YAOI! Homo! Oneshot!
Wu Yifan and Huang Zitao
.|.
.|.
.|.
.|.
Ini sudah terhitung sekitar 15 menit lamanya, dan pemuda bertubuh tinggi ramping serta bersurai gagak itu masih betah mempertahankan posisinya yang jika terlihat dari belakang, begitu asoy juga mengundang sahwat. Bagaimana tidak? Ia sekarang ini sedang nungging, posisi pantat dinaikkan, diatas kasur sembari merendahkan bagian dadanya dengan kepala yang terjulur kedepan, menghadap layar segiempat a.k.a notebook yang ditaruh diatas bantal empuk. Beberapa menit terlewati, dan pemuda yang sehari-hari dilabeli julukan 'panda' itu seketika merubah ekspresinya yang tadi begitu serius menjadi pelototan ngeri yang agaknya sedikit berlebihan.
Masih nungging, matanya yang cantik bergerak-gerak nanar mengikuti baris demi baris suguhan kalimat yang ter-display sunyi dilayar benda elektronik miliknya. Lalu setelahnya ia tercengang. Keping black pearl-nya berkilat akan ketidakpercayaan dengan apa yang ia baca barusan.
Menelan ludah susah payah, ia kemudian berbisik lirih, "Tidak mungkin." Dan dengan kesadaran yang hanya setengah-tengah, ia beranjak dari posisi absurdnya itu dan melangkah kesudut ruangan. Berdiri disana, ia seketika menjedukkan kepalanya berulang kali ke dinding. Tidak lupa disertai berbagai gumaman seperti 'Pasti salah' atau 'Penulis laknat! Mana mungkin...' atau lagi 'Dasar palsu' dll
Berganti posisi, kali ini pemuda menawan itu memilih untuk berjongkok dengan jari telunjuk yang bergerak memutar -kecil-kecil keatas permukaan dinding. Sekilas, ia mirip sekali orang autis dan depresi di waktu bersamaan.
"Tidak mungkin-kan..."
Nyaris mewek jika ia tidak ingat gendernya adalah laki-laki tulen (diragukan), pemuda itu kembali menjedukkan dahinya ke dinding lalu berujar dramatis. "... Aku seorang Gay?"
.
.
.
.
We are Gay? No problem babe! © Harumi Shiba
.
.
.
.
"Hyung, ada berapa banyak kaum LGBT di kampus kita?"
"Errr, entahlah. Aku tidak pernah menghitungnya. Tapi yang pasti -kau- sudah terdaftar resmi menjadi anggotanya."
"A-apa?! Kenapa aku?"
"Kau gay, remember?"
"Oh, rite."
Huang Zitao, menjatuhkan kepalanya ke pinggiran meja dengan helaan nafas kecil meluncur dari celah bibir uniknya. Menoleh kesamping, matanya yang persis kucing mengamati bagaimana orang-orang disana sibuk dengan aktifitas masing-masing. Membaca buku, berdiri di depan rak-rak penuh buku, ataupun memilah-milah berbagai buku yang tersedia. Yap, jelas 'buku' semua. Karena ia memang sedang berada di dalam perpustakaan.
Mendengus singkat, Zitao -nama singkatnya- beralih menatap sang sahabat (Baekhyun) yang saat ini tengah sibuk menulis sesuatu entah apa di bukunya. "Hyung, apa menurutmu aku benar-benar gay?"
Berdecak pelan, Baekhyun beralih menatap Zitao tepat dikedua matanya, lurus-lurus. "Ya. Kau sembilan puluh sembilan persen seorang gay, Taozi. Dan berhentilah menanyakan hal yang sama." Jawaban itu membuat Zitao langsung merenggut tidak suka.
"Kenapa bukan seratus persen?" responnya ingin tahu sekaligus mendesak.
"Benar. Datanglah ke gedung fakultas bisnis dan cium Wu Yifan-sunbae saat kau melihat wujudnya. Come on Taozi... Apa kau sebegitu senangnya menjadi seorang gay?"
Zitao seketika berjengit horror. Matanya mendelik lucu kearah Baekhyun yang hanya ditanggapi raut wajah datar oleh sang empunya. "H-hyung, kenapa harus mencium Fanfan-ge? Kenapa tidak hyung saja? Seingatku, hyung juga laki-laki." pernyataan yang begitu polos. Saking polosnya, Baekhyun ingin sekali menggeplak belakang kepala Zitao yang cantik itu. Tapi ah, mana mungkin ia berani? Seekor naga merah bisa mengamuk nanti diluar sana.
"Just look, Zitaoku tersayang. Kau tidak mungkin menciumku untuk membuktikan kau gay atau tidak. Karena apa? Kau dan aku adalah spesies yang sama. Kusarankan untuk otak polosmu itu, ciumlah Wu Yifan-sunbae sebagai pembuktian. Bukankah gara-gara dia kau jadi belok?!"
Sssstttttttt
Baekhyun langsung tersedak ludahnya sendiri. Ia meringis melihat orang-orang di perpustakaan melempar tatapan membunuh kearahnya. Dan tidak sedikit yang mengacungkan tinju padanya secara terang-terangan. Seriously? Mulut harimau sialan!
Bergerak salah tingkah, ia kemudian memicing tajam kearah Zitao sembari mendesis lirih, "ini salahmu, bayi besar!" dan hanya direspon kedipan polos tak berarti. Yah, double sialan.
"Eung Hyung~"
"Apa lagi?!"
"Kita spesies apa?"
Hening
Baekhyun mendatarkan ekspresinya mendengar pertanyaan konyol itu. Seriously (again?) tolong beritahu dia, alasan apa yang pernah dia gunakan waktu dulu ingin berteman dekat dengan Zitao. Selain fakta umum jika pemuda itu ceroboh, manja, kekanakan dan lugu-nya kebangetan.
"Apa kita sejenis elien?"
Tolong hentikan pemuda itu.
"Alien yang gay?"
Cukup!
Baekhyun sudah akan menggeplak belakang kepala Zitao namun langsung batal ketika matanya menangkap siluet seseorang berjalan kearah mereka berdua. Semakin dekat, dekat dan ia tidak tahu harus berekspresi seperti apa melihat bagaimana orang itu menunduk di belakang kepala Zitao, dan mencium rambut pemuda itu. Lalu setelahnya terdengar seruan nyaring yang berbunyi, "Fanfan-geeee~~"
Diikuti suara, - Sssstttttttt...- dari seluruh penjuru ruangan.
Baekhyun?
Facepalm. Karena inilah alasan dirinya menyuruh Huang Zitao untuk mencium Wu Yifan atas ke-gay-an yang melanda pemuda panda itu.
Flirting sana sini... Pegang ini itu...
Sebenarnya, hal yang (paling) ingin sekali Baekhyun teriakkan adalah –
Hey kau, dua makhluk homo yang ada disana! Berhentilah mengumbar nafsu asdfgkl dan segerah anu onoh satu sama lain! Dasar makhluk kelebihan hormon sialan!
Yah sayangnya, itu hanya sekedar angan-angan...
.
.
.
.
.
Zitao pernah membaca sebuah sumber, entah akurat atau tidak, bahwa menjadi seorang gay itu sama saja dengan sakit. Sakit mental. Dan bisa dikategorikan sebuah kelainan jiwa yang perlu mendapatkan perawatan intensif -mungkin syaraf otaknya konslet- juga berbagai edukasi tentang betapa salahnya terjun ke dunia seksual yang menyimpang. Reaksi Zitao? Ia langsung sakit hati luar dalam.
Selama 20 tahun ia hidup sebagai seorang laki-laki tulen (lagi-lagi diragukan) dan dibesarkan di sebuah keluarga yang taat akan segala peraturan, sekalipun Zitao tidak pernah menyangka jika ia akan menjadi seorang gay. Parahnya, ia berubah gay karena seorang pria yang sudah ia anggap sebagai kakak sendiri. Ya bisa jadi ada kemungkinan jika ia bukanlah gay seperti apa yang sudah ia putuskan sebelumnya, namun come on, bisakah ia anggap dirinya normal sementara hatinya sendiri dag-dig-dug, campuran antara ingin menjerit kegirangan sekaligus malu-malu meong, saat melihat sang 'kakak' topless didepan wajahnya?
Definitely Not!
Sejujurnya seperti kata orang-orang, Zitao memang polos. Tapi jika sudah burusan dengan soal begituan(?) apalagi yang berhubungan dengan masa depannya kelak, ia tidak akan tinggal diam dan pasrah begitu saja. Minimal, ia akan menyeret si biang masalah untuk ikut terjun ke dunia yang sama dengan dirinya. Orang itu semestinya harus bertanggung jawab, rite? Lagipula, ia tidak mau jika nanti dunia menghakimi sementara ia hanya seorang diri.
Bagaimana mungkin ia tidak galau?
Beberapa hari ini ia sudah cukup stres akan masalah ke-gay-an yang menimpa dirinya. Ia sampai tidak napsu makan, menolak untuk melakukan ini-itu, bahkan yang paling parah, ia sampai terobsesi untuk mencari berbagai info yang berkaitan dengan mereka, para kaum menyimpang (LGBT) - yang berada di lingkup kampusnya. Karena jujur, Zitao takut pilihannya nanti akan menuai respon negatif dari berbagai pihak, terutama keluarga dan teman dekatnya.
Dan sekarang ini, tepatnya hari ini, ia akan memulai langkah pertamanya dalam misi hidup dan mati atau juga bisa dibilang, misi bunuh diri. Entah berhasil atau tidak jika tidak mencoba, tidak akan tahu seberapa jauh hasil yang akan didapat-kan? Lagipula ia laki-laki, walau seberapa sering ia dipanggil 'cantik' 'manis' atau bahkan 'menggemaskan', ia tetaplah pejantan (ehm) sebuah benda panjang, - sesuatu yang menggantung diantara kedua kaki. Dan demi benda sakral itu, serta harga dirinya -
Apapun yang terjadi, ia tidak akan mundur!
Benar. Mengangguk lucu berulang kali, hal itulah yang sejak tadi berulang kali Zitao pikirkan. Hingga melupakan sesosok pemuda tampan lain yang saat ini heran melihat tingkah ajaibnya. Berdehem singkat, dan Zitao masih sibuk mengangguk-angguk lucu sambil mengerucutkan bibirnya.
"Zie?"
"..."
"Baby panda?"
"..."
"ZITAO?!"
"A-ah nee, gege..."
Gelagapan, Zitao mengalihkan fokus matanya dan menatap lurus kearah lawan bicaranya. Sang target utama : Wu Yifan. 22 tahun. Mahasiswa tingkat akhir jurusan manajemen bisnis. Cerdas. Rupawan. Digilai oleh kaum hawa. Satu kata, perfect. Apakah dia gay? Kemungkinan tidak. Mengingat seberapa banyak mantan yang pernah ia miliki dulu, dan sayang seribu sayang, itu adalah perempuan semua.
"Hey, kau melamun lagi?" Yifan mengernyit heran, mengamati sosok sang 'adik' yang kembali menerawang seolah sedang memikirkan sesuatu, atau mempertimbangkan sesuatu hal. Ia hanya takut jika Zitao tiba-tiba kumat dan berteriak layaknya orang depresi. Mengenal pemuda itu hampir 2 tahun lamanya sudah cukup membuat Yifan hafal untuk sekedar mengenal pola tingkahnya yang kadang-kadang diluar prediksi.
"Yifan-ge..."
"Hmm, apa?"
"Menurutmu, err - apa pendapatmu tentang gay?"
UHUK!
Zitao menoleh dan seketika panik melihat Yifan tersedak oleh minumannya sendiri. Pemuda itu langsung menepuk bagian belakang punggungnya bermaksud untuk menenangkan, tidak lupa mengambil tissue dan mengusap bagian mulutnya yang sedikit belepotan cairan. "Ge, kau tidak apa-apa?"
Mengangguk singkat, Yifan menarik nafas pelan sebelum balas menatap manik kembar Zitao. "Memangnya ada apa kau menanyakan hal itu?" lalu mengangkat sebelah alisnya, tanda curiga, melihat bagaimana Zitao menggaruk sebelah pipinya dan terlihat salah tingkah.
"Aku hanya penasaran."
"Ohh, baiklah..."
"..."
"Well~ disini aku tidak bermaksud ingin membela siapapun," terdiam sejenak sebelum Yifan melanjutkan ucapannya. "Tetapi menjadi seorang gay atau apapun itu kelainan seksual lain, bukanlah hal yang patut untuk dibanggakan maupun dipermasalahkan lebih jauh. Karena hal itu, menurutku, termasuk salah satu bentuk afeksi keadaan -dari berbagai kemungkinan keadaan yang bisa terjadi- dimana letaknya berada disudut titik kenormalan atau kewajaran. Singkatnya, apa yang aku maksud adalah keadaan untuk merasakan, bukan sebuah perasaan yang diciptakan oleh sebuah cara melalui keadaan."
Zitao mulai kebingungan sebenarnya, serius, dia tahu Yifan itu mahasiswa manajemen bisnis. Tapi kenapa menjelaskan kata 'gay' saja sebegitu rumitnya? Bertele-tele lagi? Tolong, otak Zitao hanya pas-pasan.
"Jadi intinya apa? Terus terang saja, gege. Kepalaku mulai sakit." keluhnya. Sementara Yifan terkekeh pelan sembari mengusap helain gagak milik Zitao. "Gay itu bukan pilihan, baby panda. Seperti halnya diri kita yang tidak tahu pasti kepada siapa hati kita berlabuh nantinya karena cinta memang pada dasarnya tidak bisa dipaksakan. Sebuah hati memang bisa memilih namun perasaan sama sekali tidak."
Termangu. Zitao tidak tahu harus membalas seperti apa ketika telinganya yang sensitif mendengar bebagai rentetan kalimat dari sang gege. Jujur, Zitao masih linglung dan belum begitu paham, dan semua itu bertambah semakin tak terkendali saja manakala Yifan manatap penuh arti kearahnya disertai sebuah senyum yang -demi Tuhan- mencurigakan sekali.
"Apa baby panda seorang gay? Dan jatuh cinta pada gege?"
UHUK!
Dan bisa ditebak, saat ini giliran Zitao yang tersedak minumannya sendiri. Dengan mata yang melotot kaget campur horror namun menggemaskan (ini pendapat Yifan), pemuda itu langsung memalingkan wajahnya kesamping diiringi sapuan merah jambu yang perlahan-lahan merambat dikedua pipi gembilnya. Sial, ia malu sekali.
Namun seolah tersadar akan sesuatu, Zitao seketika menelan ludah yang rasanya tercekat di ujung tenggorokan. "Kalau iya memangnya kenapa? Bukan berarti gege seorang gay pula dan bersedia menerima perasaanku begitu saja. Lagipula, aku tahu seberapa 'lurus'nya diri gege."
Tanpa disadari oleh Zitao sendiri, Yifan diam-diam tersenyum simpul mendengar semua hal itu. Terkekeh geli setelahnya, pemuda tampan itu berujar perlahan. "Ya. Aku memang bukan gay, tapi kau adalah satu-satunya kemungkinan keadaan yang aku rasakan, Zitao."
DHEG
For a god's sake, apa Zitao kini mulai tuli mendadak hanya karena dia berubah gay? Sialan! Entah apa artinya, yang jelas hatinya berdebar-debar tak karuan mendengar pernyataan Yifan itu. Hingga ia tidak berani untuk sekedar berbalik dan melotot syok kearah pemuda tampan itu.
Hasilnya? Ia memilih bungkam.
"Kau tahu keadaan apa yang aku maksud?"
Hening
"Keadaan dimana seluruh perasaanku menghangat saat kau tersenyum dan tertawa riang di setiap waktunya. Keadaan dimana syaraf otakku terus memutar bayang-bayang wajahmu saat sosokmu berada jauh dari jangkauan mataku. Serta keadaan-keadaan lain yang membuat hatiku akhirnya luluh, memutuskan untuk memilihmu."
Tu-tunggu! Zitao mulai pusing. Ini sudah terlalu banyak dan dia tidak (belum) mengharapkan sesual hal yang seperti itu. Terlalu jauh, dan terlalu nyata untuk menjadi kenyataan. Namun hembusan nafas hangat yang kini menggelitik belakang tengkuknya, sudah menjadi bukti jika ini bukanlah sekedar mimpi.
Beginikah karma? Ia yang beberapa saat lalu berkeinginan untuk menyeret Yifan ke lubang yang sama dengan dirinya, berakhir dengan dirinya yang jatuh untuk kedua kalinya - di lubang yang sama - dan kali ini dengan rantai yang mengikat kaki serta tubuhnya. Apa yang lebih miris? Yifan nyatanya adalah orang yang menggenggam rantai tersebut.
Oh Great!
Jadi sebelum ia pingsan dengan keadaan yang pastinya memalukan, Zitao memilih untuk berbalik saja dan menatap lurus, selurus-lurusnya kearah Yifan. Menghujam manik coklat itu dengan manik kembar black pearlnya. Bermaksud untuk mencari celah, atau setitik kebohongan. Tapi tidak ada.
"Ge, entah kau sadar atau tidak, tapi seseorang yang baru saja gege rayu adalah seorang laki-laki, dan dia gay. Akan sangat tidak adil jika ia terjatuh dalam ketidakpastian yang menyakitkan sementara gege belum tentu merasakan hal yang sama." ungkapnya. Mencoba untuk memberi penegasan sekaligus sebuah kepastian, sebelum segalanya berjalan terlalu jauh dan berakhir melukai mereka berdua. Terutama Zitao sendiri.
"Aku sadar bahkan sepenuhnya serius..."
.
.
.
"...Kau seorang gay dan jatuh cinta padaku. Aku sangat-sangat sadar jika sebelumnya aku bahkan tidak pernah tertarik dengan sesama jenis sekalipun. Tapi seperti yang aku bilang tadi, gay bukanlah pilihan. Itu adalah keadaan, Zitao. Keadaan bahwa perasaanku -milikku- tidak bisa dipaksa oleh siapapun."
Benar. Yifan sudah mengakui hal itu sejak lama. Semenjak ia mengenal Zitao, semenjak ia menjatuhkan tatapannya ke dalam diri pemuda itu dulu. Seberapa banyak mantan kekasih yang pernah ia miliki, tidak sebanding dengan seberapa besar perasaan yang ia punya kini, untuk Zitao. Aneh memang, ia bahkan tidak pernah mengira akan 'jatuh' pada orang yang bergender sama dengan dirinya.
Dan Yifan sejujurnya sangat lega mengetahui fakta bahwa ternyata Zitao juga menyimpan rasa untuknya. Tidak terbayangkan, betapa bahagianya ia saat Zitao mengaku gay dengan ia sebagai sumber penyebabnya.
Jika ia tidak ingat saat ini tengah berada di kantin, ia sudah menerjang Zitao sedari tadi. Jujur saja, Menyimpan perasaan kepada seseorang dua tahun lebih itu tidaklah mudah, hampir sama sulitnya ketika ia harus berada di posisi 'Brother Zone' demi berdekataan dengan sosok Zitao.
Ok, itu tidaklah penting lagi. Karena Mereka sekarang ini sudah resmi gay untuk satu sama lain dan Yifan bersyukur akan hal itu. Tapi tiba-tiba saja ia merasa gentar, segala rasa percaya diri yang sempat ia punya perlahan goyah ketika dengan jelasnya melihat keraguan dan kecemasan dalam diri Zitao. Terlebih saat pemuda itu dengan pelannya berbisik. "Kau dan aku adalah gay, gege. Apakah akan baik-baik saja?"
Yifan menghela nafas pelan sebelum perlahan merengkuh Zitao, mengelus bagian belakang kepala pemuda itu dan mencium pelipisnya lama dari samping. "Why not?"
Bertahan dalam posisi yang sama, Tidak sekalipun peduli saat beberapa pasang mata yang saat ini tengah mengamati pose intim mereka berdua. Dan tidak sedikit pula yang menghadiahi mereka tatapan jijik sekaligus risih. Sebetulnya skinship adalah kebutuhan mereka berdua sehari-hari, dan itu sudah wajar untuk dilakukan. Walaupun gara-gara hal itu, banyak tersebar rumor yang tidak sedap mengenai hubungan 'dekat' keduanya.
Tapi siapa yang peduli? Asalkan mereka nyaman satu sama lain, peduli satu sama lain, pendapat orang lain tidaklah penting.
"We are fvckin' gay!" kembali, Zitao mengulang.
"Stop it, Zitao."
"Oh my God, gege. Ta-tapi kita..."
Tersenyum tipis, Yifan berbisik setengah mendesah di telinga sensitif milik Zitao sembari melanjutkan kalimat pemuda itu yang sempat tertunda. "We are gay? No problem, babe!"
.
.
.
.
.
"Eung~ Fanfan-gee..."
"Ya, sayang?"
"Boleh aku menciummu?"
"W-wow, kenapa tiba-tiba?"
"Kata Baekhyun-hyung, aku harus mencium gege untuk membuktikan aku seratus persen gay atau tidak."
"Kalau begitu sini. Cium gege sampai puas. Pakai lidah dan gigi kalau perlu."
"..."
.
.
.
.
.
"Ge, orang tuaku pasti akan membunuh kita berdua nanti. Sepertinya mereka sudah curiga -tentang kita- dari seseorang."
"Oh tidak masalah. Aku yang akan berkorban untukmu dengan menjadi tumbal pertamanya."
"Bagus. Karena nanti sore baba mengundang gege untuk datang ke rumah."
"..."
.
.
.
.
.
.
.
FIN~
