano, kita kan sudah saling kenal begitu lama," ujar Shinichi.
"Kau akan tau kalau melihat surat kabar akhir-akhir ini," balas Shiho.
"Berita apaan sih? Aku baru tiba dari Japan dan transit ke New York sebelum badai ini mengacaukan jadwalku."
Shiho tak menjawab. Dia malah mengalihkan wajahnya menatap pemandangan di luar kaca. Butir-butir salju tampak berterbangan di udara. Shinichi memperhatikannya dengan seksama. Gadis itu sama sekali tak berubah, rambut pendeknya terurai rapi, dia mengenakan terusan berwarna merah dibalik jaket bulunya dan sepasang bot hitam yang setinggi lutut. Gadis ini memiliki taste of fashion yang bagus dan berkelas. Dulu dia hampir tak bertemu dengan Shiho dengan sosok tubuh dewasanya karena dia terlalu bahagia disibukkan dengan kehidupan remajanya kembali.
"Bagaimana kehidupanmu setelah menjadi Shinichi Kudo?" tanya Shiho tiba-tiba.
"Huh? Biasa saja kok. Kembali menjadi detektif dan terpaksa membantu Kogoro Mouri karena berhutang budi padanya."
"Bagaimana dengan Mouri-san?"
"Ran? Dia baik-baik saja." Ada nada suara aneh pada Shinichi dan Shiho menyadarinya.
"Kalian belum menikah?"
"Heh? Tidak. Dan sejak kapan kita mulai membahas kehidupan cintaku?" elak Shinichi.
"Selama kau menjadi Conan, tak ada hal lain yang kau inginkan selain menjadi Shinichi dan kembali bersamanya."
"Uh, itu… Tapi, e—entahlah…" Shinichi sepertinya enggan melanjutkan pembicaraan mereka.
Shiho tak mendesaknya lagi. Dia diam-diam memperhatikan Shinichi dari dekat. Wajahnya yang dulu dia kenal sebagai Conan, sekarang berganti dengan raut wajah tampan dan cerdas. Rahangnya, hidungnya dan matanya yang berwarna kebiruan, juga senyum khasnya ketika berhasil menemukan jawaban dari misteri. Suara Shinichi berbeda dengan Conan, suaranya lebih dalam dan entah kenapa terasa begitu seksi di telinganya. Shiho berusaha untuk tidak memikirkannya lebih lanjut lagi, dia kembali menatap pemandangan di balik kaca.
"Penerbanganmu ditunda berapa jam, Miyano?"
"Lima jam dan sepertinya akan lebih lama melihat badai semakin parah. Sepertinya aku akan menginap di hotel dulu malam ini." Shiho bangkit berdiri dan mengambil kopernya.
"Kau sudah memesan hotel? Ada hotel di sebelah bandara, bagaimana kalau kita bersama-sama pergi kesana?"
"Hmm... baiklah." Shinichi mengambil kopernya dan hendak berdiri ketika tiba-tiba ada teriakan di ujung ruangan.
"PEMBUNUHAN! Tolong!"
Orang-orang mulai berbisik dan melihat ke arah teriakan.
Shiho menghela nafas dan berbalik menghadap Shinichi.
"Kau masih tetap murder magnet."
Shinichi meringis dan tersenyum kecil," Kau tunggu disini. Aku tidak akan lama."
Shiho mendengus. Bagaimana bisa ada pembunuhan di ruangan tunggu bandara? Tentu gara-gara ada detektif yang terjebak bersamanya malam ini. Dia kembali duduk dan mengambil majalah fashion yang dibacanya tadi. Tiba-tiba hatinya merasa cemas ketika melihat keributan di TKP. Dia ragu sejenak kemudian berjalan pelan mendekati kerumunan orang itu.
Shinichi sedang berdiri diantara dua orang. Yang satu adalah pria yang tampak kusut sambil memegang pisau dan yang satu adalah wanita yang menangis. Di lantai tampak terbujur sosok tubuh pria yang meringis kesakitan memegang perutnya yang berdarah. Orang-orang membentuk kerumunan tak berani mendekat.
"Oke. Sekarang letakkan pisaumu. Disini banyak saksi mata yang melihat perbuatanmu. Tak ada gunanya anda melawan." Terdengar suara Shinichi yang mencoba membujuk pria yang sedang gemetaran itu.
Pria itu menodongkan pisaunya sambil mengancam, matanya bergerak liar ketika kerumunan orang makin banyak dan semua menatapnya dengan tatapan mencemooh.
"Gara-gara wanita jahanam ini! Dia berani-beraninya pergi dengan pria lain sewaktu aku tidak ada dan aku memergokinya sekarang," teriaknya lantang. Wanita itu menggelengkan kepalanya sambil menangis.
"Tenang dulu. Letakkan pisaumu dan semua akan baik-baik saja, oke?" bujuk Shinichi lagi.
"Siapa kau?" tanya pria itu mendadak. Diacungkan pisaunya ke arah Shinichi sekarang.
"Aku bukan siapa-siapa. Kendalikan emosimu sebelum pisaumu memakan korban lain lagi, oke? Letakkan pisaumu pelan-pelan dan semuanya akan baik-baik saja."
Pria itu masih tak percaya, dia malah mendengus.
"Kau yang berselingkuh dengan istriku?" tuduhnya.
Shinichi menggeleng. Wajahnya semakin berkeringat. Sudah beberapa menit lewat dia mencoba membujuk pria ini dan berakhir dengan sia-sia. Jadi harus ada orang yang membekuknya sebelum keadaan menjadi lebih buruk. Dia melihat sekeliling dan menemukan petugas satpam bandara sedang berjalan pelan-pelan di belakang pria histeris itu. Dia menggangguk memberi kode dengan matanya. Tapi sialnya sepertinya pria itu mengetahuinya dan dia malah menerjang ke depan, ke arah Shinichi.
Shinichi segera berkelit, tapi tak cukup cepat. Pisau itu melukai tangannya, darah mulai bertetesan di lantai. Pria yang histeris itu berhasil di bekuk dua orang petugas satpam yang bertubuh besar dan memborgol tangannya setelah merampas pisau.
Shiho melihat kejadian itu dengan ngeri.
"Kudo!" jeritnya. Dia segera berlari menghambur ke arah pria itu dan memegang tangannya. Luka itu cukup dalam, menembus jas yang dia pakai dan harus segera diobati.
"Miyano, bukankah aku menyuruhmu tunggu disana?" desisnya.
"Diam. Aku harus segera mengobatimu. Dimana rumah sakit terdekat?"
"Los Angeles penuh rumah sakit. Tapi keliatan lukaku tak perlu dijahit. Sebentar lagi juga darahnya sudah berhenti, tak perlu repot-repot, lagipula sedang ada badai salju diluar."
Shiho menatapnya marah," Kau tak tau bagaimana kuman bakteri bisa berkembang biak pada luka yang tak diobati? Dan kau akan mati konyol."
Shinichi tak menjawab. Gadis itu menarik detektif itu menjauhi kerumunan orang-orang yang melihat mereka seakan tontonan gratis. Bahkan ada beberapa orang yang mengambil kesempatan memotret mereka berdua dari dekat. Bukankah kejadian yang menarik seperti ini tidak terjadi setiap hari? Detektif itu membayangkan kalau dia akan tampil di koran besok paginya lagi, tapi dengan tangan terluka. Berita empuk untuk wartawan yang haus berita.
Pria yang diserang itu dipapah kemudian mereka membawanya ke rumah sakit bersama wanita yang sedang menangis itu. Shiho menggandeng Shinichi sambil membawa koper mereka dan mengikuti rombongan untuk pergi ke rumah sakit.
Sepanjang perjalanan, mereka duduk dalam diam. Di rumah sakit, Shinichi mendapat empat jahitan dan setelah rombongan orang-orang itu pergi, Shiho mengambil tempat duduk di sebelah Shinichi.
"Bagaimana? Kau mau balik ke hotel sekarang? Aku sudah memesan hotel terdekat, tapi sayangnya cuma tinggal satu kamar. Kau tak keberatan kan?" tanyanya pelan.
Shinichi mengangguk. Wajahnya masih pucat pasi menahan kesakitan.
Mereka tiba di hotel dengan taksi dan Shiho tetap menggandeng pria itu sepanjang perjalanan. Shinichi memperhatikan wajah gadis itu dari dekat. Raut kecemasan dan kekhawatiran masih membayang di mukanya, bibirnya menipis dan detektif itu tau, gadis itu masih marah.
Shiho masuk ke dalam kamar diikuti Shinichi. Detektif itu melihat sekeliling kamar dan berseru,"Cuma ada satu ranjang, Miyano."
Gadis itu menyipitkan matanya,"Kau tidur disana, aku di sofa." Dia kemudian menyalakan pemanas ruangan dan melempar kopernya di lantai. Dilepaskan jaket bulu, kacamata dan sepatu botnya. Kakinya yang telanjang terasa nyaman di karpet kamar.
"Tidak. Kau tidur di ranjang, aku yang tidur di sofa."
"Kudo. Tidak usah berlagak gentleman, kau sedang terluka dan sofa terlalu sempit. Kuharap kau mengerti," desis Shiho.
Shinichi menggeleng,"Kalau begitu kau yang tidur bersamaku di ranjang malam ini." Dia kemudian nyengir melihat raut wajah Shiho yang jengkel. "Tenang saja, aku tidak akan menyerangmu," lanjutnya lagi.
Shiho mencibir,"Huh, kau pikir aku tidak cukup menarik untuk detektif mesum sepertimu?"
Shinichi kehilangan kata-kata tak bisa menjawab. Dia cuma menggaruk kepalanya dengan tangannya yang tak terluka.
"Kau mau mandi dulu?" tanya Shiho basa-basi yang diikuti anggukan Shinichi. Gadis itu hanya mengangkat alisnya tapi matanya tak berhenti memperhatikan gerak-gerik Shinichi yang canggung dengan hanya satu tangan yang bebas.
"Kau mau mandi sendiri atau kau ingin aku yang memandikanmu, Kudo?" tanya Shiho kalem. Shinichi hampir tersedak ketika mendengarnya. Wajahnya memerah tapi dia cepat mengendalikan pertahanan dirinya. Dia tau kalau Shiho hanya ingin menggodanya dan dia dengan senang hati akan ikut dalam permainan gadis itu.
"Hmm…. Aku ingin kau menggosok punggungku karena tanganku terluka dan aku juga ingin keramas karena rambutku bau keringat. Ayo, Miyano Shiho. Tunggu apa lagi?" Dia mengulurkan tangannya ke arah gadis itu yang dibalas dengan tatapan death-glare. Shinichi tersenyum kecil, sudah lama dia tak merasakan tatapan trade mark-nya Shiho dan aura dingin mematikannya.
"Aku serius, Miyano," ujarnya lagi dengan tenang.
Shiho menggeram,"Katakan sekali lagi atau aku akan menendangmu keluar."
Shinichi tertawa sambil mengambil handuk pergi ke kamar mandi.
Shiho menghela nafas kemudian duduk di ranjang sambil meraih remote tv. Dibukanya setiap channel dengan wajah tak tertarik, ketika sampai pada channel berita, matanya membesar kemudian dia cepat-cepat mematikan tv-nya. Suara air pancuran masih terdengar, berarti detektif yang sedang mandi itu mungkin tak mendengar siaran beritanya.
Shiho duduk termenung, kemudian dikeluarkan hp dari tas kecilnya.
Ada 125 pesan masuk, 24 panggilan tak terjawab, 39 email belum terbuka.
Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menghela nafas panjang.
"Ada apa, Miyano?"
Shiho terlonjak. Ternyata Shinichi sudah siap mandi dan dia telanjang dada hanya mengenakan handuk untuk membalut area bagian bawahnya. Tangan kirinya yang terluka masih terbalut dan dia bergerak dengan canggung menghindari tatapan gadis itu. Dia hanya berusaha mengurai rambutnya yang basah dengan satu tangan dan berdiri di depan cermin untuk mencari pengering rambut di laci.
Walau Shiho merasa malu tapi dia tak sanggup melewatkan pemandangan titik-titik air yang masih menetes di dada pria itu yang kemudian mengalir melewati perutnya yang rata dari balik cermin.
Shinichi menyadari tatapan gadis itu dan wajahnya kembali memerah. Jantungnya tiba-tiba berdebar sekarang. Dia dengan gugup berusaha menyalakan hair dryer-nya dengan tangannya yang tak terluka.
"Mau kubantu, Kudo?"
Shinichi menoleh tapi hanya menggumam. Dia kemudian duduk di tepi ranjang dan Shiho mendekatinya. Gadis itu kemudian menyalakan hair dryer dan mulai mengeringkan rambut detektif itu. Tangan gadis itu terasa lembut di kepalanya, mengurai helai demi helai, dan Shinichi bisa merasakan parfumnya dari jarak dekat. Baunya sangat menyenangkan, entah itu aroma alami gadis itu atau jenis parfum yang memikat.
Suasana di kamar sangat tenang. Cuma suara dengungan hair dryer yang menggaung. Tapi debaran hati antar dua lawan jenis terasa menggema di telinga masing-masing. Walau mereka tak yakin kalau itu adalah refleksi dari kedekatan secara fisik atau ada perasaan lain yang selama ini tersimpan dan bergerak liar malam itu.
"Oke. Sudah siap, Kudo." Shiho mematikan hair dryer-nya dan menaruhnya di atas meja. Tapi Shinichi tak bergerak. Tatapan mata pria itu sedang bermimpi panjang.
"Kudo? Ada apa denganmu?" tanya gadis itu cemas, dia menepuk pipi pria itu.
"Ah, tidak apa-apa." Shinichi menggeleng kepalanya dan berdiri mengambil bajunya meninggalkan Shiho menuju kamar mandi. Gadis itu menatapnya heran.
"Miyano, kau mau mandi juga?" tanyanya begitu kembali. Shinichi sudah mengenakan piyama dan kemudian duduk di ranjang mengamatinya.
"Oh, tidak. Aku tidak mau mandi pada malam sedingin ini."
"Airnya tidak dingin kok. Lagipula kau masih keliatan can—rapi"
Shiho mengangkat alisnya,"Kau bilang apa? Kau ingin makan?"
"Tidak. Kalau kau lapar, panggil room service saja."
Shiho menggeleng, dia kemudian mengambil majalah dan membacanya sambil duduk di sofa.
Suasana menjadi canggung. Gadis itu menyadari kalau Shinichi masih tetap mengamatinya dan dia menghela nafas dan mendesis,"Ada apa, Kudo? Ada yang ingin kau katakan?"
Mereka saling menatap dengan intimidasi. Shinichi akhirnya tertawa,"Kau sama sekali tidak berubah, Miyano."
"Dalam waktu lima tahun tentu saja banyak yang berubah, Kudo."
"Hmm… Bagaimana kabarmu?"
"Kudo, kupikir kita sudah melewati tahap pertanyaan menanyakan hal basa basi dan tak penting. Aku sering melihatmu di koran. Kau cukup terkenal rupanya."
"Penyelamat Kepolisian Japan?" tanya Shinichi congkak.
Shiho mendengus,"Bukan. Cuma berita detektif arogan nan sombong yang masih belum bisa menangkap Kaitou Kid sampai sekarang."
"Oi-oi. Tapi aku senang karena kau masih menyempatkan diri membaca berita tentangku," balas Shinichi nyengir.
"Tidak. Aku sebenarnya tidak tertarik dengan kasusmu, aku cuma ingin tau sampai kapan kegagalan terus menghantuimu dalam menangkap Moonlight Magician."
Shinichi mengerutkan alisnya. Gadis ini selalu berhasil membuatnya kesal dan tak bisa membalas.
"Paling tidak, aku tidak seperti seseorang yang memakai kacamata palsu seperti Edogawa Conan dan dikejar-kejar wartawan."
Shiho mendengus lagi dan lebih keras kali ini. "Aku bukan pria berkepribadian ganda yang harus menipu kekasihnya dan memakai pengubah suara untuk memecahkan kasus."
"Miyano," desis Shinichi kesal. Gadis itu tersenyum kecil.
"Bagaimana kabar Yoshida-san, Kojima-san, dan Tsuruburaya-san?" tanya Shiho.
"Kabar mereka baik-baik saja. Kudengar mereka tetap meneruskan Detective Boys sepeninggal kita."
Shiho tersenyum mengingat sahabat kecilnya.
"Sudah larut malam, Miyano," gumamnya.
Shiho menatapnya,"Tidak. Aku tidur di sofa saja. Lagipula sofanya cukup besar. "
Shinichi menatapnya kesal, dia bangkit berdiri dan mendekati gadis itu. Ditariknya tangannya dan menyeretnya setengah paksa ke ranjang. Shiho berusaha meronta tapi rupanya kekuatan tangan Shinichi kuat walau hanya dengan satu tangan menghelanya.
"Kenapa harus malu, Miyano? Bukankah kita dulu sudah sering tidur berdua sewaktu menjadi Conan dan Ai?"
"Huh. Itu beda, bodoh." Gadis itu duduk di ranjang dengan kesal.
"Apanya beda. Bukannya sama saja?" tanya Shinichi heran.
"Bodoh. Kau selamanya akan tetap bodoh."
"Oi-oi, kita baru bertemu setelah sekian lama dan kau sudah memanggilku bodoh berkali-kali."
"Mouri-san pasti akan melabrakmu kalau dia tau kita tinggal sekamar."
"Ugh"
Shiho mengamati reaksi wajah Shinichi dan dia menggumam,"Ada apa dengan Mouri-san?"
"Dia baik-baik saja kok," elak Shinichi.
Dia tak mendesak lagi tapi kemudian handphonenya berdering. Posisi Shinichi yang lebih dekat di meja kecil, menyambarnya dan melihat sekilas pada layarnya. Alisnya terangkat ketika melihat nama yang tertera dan banyaknya pesan yang menumpuk untuk segera dibalas.
" Cepat serahkan padaku," desis Shiho. Shinichi menyerahkannya dan memperhatikan gadis itu menekan tombol reject kemudian mematikan handphonenya.
"Ada apa lagi?" tanya Shiho kesal karena detektif itu masih tetap menatapnya.
"Siapa yang mencarimu sampai sebegitunya? Kekasihmu?"
"Bukan urusanmu," ujar Shiho pendek. Dia kemudian meletakkan handphonenya di atas meja kecil disampingnya dan kemudian menarik selimut untuk bersiap-siap tidur.
Sagura Hakuba
Nama itu yang tertera pada layar handphone Prada gadis itu. Shinichi mengerutkan alisnya. Dia heran bagaimana Shiho bisa berkenalan dengan detektif blasteran Inggris itu. Dia mengacak-acak rambutnya dengan tangannya yang bebas. Merasa frustasi dan tak bisa tidur, detektif itu bangkit dari ranjang dan menyalakan tv. Dia menoleh untuk memastikan kalau gadis itu sudah terlelap. Dan sepertinya sudah, karena seingatnya, Shiho tak pandai berpura-pura tidur.
Channel berita. Breaking News.
Wajah Shinichi berubah ketika melihat berita yang terpampang di layar.
Tunangan dari pewaris Hakuba Corporation bersama detektif terkenal Japan, Shinichi Kudo.
Disana ada foto Shiho yang sedang memapahnya, rambut pirang strawberrynya berkilauan, wajah cemasnya dan raut Shinichi yang tengah kesakitan.
Shiho bertunangan dengan Saguru? Dalam mimpinya yang paling aneh pun tak pernah kepikiran. Shinichi mencoba tertawa, tapi dia tiba-tiba merasa ada yang sesak di dadanya.
Dia memperhatikan pembawa berita yang dengan antusias menjelaskan kalau mereka mendapat berita terbaru tentang skandal tunangan pewaris konglomerasi terbesar di Inggris tertangkap basah berduaan bersama detektif Japan.
"Skandal?"
Shinichi terlonjak dan menoleh melihat Shiho sudah berdiri di sampingnya dengan wajah lelah.
"Hmm…. Miyano? Bisa kau jelaskan padaku?" tanyanya sambil menunjuk ke arah layar.
Shiho tertawa gugup.
.
.
.
to be continued...
A/N : akan bersambung setelah gw ga sibuk lagi. Soalnya nanggung sekalian aja dipost dgn fic2 gw yang lain. HEHE.
See yaa ^_^
