Disclaimer: Tsukiuta © Tsukino Production

Warning: GeishaAU, typo, OOC. Don't Like, Don't Read! ;)

Summary: [Geisha AU] [kaiharu, hajishun] Fem!Haru. Haru rasa, ia cukup puas dengan kehidupannya sekarang. Sekalipun itu ibarat burung dalam sangkar yang indah.

Written for self satisfaction. Nonprofit purpose.

XoXo-XoXo-XoXo

Subtle Melancholy © Kiriya Arecia

XoXo-XoXo-XoXo

Haru tinggal bersama keluarganya di sudut kota, tidak terlalu kumuh, masih merupakan tempat yang layak untuk ditinggali. Pada masa pemerintahan yang kesusahan karena perang tak kunjung berakhir, ayahnya ikut berperang demi tanah air bersama para pemuda lainnya semenjak beberapa bulan lalu, namun Haru bersyukur masih dapat hidup bersama ibu dan adik-adiknya tanpa merasakan dingin salju. Dia membantu ibunya bekerja pada tempat makan di kota yang ramai. Dengan para pegawai yang bersikap baik padanya. Karenanya pula, Haru bekerja dengan giat. Baginya kehidupan seperti ini cukup. Karena di luar sana ada begitu banyak anak-anak seusianya yang kehilangan rumah dan orang tua. Haru bersimpati, namun dia tidak bisa melakukan apa-apa terhadap kota yang sedikit demi sedikit menuju ambang kehancuran. Haru bertahan hidup sebisanya, karena orang-orang yang dia sayangi masih berada di sisinya.

Ibunya. Adik-adiknya. Temannya.

XoXo-XoXo-XoXo

Saat itu malam yang dingin, ibunya sakit hingga Haru menggantikannya bekerja di tempat makan hingga larut. Haru mengeratkan syal di perjalanannya menuju ke rumah. Bahkan syal rajut buatan ibu yang dipakainya tidak cukup untuk mengurangi rasa yang menusuk di musim dingin. Geta yang dipakainya menjadi berat karena tenggelam di tumpukan salju yang menutupi jalanan. Napasnya beruap setiap kali keluar dari mulutnya. Di kegelapan malam, pohon-pohon tinggi bersisakan dahan dan ranting seakan-akan ingin menggapai karena desau angin.

Haru melihat seorang anak kecil sepantarannya berdiri di bawah pohon sakura yang kehilangan daun-daunnya.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" Haru menghampirinya, anak itu terlihat kebingungan.

"Tadi siang aku kehilangan jam saku pemberian ibuku di sekitar sini. Aku sedang mencarinya."

"Apa itu sangat berharga?"

"Iya, karena ibuku sudah berada di surga."

Haru mengangguk paham, "Tapi akan sangat sulit mencarinya di malam hari karena gelap. Ini sudah larut malam. Para polisi akan berpatroli di sini. Kau bisa ditangkap mereka."

"Tapi aku harus menemukannya. Aku yakin sekali kehilangannya di tempat ini. Aku tidak ingin barang itu diambil orang."

"Hm, bagaimana kalau kau cari saja saat fajar. Disaat itu pasti akan lebih terlihat jelas daripada malam hari. Orang-orang juga belum banyak yang berlalu lalang. Aku akan membantumu."

Anak laki-laki itu menatapnya.

Haru berjalan lebih dekat padanya, meraih tangan anak itu, terkejut begitu mendapati tangannya begitu dingin. Dia pasti telah lama mencarinya.

"Kau bisa sakit sebelum berhasil menemukannya." Haru melepas syal yang dipakainya, memakaikan pada leher anak itu. Haru sedikit terkejut karena dia sedikit lebih tinggi.

"Aku janji akan membantumu mencarinya." Haru mengangkat jari kelingkingnya. "Kita pasti bisa menemukannya besok."

Anak itu membalas tautan kelingkingnya, "Baiklah."

Pagi sekali, bahkan ayam belum berkokok, matahari belum bangun dari peraduan, dua anak kecil melawan udara dingin, mencari di antara salju yang mulai mencair.

Haru menemukan apa yang mereka cari.

Sebuah jam saku bundar dengan warna keemasan. Tertulis dengan huruf yang aneh baginya, rantai jam terlihat berkilau. Ada lubang kunci pada bagian sisinya.

"Terima kasih—" ucapan anak lelaki itu terhenti sejenak, ia belum mengetahui nama gadis di depannya.

"Haru, itu namaku." Ia mengucapkannya dengan senyuman.

"Aku Hajime."

Ada salju di atas surai pirang Haru yang disapu oleh Hajime.

Mereka berteman untuk beberapa waktu, hingga bertemu salam perpisahan.

Yang tersisa di tangan Haru adalah sebuah jam saku berwarna keemasan bertulis angka romawi dan sapu tangan berwarna hijau muda bersulam bunga warna warni.

"Kau, terlihat cocok dengan warna musim semi."

"Uh—terima kasih, maaf aku tidak bsa memberimu apa-apa."

Hajime memperi ketukan pelan dengan jemarinya pada kepala Haru. "Mari bertemu lagi, suatu hari nanti."

"Saat hari itu tiba, pastikan kau jadi laki-laki yang hebat, Hajime."

Sebuah janji kelingking bertaut.

XoXo-XoXo-XoXo

Haru kehilangan teman dekatnya yang pindah ke kota berbeda di musim semi. Kehilangan keluarganya pada musim panas, saat kotanya berada dalam nyala api dan lenyap dalam hitungan satu malam. Yang tersisa hanya sebuah jam saku terbungkus sapu tangan di saku kimono dan sebungkus makan malam yang dibawa pulang untuk dinikmati bersama keluarga.

Dia bertahan hidup pada sebuah tempat penampungan yang disediakan untuk korban perang. Tanpa keluarga dan menyedihkan. Di sampingnya ada beberapa anak yang lebih kecil darinya, menangis sesegukan. Ada beberapa orang yang terluka di hadapannya. Rintih kesakitan, teriakan dan tangisan dari ibu yang kehilangan anaknya.

Ah, Haru juga ingin menangis.

"Jangan menangis, kita akan baik-baik saja."

Haru mengucapkannya pada anak kecil yang dia obati lukanya. Akan baik-baik saja? Haru sendiri tidak yakin terhadap apa yang dia katakan.

"Lukamu akan sembuh."

Seminggu kemudian anak kecil itu meninggal dunia, masih dengan ikatan perban di lengannya. Bukan karena lukanya, bukan karena mereka kelaparan. Dia tak sengaja terbunuh dalam peperangan.

Haru memetik setangkai bunga liar untuk diletakkan di atas makam sang anak kecil.

Dia mulai terbiasa dengan rasa kehilangan. Disaat umurnya sembilan tahun.

XoXo-XoXo-XoXo

Haru bahkan tidak mengerti kenapa dia dituduh melakukan pencurian. Yang dia lakukan hanyalah berjalan di pasar untuk mencari pekerjaan kecil yang bisa dilakukannya. Berharap hanya pada bantuan pemerintah tidaklah cukup. Rambut pirangnya ditarik dengan keras, menyisakan rasa sakit dari helaian yang tercabut. Bibirnya lebam berdarah. Jam saku direbut, satu-satunya benda miliknya yang tersisa. Itu adalah miliknya, dan Haru tidak akan membiarkan benda itu hilang juga. Dia menggigit tangan pemuda yang merebut jamnya, mengabaikan makian. Berlari dan bersembunyi di sudut gang yang sepi. Memeluk lututnya.

Hidupnya tidak akan lebih buruk dari ini kan?

Haru menenggelamkan wajahnya dilutut. Sapu tangannya hilang.

Di tempat penampungan, semuanya tidak cukup baik. Terkadang mereka mendapatkan makanan, dan terkadang menahannya untuk waktu yang lama. Jumlah orang di sana semakin bertambah tiap kali perang terjadi, dan berkurang ketika ada yang mati. Haru mulai terbiasa melihatnya. Hal yang tak layak untuk dilihat anak kecil sepertinya.

"Haru, ada apa denganmu, nak? Wajahmu terluka. Biar bibi obati."

Haru menggeleng pelan, tersenyum kecil pada nyonya yang baik padanya. Ibu itu sama sepertinya, kehilangan keluarga. Menyisakan dirinya sebatang kara.

"Ambillah roti ini untukmu, bibi masih kenyang."

Meskipun ada banyak hal menyakitkan, Haru masih bisa tersenyum. Masih ada kebaikan berada di sekitarnya.

Rotinya yang keras terasa asin.

(Ah, mungkin karena aku memakannya sambil menangis)

XoXo-XoXo-XoXo

Mereka semua, para korban perang di bawa ke tempat-tempat berbeda. Mungkin karena tempat mereka sekarang tidak lagi cukup untuk korban yang semakin bertambah. Bisa pula karena kota ini akan hancur. Haru akan di bawa ke tempat yang lain.

Haru tidak berharap banyak. Kali inipun dia berpisah dengan nyonya baik hati. Sosok yang memberinya omamori berisi beberapa koin perak sebelum mereka saling memberi pelukan perpisahan.

Meskipun tempat baru, apa yang dijalaninya tidak jauh berbeda. Hanya ada wajah-wajah baru, yang tidak tahu bagaimana menjalani hidup untuk seterusnya. Tentu saja, semua masih akan tetap sama. Suatu saat mereka merasa kenyang, dan di lain waktu bersabar untuk mendapat kebaikan dari para orang atas.

"Roti untukmu." Setengah roti terjulur untuknya. Diberikan oleh anak lelaki bersurai kecoklatan dengan bola mata sebiru lautan.

Haru menatapnya beberapa saat, anak itu tampak sedang mengunyah roti dari potongan yang sama.

"Itu milikmu."

"Tidak apa-apa. aku senang berbagi." Anak itu duduk di sampingnya. Memberikan setengah roti dengan senyuman. "Kau terlihat sedih. Jadi aku memberimu roti agar kau merasa senang."

Haru tertawa kecil, "Terima kasih."

"Nah, kau terlihat senang sekarang." anak itu turut memberikan cengiran lebar. "Kau baru tiba di sini kan? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya."

Haru mengangguk, "Aku dibawa kemari dari kota sebelah. Di sana terlalu banyak korban."

"Kita tidak bisa berharap banyak di tempat ini, tetapi ini lebih baik dari pada kedinginan di jalanan." Anak itu menelan potongan roti terakhirnya, ia menepuk kepalanya, "Astaga, aku lupa!"

Haru berjengit, "Lupa apa?"

"Lupa menanyakan namamu!"

Haru kembali tertawa, "Namaku Haru."

"Aku Kai. Mari berjuang bersama, Haru."

Haru kembali menemukan sosok baik diantara puing-puing yang tercipta karena perang.

XoXo-XoXo-XoXo

Para pemuda di tempat mereka semakin berkurang. Diperintahkan untuk ikut berperang. Gadis-gadis muda dibawa pergi oleh orang-orang dewasa yang tidak mereka kenal. Hanya ada anak-anak tersisa bersama para wanita tua. Membuat Haru dan Kai untuk bersikap dewasa untuk adik-adik kecil di sana. Menjadi kakak bagi mereka, dan menjadi anak baik yang membantu para wanita. Waktu terasa lama untuk Haru menyentuh usia sepuluh. Namun ia telah berusaha menjadi sosok yang dapat diandalkan. Ia dikenal sebagai kakak yang baik.

Suatu hati, Haru mendapatkan gelang dari kerang. Diberikan oleh adik-adik kecilnya dan Kai.

"Mereka berkata ingin memberikan sesuatu pada Haru. Aku mencarinya di pantai, dan mereka yang merangkainya!" Kai berucap semangat.

Hal sesederhana itu, mampu membuatnya merasa senang.

Hari-hari berlalu seperti ini. Dan Haru merasa dia bisa menikmati hidup lebih lama, bagaimanapun beratnya.

Musim semi menjauh, masa menyentuh musim gugur. Daun-daun gingko menguning, memenuhi jalanan. Terkadang terbang terbawa deru angin, memenuhi jalan setapak yang rumputnya menghijau. Haru menyenangi dunia tenang seperti ini.

Dia duduk bersandar pada pohon gingko, bernaung di bawah dahan yang rimbun meskipun helaiannya berjatuhan tiap kali disapa angin. Di tangannya ada buku tua yang telah robek pada beberapa bagian.

"Kau bisa membaca?" Kai menghampirinya.

"Sedikit. Temanku pernah mengajariku. Aku suka membaca buku."

"Hm, berarti kau orang yang pintar. Karena orang pintar biasanya senang membaca buku."

"Kai tidak bisa membaca?"

Kai menggeleng, "Tidak bisa. Tapi aku bisa menghitung uang."

"Mau aku ajari?"

"Sungguh kau mau mengajariku? Apa itu artinya aku akan menjadi orang pintar seperti Haru?"

Sore-sore mereka berlalu dengan Kai yang belajar mengeja huruf. Senja yang mengesankan akan terjadi jika Kai memasang cengiran dengan tangan yang memperlihatkan buku-buku—entah di dapatnya dari mana. Bukan buku baru, namun itu cukup untuk membuat hati Haru senang.

Haru akan mendongeng dari cerita-cerita yang dibacanya pada malam hari untuk adik-adik kecil sebelum mereka tidur. Mencoba untuk lebih kuat menghadapi hari esok, karena kedamaian belum menyentuh dunia mereka.

XoXo-XoXo-XoXo

"Kau sudah pandai membaca, Kai."

"Berkat Haru. Kau bisa jadi seorang guru yang hebat."

"Itu adalah cita-cita yang sepertinya tidak akan tercapai."

"Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tidak apa memiliki mimpi, kan? Meskipun seperti ini, aku memiliki mimpi. Menjadi orang yang cukup kuat untuk melindungi banyak hal."

"Itu akan jadi hal sulit. Sebentar lagi, entah itu aku atau Kai, salah satu diantara kita akan pergi lebih dahulu. Kau akan ikut perang, dan aku—entahlah. Jika beruntung, mungkin aku bisa menjadi pelayan di sebuah rumah makan."

Mereka tahu dengan jelas bahwa gadis yang mencapai umur remaja biasanya akan dibawa pergi untuk bekerja, entah itu menjadi pelayan, oiran, maupun geisha.

Haru tidak pernah berharap banyak. Dia sudah mengubur mimpi-mimpinya.

Itu pembicaraan terakhir mereka berdua di bawah langit yang menyentuh warna oranye. Haru menjadi orang yang harus lebih dahulu pergi, meskipun menyentuh angka remaja masih jauh darinya. Ada beberapa wanita cantik berkimono datang ke tempat mereka, di saat Haru membacakan sebuah buku cerita. Salah satu dari mereka menatap Haru penuh minat.

"Kau bisa membaca dan menulis?"

"Sedikit—"

Wanita itu menyentuh surai pirangnya yang ikal pendek. Memegang tangannya dan menatap mata emerald-nya dalam.

"Mata yang indah. Aku bisa memberikan mereka kehidupan yang nyaman untuk beberapa waktu jika kau mau pergi denganku."

Di saat yang berat bagi semua orang untuk mendapatkan pengganjal perut, Haru hanya mengangguk pelan. Tanpa tahu pasti arti menjual kebebasan.

"Aku akan membawa anak ini."

Setidaknya untuk beberapa waktu, anak-anak di sana tidak akan kelaparan karena mendapatkan uang pertukaran dirinya. Haru akan kembali tinggal di tempat yang baru. Haru selalu tersenyum dalam menghadapi apapun, begitulah dia membuat dirinya jadi lebih kuat. Namun Kai terlihat seperti akan menangis.

Meskipun biasanya di mata Haru, Kai selalu terlihat sebagai anak lelaki yang ceria dan kuat.

Haru meraih tangan Kai.

"Kai harus jadi pemuda kuat agar mampu melindungi banyak hal."

XoXo-XoXo-XoXo

Ada beberapa gadis yang seumuran dengannya di okiya—rumah kediaman para geisha, dengan berbagai sikap. Pendiam, cerewet, baik, sombong, bahkan yang bersikap mengesalkan hati. Beberapa maiko—geisha magang memperlakukan mereka dengan seenaknya, memerintahkan mengerjakan begitu banyak hal ini itu dengan waktu istirahat yang sedikit. Sampai-sampai tangannya pegal dan punggungnya sakit di malam hari. Beberapa anak perempuan menangis karena tidak tahan terhadap pekerjaan seperti itu yang selalu berulang. Haru duduk pada sudut ruangan, menatap jam saku, satu koin perak yang tersisa dari kantung jimat dan gelang dari kerang. Barang yang menjadi berharga untuknya.

Hal yang membuat Haru terpana dari okiya adalah betapa cantiknya setiap sosok yang memakai kimono berkerah putih berlapis sulaman-sulaman bunga dengan sikap anggun. Juga okasan yang selalu bersikap tegas dan ketat terhadap segala hal. Ada banyak laki-laki berpakaian mewah datang ke tempat itu. Perlu waktu untuk Haru mengerti tentang apa-apa saja pekerjaan geisha itu nantinya. Rasanya Haru tidak sanggup membayangkan hari seperti itu akan tiba untuknya juga. Memakai kimono setebal dua belas lapis terdengar begitu melelahkan. Mungkin dia bisa tetap menjadi pelayan tanpa perlu mengikuti pelatihan seni di kaburenjo untuk menjadi geisha. Dia tidak mempermasalahkan bekerja untuk waktu yang lebih lama karena hal itu. Maupun itu berarti seumur hidupnya. Lagipula tidak ada tempat yang bisa ditujunya sebagai rumah berpulang.

Jalan menuju geisha sangatlah sulit, anak-anak yang bahkan belum menyentuh umur dewasa seperti mereka hanya bertugas membersihkan dan mempelajari beberapa hal sederhana pada awalnya di okiya. Hingga kemudian mereka-mereka yang dianggap berbakat disuruh belajar berbagai bidang kesenian termasuk merangkai bunga, bermain alat musik petik, menari hingga menulis kaligrafi. Dia salah satunya, Haru ingat rasanya saat ia mencari jam saku di bawah tumpukan salju di waktu fajar menyingsing. Namun itu rasanya tidak sedingin merendam jarinya di air es demi berlatih memainkan shamisen dan kesalahan-kesalahan yang mendapatkan hukuman pukulan dari rotan. Ada hari-hari berlalu dengan hafalan yang Haru lakukan sambil mencuci kemudian berganti menjadi tembang-tembang rakyat saat mengepel lantai.

Haru tidak terlalu pandai dalam bermain musik, namun kemampuannya dalam menari dan menyanyi begitu mengagumkan. Dia mampu menghapal banyak puisi-puisi terkenal. Begitulah hari-hari panjangnya berlalu dengan kegiatan yang sama setiap harinya.

Sosok paling mengagumkan di okiya adalah geisha utama bernama Rikka, geisha paling cantik yang pandai memainkan shamisen dan koto, juga menarikan berbagai tarian tradisional. Gerakannya elegan, dan sikapnya ramah kepada semua orang. Terlihat begitu sempurna. Bergelar sebagai geisha nomor satu di okiya, di bawah okasan. Merupakan sebuah keberuntungan karena ia berhasil terpilih untuk berada di bawah bimbingan sosok bersurai merah muda, pemilik senyum manis mempesona yang akan menjadi onesan, mentornya untuk melangkah menjadi geisha.

(kamu mengenalku sebagai sosok yang ramah, namun saat aku menjadi onesan-mu, aku akan mengajarimu dengan penuh disiplin. Persiapkan dirimu.)

Haru menjawab dengan penuh kegugupan.

Wajahnya disepuh bedak, hiasan bunga dijepit pada surainya. Terasa berat, dan Haru harus terbiasa. Dia kemudian memulai harinya dengan mengiringi Rikka yang menyambut tamu, mengagumi tarian-tarian dan petikan koto dari sosok anggun itu. Untuknya, dia memulai masa magangnya dengan memperhatikan sang onesan seraya bersimpuh hingga menuangkan teh untuk para tamu yang sedang dihibur secara sempurna.

Butuh waktu lama untuk mengubah cangkir teh menjadi cawan sake.

XoXo-XoXo-XoXo

Terkadang Haru merasa tak percaya begitu mendapati penampilan di cermin. Dia tak pernah memoles diri, bahkan berpikir untuk terlihat cantik. Tapi untuk menjadi seorang geisha menuntut mereka terlihat menawan—dan juga mengagumkan. Hiasan terindah yang pernah dipakainya sewaktu kecil hanyalah jepitan rambut kecil berbentuk bunga sakura pemberian Hajime yang turut terbakar dalam api. Dan sekarang jepitan berbagai untaian selalu menghias rambutnya. Meskipun penampilannya masih tak dapat dibandingkan dengan geisha senior dan maiko berpengalaman.

Ia mengiringi langkah-langkah geisha utama di belakang bersama sesama maiko, sosok-sosok itu berjalan anggun dengan payung bermotif bunga. Mereka membuahkan decakan kagum—terutama dari para pria. Pasar yang dipenuhi keramaian membukakan jalan lapang untuk dilalui oleh mereka. Mereka singgah pada penjual ornamen di pasar, juga penjual kain sutra dan giok.

Dia menemukan mata sebiru lautan memandangnya. Kai ada di distrik ini. Distrik yang tercipta untuk para geisha berada.

"Bagaimana keadaan adik-adik di sana? Apa mereka baik-baik saja? Kenapa kamu ada di sini?"

Haru yang dikenal sebagai anak penurut dan taat, melanggar peraturan demi bertemu teman lama. Memisahkan diri beberapa saat dari para seniornya, beralasan ingin membeli dango untuk dibawa pulang. Tidak sepenuhnya bohong, karena dia memang membelinya namun berdiam beberapa waktu di kedai dango bersama dengan Kai. Itu bukan hal yang layak dilakukan bagi maiko baginya, namun lima tahun adalah waktu yang lama. Setidaknya Haru ingin bertukar beberapa patah kata.

"Mereka baik. Ada beberapa yang pergi dan ada yang datang. Aku juga telah bekerja. Dan sekarang sedang istirahat sejenak dari pekerjaanku."

"Bekerja? Apakah menjadi prajurit perang?" Haru bertanya dengan nada ragu. Prajurit perang adalah tugas berbahaya, banyak yang pulang hanya membawa nama.

"Menjadi pengawal. Bertugas untuk melindungi orang penting. Sekarang aku pandai menggunakan tombak. Bahkan aku bisa menombak ikan di sungai dengan mata tertutup!"

Bagi Kai, tawa Haru masih sama seperti di masa lalu. Hanya saja lebih lembut.

Haru menghentikan tawa ringannya, "Bukannya pedang?"

"Aku lebih pandai dengan tombak dan pertarungan jarak dekat. Ah, sebenarnya aku ingin menunjukkan kehebatanku padamu."

"Terlihat jelas, ada banyak yang berubah." Netra Haru menatap Kai dari dekat. "Seperti orang yang banyak melakukan hal berat. Kai terlihat gagah dan sangat tinggi."

Kai menggaruk kepalanya, "Haru juga berubah. Aku nyaris tidak mengenali wajahmu."

"Karena kita sudah lama tidak bertemu? Meskipun aku langsung mengenalimu?"

"Bukan itu—tapi karena penampilanmu, Haru. Terlihat cantik."

Haru tersenyum mendengarnya. "Itu pujian yang menyenangkan hati perempuan. Namun aku terbiasa dipanggil Yayoi, sekarang."

Yang berubah adalah senyum Haru yang menjadi semakin manis.

XoXo-XoXo-XoXo

Kai tidak sempat mengatakan, dia selalu berusaha mencari keberadaan Haru, mencemaskan keadaannya dan tidak menyerah akan hal itu. Hingga akhirnya mereka bisa bertemu secara kebetulan di hari yang cerah di musim semi.

Meskipun tidak menyangkanya, dia hanya bisa memberikan ekspresi terkejut karena Haru akan menjadi geisha. Kai mendengar, untuk menjadi geisha adalah hal yang sangat berat.

Ah, mereka telah berada di tempat yang berbeda.

XoXo-XoXo-XoXo

Menjadi pengiring Rikka dapat berarti pula menjalani hari penuh kesibukan setiap kalinya, itu juga yang membuat Haru kagum akan popularitas sang onesan, mereka terkadang melayani tamu di okiya, terkadang pergi ke ochaya untuk mengikuti undangan jamuan, bukan untuk menikmati namun menjadi pemberi kesenangan di sana. Menari anggun dengan kipas motif bunga diiringi dentingan musik dari koto juga shamisen, menuangkan teh dengan tangan yang sengaja diperlihatkan dan gerak jemari yang lentik, mempertunjukkan keahlian dalam seni. Hari-hari dilalui seperti itu, dengan wajah-wajah berbeda yang tak boleh dilupakan, dan wajah lelah yang tak boleh ditampakkan.

Hari inipun, dimulai dengan kesibukan untuk mempersiapkan diri pergi ke ochaya, menemani sang onesan.

"Ini sedikit berbeda, akan banyak orang penting yang datang. Perhatikan gerak-gerikmu. Kau dapat menarik pandangan orang yang dapat menjadi pasangan ritual mizuage untukmu nantinya."

Haru berdehem, menghilangkan debaran yang tak ingin diperlihatkannya, "Aku akan berusaha dengan baik."

Rikka merapikan kerah belakang kimono Haru, mengeratkan ikatan obi yang membuat napas tertahan. "Lakukan seperti biasanya."

Seperti biasanya, artinya tanpa kesalahan dan cela. Harusnya Haru paham jelas, perjamuan mewah berarti akan diadakan pada ochaya paling terkenal di distrik. Berada di tempat seperti ini tidak sering terjadi, ini pertama kalinya melihat ruang tatami yang begitu mengesankan dengan pemandangan halaman yang luas dan indah. Hingga menatap wajah-wajah bangsawan yang datang menjadi terabaikan olehnya. Tampak pohon-pohon bonsai tertata rapi, bunga di pinggiran halaman mekar dengan warna berbeda dan kolam besar berteman jembatan kayu di tengahnya. Meskipun menapakkan kaki di sana terasa menarik, tempat itu tentunya hanya untuk dilihat.

"Bagaimana kalau melayani tuan muda di sana, Yayoi."

Sepatah ucapan sang onesan mencapai pendengarannya, membuat Haru meninggalkan lamunan, ia memasang senyum.

"Baik onesan."

Dengan percaya diri, Haru melangkah bermaksud menuangkan teh pada orang yang diisyaratkan Rikka.

"Saya maiko dibawah bimbingan Rikka onesan."

"Kau, terlihat cocok dengan warna musim semi." Sang tuan muda berucap.

Kalimat itu pernah didengarnya di masa lalu. Terdiam beberapa saat, Haru memperhatikan sang tuan muda lebih pasti. Surai hitam dan iris violet yang tajam.

Mirip dengan seseorang hingga dia terpaku.

"Oh, akhirnya Mutsuki-kun turut berbicara tentang kecantikan wanita." Seorang pria paruh baya menepuk punggung Hajime.

"Tadinya aku mengira kau tidak menyenangi jamuan di tempat ini, Hajime-kun."

"Tapi benar, maiko satu ini memang cantik."

Haru menuangkan teh hingga memenuhi gelas. "Saya merasa tersanjung atas pujian anda."

Rikka mendekat dengan perlahan, "Ritual mizuage untuknya tidak akan lama lagi."

"Oh, terdengar menarik. Bagaimana menurutmu, Hajime-kun?"

"Anda tidak bisa menawarkan hal semacam itu pada Hajime-kun. Dia memiliki tunangan."

"Hahaha. Sedikit bersenang-senang tidak masalah, benarkan, Hajime-kun?"

"Namun aku juga cukup tertarik dengan maiko ini, matanya indah sekali. Akan sulit kalau Hajime turut serta menjadi sainganku, hahaha."

Hajime mendengarkan pembicaraan itu beberapa saat, melirik sosok maiko di sebelahnya sebelum ikut ambil suara, "Saya akan memikirkannya dahulu."

Tidak menyangka akan bertemu Hajime dengan cara seperti ini. Sayangnya tempat mereka berada bukanlah tempat untuk membahas masa lalu.

XoXo-XoXo-XoXo

[tbc]

XoXo-XoXo-XoXo

A/N: Geisha AU. Nggak sanggup bikin tema Oiran AU kayak lagu duet Hajiharu yang nganu. Draf lama yang akhirnya dipublish—

Hajiharu/ kaishun vers bisa dibaca di ao3.

1] Geisha: Seniman penghibur; artist

2] Oiran: wanita penghibur; kortesan

3] Okiya: rumah kediaman para geisha

4] Maiko: calon geisha yang magang

5] Kaburenjo: tempat pelatihan seni

6] Shamisen, koto : alat musik tradisional Jepang

7] Okasan: nyonya rumah/ibu penanggung jawab di okiya

8] Onesan: saudari/mentor untuk melangkah menjadi geisha

9] Ochaya: rumah teh

10] Mizuage: upacara penyambutan masa dewasa seorang maiko

18/10/2018

-Kirea-