Disclaimer: Naruto belong to Masashi Kishimoto.

Warning: AU.

Please read and enjoy.

.

Chapter 1 : The Blonde Girl

Pria berambut abu perak itu menggeser koleksi novel kegemarannya dengan enggan ke arah kiri. Wajahnya yang tertutup masker lebih tepat disebut tanpa ekspresi daripada sedang berpikir keras atau merenung. Wajah yang tersembunyi dibalik masker itu nampak pucat akibat terlalu lama berada di bawah sinar lampu. Dirinya sudah lebih dari satu minggu penuh hanya duduk mengamati banyak laporan yang menumpuk.

Jika diperhatikan lebih saksama, pria itu bukanlah tipe yang betah duduk termenung dengan kesibukan secara berkala. Namun entah bagaimana, kenyataan bahwa dirinya terkurung di kantornya, gedung kejayaan Konoha yang memiliki koridor bawah tanah yang panjang dan berkelok-kelok, sangat terasa cocok.

Sulit menduga berapa usianya, sebagaimana ia menyembunyikan wajah maupun identitasnya pada publik, padahal ia merupakan orang yang berpengaruh di negaranya tersebut, Konohagakure. Ia tidak tua, muda pun tidak. Wajahnya mulus tak berkerut, dan matanya yang memiliki warna berbeda—tak seperti pada umunya—tampak sangat letih.

Pria lainnya di ruangan itu nampak lebih muda. Rambutnya cokelat dengan kulitnya yang berwana serupa menjadi daya tarik yang kontras dengan sang rekan kerja. Sikapnya agak gugup, siap siaga, dan raut wajahnya menunjukan kesan yang sama—terlalu letih. Namun, agaknya kepribadian yang dimilikinya sedikit berbeda dari rekan kerjanya, terbukti sekarang ia tak dapat duduk tenang bahkan mondar-mandir, sambil berkali-kali menatap tak berarti kepada sang rekan. Sesaat kemudian dia berkata dengan nada jengkel. "Semuanya terlalu kabur! semua informasi yang ada sama sekali tidak membantu!"

Pria bermata Heterochromia iridium itu memandang kertas-kertas di hadapannya. Paling atas diberi judul 'Sunagakure, Sabaku Corp.' Nama itu diberi tanda dengan dua garis menyilang. Dia menganguk seraya berkata. "Setidaknya harus ada petunjuk mengenai latar belakang tempat ini."

Pria satunya mengedikan bahu. "Sabaku itu sangat menjaga rahasia mereka, bahkan untuk hal kecil sekalipun."

Sang lawan bicara menghela napas. "Ya," katanya. "Atau paling tidak putri Suna itu mau memberikan sedikit informasi kepada kita."

Si pria yang lebih muda meberikan keterangan bagaikan rentetan tembakan senapan mesin. " Putri Suna! Wanita itu meskipun sudah menjadi istri Shikamaru, ia bahkan tak memberi kita petunjuk! Rahasia adiknya! Negaranya! Segala hal tentang Suna!"

"Kita memang tak seharusnya mengharap lebih dari sebuah pernikahan politik, Yamato," Ketika tersadar akan sesuatu, ia lamat-lamat berkata lagi. "Shikamaru dan Temari bukanlah orang bodoh, keduanya memiliki kepatuhan dan kesetiaan pada tugas mereka masing-masing."

Yamato mendadak terdiam kemudian ikut duduk di atas lengan sebuah kursi. "Tapi kita harus tetap mencari tahu," Nadanya sedikit mendesak. "Kita perlu setitik cahaya untuk menembus tabir misteri segala macam, bagaimana, mengapa, dan siapa ini. Kita toh tak mungkin membiarkan negara kita kehilangan akses atau kepercayaan hubungan antara Konoha dan Suna gara-gara pemimpin mereka menghilang entah ke mana. Apa sudah baca informasi mengenai Suna dari negara tetangga?" tanyanya tiba-tiba mengingat tim khusus mengenai hal itu baru saja memberi keterangan hasil penyelidikan mereka, tim yang dikenal dengan nama tim ke-tujuh.

Yang ditanya memberi tatapan datar. "Naruto, Sakura dan Sasuke hanya mendapati beberapa orang yang dapat memberi keterangan yang sepertinya sangat meragukan." Katanya dengan nada tidak puas.

Yamato menghela napas. "Sejauh yang bisa didapat, kecenderungannya memang bersifat tidak meyakinkan. Kedengarannya mustahil, tapi Sabaku Garaa telah menghilang tanpa jejak. Kini Suna diambil alih sementara oleh kakak kedua mereka, sedang yang satunya ada di sini, para dewan di sana pasti sedang kalang kabut—atau mungkin tidak—mengingat terakhir kali kita mengetahui kenyataan para dewan sepertinya tak begitu menyukai Sabaku Gaara, kau tahu mereka selalu menyembunyikan sesuatu entah apa itu, yang jelas mereka juga patut kita curigai."

Keterangan dari Yamato tersebut membuat permasalahan ini menjadi semakin runyam, dalam keadaan seperti ini, segala sesuatunya memang bisa menjadi kemungkinan. "Itu membuat masalahnya lebih sulit lagi."

Yamato mengagguk. "Putri Suna—Temari kapan dia akan tiba?"

"Dia ada di sini akan menemuiku sekarang. Kami akan menulusuri hal-hal yang sama lagi." Katanya.

"Itu satu-satunya jalan," katanya. "Baiklah, aku akan tetap melanjutkan penyelidikan—mungkin saja ada sedikit celah," Ia bangkit. "Setidaknya harus tetap berusaha daripadaa berdiam diri, bukan?"

"Bahkan jika harus mengelabui musuh dengan trik sulap sekalipun."

Yamato mengangguk, lalu pamit pergi. Pria satunya yang masih tinggal, mengangkat gagang telepon di dekat sikunya dan berkata, "Aku ingin bertemu Nara Temari sekarang. Suruh dia masuk." Pria itu duduk menerawang sampai terdengar ketukan di pintu. Dan sang Putri Suna dipersilakan masuk.

Wanita itu bertubuh semampai, berusia sekitar 31. Cirinya yang menonjol adalah gaya rambutnya yang nyentrik. Rambut pirang dengan model dikuncir empat, seolah-olah memberikan kesan kekanakan. Matanya cenderung hijau, dan bulu matanya tipis seperti kebanyakan orang berambut pirang lainnya. Pria itu mempersilakan Temari untuk duduk di sebuah kursi dekat meja.

Entah bagaimana pria itu seolah tahu bahwa Temari sebenarnya mengetahui lebih banyak dari yang ia akui sebelumnya. Dan berdasarkan pengalamannya, wanita yang sedang dirundung kesedihan atau kekhawatiran cenderung mengabaikan tata rias wajahnya. Namun tidak dengan wanita anggun yang duduk di hadapannya itu. Dia menduga-duga apakah wanita ini tidak merasa frustrasi sehingga ia sempat memoles dirinya dengan begitu rapi?

Temari berkata, agak terengah. "Hokage-sama, saya harap sudah ada kabar tentang adikku."

Sang Hokage—Kakashi— menggeleng dan berkata denga lembut. "Maaf harus mengecewakanmu, tapi sampai sekarang, belum ada berita yang pasti untuk kami beritahukan."

Temari menyahut dengan tenang. "Oh, alangkah senangnya bila aku bisa memberi sedikit informasi yang berarti."

Wanita yang cerdas, pikir Kakashi. Dia kemudian berkata langsung ke inti permasalahan. "Kuharap kau tak keberatan untuk mengulang topik yang sama, menanyakan hal-hal yang sama. Karena selalu muncul kemungkinan kecil dalam setiap pokok kecil. Sesuatu yang mungkin baru terpikirkan dari sebelumnya, atau bahkan ada hal tidak cukup penting untuk kau beritahu tapi bisa memberi petunjuk untuk kami."

"Ya, ya, saya paham, tanyakan saja kembali semuanya."

"Terakhir kali Kazekage—Sabaku Gaara memberimu surat yaitu pada tanggal 10 September?"

"Ya." Jawabnya singkat.

"Dan adakah kemungkinan isi surat tersebut berisi tentang hal yang mencurigakan?"

Temari menyahut cepat. "Tidak ada. Surat-surat itu hanya berisi tentang kabar serta kata-kata wajar dari adik yang merindukan kakaknya."

Dengan sigap Kakashi melanjutkan. "Setelah itu surat tersebut langsung dikirim kembali?"

"Ya."

"Mungkin saja surat itu tidak pernah sampai kembali?"

"Tidak mungkin," katanya. "Kami—Sabaku—tidak pernah menyepelekan hal kecil seperti itu, sekalipun hanya secarik kertas usang dengan tulisan tangan."

"Ya, kami pun begitu. Bahkan demi menjaga sistem keamanan, kami tak bisa membiarkan saudarinya pulang ketika adiknya dinyatakan hilang." Kata Kakashi menatap Temari lurus-lurus.

Temari tak bergeming sedikitpun, dan nada suaranya tetap begitu tenang. "Shikamaru sudah menyetujuinya, bagaimanapun saya harus cepat kembali ke Suna—setelah mendapat izin dari anda tentunya," Nada suaranya berubah. "Sungguh tak masuk akal semua ini! Gaara bukanlah orang yang lemah. Meskipun saya sudah cukup lama tinggal di sini, sehingga tak tahu situasi sesungguhnya di sana, tapi ketika mendapati laporan kalau Gaara menghilang atau bahkan mungkin ia diculik atau lebih buruk lagi dia tewas, itu semua sangat tidak masuk akal."

Kakashi menangkap maksud tersebut, tentu wanita itu harus segera kembali. Namun, ada beberapa hal yang membuatnya harus menahan Temari di sini. Dan itu salah satu kunci mengapa Gaara menghilang, Kakashi sangat yakin akan hal itu. Bahwa ada sesuatu yang tidak beres dibalik peristiwa ini. Tidak mungkin tanpa alasan Suna ingin membatalkan kerjasama dengan Konoha setelah bertahun-tahun mereka menjalin hubungan baik selama ini. Dari balik maskernya, Kakashi berdehem pelan. "Ya, semuanya memang tidak masuk akal. Maka dari itu, kami terus mencari tahu kebenarannya. Dan setiap harinya selalu ada laporan dari beberapa tempat."

"Laporan dari mana?" tanyanya tajam. "Apa kata laporan-laporan itu?"

Kakashi menggeleng. "Semua laporan-laporan itu harus diselidiki, diteliti, dan dites. Tapi pada dasarnya, semua laporan-laporan itu sangat tidak jelas."

"Saya harus tahu," katanya kembali menetralkan nada suaranya. "Saya tak bisa diam saja di sini, tanpa tahu apapun."

"Apa kau begitu menyayangi Gaara?"

"Tentu saja, dia adalah adikku. Gaara lahir prematur, aku dan Kankurou sangat menyayanginya."

"Apa kalian pernah bertengkar?"

"Pernah. Tentu saja, kami adalah saudara, tapi hanya pertengkaran yang tidak berarti."

"Belum lama ini ada dua orang mengunjungi Suna, salah satunya adalah Akasuna Sasori. Dia mengaku masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan Sabaku, apa itu benar?"

"Ya."

"Orang seperti apa Akasuna Sasori ini?"

"Dia jenis pendiam seperti Gaara, ia juga pernah mengunjungi Suna dua kali. Waktu neneknya masih hidup—itu sudah lama sekali."

Kakashi menatap Temari dengan pandangan tidak puas, wanita itu tak banyak tahu atau memang sengaja menyembunyikan sesuatu? dengan gerakan santai, kakashi mencondongkan tubuhnya di meja. "Begini, kami sedang mencari tahu hal tentang Sabaku Gaara yang belum kami ketahui, semua ini demi penyelidikan, tapi sikapmu sama sekali tidak membantu," Jeda sejenak, kakashi menarik mundur tubuhnya. "Jika ada hal yang sekiranya bisa dijadikan petunjuk tolong katakan."

"Aku sudah mengatakan semua yang kuketahui, " Sikap tenangnya agak goyah, bahkan kata-katanya tak lagi seformal sebelumnya. "Jika ada orang yang sangat khawatir itu seharusnya aku, kenapa kalian begitu memusingkan soal hubungan kerjasama!"

"Aduh, aduh, jangan terpancing emosi seperti itu," kata kakashi dengan gaya santainya. "Kami juga mengutamakan keselamatan Gaara sebagaimana hubungan Suna dan Konoha yang sudah seperti saudara."

Temari mendecih dalam hati. Tiba-tiba saja ia merasa jengkel dengan sikap Kakashi, namun cepat-cepat mengusai emosinya setenang mungkin. "Jika memang begitu, seharusnya aku dibiarkan pulang, bukannya ditahan di sini." kata Temari sengaja menekankan kalimat terakhirnya.

Kakashi bangkit dan mengitari mejanya. "Nah, pertama, kita harus menemukan petunjuk alasan mengapa Gaara menghilang, sebelum itu, ada yang harus kutanyakan mengenai hal yang mungkin bersifat pribadi," Ia berhenti dan menyenderkan dirinya dekat meja mengahadap Temari yang agak menunduk. "Tolong ceritakan mengenai sosok Gaara, tentunya saat ia hanya ada di lingkungan bukan publik, apa ia pernah memiliki catatan kesehatan yang buruk? Atau pernahkah ia mengalami gangguan mental atau apapun itu yang bisa dikaitkan dengan peristiwa ini."

Temari mendongak, menatap mata Kakashi. "Tidak. Dia anak laki-laki yang sehat mental maupun fisik, hanya saja ia memang sedikit perenung, itu saja."

"Kabar mengenai Gaara tidak terlalu disukai para dewan di sana. Apa itu betul? Mengapa?" Pertanyaan Kakashi sebenarnya terlalu menyudutkan, lebih cenderung sedang mengitrogasi, namun Temari bukanlah wanita bodoh, dengan sikapanya yang tenang ia membenarkan posisi duduknya, menyilangkan kedua kakinya dengan anggun.

"Menjadi seorang pemimpin harus berani mengambil risiko tidak disukai beberapa orang, terutama para dewan. Tentu saja Gaara menjadi pemimpin di usia muda, dan itu membuat sebagian dari mereka menolaknya tapi mereka tidak mempunyai pilihan."

Kakashi mentap datar ke arahnya. Ada satu pertanyaan dalam kepalanya, namun ia tidak bisa memprediksi apakah pertanyaan itu bisa memberi petunjuk atau tidak. Tapi mungkin dengan melihat reaksi Temari ia bisa mengambil beberapa kesimpulan. Dia akhirnya berkata dengan nada berat. "Apa benar Gaara pernah dituduh membunuh salah satu bawahannya?"

Temari tidak langsung menjawab, tetapi Kakashi mengetahuai satu hal akan respon wanita itu. Sedetik kemudian, dengan nada setenang mungkin namun kentara sekali ia menggigit kecil sudut bibirnya sebelum berkata, "Tidak. Itu tidak benar."

Reaksi yang bagus. Pikir Kakashi. "Yah sepertinya memang tak ada petunjuk lain untuk sekarang ini," katanya mencoba mencairkan suasana yang hampir menegang. Menurut pengalamannya, bila terlalu ditekan, target akan berontak. "Mengenai kepulanganmu, apa kau ingin didampingi beberapa pengawal?"

Temari menjawab cepat. "Tidak. Tidak perlu, Hokage-sama."

"Baiklah, terima kasih atas kerjasamanya," Kakashi berjalan menghampiri kursi, mendudukkan dirinya dan kembali menatap Temari. "Kau boleh pergi sekarang."

Suara pintu yang ditutup terdengar begitu Temari keluar dari ruangan itu. Tatapan pria itu teralihkan pada laporan-laporan yang menumpuk. Beberapa lama wajahnya tetap tanpa ekspresi, kemudian samar-samar dia tersenyum. Diangkatnya gagang telepon. "Atur jadwalku untuk bertemu dengan Akasuna Sasori."

.

Pada pertengahan bulan September seperti ini, Konoha di siang hari memilki suhu 23 sampai 28 derajat. Udara yang cukup panas dari musim panas sebelumnya, sangat cocok dengan suasana bandara Konoha yang cukup berdesakan.

"Nomor Penerbangan 107 ke Sunagakure. Air Suna. Silakan lewat sini."

Orang-orang di ruangan tunggu Bandara Konoha bangkit dari duduknya, termasuk Yamanaka Ino yang menyeret koper besarnya dan berbondong-bondong dengan yang lain, keluar melangkah landasan. Ia lalu menuju tempat duduk yang terletak di bagian ekor pesawat. Di sana masih terdapat beberapa kursi kosong, namun ia berhenti tepat pada kursi penumpang ke dua dari belakang. Sengaja memilih tempat duduk yang tak mencolok, dan sebisa mungkin menghindari tatapan dan percakapan tidak perlu dari beberapa penumpang lain yang kadang-kadang sangat begitu merepotkan.

Tak lama setelah ia duduk, seorang wanita berparas cantik dan anggun dengan kunciran rambut yang nyentrik mengahampiri tempat duduknya. Ia tersenyum ketika wanita itu dengan ramah menyapanya. "Boleh aku duduk di sini?" tanyanya.

"Tentu saja." Jawab Ino seraya mengeser posisi duduknya ke arah samping, memposisikan dirinya dekat dengan jendela pesawat.

"Terima kasih." Ucap wanita itu dan ikut duduk di samping Ino.

Sebenaranya Ino keberatan membiarkan wanita itu duduk di sebelahanya, padahal ia sengaja untuk tidak melakukan kontak dengan siapapun. Yah, tapi karena kelihatannya wanita yang satu ini bukanlah tipe wanita yang berisik, jadi mungkin tidak masalah selama—

"Apa ini pertama kalianya kau ke Suna?"

Ino menoleh cepat dan berucap tanpa sadar, "Apa?"

Wanita itu mengangkat sudut bibirnya melihat reaksi Ino dan kembali berkata, "Apa ini perjalanan pertamamu ke Suna?"

"Oh, ah... ya." Jawab Ino seperti orang linglung. Cukup mengagetkan baginya mendapati wanita itu mau beramah-tamah dengannya, padahal dari raut wajahnya ia nampak terganggu dengan kehadiran Ino. Entahlah mana yang benar. Instingnya atau matanya yang menipu, Ino tidak mau tahu.

"Semoga perjalananmu menyenangkan, mademoiselle." Katanya

Sebelah alis Ino mengernyit mendengarnya. Bukannya Ino tidak merasa tersinggung dipanggil seperti itu, ia bisa saja membalasnya dengan perkataan yang lebih menusuk. Namun, pura-pura tidak paham agar wanita itu merasa senang rasanya membuat Ino tertantang.

Deru suara mesin dan berputarnya baling-baling membuat moodnya sedikit membaik. Seolah-olah ada ketegangan yang mendasar dalam perasaan itu. Pesawat beranjak perlahan dengan lancar di sepanjang jalur landasan. Pramugari berkata, "Silakan mengenakan sabuk pengaman Anda."

Pesawat setengah berputar dan menunggu isyarat pemberangkatan.

"Mungkin pesawatnya akan jatuh."

Ino mengabaikan ucapan wanita di sebelahnya. Mesin menderu, lalu mulai melaju. Semakin cepat, semakin cepat berpacu. Ino berpikir ngeri, jika pesawat ini tak akan bisa naik. Tapi pikiran tersebut ia buang jauh-jauh ketika ia merasa pesawat sudah lepas landas dengan sukses. Saat ia melihat di balik jendela pesawat, rasanya seperti bumi itu yang terjatuh, merosot ke bawah daripada pesawatnya yang naik. Segala masalah, kekecewaan, dan frustrasi terempas begitu saja.

Ino melirik wanita di sampingnya. Wanita itu sedang memejamkan kedua matanya, dan menyunggingkan senyuman aneh. Beberapa menit kedepan, keduanya larut dalam keheningan. Namun, Ino bisa menyimpulkan satu fakta nyata.

Wanita itu palsu.

Bukan dalam makna secara harfiah, melainkan senyum dan ramah-tamahnya semua palsu. Yah, dan Ino tak mau tahu kenapa. Toh ia tak akan pernah berurusan dengannya lagi bukan? Jadi, kenapa harus repot-repot?

Matanya terasa berat setelah beberapa menit dilanda keheningan. Mungkin nanti ia akan membalas perkataan wanita itu, sekarang ia akan membunuh waktu membosankan itu dengan tidur. Selain itu, jarak dan waktu ke Suna masih sangat lama, berapa? 12 jam? Oh, Ino mulai memejamkan matanya ketika rasa kantuk tak tertahankan lagi.

Dulu—ketika ia masih kecil, Ino pernah mendengar suatu pepatah yang mengatakan, ada tempat di mana kau sedang tertidur dan terjaga. Sebelum kesadaran Ino hilang sepenuhnya , samar-samar ia mendengar teriakan seseorang, dan sebelum itu, ia juga merasakan guncangan yang cukup keras, tapi semua tampak tak nyata, hingga akhirnya kesadarannya benar-benar menghilang. Ia tak tahu apa yang terjadi selanjutnya.

.

Kakashi baru saja mempersilakan masuk Akasuna Sasori yang berwajah imut dengan mahkota merah sebagai warna rambutnya. Pria itu berbalik menutup pintu, sehingga menciptakan suasana pribadi. Ia berjalan dan duduk tenang di depan Kakashi yang hanya terhalang meja dari jaraknya.

"Buku yang menarik." Katanya datar saat melirik tumpukan koleksi novel Kakashi. Dan dengan cara aneh, meja itu tampaknya telah berputar sekarang. Sepertinya Akasuna Sasori masuk ke ruangan itu bukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Kakashi, melainkan untuk memimpin suatu pemeriksaan.

Pria berambut abu perak itu tak menyahut atau menanggapi ucapan kosong Sasori, namun matanya fokus seolah sedang menganalisis objek yang menarik di depan matanya. Sedangkan yang ditatap hanya diam, sampai saat suara lain diruangan itu terdengar memecah keheningan di antara mereka.

"Apa betul usiamu 35 tahun?" pertanyaan tersebut dilontarkan Yamato yang tampak terkejut mengenai suatu fakta. Wajah Akasuna Sasori terlalu muda. Bahkan nampak lebih muda dari foto yang ia lihat sebelumnya.

Yang ditanya tidak merespon, malahan memberi tatapan datar yang sepertinya tidak bisa dibilang mengejek karena yang ada hanya seperti tatapan tak berekspresi dari bocah tampan nan imut.

Kakashi berdehem kecil, sadar kalau pertanyaan tersebut tak ada sangkut pautnya dengan urusan mereka. "Jadi, kau adalah kerabat jauh dari keluarga Sabaku?" katanya memastikan.

"Ya." Jawabnya singkat.

"Bisa tolong dijelaskan?"

"Kakek Ebizo dari Sabaku merupakan adik tiri dari nenekku."

Sudut perempatan imajiner Yamato muncul, mendadak kesal dengan gaya bicara bocah—pria tersebut. Namun buru-buru kakashi bertanya lagi. "Saat masih di Suna kau merupakan anggota elit Sunagakure? Oh, Puppet Brigade. Kau meninggalkan Suna pada saat berusia 15 tahun?

Sasori mengangguk. Sedangkan Yamato menghela napas berat. Kakashi sangat paham dengan sifat pria seperti Sasori. Ia jenis perenung dan irit bicara, dan tentu saja hal tersebut akan sedikit menyulitkan penyelidikan.

"Menurut keterangan, kau akan pergi ke Suna—lagi untuk beberapa keperluan?"

"Ya."

"Tolong berikan penjelasan yang lebih panjang." Sela Yamato tak sabar. Sepertinya ia benar-benar merasa jengkel.

Sasori menatapnya sebentar sebelum berkata, "Ada urusan pekerjaan, dan hendak menjenguk keluarga Sabaku."

"Oh..." respon Kakashi pendek, mengacuhkan delikan tajam dari Yamato.

Apa pria imut ini jenis pria tolol? Pikir Yamato emosi. Saat hendak kembali bersuara, tiba-tiba saja Sasori menyelanya. "Apakah menurutmu Gaara sudah mati?"

Entah kenapa dalam sekejap pertanyaan tersebut seolah membalikan keadaan sebelumnya. Kini mereka yang dijadikan target introgasi. Dan kakashi tak menyukai hal tersebut, tak menyukai pria itu seolah mengusai keadaan.

"Entahlah," katanya berusaha tak terpancing suasana. "Sejauh ini belum ada keterangan yang bisa dijadikan kesimpulan."

"Tidakkah aneh tiba-tiba orang sepenting Gaara menghilang tiba-tiba?" lagi ia melontarkan pertanyaan yang sepertinya sengaja untuk membuat kata 'diintrogasi' menjadi 'mengintrogasi'.

"Tidak. Orang penting memang selalu berpeluang mendapatkan masalah."

"Ya, tentu saja," katanya serius. "Tapi mengapa harus menghilang? Apa mungkin ada maksud lain dari peristiwa ini?"

Cukup. Pria ini sama sekali tak berniat membantu. Dan karena sepertinya tak ada informasi lagi yang bisa didapat. Mungkin sebaiknya ia harus mengakhiri—

"Semua informasi yang bisa kuceritakan sepertinya sudah kalian ketahui jauh lebih baik daripada kuketahui sendiri."

Kakashi tak menyahut pun Yamato hanya terdiam. Sebenarnya, tujuan dari penyelidikan tersebut memang bukanlah untuk mencari detail informasi mengenai Sasori, melainkan untuk mengamati sikap dan respon dari lelaki tersebut. Karena Kakashi sudah memprediksi ini sebelumnya, ia yakin lelaki itu tak mau memberi informasi yang bersifat rahasia, atau bahkan mungkin sebenarnya ia tak punya informasi tersebut.

"Sebenarnya tanggal 10 September kemarin aku mendapat telepon dari Gaara." Katanya membuat Kakashi kembali menatap pria itu.

"Ada keperluan apa Gaara meneleponmu, Akasuna?"

Sasori menyunggingkan senyum yang jika dari sudut pandang Yamato itu adalah seringaian licik. "Entahlah, dia hanya menyinggung soal DTS03."

"Apa itu sejenis kode untuk nama racun?"

Sasori mengangguk. "Ya, bisa dibilang itu kode untuk nama racun."

"Racun?" sela Yamato cepat. "Untuk apa Gaara menyinggung soal racun? Mungkinkah Gaara—'

"Tenanglah, Yamatao. Biarkan Akasuna bercerita." Kakashi mempersilakan Sasori kembali untuk menjelaskan.

"Gaara bertanya apa jenis racun tersebut mempan pada Shukaku atau tidak, dan aku menjawab bahwa racun jenis tersebut hanya mempan pada kalajengking saja."

"Kenapa Gaara menanyakan hal tersebut?" tanya Kakashi mulai menemukan hal yang membuatnya terganggu. "Apa kau ahli dalam obat atau racun atau semacamnya?"

"Oh, tidak juga," katanya santai. "Aku hanya mempunyai ketertarikan tertentu dengan hal seperti itu—tapi tidak cukup ahli."

Kakashi tak berkata apapun. Sepertinya informasi dari pria imut itu sudah lebih dari cukup. Dan sebelum Kakashi hendak mengakhirinya, Sasori sudah terlabih dahulu kembali menyela, "Sayang sekali aku tak bisa memberi informasi yang berarti."

"Oh, tidak," katanya. "Terima kasih sudah mau datang dan mengatakan semua yang kau tahu."

"Sepertinya sudah tak ada lagi yang bisa aku katakan," Sasori bangkit menegakkan tubuhnya. "Selebihnya aku percayakan kepada kalian yang lebih ahli." Sebelum Sasori berlalu dari ruangan tersebut, ia membungkukkan badannya sopan, hingga akhirnya terdengar suara pintu yang ditutup.

"Benar-benar menyebalkan." Komentar Yamatao setelah kepergian Sasori.

Dalam hati Kakashi membenarkan ucapan Yamato. Memang benar sikapnya itu terlalu menyebalkan. Tapi menuduh seseorang dengan didasari rasa benci secara pribadi bukanlah sesuatu yang bijak. Masih harus dilakukan beberapa penyelidikan dan pengumpulan informasi yang cocok untuk menetapakan pria itu sebagai tersangka.

Mereka menoleh ke arah pintu ketika suara ketukan kasar menginterupsi keduanya. Sebelah alis Yamato mengeryit heran ketika pintu dibuka dan menampakan sosok Shikamaru disertai kelompok ke-tujuh. Sebelum mereka dipersilakan untuk bicara, seorang pemuda berambut jabrik berwarna oranye berkata setengah berteriak. "Ada laporan penting!"

"Naruto! Pelankan suaramu!" Gadis berambut merah muda di sebelahnya memberi jitakan gratis yang membuat pemuda itu langsung meringis pelan.

"Tsk," Pemuda berambut raven yang berdiri tak jauh dari mereka mengabaikan kedua rekannya, ia merasa jengkel jika sudah berurusan dengan duo pirang-pink tersebut. "Kami baru saja mengkonfirmasi kabar bahwa pesawat dengan tujuan Sunagakure yang ditumpangi Nara Temari mengalami kecelakaan, dan dugaan sementara penyebab kecelakaan tersebut adalah karena kegagalan teknik pesawat."

Belum sempat Kakashi maupun Yamato menanggapinya, Shikamaru sudah lebih dulu menyela. "Temari tewas sebelum sempat dibawa ke rumah sakit."

Wajah Kakashi dan Yamato tampak terkejut. Semua orang yang ada di sana kecuali Sasuke menatap ke arah Shikamaru yang menekuk wajahnya dan mentapa tajam ke arah Kakashi. Ia lebih terlihat marah daripada bersedih, kedua tangannya terkepal erat. "Sekarang memang bukan waktunya untuk bersedih," katanya tajam. "Tapi izinkan aku pergi untuk menjemput mayatnya, Hokage-sama."

Kakashi melihat ke arah Yamato sekilas sebelum berkata, "Kali ini aku akan pergi denganmu, Shikamaru. Ada hal yang ingin kupastikan."

Dengan itu Shikamaru pergi meninggalkan ruangan Kakashi setelah sebelumnya memberikan laporan berupa gulungan rahasia mengenai Suna. Yamato sangat tertarik dengan gulungan tersebut, namun niatnya untuk membuka gulungan rahasia itu harus ia tunda saat Kakashi memberikan perintah padanya. "Kirim beberapa orang untuk menyelidiki penyebab kecelakaan pesawat dan—" Sebelum turut meninggalkan ruangannya, ia menatap ke arah tiga orang lainnya yang ada di ruangan itu. "Kalian ikut denganku, sekarang."

"Baik, Hokage-sama!" jawab tim ke-tujuh serempak.

.

Selama beberapa saat, Ino mengerjapkan kedua matanya perlahan. Ia berbaring terdiam di sana dengan rasa nyeri di kepalanya. Rasa sakit tersebut menyadarakan ia akan apa yang telah terjadi.

Bau antiseptik mengambang di udara. Kadang-kadang di luar koridor, gemercingnya gelas-gelas dan instrumen-instrumen terdengar ketika orang lewat sambil mendorong trolley. Ino bangkit dari posisi tidurnya dan mencoba duduk di kursi yang keras di sisi tempat tidur.

Dokter sudah mengobati lukanya, beruntung ia hanya mengalami luka fisik yang tidak terlalu parah. Kepalanya dibalut perban, luka tersebut ia dapat karena terbentur keras dengan badan pesawat yang jatuh di dekat perairan kota tersebut, yang untungnya tidak terlalu dalam. Ia tak ingat betul bagaimana kejadian mengerikan itu.

Tidak banyak yang ia ingat. Sebagaiamana dokter telah memberitahukan bahwa ia mengalami gegar otak ringan akibat benturan keras di kepalanya, dan kemungkinan ia mengalami kehilangan ingatan dalam jangka pendek.

Tangannya hendak meraih botol minum di dekat meja, dan pada saat itu terdengar bunyi ketukan tak sabar di pintu. Ino mengernyitkan kedua alisnya. Dia tetap duduk, tangannya terhenti di udara. Siapa yang mengetuk pintu? Bukankah dokter dan perawat sudah menemuainya beberapa jam yang lalu? Seketika ia menjadi was-was. Tapi kemudian ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras.

Namun Ino tetap tak bergerak, ia sengaja menunggu agar ketukan itu hilang membiarkan siapapun itu yang mengetuk pintu untuk segera berlalu pergi.

Matanya menatap pintu, dan alangkah mengejutkannya ketika anak kunci pelan-pelan berputar mundur, berlawanan arah jarum jam, lalu tersentak maju dan berdenting jatuh ke lantai. Pegangan pintu bergerak, pintu terbuka, dan beberapa orang asing masuk.

Ino terpana melihatnya. Dia terlalu kaget untuk berkata atau melakukan apapun. Orang-orang itu menghampirinya, dan salah satu dari mereka dengan cekatan kembali mengunci pintu.

Seorang pria bermasker yang sepertinya merupakan pemimpin dari orang-orang itu berkata memecah keheningan, dan kata-katanya itu bagi telinga Ino benar-benar merupakan pernyataan yang paling tidak enak di dengar.

"Kami adalah anggota khusus dari tim penyelidikan."

Wajah Ino langsung merah padam. Dia mendelik tajam pada orang-orang itu. Dengan penuh kegeraman dia berkata dingin, "Apa yang kalian lakukan di sini?"

Kakashi balas menatapnya dengan serius—lalu mengedipkan mata. "Nyaris serupa," katanya. "Memang tidak seratus persen mirip, tapi—"

Ino menyahut ketus, "Apa maksudmu?"

"Oh, Shikamaru akan menjelaskan semuanya."

Ino mengerutkan keningnya bingung, betapa menyebalkan lelaki di hadapannya itu. Ingin rasanya ia berteriak untuk mengusir mereka keluar. Tapi anehnya, yang terlontar adalah rasa ingin tahunya. Pertanyaan tersebut bahkan hampir tak ia sadari. "Anak kunci itu," kata Ino menujuk pintu. "Berputar sendiri?"

"Ah, itu!" pria itu mendadak nyengir kekanakan—meskipun nyatanya tak bisa Ino lihat karena tertutup masker. Dia berujar santai, "Sasuke yang membukakan pintunya untukku."

Orang yang dipanggil Sasuke merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah alat dari logam, dan menunjukannya tepat di hadapan Ino. Seolah ingin memamerkan sesuatu yang tak banyak orang tahu. "Alat kecil yang amat praktis. Selipkan saja dilubang kunci, maka alat ini akan memegang kunci dan memutarnya." Dia memasukan kembali alat tersebut saat Ino mendengus sebal ke arahnya. "Pencuri biasanya menggunakan alat seperti ini." Lanjutnya.

"Jadi kalian pencuri?"

"Bukan, bukan, Ino-san. Tidak seperti itu, kami semua 'kan datang bersama tanpa sembunyi-sembunyi, kami juga mengetuk pintu. Pencuri tidak—"

"Kalian tahu siapa aku?" katanya terkejut. kemudian ia memberi tatapan penuh curiga. "Kenapa kalian bisa tahu siapa diriku?—"

"Tenang, tenang, Ino-san," kata Yamato mencoba membujuk Ino. "Kami akan menjelaskan semuanya."

Ino menegakkan tubuhnya, matanya menyipit, tangannya mengepal. Dia memaksa diri untuk tersenyum. "Oh, tentu. Jelaskan apa maksudnya semua ini."

"Kami tahu bahwa kau sedang kehilangan ingatan," kata pria dengan model rambut yang diikat tinggi menyerupai pucuk nanas. "Dan kami akan memberitahu semuanya. Tetapi sebagai syaratnya, kau harus mau membuat kesepakatan dengan kami."

Ino langsung marah. "Orang gila mana yang mau percaya begitu saja pada orang asing dan mencurigakan seperti kalian!"

Kakashi mengacungkan tangannya ke udara ketika Sakura hendak membalas perkataan Ino yang menurutnya sangat tidak sopan. Bahkan Naruto yang ada di sampingnya, memegang bahu gadis itu untuk mencegahnya.

"Kami tidak punya niat buruk apapun, Nona," Kata Shikamaru melanjutkan. "Akan kuberitahu semuanya jika kau mau membuat kesepakatan dengan kami untuk berperan sebagai istriku—Almarhum istriku." Ralatnya. Matanya yang sipit mentap Ino lurus-lurus.

Ino memijit kepalanya yang tiba-tiba terasa pening dan pusing. Ia bahkan tak mau repot-repot membalas ucapan Shikamaru. Ia berjalan menghampiri ranjang pasien, hendak membaringkan tubuhnya kembali di atas kasur, mengabaikan orang-orang itu dan mencoba terlelap tidur. Namun sayang, perkataan pria itu selanjutnya membuat jantungnya berdetak kencang.

"Kau tidak ingin mendapatkan kembali ingatanmu, Nona?" kata Shikamaru memberi tatapan serius. "Kau kehilangan semua barang-barangmu dan tak mengingat identitasmu. Dan juga, kau perlu tahu bahwa Kirigakure tidak akan melepaskan orang asing begitu saja, kau tak bisa pergi ke manapun. Mereka akan menjadikanmu sandera dan jika perlu, mereka akan membunuhmu."

Ino melotot ngeri mendengarnya, mendadak rasa pusing di kepalanya menjadi rasa sakit tak tertahankan. Menyadari hal itu, Kakashi bertindak cepat. Ia menghampiri Ino, berjaga-jaga jika gadis itu jatuh pingsan. Namun, Ino memaksa diri untuk tetap berdiri tegak dan tersadar sepenuhnya.

"Kami tak punya banyak waktu," kata Kakashi. "Dan untuk kebaikanmu juga, sebaikanya kau tenangkan dirimu, dengarkan semua yang akan Shikamaru katakan. Karena kesepakatan ini hanya satu-satunya pilihanmu."

Ino ingin sekali tertawa mengejek ke arah mereka. Berucap dingin dan mengusir semuanya, tapi akal sehatnya melarang dirinya untuk melakukan hal tersebut. Ino tidak cukup bodoh untuk tak memahami perkataan mereka tadi. Ia harus hati-hati, dan tak boleh menganggap remeh hal ini.

Kakasih melirik ke arah Shikamaru, dan pria itu langsung mengangguk paham. "Kau akan melakukan sebuah misi." Katanya. "Kau akan kembali melanjutkan perjalananmu ke Suna, tetapi sebagai Sabaku Temari. Dan kau harus mencari tahu tentang keadaan di sana—"

"Tunggu, tunggu," sela Ino tak sabar. "Kau ingin aku jadi mata-mata? Oh, bagus! Kalian bukan bermaksud membuat kesepakatan, tapi bermaksud memanfaatkanku! memposisikanku dalam situasi yang lebih berbahaya!"

"Sudah kubilang kau tak memiliki pilihan lain," Sahut Shikamaru cepat. "Singkatnya, kau membutuhkan kami, dan kami membutuhkanmu."

"Kau tak mau mati sia-sia di sini, bukan?" Yamato ikut bersuara.

Ino tak menjawab, tapi jelas ia memikirkan sesuatu. "Cih, kalian tahu?" kata Ino sinis. "Aku hanya kehilangan ingatan, bukan kehilangan akal sehat!"

Mendadak Yamato merasa kesal dengan kekeraskepalaan gadis itu. Namun, mengingat kembali bahwa mereka tak punya pilihan lain, ia akhirnya mencoba untuk tidak terpancing emosi dan berkata, "Jika kau punya akal sehat, kau pasti tak akan menolak pilihan ini."

Ino terdiam. Sepenuhnya bungkam. Kemudian ia bergumam lirih, "Mungkin kau tidak sepenuhnya salah."

Kakashi tersenyum kecil. "Boleh aku yang meneruskan?"

"Boleh."

Kakashi tidak memedulikan nada terpaksa dalam persetujuan itu. Dia pun mulai dengan gayanya yang paling santai namun tetap berwibawa.

"Aku rasa kau adalah tipe gadis yang suka membaca koran dan mengikuti berita-berita umum." Katanya. "Tentunya kau sudah pernah membaca berita tentang hilangnya seorang pemimpin negara Suna. Ada beberapa kejanggalan dengan peristiwa tersebut."

Ino mengangguk. "Ya, aku membacanya di koran."

"Nah, sebenarnya yang terjadi tidaklah seperti apa yang terlihat atau terdengar dari kabar angin yang simpang siur kebenarannya. Maksudku, tak semua kemungkinan informasi itu benar. Dan dalam situasi aneh ini, di mana Kazekage dikabarkan tiba-tiba menghilang, bahkan ada yang mengatakan Kazekage muda itu telah tewas dan dibunuh. Tetapi masalah yang sebenarnya, lebih gawat lagi, jika hubungan Suna dan Konoha terpecah belah, maka perang antar negara tak akan terelakkan. Dan sebenarnya mungkin kau bisa membantu kami menggagalkan kemungkinan terburuk itu."

Ino terbelalak memandangnya. "Aku? Bagaimana caranya? Kenapa?"

"Sekarang kami sudah mempunyai kemungkinan yang kuat dibalik peristiwa yang tidak masuk akal ini. Suna sepertinya sedang merencanakan sesuatu—dan itu sangat penting untuk kami ketahui. Kakak perempuannya ini bingung—atau begitulah pengakuannya. Dia mengatakan bahwa ia tak tahu kenapa Gaara menghilang dan bagaimana caranya. Pengakuannya itu mungkin memang benar, atau sala satu di antaranya, kemungkinan juga apa yang dinyatakannya itu tidak benar."

Ino mencondongkan tubuhnya. Tanpa sadar ia menjadi begitu tertarik. Kakashi melanjutkan. "Kami sudah bersiap-siap untuk mengawasi Temari. Kira-kira satu minggu yang lalu dia meminta izin pulang untuk ikut menyelidiki hilangnya Gaara."

Ino berkata datar. "Tentu saja ia harus pulang, bukan?"

"Ya, benar. Wajar jika ia ingin pulang."

"Itu sangat wajar, kurasa."

"Tapi orang-orang di departemen kami menemukan suatu kejanggalan. Tidak hanya itu, secara alami pemikiran jelek dan prasangka buruk menjadi bayang-bayang untuk tidak mempercayai dirinya. kami mengatur pengamatan terhadap Temari. Hari ini sesuai rencana, dia berangkat dari Konoha menuju Sunagakure. Semua serba terbuka dan terang-terangan, rencana perjalanan disusun, tempat dipesan dulu. tapi ada kemungkinan bahwa dalam perjalanan inilah Temari mempunyai rahasia tentang hilangnya Gaara."

Ino mengedikan bahu. "Aku tak paham kenapa harus diriku yang berperan dalam hal ini."

Kakashi tersenyum. "Kau bisa terlibat karena kau memiliki warna rambut pirang yang sangat memesona."

"Rambut?"

"Ya. Itulah yang paling mencolok pada sosok Temari—rambutnya. Kau sudah tahu tentunya orang yang kebetulan satu pesawat denganmu, nyawanya tak terselamatkan."

Ino melengkungkan sebelah alisnya. "Kudengar jumlah korban yang selamat hanya dua orang, dan aku tak tahu wanita mana yang kau maksud."

"Oh, kami akan menunjukkan foto Temari padamu nanti."

"Tapi tentunya," kata Ino. "Itu sama sekali tidak mungkin. Maksudku, mereka akan segera tahu kalau aku bukanlah Temari."

Kakashi menggelengkan kepalanya. "Itu sepenuhnya tergantung pada siapa yang kau maksud 'mereka' ini. Jika kepulangan Temari ini sudah direncanakan, maka orang-orang yang bertugas di sana tidak tahu apa-apa mengenai segala hal yang terjadi di Kirigakure. Keterangan tentang Temari di dalam paspornya adalah 5 kaki 7 inci, rambut pirang mata hijau kebiruan, mulut sedang , tak ada fisik yang terlalu mencolok. Cukup baik."

"Tapi orang yang berwenang di sini. Tentunya mereka—"

Kakashi tersenyum, dan melirik ketiga orang lain di sudut ruangan. "Bagian yang itu dijamin beres. Serahkan semua masalah tersebut pada tim ke-tujuh."

Arah pandang Ino ikut melihat ketiga orang itu, pemuda yang berambut pirang jabrik memberi cengiran lebar, sedangkan gadis berambut pendek merah muda memberi tatapan yang tak bisa Ino jelaskan. Lalu pemuda yang terakhir, pemilik rambut dengan gaya mencuat bak pantat ayam memberi tatapan dingin ke arahnya. Ino bertanya-tanya, apakah mereka itu seperti kelompok agen yang sering muncul di film laga action atau semacamnya?

"Mereka akan membuat fakta baru mengenai catatan korban. Faktanya kira-kira akan menjadi begini. Nara Temari, karena gegar otak dibawa ke rumah sakit. Nona Ino, penumpang lain dalam pesawat nahas yang sama, juga di rawat di rumah sakit. Dalam beberapa jam Yamanaka akan meninggal di rumah sakit. Dan Nara Temari keluar rumah sakit, dengan mengalami gegar otak ringan, tapi sudah mampu untuk meneruskan perjalanan pulangnya. Kecelakaan in benar-benar terjadi, kalian satu pesawat dan mengalami gegar otak. Dan kehilangan ingatan ini memberikan penyamaran yang baik untukmu."

Ino berseru. "Ini gila!"

"Ya, memang," kata Kakashi, "Memang gila. Ini bukan tugas yang mudah dan kalau kecurigaan kami benar, kau akan menghadapi kesulitan besar. Nah, kau tahu kami sudah mengatakan semuanya, menurutmu, bukankah ini tawaran yang menarik daripada harus menjadi sandera atau tewas di negeri asing ini?"

Mendadak Ino tertawa lepas. "Sungguh, kurasa aku memang tak punya pilihan lain."

"Jadi, kau bersedia?"

Ino tersenyum menantang. "Ya, kenapa tidak?"

"Kalau begitu," kata Kakashi seraya memandang semua orang di ruangan itu, sedangkan Shikamaru, Yamato dan kelempok ke-tujuh bersiap meninggalkan ruangan. "Kita tidak boleh membuang-buang waktu."

To be continued.

.

Untuk yang belum paham keterangan waktu dalam cerita ini, saya akan jelaskan sedikit:

Pertama, waktu Temari mendapat surat dari Gaara yaitu pada tanggal 10 September, yaitu dua hari sebelum Gaara dikabarkan menghilang.

Kedua, Temari memilih perjalanan pulang ke Suna pada tanggal 19 September, yaitu seminggu setelah ia meminta izin pulang. Dalam seminggu ini, sebenarnya Temari sudah merencanakan semuanya, pemesanan tiket dan keperluan lainnya. Hanya saja, alasan kenapa ia memilih waktu seminggu, padahal ia sangat ingin kembali, membuat Kakashi mencurigainya.

Ketiga, Sasori menemui Kakashi bertepatan dengan hari yang sama pada saat Temari pergi.