Disclaimer : Fic ini bukanlah milik saya, namun berasal dari fiksi bahasa inggris dengan judul sama yang ditulis oleh gotchick di ao3. Bisa dibaca di [ works/8299862], link lengkapnya saya tulis di profil saya. Karena saking bagus dan epic dan life-changing dan awesome-nya fic-ini, saya gakkuat pengen translate-in. OMG. Sudah dapat ijin dari author aslinya, so untuk yang males baca bahasa inggris, boleh dibaca. Dan, JACKBUM NEEDS MORE LOVE LIKE SERIOUSLY THEY'RE SO IN LOVE IT HURTS.
Enjoy.
.
As Ever
written by gotchick
translated to bahasa indonesia by holyverde
.
2, 42
Sejak Jaebum belum cukup tua untuk mengerti apa arti malaikat pelindung, dia sudah tahu jika ia memiliknya. Dia belum bisa mengungkapkannya dengan kata-kata, dia bahkan belum bisa bicara dan hanya mengerang sesekali. Karena yang ada di dunianya hanyalah langit biru dan awan yang terbang pelan di atas kereta bayinya, dia tidak tahu apa itu malaikat, tapi entah mengapa instingnya mengatakan, bahwa ada seseorang yang selalu berjaga di sisinya. Jaebum bisa merasakan keberadaannya di kehangatan udara, ketika jari-jemari seseorang yang bukan milik orang tuanya membelai dagunya lembut, terlalu lembut hingga kadang Jaebum salah mengiranya sebagai belaian angin. Terkadang, malah, Jaebum bisa mendengar suara nyanyian pelan yang menina-bobo-kannya. Nyanyian dalam bahasa asing yang tidak dia ketahui, mengalun lembut, menguntai nada-nada yang menenangkan.
6, 48
Jaebum tengah membangun sebuah istana pasir di halaman belakang rumahnya, sendirian setelah pengasuh meninggalkannya untuk membuatkan teh. Namun bunyi gemerisik di semak-semak mengusik siang yang tenang, membuat Jaebum menengadahkan kepalanya ke sumber suara dan melebarkan mata begitu menemukan seorang laki-laki memanjat keluar dari semak-semak, dengan dedaunan dan ranting kecil yang menempel di tubuhnya. Sekop yang dipegang Jaebum terjatuh, ketika dia refleks berdiri terhuyung.
Laki-laki itu berlutut, berusaha agar pandangannya sejajar dengan Jaebum, namun tidak melakukan apapun untuk mendekat. "Jangan takut," katanya, matanya memancarkan kelembutan, "Jaebum-ah."
Ada sesuatu pada cara laki-laki itu menyebut namanya, seolah ia telah mengenal Jaebum, seolah ia telah terbiasa memanggil Jaebum setiap hari. Laki-laki itu sudah tua, hampir setua kakek Jaebum, wajahnya menampakkan gurat-gurat lelah, dengan bahu sedikit membungkuk. Tetapi garis matanya berkilat kekanakan ketika dia tersenyum.
"Hyung," panggilnya, dan Jaebum mengernyit heran mendengarnya. Mengapa seseorang dengan umur 10 kali lebih tua darinya memanggilnya hyung? Padahal Jaebum anak terakhir di keluarganya, bahkan semua sepupunya lebih tua darinya. Jadi ini adalah pertama kalinya bagi Jaebum dipanggil dengan sebutan hyung, dan Jaebum tidak yakin apakah dirinya menyukai panggilan itu. Walau begitu, Jaebum tidak punya waktu untuk protes, karena sekarang, laki-laki itu tengah berbicara tentang sesuatu yang tidak Jaebum mengerti. Berganti dari satu bahasa ke bahasa lain sambil memandanginya.
Seiring dengan laki-laki itu bicara, Jaebum bisa melihat air menggenangi matanya, semakin lama semakin tak terbendung dan tumpah membasahi pipinya. Jaebum tidak tahu mengapa, Jaebum juga tidak tahu bagaimana laki-laki ini mengenalnya, tapi Jaebum tahu, dia tidak seharusnya berbicara dengan orang asing. Dia seharusnya menjauh. Tapi... ada sesuatu yang menahannya. Sesuatu entah apa. Sesuatu yang berhubungan dengan kehangatan yang dipancarkan mata laki-laki itu, kehangatan sedih yang membuat Jaebum ragu-ragu mendekat, takut namun penuh keingin-tahuan.
Sebuah senyum terkejut merekah di tengah tangis laki-laki itu, dia seolah ingin ikut mendekat, tapi ia terlihat setengah mati untuk menahannya. "Kamu selalu saja berani," katanya, dengan bahasa korea. "Tapi jangan menjadi terlalu berani, oke?"
Jaebum tidak tahu maksudnya, dia bahkan tidak tahu kenapa laki-laki ini belagak mengenalnya padahal Jaebum tidak pernah bertemu dengannya, tapi pada akhirnya Jaebum mengangguk. Ketika Jaebum mengulurkan tangannya, berniat untuk menghapus air mata laki-laki itu, baru dia bergerak ke arah Jaebum, menipiskan jarak keduanya. Dia sudah akan mengangkat kedua tangannya ketika suara pengasuh Jaebum bergema melintasi halaman belakang, "Jaebummie, tehnya sudah siap!"
Dalam sekejap, tangan mereka terjatuh, terkejut. Laki-laki itu terlihat kecewa, namun segera bersikap biasa saja lantas mengedikkan kepalanya ke arah rumah Jaebum. "Ayo cepat, sudah dipanggil loh." Dia tidak bergerak untuk menyentuh Jaebum, walau nada suaranya seolah berat untuk melepas.
Jaebum berbalik, menyeret kakinya dengan perlahan, takut jika pengasuhnya keluar dan melihat si laki-laki, mereka berdua akan terkena masalah. Tapi pada akhirnya Jaebum berlari melintasi halaman belakangnya dengan cepat, menuju pintu belakang rumahnya. Namun pandangan laki-laki itu seolah mampu menembus angin, terasa oleh punggung Jaebum, membuatnya tidak tahan untuk berbalik. Laki-laki itu masih berada di posisi yang sama, dengan ekspresi yang tidak bisa Jaebum lihat karena jarak yang cukup jauh. Yang Jaebum tahu, tangan laki-laki itu terangkat, memberi lambaian selamat tinggal untuknya.
Kedua kalinya Jaebum melihat kebelakang, dia sudah tidak ada.
8, 39
Dua tahun setelahnya, Jaebum melihat laki-laki itu di perjalanan pulang sekolah. Dia mengenakan jaket flanel dan celana kain, tampak memperhatikan dari balik pohon. Entah kenapa, dia terlihat lebih muda dari sebelumnya, posturnya lebih tegak. Tapi cara garis-garis matanya berkilat ketika dia tersenyum benar-benar tidak mudah dilupakan, membuat Jaebum tahu bahwa dia adalah orang yang sama dengan waktu itu. Begitu pula dengan caranya memanggil nama Jaebum, lembut, seolah namanya adalah sebuah mantra.
"Ini aku," katanya, dengan mata penuh pengaharapan, "Jackson."
Jaebum tidak pernah mendengar nama itu. Ketika Jaebum tidak menjawab, laki-laki itu mengerang, mengusap wajahnya dengan telapak tangan. "Maaf, aku membuat semuanya memburuk, ya? Jangan lari, oke? Aku bersumpah, aku bukan orang jahat-"
"Aku tidak akan lari," Jaebum menyela, membuat laki-laki itu berhenti bicara, tampak terkejut. "Kamu bukan orang jahat, kok." jawab Jaebum, berharap jawabannya terdengar cukup berani dan mengesankan.
Senyum yang setelahnya merekah di wajah laki-laki itu masih sama dengan dua tahun lalu. "Terima kasih," ungkapnya pelan, kali ini sambil mengacak rambut Jaebum lembut. Jaebum jadi merasa seperti anak kucing karenanya, merasa kehilangan sesaat setelah laki-laki itu menarik tangannya.
Laki-laki itu lalu menghela nafas. "Baiklah, biar aku kenalkan diriku sekali lagi. Namaku Jackson, dan aku-" dia berhenti sebentar, seperti mencari-cari kata yang pas untuk menjelaskan siapa dia.
"Aku tahu siapa kamu!" Jaebum menjawab dengan antusias, membuat Jackson terkejut. "S-siapa?"
"Kamu malaikat pelindungku, kan?" jawab Jaebum dengan penuh percaya diri, tampak sangat puas dengan jawabannya. Jackson tertawa berderai.
"Malaikat?" tanyanya takjub. "Aku bukan malaikat, tapi untuk sekarang, yah... bolehlah." dia seolah ingin bercerita lebih jauh, tapi segera dibisukan oleh ekspresi puas milik Jaebum. "Sudah kuduga!" Jaebum berteriak senang.
Mereka berjalan beriringan hingga sampai pada persimpangan jalan, Jackson memegang tangannya setelah Jaebum mencoba berlari menyeberangi jalan, genggamannya lembut tapi penuh dengan kekhawatiran. Dia berseru, "Hati-hati, banyak mobil!" tangan Jackson yang besar, namun hangat, melingkupi tangan kecil Jaebum. Dia tidak melepaskannya bahkan setelah mereka sampai di ujung persimpangan, menautkan kedua jemari dan mengayunkannya sepanjang perjalanan hingga Jaebum tiba di rumah.
"Paman malaikat," Jaebum memanggilnya tiba-tiba, "Kenapa rambutmu sekarang berwarna abu-abu? Padahal waktu itu warnanya putih semua."
Jackson tertawa gugup, sambil mengacak rambutnya sendiri. "Waktu itu? Astaga, maaf ya. Aku tidak tahu kalau sebelum ini sudah pernah bertemu denganmu. Aku pikir ini pertama kalinya, maksudku, terakhir kalinya." Dia tampak bingung dengan kalimatnya sendiri, lalu terlihat lega saat mereka berdua telah tiba di depan pintu rumah Jaebum.
Jaebum sedikit kecewa, namun dia mendengar suara ibunya yang tengah sibuk di dapur, menyiapkan camilan untuknya. Ketika itulah Jaebum sadar bahwa Jackson harus segera pergi. Jaebum tahu, tidak baik baginya untuk bicara dengan orang asing, apalagi orang yang sudah tua seperti Jackson, karena bisa saja dia benar-benar orang jahat. Tapi perasaan aman yang Jaebum rasakan benar-benar mengherankan. Dia benar-benar yakin bahwa Jackson tidak akan pernah menyakitinya. Tidak akan ada yang paham mengapa Jaebum merasa sepercaya ini pada seseorang. Jaebum ingin bertanya, kapan dia bisa bertemu lagi dengan Jackson. Tapi Jaebum mengurungkannya lalu masuk ke halaman rumahnya.
"Omong-omong," suara Jackson terdengar kembali ketika Jaebum menyusuri setengah halaman rumahnya, "Jangan panggil aku paman." katanya sambil tersenyum canggung. "Aku jadi merasa tua."
11, 40
"Jackson," nafas Jaebum tertahan begitu dia membuka mata dan melihat bayangan seseorang tengah duduk di tempat tidurnya, matanya berkilau ditempa sinar rembulan. Sekarang adalah pertengahan musim panas, Jaebum menendang selimut yang ia kenakan dalam tidurnya, dan terbangun ketika kasurnya berderit menandakan seseorang duduk di atasnya. Ini bukan pertama kalinya Jackson merasa seseorang tengah memperhatikannya saat tidur, namun kali ini bayangan itu menjawab dengan menarik nafas keras.
"Kamu mengingatku," katanya, nadanya berat, mata berkilat cerah penuh curiga. Jaebum mengangguk dan duduk, merasa kerongkongannya kering tiba-tiba. Jaebum bisa menghitung berapa kali selama tiga tahun ini dia bertanya-tanya, kapan akan bertemu dengan Jackson, sedang dimana dia, apa yang dia lakukan, atau apakah selama ini Jackson nyata atau hanya bagian dari bayangan Jaebum semata. Tapi sekarang, Jackson tengah duduk tepat di hadapannya, terlihat sangat nyata.
Jackson melihat Jaebum dengan pandangan intens, membuat Jaebum gemetar. "Bagaimana kabarmu?" dia bertanya, nadanya pelan, membuat Jaebum menjawabnya dengan nada yang sama. "B-baik."
Jackson tampak ragu untuk mendekat, menjaga jarak yang sopan baginya dan Jaebum sampai Jaebum menepuk tempat kosong di sisinya. "Kamu bisa duduk di sampingku."
Jackson mendekat, membuat Jaebum melihat kilatan giginya di kegelapan, menandakan bahwa dia sedang tersenyum lebar. Ketika Jackson sudah sempurna duduk di sampingnya, kehangatan yang dipancarkan tubuhnya membuat Jaebum yakin bahwa Jackson adalah manusia, sama seperti dirinya.
"Tumbuhmu cepat sekali ya," kata Jackson sambil tersenyum. "Terakhir kali aku melihatmu, kamu masih segini." tangan Jackson menggantung di udara, setinggi tempat tidur Jaebum, muka Jaebum memerah. "Aku tidak sependek itu, tahu!" dia melempar bantalnya ke arah Jackson.
Jackson terkekeh sambil mengelak. Walaupun Jackson lebih tua darinya, dia benar-benar tidak peduli pada sikap kurangajar Jaebum. Yang lebih mengherankan, Jaebum sama sekali tidak merasa sungkan padanya. Jaebum tidak merasa harus bersikap kaku dan formal seperti ketika dia bersikap dengan orang lain yang sudah dewasa. Entahlah, mungkin karena ada sesuatu yang membuat Jackson terlihat masih seperti anak kecil, hingga Jaebum lupa umur Jackson sesungguhnya.
Tiba-tiba, senyum Jackson menghilang, berganti wajah yang memucat bahkan dalam keremangan. "Jaebum," katanya, menggenggam tangan Jaebum tiba-tiba. "Maaf ini terlalu tiba-tiba, tapi aku harus memberitahukan sesuatu. Kamu sudah cukup tua sekarang."
"Cukup tua untuk apa?" Jaebum menahan nafasnya. Kilatan misterius di mata Jackson, dan dentuman jantungnya yang cepat adalah dua hal yang membuat Jaebum merasa berada di satu persimpangan hidupnya, merasa bahwa apapun yang akan dikatakan Jackson setelahnya, akan mengubah hidup Jaebum selamanya. Dan firasatnya benar.
"Aku punya... sebuah kekuatan," ujar Jackson hati-hati. "Aku... aku bisa menjelajah waktu."
Rahang Jaebum terjatuh, mulutnya terbuka, tidak bisa berkata-kata. Apa jangan-jangan ini mimpi? Tapi genggaman tangan Jackson sudah cukup menjawabnya. Semua ini nyata.
"Maksudmu... kamu dari masa d-depan?" Jaebum tersedak, telapak tangannya tiba-tiba berkeringat. Ada saat ketika Jaebum mengira Jackson bukanlah manusia, bahwa Jackson adalah malaikat penjaganya dari surga, walaupun dia sudah terlalu tua untuk percaya pada hal-hal seperti malaikat atau sinterklas. Tapi Jackson yang memiliki kemampuan supernatural khusus seperti di film-film? Jaebum sama sekali tidak menyangkanya. Jauh sekali dari bayangan Jaebum soal hantu atau makhluk gaib. Dan ini semua tidak membuat Jaebum merasa nyaman.
Jaebum kira dia berhasil menyamarkan rasa terkejutnya, tapi Jackson yang tersentak karena melihat Jaebum begitu kaget membuatnya panik, "Tidak juga sih," Jackson terkekeh dengan gugup. "Ya, sebenarnya iya... aku datang dari beberapa dekade yang akan datang, tapi aku ada di masa sekarang. Maaf," tambahnya, setelah melihat alis Jaebum yang tertaut penuh keheranan. "Aku tahu ini pasti membingungkan.
Bingung adalah hal terakhir yang Jaebum rasakan saat ini. Sebagian besar adalah rasa terkejut dan tidak percaya, berharap ini semua sebenarnya hanya mimpi aneh dan dia akan segera terbangun dari tidur. Jackson mengulurkan tangan ke arahnya, tapi sebelum tangan itu menyentuh Jaebum, dia refleks membentak, "Jangan sentuh aku."
Jackson berjengit, ekspresinya terluka, seolah kata-kata Jaebum adalah panah yang menusuk. Jaebum seketika dipenuhi rasa bersalah. Perasaan marah karena Jackson menyembunyikan sesuatu menguar ke permukaan, tapi segera tertutup oleh logika, meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang dikatakan Jackson hanyalah lelucon belaka, bahwa sebentar lagi Jackson akan tertawa dan berteriak kalau ini semua hanya lelucon.
Jaebum lalu menghela nafas berat. "Kalau begitu buktikan!"
Jackson menatapnya, matanya penuh kesedihan hingga membuat Jaebum tidak bisa bernafas. "Baiklah," jawabnya pelan, lalu, dalam satu kedipan mata, Jackson menghilang.
12, 45
Jaebum sudah membayangkan skenario ini berkali-kali hingga dia tidak bisa membedakan yang mana bayangannya dan yang mana kenyataan: yaitu Jackson yang menampakkan diri lagi di hadapannya. Dia sudah memikirkan berjuta-juta
kalimat berbeda yang ingin dia katakan pada Jackson, mulai dari kalimat sarkas, permohonan maaf, kata-kata dingin, hingga belagak seolah tidak peduli, tapi ketika Jackson benar-benar muncul di hadapannya satu tahun kemudian, Jaebum tidak bisa berbohong, bahwa satu-satunya emosi yang dia rasakan, adalah rindu.
Karena tidak ada satupun hari dalam tiga ratus enam puluh puluh hari tanpa Jackson dalam pikirannya. Bertanya-tanya dimana dia, apa dia baik-baik saja, berapa umurnya, apa dia bahagia, apa dia sedang memikirkan Jaebum seperti Jaebum memikirkannya. Terkadang, dia merasa iri ketika memikirkan bahwa Jackson sedang menjelajahi waktu di tempat lain, menemui seseorang selain dirinya, tapi terkadang, dia hanya merasa khawatir ketika sadar akan kemungkinan orang lain yang tidak akan bisa menerima Jackson seprti Jaebum menerimanya, bahwa ada kemungkinan Jackson akan diburu untuk ditangkap dan diteliti di sebuah laboratorium. Perasaan Jaebum berganti-ganti dengan cepat, dari pikiran positif ke negatif, terkadang malah berharap tidak mengenal Jackson sama sekali, sementara terkadang dia berpikir bahwa bertemu Jackson adalah salah satu pengalaman hidupnya yang terbaik. Orang tuanya menyangka bahwa masa puberlah yang membuat Jaebum begini, sementara Jaebum tahu, bahwa Jackson lah alasan utama yang membuatnya menghabiskan berjam-jam untuk pulang ke rumah karena dia tidak bisa berhenti untuk mencari di setiap belakang pohon akan keberadaan seseorang dan yang membuatnya sering terlambat ke kelas karena dia menghabiskan malamnya untuk menunggu kilatan cahaya atau bayangan hitam masuk ke kamarnya. Jaebum tahu semua itu adalah tindakan yang bodoh dan sia-sia, karena Jackson hanyalah seorang pria tua yang Jackson temui tiga kali dalam hidupnya, pria yang mengaku bisa menjelajahi waktu, pria yang kepadanya Jackson tidak punya alasan untuk merasa terikat.
Tapi kemudian, ketika dia memikirkan tentang betapa cerah senyum yang Jackson miliki, betapa hangat tangan yang menggenggam Jaebum erat, betapa mata Jackson penuh dengan kesedihan saat terakhir kali mereka bertemu, atau ketika Jackson menatapnya. Seolah Jaebum adalah makhluk yang indah dan berharga. Tidak ada satu orangpun yang pernah memandangnya seperti itu seumur hidupnya. Satu-satunya Jaebum melihat cara memandang seperti itu, adalah ketika Ayahnya memandang Ibunya.
Tapi tentu saja, itu semua tidak membuat Jaebum melompat ke pelukan Jackson begitu dia menampakkan diri di siang hari, tepat ketika Jaebum tengah berbaring di tempat tidurnya sepulang sekolah. Walaupun Jaebum ingin, dia bukan lagi bocah berumur enam atau tujuh tahun yang bisa bebas menampakkan rasa tertariknya tanpa malu-malu. Jaebum yang sekarang adalah Jaebum yang tahu bagaimana menutup mulutnya, mengeram kesal ketika Jackson dengan ragu-ragu mendekatinya.
"Jaebum?" Jackson berbisik, penuh keraguan, matanya menatap seolah memohon. " Maaf, kalau kamu tidak ingin bertemu denganku, aku akan pergi."
Dia bergerak menuju jendela, saat itulah Jaebum berteriak, membuat Jackson berhenti. Ketika dia berbalik, ada secercah harapan di matanya.
"Nanti lehermu patah," jelas Jaebum, gengsi mengakui kalau dia tidak ingin Jackson pergi, "Ini kan lantai dua."
Bibir Jackson tersungging, mengulas senyum simpul. "Apa kamu mengkhawatirkanku?" dia bertanya sambil menyeringai, mendekat ke arah Jaebum yang kini makin menenggelamkan wajahnya ke dinding terdekat. Jaebum lalu mendengus penuh kesinisan, "Yang benar saja." jawabnya.
Jackson terlihat kecewa sampai Jaebum panik dibuatnya, cepat-cepat Jaebum menambahkan, "Kenapa kamu lama sekali?"
Pertanyaan itu menggantung di kesunyian, terdengar sangat manja di telinganya, membuat Jaebum menyumpah dalam hati. Tetapi Jackson memandangnya penuh keseriusan, matanya penuh penyesalan yang memancar semakin jelas seiring Jackson berjalan mendekat ke arahnya dan duduk di tepian tempat tidur Jaebum. "Maafkan aku," katanya, penuh ketulusan, membuat dada Jaebum terasa sesak. "Aku mencoba kembali ke masa ini selama lima tahun belakangan. Tapi sayangnya, aku tidak bisa mengontrol dimana aku akan dilempar oleh waktu." jawabnya sambil tertawa masam, namun Jaebum bisa melihat bagaimana tangan Jackson mengepal di atas kasurnya, memucat.
Lima tahun. Pantas saja Jackson terlihat jauh lebih tua semenjak terakhir kali Jaebum melihatnya satu tahun, rambutnya kini sudah sebagian memutih. Jadi satu tahun yang dirasakan oleh Jaebum adalah lima tahun untuk Jackson. Jackson menghabiskan lima tahun untuk bertanya-tanya... apakah Jaebum memaafkannya, tanpa tahu bahwa Jaebum sebenarnya tidak pernah marah. Dan jika tahun ini serasa tak berkesudahan bagi Jaebum, apalagi bagi Jackson?
Perasaan bersalah menyelusup masuk dalam dada Jaebum. Jika saja dia lebih dewasa saat itu dan tidak menduga yang aneh-aneh... jika saja Jaebum tidak membiarkan kemarahannya menguasai akal sehat dan membuatnya mengatakan kata-kata menyakitkan itu pada Jackson, pasti dia tidak se-merasa bersalah ini. Jaebum tidak bisa mengatakan maaf pada Jackson, tapi Jackson seolah bisa membaca matanya.
"Oh, Jaebummie," ujarnya, kedua tangannya memeluk tubuh Jaebum. "Aku baik-baik saja kok." katanya. "Aku bukannya tidak bertemu denganmu selama lima tahun, aku hanya tidak bertemu dirimu di masa ini."
Mata Jackson berkilat aneh, membuat jantung Jaebum melompat. Apa itu artinya Jackson sering mengunjunginya di masa depan? Ataukah, di masa Jackson tinggal, ada Jaebum di situ? Memikirkan semua itu membuat kepala Jaebum sakit, jadi pada akhirnya Jaebum hanya bertanya pelan pada Jackson, "Sebenarnya, asalmu itu darimana?"
Jackson tampak terkejut dengan pertanyaan Jaebum, tapi kemudian dia tersenyum lembut. "Dari Hongkong."
Jaebum mengernyitkan wajahnya, makin bingung. Dia tidak pernah pergi ke Hongkong sebelumnya, dan yang Jaebum tahu, Hongkong itu sangat jauh dari Korea. "Bagaimana kamu bisa bahasa Korea, kalau begitu?" tanya Jaebum.
Senyum Jackson makin mengembang. "Kamu yang mengajariku," akunya.
Jaebum melongo. "Aku? Kapan?" teriaknya.
"Saat aku masih kecil," jawab Jackson pelan, matanya menerawang hingga bertemu dengan mata Jaebum. "Jaebum-ah," panggilnya, "Aku sudah mengenalmu seumur hidupku,"
Jaebum benar-benar kesulitan mencerna semua ini. Jackson sudah tua, lebih tua dari yang bisa Jaebum hitung dengan jarinya. Tentu tidak mungkin dia mengenal Jaebum seumur hidupnya jika sekarang saja Jaebum baru berumur 12 tahun. Tapi karena Jackson berkata begitu-melihat bagaimana senyum di wajahnya, yang tampak jujur dan terbuka, Jaebum memercayainya.
"Kenapa kamu memanggilku hyung?" Jaebum bertanya kembali. Jackson sudah berada di sini selama satu jam lebih, dan Jaebum tahu waktunya bersama Jackson tidak banyak lagi. Dia bisa melihatnya dari warna bibir Jackson yang berangsur pudar, senyumnya tidak pernah padam, tapi tangannya mencengkeram kemeja abu-abunya dengan gelisah, seolah dia bisa hilang kapan saja jika Jaebum tidak menahannya.
Tawa Jackson terdengar lemah, namun tulus. "Karena di waktu kita yang sesungguhnya, kamu lebih tua satu tahun dariku." jawabnya, memencet hidung Jaebum gemas.
"Lebih tua satu tahun?" Jaebum tercengang, tidak bisa membayangkan dirinya yang lebih tua dari Jackson, atau mungkin malah lebih tinggi dari Jackson sehingga Jackson begitu menghormatinya, atau bahkan lebih pintar dari Jackson, agar ketika mereka berbicara, mereka akan setara. Atau juga lebih lucu, agar Jaebum bisa membuat Jackson tertawa. Atau mungkin... mungkin saja, Jaebum yang lebih tua satu tahun dari Jackson adalah pria yang kuat, yang tampan, yang bisa mengangkat Jackson dalam satu kali percobaan, bukannya Jaebum berumur dua-belas-tahun yang tidak bisa apa-apa ini.
"Jaebum," Jackson menggumam, menyadarkan Jaebum dari lamunannya, hanya untuk melihat Jackson yang mulai terkikis angin, menghilang sedikit demi sedikit di hadapannya. Masih semagis pertama kali Jackson melihatnya. "Hyung –" Jackson berkata. Kalimat yang tidak pernah selesai karena setelah itu, sunyi menelannya.
13, 46
"Kangen denganku, tidak?" Jaebum berjingkat ketika mendengar suara yang sangat familiar di suatu siang sepulang ia sekolah, dia langsung berbalik dan tidak memercayai penglihatannya begitu ia melihat Jackson, tampak sama sekali tidak berubah sejak terakhir kali mereka bertemu. Senyumnya bahkan terlihat lebih menyilaukan dari yang Jaebum ingat.
Kali ini, Jaebum berlari memeluk Jackson dengan erat, menghembuskan tawa bahagia dan lega. Sebelum Jackson mampu berkata sesuatu, Jaebum menyeretnya menyusuri gang kecil yang membawa mereka ke tepian sungai yang sepi. Air sungainya tampak berkilau diterpa sinar matahari, sangat jernih hingga mereka bisa melihat dasarnya. Mereka terduduk di tepinya, menghela nafas berdua dengan nyaman.
Selama setahun belakangan, Jaebum menghabiskan hari-harinya untuk menyusun daftar pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada Jackson kali berikutnya mereka bertemu. Tapi setelah mereka bertemu seperti ini, seluruh pertanyaan itu hilang tak bersisa. Pikirannya kosong, tersapu bersih oleh senyum Jackson yang bersinar terang.
Mereka lalu saling memberi-tahu umur masing-masing, sesuatu yang tanpa mereka sadari menjadi kebiasaan setiap mereka bertemu. Jaebum lega begitu mengetahui kalau jarak dari saat mereka bertemu sebelumnya dan sekarang adalah sama bagi mereka berdua. Dia tidak tahu harus bagaimana kalau Jackson yang dia temui adalah Jackson yang lebih muda dari waktu itu, yang belum menjelaskan semuanya pada Jaebum karena dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan apa yang terjadi pada Jackson yang tidak tahu apa-apa. Sudah satu tahun Jaebum menghabiskan waktunya untuk berpikir dan menganalisis kemampuan Jackson, menggambar berbagai macam diagram dan rumus-rumus rumit, melakukan riset di internet, tapi Jaebum masih belum bisa memahami sepenuhnya, sama seperti saat Jackson memberi-tahunya pertama kali. Mungkin karena Jaebum masih tiga belas tahun.
Namun ajaibnya, Jackson telah mengajari teori tentang relativitas waktu lebih dari yang bisa buku fisika ajarkan pada Jaebum. Prinsipnya begini, waktu akan terasa begitu cepat saat kita menikmati sesuatu, dan akan berjalan lambat saat kita melakukan sesuatu yang menurut kita sia-sia. Jaebum memahami teori itu karena setiap dia bersama Jackson dan menghabiskan hari dengan mengobrol, bergurau atau berdebat, waktu akan melesat dengan sangat cepat. Kalau waktu bisa digambarkan menjadi sebuah ruang, maka, bersama Jackson, waktu seolah memuai. Selama bertahun-tahun ini, pertemuannya dengan Jackson memang hanya bisa dihitung dengan sebelah tangan, namun di setiap pertemuan mereka, waktu seolah menjadi begitu berharga, tertaut dalam pikirannya, memengaruhi hidupnya. Ketika Jackson tidak berada di hadapan Jaebum, detik demi detik yang berjalan terasa begitu lambat, jarum jam seolah berjalan layaknya siput, menyeret pelan. Mungkin, kekuatan Jackson bukan hanya bisa menjelajah waktu, tetapi juga menghentikannya. Karena, setiap mereka bersama, Jaebum merasa berada pada fragmen waktu yang membeku, yang ketika ditinggalkan oleh Jackson, semuanya berangsur hancur.
14, 31
Jaebum tidak memberitahu siapapun tentang Jackson, tidak pada orang tuanya maupun pada sahabatnya, Jinyoung, sahabat yang sebelumnya tidak pernah melewatkan satupun kisah hidupnya. Jackson memang tidak pernah menyuruhnya untuk tutup mulut, tapi itu karena Jaebum tahu bahwa Jackson sangat memercayainya, membuat hati Jaebum membuncah karena dipercaya. Apapun yang terjadi, Jaebum tidak akan melakukan apapun yang bisa membahayakan Jackson.
Ketika Jaebum mendorong pintu kamarnya sepulang sekolah, dia hampir memekik melihat Jackson terduduk di tempat tidurnya, terlihat sepuluh tahun lebih mudah dari saat mereka bertemu terakhir kali, mengenakan tuksedo putih, dengan kepala menggantung di antara ke dua lututnya.
Jackson menengadahkan kepalanya, panik terlihat di wajahnya, "Shhh." Dia menyuruh Jaebum menutup pintu dengan isyarat tangannya, dan menghela nafas lega segera setelah Jaebum melakukannya. Jackson terlihat pucat pasi, berkeringat dengan pakaian yang membungkus ketat tubuhnya, dengan tatapan tak terdefinisi ketika Jaebum berjalan mendekat ke arahnya.
"B-berapa umurmu?" Jaebum berkata keras, setelah sebelumnya berdehem.
Jackson tersenyum miring, salah satu ujung bibirnya terangkat. "Tigapuluh satu."
Jaebum menghembuskan nafasnya pelan. Tentu saja, dia tahu kalau Jackson juga pernah muda, tapi dia tidak pernah membayangkan jika... Jackson begitu tampan. Jaebum tidak menyangka dia bisa melihat Jackson yang semuda ini, bukannya laki-laki paruh baya yang selama ini dia kenal.
Karena di umurnya yang ke tigapuluh satu, Jackson benar-benar tampak menawan, dengan kulit wajah halus dan terlihat selembut krim, merona dengan mata yang bersinar cerah dan sorot yang penuh kebahagiaan. Dia menepuk tempat kosong di sebelahnya, menyuruh Jaebum untuk duduk. Jaebum menghela nafas dan duduk di sebelahnya, memberi jarak yang cukup bagi mereka berdua, berharap jika detak jantungnya segera kembali normal.
"Maaf ya, aku agak gugup sekarang." terang Jackson pelan ketika Jaebum mengangkat satu alisnya.
"Kenapa pakai baju begini?" tanya Jaebum dengan wajah datar. Ketika Jackson menjawabnya, Jaebum hampir saja tersedak. "Hari ini aku akan menikah."
"Menikah?" suara Jaebum bergema, terlalu kaget atas informasi yang didengarnya, "dengan siapa?" pertanyaan tersebut tidak sengaja terlontar, otaknya masih belum bisa mencerna bahwa Jackson-yang sekarang tiba-tiba berubah menjadi pria tampan-akan segera menikah.
Tentu saja, memangnya apa yang Jaebum harapkan? Mana mungkin pria yang sehangat dan semenarik Jackson tidak memiliki pasangan? Jaebum selalu tahu kalau Jackson punya kehidupannya sendiri, kehidupan yang tidak diketahui oleh Jaebum, kehidupan yang tidak ada hubungannya dengan Jaebum. Sudah sewajarnya kalau Jackson memiliki pekerjaan yang mapan dan juga pasangan, seperti orang dewasa pada umumnya. Dan sudah sewajarnya pula kalau Jackson menikah. Tidak ada sesuatu yang mengejutkan, harusnya. Namun yang membuat Jaebum bertanya adalah, apa arti rasa sakit di hatinya sekarang?
Jackson tersenyum penuh arti, tetapi Jaebum melihat ada sedikit rasa sedih yang tersirat. "Maaf, aku tidak bisa memberitahumu."
"Terserah lah," Jaebum menggumam, nadanya dingin, beringsut menjauhi Jackson, masih tidak mengerti akan perasaan kehilangan di dadanya. Dia hampir saja lupa kalau sebenarnya Jackson itu bukan siapa-siapa baginya-bukan temannya, bukan keluarganya, bukan juga seseorang yang spesial baginya. Dia hanyalah seseorang yang satu tahun sekali muncul di hadapan Jaebum. Hubungan mereka adalah sesuatu yang tidak akan pernah jelas, yang hanya terasa nyata di dunia mimpi.
Tapi tetap saja, sebuah perasaan pahit merayap di hatinya, membuatnya menarik ujung lengan tuksedo Jackson dengan sedikit kasar. "Ajari aku bahasa China." perintahnya, membuat Jackson memucat. "Sekarang?"
Jaebum memicingkan matanya ke arah Jackson, tidak menyangka bahwa Jackson akan menurutinya. Jaebum lalu mencari buku bahasa china-nya, dan duduk di pangkuan Jackson begitu dia menemukannya, bersandar seolah Jackson adalah kursi meskipun Jaebum tahu dia sudah terlalu berat untuk dipangku. Jaebum berharap dia bisa menahan Jackson agar tetap di sini, mencegah agar Jackson tidak pergi dengan mudahnya. Tetapi Jaebum tahu, satu-satunya yang memiliki kendali di sini adalah sang waktu, dan mereka berdua hanyalah pion yang dimainkan oleh waktu. Akan ada saatnya Jackson pergi ke masa-nya yang sesungguhnya, kembali ke acara pernikahan bersama seseorang yang bukan Jaebum. Tidak mungkin Jaebum.
Pikiran itu menyentak Jaebum tiba-tiba. Mengapa dia sampai berpikir untuk menikahi Jackson? Apa-apaan itu? Walaupun toh mereka berdua berumur hampir sama di waktu yang sesungguhnya, mereka berdua sama-sama laki-laki. Juga, sampai hari ini, Jaebum belum pernah memandang Jackson selain sebagai pria paruh baya. Jadi, yang benar saja.
Jackson mencubit pipinya. "Diperhatikan dong." katanya, membangunkan Jaebum dari lamunan.
"Wo ai ni," kata Jackson, dan Jaebum mengulanginya tanpa pikir panjang, kemudian bingung karena tubuh Jackson mematung tiba-tiba. Ada kilat yang menyambar begitu mata mereka bertemu, seolah yang dikatakan Jaebum adalah suatu mantra pengubah hidup.
"Artinya apa?" Jaebum menelan ludah begitu pertanyaan menggantung di udara, merasakan kehangatan tubuh Jackson perlahan memudar. Buku bahasa china-nya terjatuh, hingga pada akhirnya Jaebum menyadari, dia tidak lagi terduduk di pangkuan Jackson, melainkan di udara kosong yang dingin.
Jaebum memungut bukunya cepat, membuka halaman demi halaman buku itu sambil mencari tiga kata yang diucapkan Jackson. Ketika Jaebum menemukannya, dia terhenyak.
Aku cinta kamu.
Itu artinya.
TO BE CONTINUED
Fic aslinya 54 halaman microsoft word lol. Nyicil dulu segini :") Probably tamat dalam 5 chapter since satu chapter ini isinya 10 halaman. Dan siapapun Jackbum-shipper di luar sana, pls, i need a fangirling-mate asap. OMG.
