Disclaimer: APPLIED

Chapter 1

Sejak kecil aku selalu termasuk sebagai anak pintar. Orang tuaku selalu membanggakanku di depan para kerabat kami. Semua orang selalu memujiku sebagai anak yang sangat beruntung, terlahir dengan paras yang cantik dan otak yang cerdas dari pasangan kaya yang baik hati. Sejak lahir aku selalu dilimpahi kasih sayang dan pujian, selalu menjadi pusat perhatian. Bisa dibilang, aku terbiasa dengan semua itu.

Di sekolah, aku pun selalu menjadi pusat perhatian. Aku populer di kalangan para murid dan disukai para guru. Aku selalu menjadi yang terbaik dalam hal apa pun. Karena aku pintar dan berwajah cantik, maka semua orang pun selalu berusaha untuk dapat dekat denganku.

Hidupku terasa sempurna dan aku merasa terbiasa dimanjakan dengan perhatian dan pujian dari orang-orang di sekitarku. Sekarang aku sadar bahwa aku cukup naif, tapi dulu, aku tidak sadar bahwa tidak mungkin seseorang bisa hidup dalam kesempurnaan selamanya.

Baik atau buruk, setiap orang memiliki titik balik dalam hidupnya. Aku mengalami titik balik itu saat aku berusia dua belas tahun. Saat itu aku baru lulus dari sekolah dasar dan melanjutkan ke sebuah sekolah menengah yang cukup terkenal di kotaku. Kedua orang tuaku tentu saja sangat bangga saat aku bisa diterima dengan nilai terbaik kedua di sekolah itu. Sedangkan aku merasa sangat kecewa karena gagal menjadi yang terbaik.

Selisih tiga poin dengan siswa baru dengan nilai tertinggi membuatku gagal menjadi yang terbaik dan aku merasa sangat kesal.

Aku berjanji dalam hati bahwa aku tidak akan lagi kalah dalam hal apapun. Aku telah berhasil menjadi yang terbaik selama enam tahun di sekolah dasar, kali ini, aku pun akan menjadi yang terbaik.

Aku belajar lebih giat sejak masuk sekolah menengah. Aku membaca banyak buku dan mencoba untuk bersikap menyenangkan saat berhadapan dengan orang lain. Aku tidak hanya ingin menjadi lebih pintar tapi aku juga ingin disukai teman-teman dan guru baruku.

Aku belajar dan berlatih tapi orang tuaku mengatakan bahwa aku lebih dewasa dibanding anak-anak lain yang seumurku. Mereka menyarankan agar aku bisa lebih santai dan lebih bersikap selayaknya remaja. Aku pikir tidak ada yang salah dengan bersikap dewasa. Aku terbiasa seperti ini dan akan tetap seperti ini.

"Sakura-chan, ada penghapus?"

Aku tengah membaca buku saat salah seorang teman sekelasku menghampiriku dengan senyum di wajahnya. Saat ini kami harus belajar mandiri karena guru kami sedang berhalangan hadir. Seharusnya kami mengerjakan sketsa wajah teman yang duduk di sebelah kami tapi aku malah asyik membaca buku pelajaran sejarah.

Aku mengeluarkan penghapusku dan menyerahkannya pada teman sekelasku itu yang tampaknya tengah memperhatikan buku sketsaku yang masih kosong tanpa ada coretan apapun.

"Eh? Belum mengerjakan apa pun?"

Aku menggelengkan kepalaku sebelum kemudian menuding ke arah meja kosong di sebelahku dengan daguku, "Yang duduk di sebelahku tidak ada..."

Ia mengikuti arah pandanganku dan tampak mengerti, "Ah, Uchiha-kun masih belum masuk ya..."

Aku menaikan kedua alisku, "Apa kamu kenal, Ino-chan?"

Ia tertawa, "Tidak juga, kalau soal itu, bukannya Uzumaki yang paling tahu?"

Aku mengangguk.

Ino berbalik dan meninggalkanku untuk kembali ke bangkunya yang ada beberapa meja dibelakang meja Uchiha dan melanjutkan mengerjakan tugasnya. Aku pun kembali sendirian. Untuk beberapa saat aku memandangi bangku kosong di sebelahku.

Alih-alih melanjutkan membaca aku malah meletakan bukuku di atas meja dan berpaling ke luar jendela di sebelahku. Dari balik jendela aku bisa melihat lapangan yang sering digunakan murid-murid berolahraga atau melakukan kegiatan klub mereka. Dibandingkan dengan bangunan sekolahku saat masih di sekolah dasar, sekolahku yang sekarang lebih besar dan falsilitasnya lebih lengkap. Awalnya terasa canggung tapi sekarang setelah dua bulan menjadi siswa sekolah menengah aku mulai terbiasa.

Lagi-lagi aku melirik ke arah kursi kosong di sebelahku. Sudah dua bulan sejak hari pertama kami bersekolah dan murid bernama Uchiha yang seharusnya duduk di sebelahku itu masih belum pernah masuk sama sekali, entah apa yang salah dengannya. Aku belum pernah bertemu dengannya jadi aku tidak tahu seperti apa penampilannya tapi ada gosip yang mengatakan bahwa Uchiha adalah murid bermasalah yang sering bertingkah. Ada juga gosip yang mengatakan bahwa sebenarnya ia setahun lebih tua dari kami namun harus tinggal kelas karena bermasalah.

Sebenarnya aku sedikit bersyukur karena ia tidak pernah masuk sekolah, aku tidak ingin terlibat dengan murid bermasalah sepertinya. Akan sangat bagus kalau ia tidak masuk sekolah sampai saat kami harus bertukar tempat duduk nanti.

"Haruno-san!"

Aku menoleh dan melihat seorang anak laki-laki berambut pirang dengan senyum lebar berdiri di sebelah mejaku. Tangannya menjulurkan penghapus yang tadi kupinjamkan pada Ino. Kalau tidak salah ia adalah Uzumaki yang duduk di sebelah Ino. Mungkin Ino memintanya mengembalikan penghapus ini padaku.

"Terima kasih untuk penghapusnya!"

Aku menerima penghapus itu dan mengangguk, "Ya, sama-sama..."

Tatapan mata biru Uzumaki jatuh pada buku sketsaku yang masih kosong. Sama seperti Ino, ia pun melontarkan komentar tentang itu.

"Ah, kamu tidak menggambar apapun!"

Aku mengangguk, "Orang yang seharusnya kugambar tidak ada."

Tiba-tiba saja Uzumaki tertawa.

Aku mengerutkan dahiku mendengar tawanya. Uzumaki cukup terkenal di angkatan kami, bahkan di antara kakak kelas. Ia selalu ceria dan juga ramah pada siapa pun. Dari apa yang kudengar, Uzumaki berasal dari keluarga miskin. Ia berhasil masuk di sekolah ini karena beasiswa yang ia dapat karena kemampuannya bermain sepak bola. Aku sebenarnya tidak terlalu menyukai orang-orang seperti Uzumaki. Menurutku, orang-orang miskin yang sok ceria sepertinya menyebalkan.

"Kamu beruntung, Haruno-san!"

"Hah?"

Ia tersenyum lebar, "Kalau Sasuke ada, kamu akan kerepotan menggambar rambutnya yang seperti ekor ayam itu."

Aku sedikit bingung, "Ekor ayam?"

Uzumaki hanya nyengir dan mengibaskan sebelah tangannya, "Nanti kamu akan lihat..."

Saat Uzumaki ke bangkunya aku sedikit membayangkan orang seperti apa Uchiha. Aku sempat mendengar bahwa Uchiha dan Uzumaki berteman dekat. Mungkin ia juga seperti Uzumaki? Miskin dan berisik?

Rambutnya seperti ekor ayam?

Aku menatap Uzumaki yang tampak sedang bicara dengan Ino di bangku mereka. Ino tampak kesal dengan hasil sketsa Uzumaki.

Aku hampir tertawa.

"Rambutmu sendiri cukup aneh, Uzumaki-kun..." gumamku sebelum kembali memalingkan wajah dan mengamati pemandangan di balik jendela.

Author's note:

sorry sebelumnya kalau karakter2nya out of character.

Ini pertama kali saya menulis SasuSaku :) Saya author NaruSaku sebelum ini... Fanfic ini saya tulis karena Request dari salah seorang teman saya.

Fans SasuSaku mungkin masih nggak familiar dengan saya, sebelumnya saya jelaskan bahwa saya belum pernah membaca atau menonton Naruto, sebenarnya saya bukan fans Naruto, saya cuma bias Sakura (siapapun pasangannya). Jadi saya cuma menulis fanfic dengan tokoh utama Sakura.

Ps. saya ngga membaca fanfic berbahasa Indonesia (nggak terbiasa).

jadi buat yang minta fanficnya direview, saya mohon maaf m(_ _)m