Seventeen belong to God, Pledis and their parents
Separate Beds © Bianca Jewelry
Kim Mingyu X Wen Junhui (GS)
Rating: M
Warning: GS. AU. OOC.
.
Note: Sinetron detected! Too much drama.
.
Awal mula cerita ini adalah ketika Tuan Wen membawa anak perempuannya yang bernama Wen Junhui ke sebuah restoran untuk dikenalkan dengan anak dari temannya yang bernama Kim Mingyu. Impresi pertama yang didapat Junhui ketika melihat Mingyu adalah tampan—tapi tentu saja Seungcheol lebih tampan daripada Mingyu—baik, dan ramah. Dan menurut Junhui, Mingyu itu seperti anak anjing, yah walaupun tidak sesuai dengan ukuran badannya yang seperti tiang itu sih. Lalu setelah hampir tiga jam berada di restoran, dua keluarga itu berpamitan dan pulang ke rumah masing-masing.
"Junhui," panggil Tuan Wen saat mereka berada di perjalanan menuju rumah mereka.
"Ya bà?"
"Menurutmu Mingyu bagaimana?"
"Ya seperti itu," jawab Junhui sekenanya.
"Bàba ingin menikahkanmu dengan Mingyu."
Kalimat yang membuat Junhui syok dan ia langsung melayangkan protes kepada ayahnya. "Aku tidak mau, aku sudah punya pacar bà."
"Ya ya, si berandalan itu 'kan," ujar Tuan Wen dengan nada malas.
"Seungcheol-oppa bukan berandal!" protes Junhui lagi sambil merengut.
Junhui heran, kenapa sih ayahnya ini tidak suka sekali dengan Seungcheol. Tapi lebih anehnya lagi, ayahnya tidak menyuruh Junhui untuk memutuskan Seungcheol walaupun Tuan Wen tidak menyukainya.
"Kalau dia anak baik-baik, dia sudah melamarmu sekarang nak. Kau sudah dua puluh lima tahun, umur yang cukup matang untuk menikah. Sudah lima tahun pacaran masih saja belum melamar. Kelihatan 'kan kalau dia cuma main-main denganmu."
"Ya mungkin saja sebentar lagi," bela Junhui.
"Kalau sebentar laginya jadi tiga tahun? Lalu lima tahun? Kau akan bilang itu sebentar lagi?"
"Bà…" ujar Junhui memelas.
"Bàba tidak menyuruhmu menikah besok Junhui."
"Pokoknya aku tidak mau. Lagipula Mingyu juga belum tentu setuju untuk menikahiku 'kan."
"Junhui, kau bisa melakukan pendekatan dulu," kata Tuan Wen.
Setelah itu, Junhui diam dan menjadi badmood seketika. Sesampainya di rumah ia langsung turun dari mobil dan berlari ke kamarnya, tak lupa membanting pintu kamarnya dengan cukup keras. Junhui berbaring menghadap tembok di tempat tidurnya dan memeluk gulingnya erat-erat. Tak lama kemudian pintu kamarnya diketuk oleh sang ibu.
"Junhui, māmā masuk ya?" izin Nyonya Wen lalu masuk ke kamar Junhui dan mendudukkan diri di ranjang Junhui. Nyonya Wen mengelus kepala putrinya.
"Māmā, aku punya pacar," adu Junhui.
"Iya māmā tahu."
"Namanya Choi Seungcheol."
"Iya, māmā tahu," ulang Nyonya Wen.
"Jadi aku tidak mau menikah dengan Mingyu."
"Iya sayang. Māmā paham perasaanmu. Tapi kau tahu 'kan bagaimana bàbamu itu?"
Setelahnya, hanya keheningan yang memenuhi kamar Junhui. Nyonya Wen tetap mengelus kepala Junhui untuk menenangkan putrinya.
"Nanti māmā akan bicarakan lagi dengan bàba. Sekarang kau lebih baik ganti baju lalu tidur," kata Nyonya Wen.
"Terima kasih mā," ucap Junhui.
Nyonya Wen tersenyum lalu meninggalkan kamar Junhui.
.
Sementara itu di kediaman keluarga Kim…
"Mingyu," panggil Tuan Kim.
"Ya appa?"
"Bagaimana hubunganmu dengan Minghao?"
Mingyu menaikkan sebelah alisnya. Tumben sekali menanyakan Minghao. "Baik-baik saja. Kenapa?"
Tuan Kim tersenyum dan menggeleng. "Hanya bertanya."
"Kenapa appa? Ada sesuatu?"
Tuan Kim menghela napas. "Jika appa menyuruhmu untuk menikahi Junhui, apakah kau akan melakukannya?"
Mingyu menatap ayahnya dengan tatapan tidak percaya. "Appa, aku sudah punya Minghao. Kenapa aku harus menikahi perempuan yang bahkan baru kukenal beberapa jam yang lalu?"
"Ya, appa tahu kau sudah punya Minghao. Appa 'kan cuma bertanya," ujar Tuan Kim sambil terkekeh.
"Appa, kau menyembunyikan sesuatu?" tanya Mingyu dengan tatapan curiga.
"Mingyu, sebelumnya appa minta maaf. Tapi bisakah kau benar-benar menikahi Junhui?"
"Tolong berikan aku penjelasan yang masuk akal kenapa aku harus menikahi perempuan yang baru saja aku temui sementara aku sudah memiliki kekasih."
Tuan Kim menghela napas. "Perekonomian keluarga kita sedang tidak baik Mingyu-ya."
"Kenapa appa tidak bilang? Aku bisa memberikan uangku kepada appa."
"Tidak akan cukup Mingyu-ya," ujar Tuan Kim dengan senyum lemah.
"Appa bisa meminta bantuan dari keluarga Minghao."
"Tidak etis nak. Bahkan kalian belum menikah, mau diletakkan di mana muka appa."
"Kalau begitu aku akan menikahi Minghao secepatnya."
"Maaf Mingyu-ya. Appa benar-benar minta tolong, bisakah kau menikahi Junhui saja? Kau bisa menganggap pernikahan kalian hanyalah status."
"Appa, appa tahu itu tidak benar 'kan. Lagipula itu sama saja dengan memanfaatkan keluarga Junhui-noona."
"Appa mohon Mingyu," ujar Tuan Kim yang hampir memeluk kaki Mingyu.
Mingyu buru-buru menarik ayahnya agar berdiri. "Oke appa, oke. Akan aku pikirkan."
"Terima kasih nak, terima kasih," ujar Tuan Kim dan memeluk anaknya.
Mingyu balas memeluk ayahnya dengan perasaan campur aduk. Setelah itu, ia pergi ke kamarnya untuk menenangkan diri.
.
Akhir pekan, Seungcheol berkunjung ke rumah Junhui, mumpung ayah Junhui sedang pergi ke luar kota dan ibu Junhui pergi bersama teman-temannya sampai malam.
"Chagi," panggil Seungcheol karena melihat Junhui melihat meja dengan tatapan kosong sambil sesekali memainkan rambut Seungcheol. "Chagi," ulang Seungcheol, kali ini sambil mengelus pipi Junhui agar kesadarannya kembali.
"Ya?"
"Kau melamun."
Junhui terkekeh sambil menyisiri poni Seungcheol dengan jarinya. "Maaf."
"Melamunkan apa?"
"Sebuah… Pernikahan?" ujar Junhui tidak yakin.
"Kode nih?" tanya Seungcheol sambil terkekeh.
Junhui hanya tersenyum menanggapi perkataan Seungcheol lalu ia menghela napas pelan.
Seungcheol yang semula tidur-tiduran si sofa dan menjadikan paha Junhui sebagai bantal, mendudukkan dirinya. "Kau kenapa hm?" tanya Seungcheol sambil mencubit pipi Junhui.
Junhui meraih tangan Seungcheol dan memainkannya. "Aku disuruh menikah oleh bàba."
"Denganku?"
Junhui menggeleng. "Dengan anak dari teman bàbaku."
Seungcheol terdiam sejenak dan menatap mata Junhui. "Kawin lari yuk," katanya.
Junhui tertawa pelan. "Memang kau berani?"
"Kau pikir aku takut melawan bàbamu begitu?"
"Memang iya 'kan?"
"Ya, iya sih."
Junhui tersenyum tipis dan mengelus pipi Seungcheol. "Saranghae," ucap Junhui lalu mengecup bibir Seungcheol sekilas.
"Nado," balas Seungcheol sambil tersenyum dan mengelus kepala Junhui.
.
Di tempat yang berbeda, Mingyu dan Minghao sedang menikmati akhir pekan mereka di salah satu pusat perbelanjaan favorit Minghao.
"Kau baik-baik saja Gyu?" tanya Minghao saat mereka sedang beristirahat sejenak di foodcourt dan menikmati makan malam mereka setelah puas berjalan-jalan.
Mingyu menatap Minghao. "Ya aku baik-baik saja. Kenapa?"
"Hari ini tidak seperti biasanya," ujar Minghao dengan tatapan khawatir.
Mingyu tersenyum. "Habis ini pulang ya? Aku lelah."
Ekspresi Minghao berubah jadi tidak enak. "Maaf ya. Pasti kau capek karena kuajak memutari mall ini."
"Tidak apa-apa, 'kan aku yang mengajakmu pergi hari ini, bukan salahmu," ujar Mingyu dan menggenggam tangan Minghao yang berada di atas meja.
"Ayo pulang sekarang kalau sudah selesai, agar kau bisa beristirahat setelah ini," ajak Minghao.
Setelah itu, Mingyu mengatar Minghao pulang ke rumahnya.
"Terima kasih sudah mengantarku," ujar Minghao setelah sampai di depan rumahnya dan hendak turun dari mobil. "Sampai jumpa."
"Hao," panggil Mingyu sebelum Minghao turun dari mobilnya dan masuk ke rumahnya. "Ada yang ingin aku bicarakan."
"Ya?" tanya Minghao dan memandang Mingyu dengan tatapan polosnya.
"Aku…"
"Ya? Kau kenapa?"
Mingyu tersenyum. "Aku mencintaimu."
Minghao tertawa. "Ayolah, yang ingin kau bicarakan bukan itu 'kan?"
Mingyu tiba-tiba memeluk Minghao.
"Kau baik-baik saja Gyu?" tanya Minghao. Bingung dengan Mingyu yang memeluknya tiba-tiba.
"Aku… Aku disuruh menikahi seorang gadis," kata Mingyu akhirnya dengan sangat pelan.
Minghao membatu dalam dekapan Mingyu. Lalu akhirnya ia bersuara. "Dan gadis itu… Bukan aku?"
Mingyu mengangguk dan mempererat pelukannya. "Mian."
"Apakah… Apakah kau sudah membicarakan ini dengan appamu?"
"Appa tetap memaksa."
"Kau janji akan melamarku tahun ini," kata Minghao. Suaranya mulai bergetar.
"Mian chagi, kalau aku tahu akan jadi seperti ini aku sudah—"
"Kapan?" potong Minghao.
"Aku tidak tahu. Aku tahu ini terlalu mendadak untukmu."
"Jadi… Apakah kau akan memutuskanku sekarang?"
Mingyu menggeleng. "Setelah urusan keluargaku selesai, aku akan menceraikan gadis itu dan menikahimu."
"Berapa lama? Berapa lama aku harus menunggu?" tanya Minghao dan mengistirahatkan dahinya pada bahu Mingyu.
"Enam bulan? Ah tidak. Beri aku waktu tiga bulan."
Minghao mendorong Mingyu pelan. Gadis itu menatap Mingyu. "Janji akan kembali padaku?"
Mingyu menangkup wajah Minghao dan mengecup kening gadis itu. "Ya aku berjanji. Aku akan kembali padamu secepatnya."
Minghao tersenyum lemah. "Aku harap kau tidak akan mengingkarinya."
"Tidak akan," ucap Mingyu sambil mengelus pipi Minghao. "Sudah malam, lebih baik kau masuk ke rumahmu sekarang."
Minghao mengangguk. "Sampai jumpa,"
"Sampai jumpa," balas Mingyu.
Lalu Minghao turun dari mobil Mingyu dan memasuki rumahnya. Setelah Minghao masuk, barulah Mingyu melajukan mobilnya meninggalkan kediaman keluarga Xu.
.
Tiga hari kemudian, setelah pergulatan batin yang cukup hebat antara ingin melamar Junhui atau tidak, malam itu Seungcheol berdiri di depan rumah Junhui dengan balutan kemeja putih, serta celana kain hitam. Rambutnya diberi pomade yang menambah ketampanannya. Dengan rasa gugup yang berlebih, Seungcheol menunggu sang empunya rumah membukakan pintu untuknya di depan pintu rumah keluarga Wen. Lalu pintu itu terbuka dan tampaklah putri dari keluarga Wen berdiri di sana.
"Hai manis," sapa Seungcheol dengan senyum lega.
"Oppa? Kenapa tidak bilang kalau mau datang? Dan kenapa rapi sekali?"
Seungcheol menghela napas untuk menenangkan diri dan dia bersyukur yang membukakan pintu untuknya bukan Tuan Wen. "Kejutan!"
Junhui tersenyum. "Ayo masuk," ajak Junhui dan membawa Seungcheol ke ruang tamu.
Seungcheol mendudukkan dirinya di sofa sesampainya di ruang tamu.
"Mau minum apa?" tanya Junhui.
"Apa saja. Yang penting dibuat olehmu."
Junhui terkekeh pelan. "Sebentar ya," katanya lalu pergi ke dapur untuk membuatkan minuman. Setelah itu, ia kembali ke ruang tamu dan membawakan secangkir teh kepada Seungcheol.
"Bàbamu ada di rumah?" tanya Seungcheol setelah menyeruput tehnya.
"Ada. Sedang di kamar. Mau aku panggilkan?" tanya Junhui.
"Tolong ya cantik."
Junhui tersenyum lalu menaiki tangga dan memanggil ayahnya yang berada di kamarnya.
"Ada perlu apa denganku?" tanya Tuan Wen dengan aura mengintimidasi setelah duduk di hadapan Seungcheol.
Seungcheol yang tadi sudah rileks menjadi gugup lagi menghadapi Tuan Wen. Junhui yang duduk di seberang Seungcheol cuma bisa memberikan senyumannya untuk menenangkan Seungcheol.
"Aku… Aku ingin melamar putrimu abeoji."
"Kenapa baru sekarang?"
"Maaf abeoji, aku tahu aku terlalu menunda-nunda."
"Dan kau masih ingin menjadikan putriku sebagai istrimu?"
Seungcheol mengangguk mantap. "Ya."
Tuan Wen mendengus. "Dalam mimpimu nak."
"Bà," protes Junhui.
Seungcheol diam tak berkutik.
"Aku menolakmu jadi menantuku. Jadi aku harap kau keluar dari rumahku sekarang dan jangan pernah menginjakkan kakimu di rumah ini lagi."
Seungcheol berdiri dan membungkukkan badannya. "Izinkan aku menjadi suami dari Wen Junhui, abeoji."
"Bà," kata Junhui dan menarik tangan Tuan Wen. Tuan Wen melirik Junhui.
"Junhui akan menikah sebentar lagi jadi aku harap kau tidak mengganggu putriku lagi Choi."
"Tolong izinkan aku menjadi suami dari Wen Junhui," ulang Seungcheol.
"Tatap aku nak," ujar Tuan Wen.
Seungcheol menegakkan badannya dan menatap Tuan Wen.
"Keluar. Dari. Rumahku. Sekarang."
Nyali Seungcheol langsung ciut seketika. "Be-besok aku akan kembali."
"Kau mau kembali berapa kali pun aku tidak akan mengubah keputusanku untuk tidak menerimamu sebagai menantuku."
"Baiklah, permisi abeoji, selamat malam. Besok aku akan kembali," pamit Seungcheol dan meninggalkan rumah Junhui.
Tuan Wen menghela napas.
Tak lama kemudian, Junhui berlari kecil untuk mengejar Seungcheol.
"Junhui, mau ke mana?" tanya Tuan Wen.
Junhui menoleh sejenak. "Setidaknya biarkan ini menjadi pertemuan terakhirku dengan Seungcheol-oppa jika bàba tidak merestui kami," ucapnya lalu menyusul Seungcheol yang sudah hampir sampai di depan pagar rumah Junhui. "Oppa!" serunya dan memeluk Seungcheol dari belakang.
"Mianhae chagiya."
Junhui menggeleng.
Seungcheol membalikkan badannya lalu memeluk Junhui dengan sangat erat. "Maaf aku tidak bisa mempertahankanmu."
Junhui balas memeluk Seungcheol dan menggeleng lagi.
"Junhui, aku mencintaimu."
Junhui mengangguk. "Aku juga," katanya dengan suara bergetar.
"Jaga dirimu baik-baik."
Junhui mengangguk lagi. Seungcheol dapat merasakan kemejanya agak basah karena air mata Junhui.
"Aku akan kembali besok."
Junhui mengangguk untuk yang ketiga kali. "Aku juga akan meminta bàba untuk memikirkannya lagi."
"Sampai jumpa cantik," kata Seungcheol sambil menjauhkan Junhui. Ia tersenyum dan menghapus jejak air mata dari pipi Junhui. "Aku pulang dulu."
"Hati-hati," balas Junhui lalu ia masuk ke dalam rumahnya setelah mobil Seungcheol hilang dari pandangan.
Keesokan harinya Seungcheol datang lagi ke rumah Junhui, tapi Tuan Wen langsung mengusirnya ketika melihat Seungcheol dan Seungcheol berjanji akan datang lagi keesokan harinya. Begitu terus, sampai Seungcheol berjanji akan datang lagi ke kediaman keluarga Wen tapi ia mengingkari janjinya. Junhui jadi memikirkan ulang perkataan ayahnya, mungkin memang benar, selama Seungcheol berpacaran dengan Junhui, Seungcheol tidak menganggap hubungan mereka serius.
.
H-15 hari pernikahan Kim Mingyu dengan Wen Junhui. Kemarin Mingyu meminta Junhui untuk menemuinya di sebuah café untuk membicarakan sesuatu. Saat jam makan siang, Wen Junhui melesat menuju ke café yang disebut Mingyu dalam chatnya dan menunggu di sana hampir sepuluh menit.
"Maaf aku terlambat, tadi jalanan macet," kata Mingyu.
Junhui tersenyum. "Tidak apa-apa. Duduklah."
Mingyu mengangguk dan mendudukkan diri di hadapan Junhui.
Junhui memanggil pelayan untuk memesan makan siang mereka. Baru setelah pelayan itu pergi, Junhui bertanya, "Apa yang mau kau bicarakan?"
"Bisa dibicarakan nanti setelah makan?" tanya Mingyu dan mengambil tisu untuk mengelap keringatnya.
Junhui menyetujuinya. Lalu setelahnya tak ada suara yang keluar dari mulut keduanya sampai mereka menghabiskan makan siang mereka. Mingyu sudah jelas tidak berminat untuk berbasa-basi sementara Junhui bingung harus membicarakan apa, jadi dia diam saja.
"Jadi, noona…" ucap Mingyu setelah mengelap sudut bibirnya dengan tisu.
"Ya?"
"Kita akan menikah."
"Ya," Junhui membenarkan.
"Sejujurnya aku tidak menyetujuinya."
"Aku juga," timpal Junhui.
"Aku punya kekasih."
"Aku juga," ujar Junhui. Ya, kalau Seungcheol masih menganggapnya demikian sih. Karena sesungguhnya setelah Seungcheol tidak datang ke rumahnya lagi dan memohon kepada Tuan Wen, belum ada kata putus yang diterimanya dari Seungcheol.
"Jadi…" Mingyu mengeluarkan selembar kertas dari tasnya dan menyodorkannya ke hadapan Junhui. "Bagaimana kalau kita menganggap pernikahan ini sebagai pernikahan kontrak?"
Junhui menatap selembar kertas di hadapannya dan membaca syarat-syarat yang tertera pada kertas itu.
Poin pertama, pernikahan ini hanyalah status.
Poin kedua, boleh berhubungan dengan kekasih masing-masing.
Poin ketiga, setelah urusan keluarga Kim dan keluarga Wen selesai, Kim Mingyu akan menceraikan Wen Junhui.
Junhui menatap Mingyu. "Urusan apa Gyu?"
Mingyu mengangkat bahunya. "Appa tidak memberi tahu detailnya tapi yang jelas berhubungan dengan perekonomian keluargaku."
Junhui mengangguk paham. Lalu membaca poin berikutnya.
Poin keempat, Mingyu akan menikahi kekasihnya. Jadi dimohon dengan sangat jangan jatuh cinta kepada Kim Mingyu.
Lalu Junhui terkekeh setelah membaca poin keempat itu.
"Kenapa tertawa?" tanya Mingyu heran.
"Poin keempat ini narsis sekali."
"Ya siapa tahu kau benar-benar jatuh cinta kepadaku noona."
Junhui terkekeh geli. "Pacarku lebih tampan dari kau."
Mingyu ikut terkekeh. "Baguslah kalau begitu."
Junhui melanjutkan membaca poin kelima, yaitu selama tinggal bersama, aku harap kita berada di kamar yang berbeda agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
"Oke. Aku menyetujui semuanya. Ada bolpoin?"
Mingyu menyerahkan bolpoinnya kepada Junhui.
Junhui menerimanya lalu membubuhkan tanda tangan pada tempat yang telah disediakan. Kemudian ia mengembalikan kertas dan bolpoin itu kepada Mingyu.
Mingyu mengulurkan tangannya. "Terima kasih, senang bekerja sama denganmu Nona Wen."
Junhui balas menjabat tangan Mingyu dan tersenyum. "Senang bekerja sama denganmu juga, Tuan Kim."
.
TBC
.
Sedang ingin ngebully Junhui dan menistakan Kim kardus. Seperti biasa Mingyu bakal brengsek, tapi kadar brengseknya melebihi biasanya, jadi mohon bersabar :') /tabur gula
Jadi, bolehkah saya melanjutkan ini? Kritik dan saran yah! Thank you /kiss
