Cerita ini terinspirasi oleh:
anti-fapitalism's tumblr. text post.
.
.
.
Warning!
You may have, or have not read this story before.
(Read the explanation in the end, please.)
.
.
.
Chapter 1 :
Jackson the brat.
S hielding
H eroic
O utcast
O ff/on
T he throne
…
'SHOOT', pada dasarnya, adalah sebuah game — yang sama seperti umumnya. Yaitu, di mana para pemainnya harus melawan musuh-musuh yang ada karena tuntutan tugas elite yang dititahkan sebelumnya, dengan tingkatan level yang sangat banyak dan berbeda-beda. Standar Sci-fi global. Iya. Sesederhana itu saja. Namun, bukan itu yang saat ini ingin kubahas dan ku kupas habis. Karena sesungguhnya, game ini tidak sesederhana itu. Dan bila kau bertanya; "jadi apa spesialnya kalau begitu?"
Aku, mungkin hanya akan dapat menjawab dengan; "Pokoknya, jangan pernah terpikirkan untuk memainkan game ini." Dan aku bersungguh-sungguh.
Nah, tapi sebelum aku menyeret kalian lebih dalam lagi dalam tulisan picisan pertamaku ini tentang game sialan tersebut, mari… aku perkenalkan kalian terlebih dulu kepada orang yang pertama kali memperkenalkan aku padanya—Jackson.
.
.
.
.
Jackson. Dia hanya seorang laki-laki kurang ajar, sebenarnya. Serampangan kelas satu yang mulutnya manis luar biasa. Dan bila kalian sering mengeluarkan makian dalam segala bentuk jenis binatang, maka dia cocok menjadi salah satu stata tertinggi untuk disembur hal-hal seperti itu. Aku berani sumpah. Karena, percayalah, mau kalian menyiramnya—secara harfiah, benar-benar menyiramnya dengan air got sekalipun, nampaknya dia hanya akan tetap memasang wajah tenang dan kembali menggoda kalian dengan racun-racun manisnya—yang bisa membuat ujungnya menjadi kalian lah yang akan terkena boomerang sendiri. Orang yang satu ini bahkan mungkin sanggup membujuk para pemimpin Negara untuk saling berperang, sekaligus menenangkan bom atom sekalipun hanya dengan ucapan-ucapan yang keluar dengan manis dan halus dari mulutnya itu.
Mau bukti? Aku punya sebagian kecilnya. Salah satunya adalah; Jackson, merupakan satu-satunya bocah ingusan—dia baru berusia delapan belas tahun menjelang sembilan belas!—yang memiliki, setidaknya, tiga bar khusus miliknya sendiri. Dan semua itu ia dapatkan hanya lewat bujuk rayunya yang mematikan kepada para pengusaha-pengusaha kaya yang bosan bercinta dengan uang, yang sedang sial saja bertemu dengan iblis kecil ini.
Eeh… jujur, sebenarnya aku tidak terlalu perduli dengan informasi itu. Karena, kebetulan aku mendapatkannya hanya dari curi dengar kabar angin lewat saja, ketika aku yang saat itu tengah menongkrong di salah satu bar—yang ternyata, adalah salah satu dari ketiga bar milik si Jackson ini. Sama seperti halnya orang-orang yang membicarakan tentang Jackson dan bar-bar miliknya ini, aku pun juga saat itu masih tidak tahu-menahu sama sekali tentang hal itu. Atau, bahkan tentang seorang Jackson yang dimaksud ini sekalipun.
Sampai akhirnya, dia tiba-tiba datang begitu saja menghampiriku yang sedang—sialnya—duduk sendirian, refreshing otak di dalam bar-nya itu yang bernama 'High Jacks'. Benar-benar ketika aku sedang berada di tengah-tengah kerunyaman otakku yang tidak mau bekerja untuk menuangkan setidaknya satu-dua kalimat ide cerita di atas halaman putih Microsoft Word di hadapanku. Padahal, deadline sudah benar-benar dekat.
"Ku sarankan, ya, kalau sedang kalut dalam kabut pikiran seperti dirimu sekarang ini… sebaiknya jangan minum minuman itu." demikianlah bunyi ultimatum pertamanya, kepadaku. Seraya dengan tanpa permisi, dia menarik kursi di hadapanku dan duduk di sana dengan wajah dihiasi senyum. Aku mengalihkan pandanganku dari layar laptopku, ke sosok laki-laki di hadapanku itu. Mengamatinya secara garis umum, seperti seorang fotografer yang melepas fokus dari objek yang sebenarnya ingin ditangkap, untuk menyesuaikan background. Tanpa berkedip, sampai akhirnya dengan tiba-tiba—dan tanpa seizinku juga—dia bersuara.
"Hei!"—dia memanggil salah satu pelayan yang paling dekat keberadaannya dari kami—"berikan pria ini tequila. Jangan lupa garam dan lemon. Mau dengan madu? Rasanya enak, sih, tapi tergantung selera tiap orang juga… yah… baiklah, pisahkan madunya. Iya, hanya satu untuk dia saja." Baru saja aku ingin bersuara untuk menolak, tapi dia sudah keburu 'mengusir' si pelayan. Jadi, aku hanya bisa bungkam dengan melemparkan tatapan dingin kepadanya. Siapa anak ini? Sopan sekali… desisku dalam hati.
"Untung kau hanya memesan satu, jadi kau tidak akan kualahan menghabiskannya, karena aku tidak 'minum' yang seperti itu." tandasku akhirnya. Dan aku langsung merasa puas ketika melihat dia langsung terbelalak sekilas ke arahku setelah mendengar aku berkata demikian. Namun, di luar dugaan, setelahnya kemudian dia malah tertawa.
"Ternyata dugaanku benar. Kau ini mudah ditebak," ujarnya setelah selesai tertawa. "Jadi… sendirian saja di sini, pretty-boy?"
"Berapa usiamu?" tangkisku tak acuh. Apa-apaan tadi itu. Aku tidak mungkin salah dengar, kan, bahwa dia barusan memanggilku 'pretty-boy'?
Dia, yang langsung menyadari bahwa kubu magnetku sudah menolaknya mentah-mentah, langsung melepas topi yang ia kenakan, dan mengubah posisinya jadi ke belakang seraya tersenyum misterius, dan mengangguk-angguk samar. Sementara aku yang mengamatinya sedari tadi itu, hanya dapat menegakkan punggung sebagai sebuah bentuk 'tanda penegasan'; bahwa aku tidak bisa diajak bermain-main.
"Oh, ya… mana sopan santunku? Main ceplas-ceplos tanya ini itu begitu saja, tanpa memperkenalkan diri?" Aku sudah bertahun-tahun menjadi seorang penulis, dan selalu terbiasa untuk menganalisis tiap gerak-gerik orang-orang di sekitarku. Jadi, aku tidak ragu lagi ketika mendapati adanya nada menyindir dari kalimat yang ia ucapkan itu. Hei, menyindir orang yang memang pada dasarnya benar-benar tidak tahu itu sama saja tindakan pengecut.
"Hai, aku Jackson. Angkatan 19—err, baru menjelang, sih, lebih tepatnya. Aku pemilik Bar ini. Selamat datang, kau pasti anak baru." Secara mengejutkan, tutur katanya seolah berubah drastis, 180 derajat mentok, seolah sudah di atur sistemnya seperti demikian ketika ia memperkenalkan diri. Istilahnya 'hapal mati'.
"Oh, angkatan 19?" balasku. Masih dengan nada dingin yang sama karena jengkel, menutupi kekagumanku. Dan dia hanya mengangguk sopan dengan diiringi senyum 'manis' yang sama pula tanpa luntur sedikitpun. Seolah kami ini es dan api. Aku es-nya, dan dia sang api. Tapi bedanya, dia api kecil yang abadi.
"Jadi… siapa namamu? Angkatan berapa? Aku harus memanggilmu apa?"
Aku mendesah. Nampaknya aku tidak punya pilihan lain jika dia sudah berkata demikian. Tingkahnya, sih, sepertinya baik-baik saja. Mana enak aku menolaknya. "…Kyungsoo. Aku… lupa umurku berapa, tapi aku lebih tua darimu." Oke, ini benar-benar memalukan. Bagus sekali, otak udang. Dungu. Tapi, baiklah… aku sungguhan lupa usiaku berapa. Seingatku sudah kepala dua, tapi tidak tahu embel-embel belakangnya.
Dan, tentu saja. Jackson sontak tertawa mendengarku menyerocos dengan polosnya tentang umurku.
"Baiklah, baiklah. Kalau begitu, aku akan memanggilmu 'hyung'. Tidak masalah, kan? Nah, nah… sedang apa di tempat ini, hyung? Membawa laptop begitu… ini, kan, bar. Atau… hyung lupa tujuan hyung datang ke sini?" Aku menusuknya dengan tatapan sedingin mungkin ketika ia tidak berhenti-berhentinya terkekeh seraya meledekku. Tapi, dia seolah tidak perduli dengan death glare-ku, karena dia hanya tetap memasang senyuman konyolnya dan menatapku dari atas ke bawah.
"Aku hanya laki-laki biasa, bocah. Dan setiap laki-laki butuh refreshing." Jawabku apa adanya, lalu mengalihkan pandanganku pada layar laptopku lagi. Terkejut. Ternyata secara tanpa sadar, jari-jariku sudah mengetikkan ciri-ciri anak di hadapanku ini.
[ Umurnya menjelang 19 tahun. Tingginya sekitar 180-an? Rambutnya hitam, kulitnya pucat. Dan di kepalanya yang berwarna hitam, tertutupi topi yang sedang mainstream di pergaulan remaja sekarang. Senyumannya mengingatkanku pada ikan hiu yang sedang teler karena lautan di sekitarnya teracuni Aspirin. Namanya Jackson—dia tidak memberitahuku nama marganya. Pemilik Bar ala kasino. Dia tidak bisa untuk tidak tersenyum. Anak ini berkarisma, dan menjengkelkan.| ]
…aku membaca tulisanku tersebut dalam hati, sambil beberapa kali melemparkan pandangan heran ke kedua tanganku yang berada di atas keyboard. Diam-diam aku mengajak keduanya mengobrol, menodongkan pertanyaan; sejak kapan kalian bergerak dan mengetik ini semua!? Kenapa aku sampai tidak sadar…
"Kyungsoo-hyung? Ada masalah?" suara Jackson menyadarkanku, dan aku pun kembali memasang wajah tenangku yang seperti biasa. Menjaga image-ku yang nyaris goyah, lalu bersuara menyahuti panggilannya dengan karisma sebisaku. "Tidak, hanya… aku sedang menulis sesuatu."
"Oh, ya? menulis? Hyung seorang penulis? Menulis tentang apa?" ekspresi Jackson menjadi semakin berbinar-binar. Dia bahkan seolah tidak menanggapi panggilan pelayan pengantar minuman kami yang menanyakan apakah minuman tequila di atas nampannya adalah pesanan kami atau bukan—membuatku harus menanggapi si pelayan malang itu, dan mengatakan kalau tequila itu milik Jackson. "Itu tanggung jawabmu." Aku menggedikkan kepalaku ke arah tequila, tak acuh pada cerocosan pertanyaan Jackson sebelumnya.
Dan seolah baru saja kembali lagi ke dunia setelah perjalanan panjang ke Mars, Jackson langsung linglung ketika melihat minuman di hadapannya. "…enak saja. Ini traktiranku untukmu, oke? Mana pelayan sialan tadi. Sudah ku bilang, madunya di pisah! Kau tidak—"
"Hei, bersikap baiklah pada pelayanmu." Tegurku. Merasa jengkel sendiri dengan omongannya barusan. "Dan sudah ku bilang, kan, tadi. Kalau aku tidak minum minuman seperti itu." tambahku.
"Dengar, ya, anak baru… setidaknya, berterima kasih lah pada sikap baikku yang mau membayarimu minuman mahal ini, di Bar milikku sendiri. Hyung harus meminum ini, karena hyung adalah orang menarik." Tiba-tiba Jackson berubah menjadi dingin. Api kecil rupanya tidak bisa menjadi abadi ukurannya untuk tetap kecil, bila di hadapkan oleh es. Dan es, tentu saja tidak akan pernah bisa mencair bila di dekatkan dengan api yang tiba-tiba membesar itu jika memang sudah berkeras diri menjadi sebongkah es. Jadi, aku pun membalas cerocosan angkuhnya itu dengan tenang.
"Aku sama sekali tidak perduli, mau kau membelikanku sebuah pulau sekalipun, di atas Negara milikmu sendiri pula. Karena itu salahmu sendiri, datang dan memberikanku apa yang belum tentu aku inginkan, tanpa tanya-tanya, tanpa seizinku."
Ku tatap lekat wajah pemuda di hadapanku dengan pandangan menantang, dan kuperhatikan baik-baik perubahan ekspresinya. Namun, alih-alih aku mendapatkan pemberontakan lanjutan, aku malah di lemparkan senyuman misterius yang terkembang secara perlahan di wajahnya. "Ini lah, kenapa aku mengatakan kalau hyung ini orangnya menarik. Aku menyukai orang sepertimu, hyung."
"Tolong, aku sedang tidak ingin muntah saat ini." Tangkisku lelah. Dan dia sontak terkekeh-kekeh, seraya mengalihkan pandangan ke arah lain—entah apa yang ia lihat, karena tahu-tahu matanya langsung kembali berbinar, seiring senyuman misteriusnya memudar perlahan. Aku menahan diri untuk tidak menanyakan apa yang sedang ia pikirkan, jadi cepat-cepat aku kembali memandang layar laptopku, dan fokus kembali dalam pencarian ide untuk ceritaku. Dalam hati mewanti-wanti wajah galak editorku.
"Hey, hyung… apa hyung sedang kesulitan mencari ide cerita? Karena, kuberitahu saja, ya. Aku punya setidaknya segudang cerita-cerita fiksi. Tinggal sebutkan saja, mau genre apa? Akan ku tuturkan semuanya, sedetail mungkin." Jackson kini sudah kembali dari binar-binar fatamorgananya tadi, dan tatapannya menelusuri wajahku yang turut kembali menanggapinya.
Tanpa sadar, aku mengeluarkan suara gumaman menimbang-nimbang, membuat Jackson langsung menyengir ke arahku. Tapi akhirnya, aku pun yang sudah menyerah dengan blokade ide cerita di kepalaku, langsung bersuara menanggapi. "Baiklah, kita lihat cerita-cerita bagus apa yang kau punya?"
Jackson sontak menegakkan punggungnya, dan mencondongkan tubuhnya mendekatiku. Seolah-olah apa yang ingin dia sampaikan ini sangatlah penting dan rahasia, karena tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah menjadi serius. "Aku baru saja mendapatkan cerita yang menarik."
"Oh, ya? secepat itu? tapi omong-omong, aku ini penulis yang terbatas oleh genre, loh. Just sayin'."
"Ah, bagaimana jika genrenya… sci-fi? Masalah, kah?" tanya Jackson. Cahaya wajahnya tiba-tiba meredup, dan dia terlihat agak terpukul. Membuatku jadi merasa bersalah telah mengatakan hal itu.
"Err… sci-fi, ya… science-fiction?" aku bergumam lagi. Dan Jackson menungguku dengan wajah penuh harap, membuatku semakin merasa tidak enak bila menolaknya. Tapi… jujur, selama ini aku hanya sanggup menulis tentang angst, yang galau-galau macam begitu, atau cerita bertemakan pelajaran hidup. Sisanya, aku benar-benar buruk dalam bereksperimen dan praktek yang lain. Otakku ini mudah sekali lelahnya. Tapi…
…tapi, ekspresi Jackson… Ah, sial. Sialan.
"Memang mau bagaimana ceritanya?" tanyaku akhirnya. Dan Jackson sontak langsung tersenyum bahagia seraya menggebrak meja pelan, sebagai tanda kemenangan. "Tentang sebuah permainan." Jawabnya.
Aku manggut-manggut. "Baik. Mulai dari tokoh-tokohnya dulu, ya." ujarku, yang di susul anggukan mantap darinya. Sekilas, aku melirik layar laptopku, dan menimbang-nimbang tulisanku tentang ciri-ciri anak di hadapanku ini. Mungkin dia bisa menjadi tokoh utamanya…?
"Kau mau menjadi tokoh utamanya?" tanyaku pelan. Dan ku kira dia akan mengangguk yakin, seraya dengan angkuhnya berkata; "tentu saja! Ini, kan, ide ceritaku!" Namun, alih-alih aku malah mendapatkan gelengan kepala darinya. Pelan dan sopan. Membuatku sekali lagi merasa takjub dengan perubahan sikapnya yang tidak bisa ditebak itu. Ditambah lagi, ketika ia membuka mulut untuk beralasan;
"Aku tidak mau menempatkan diriku pada keadaan yang sulit. Karena, sebenarnya, cerita ini merupakan sebuah tragedi yang cukup runyam. Malas amat, membayangkan dirimu sendiri berada di tengah situasi yang rugi. Iya, kan?"
Eh… tidak juga, pikirku. Teringat pada cerita-ceritaku yang kebanyakan ber-point-of-view orang pertama, karena aku jadi jadi memiliki ruang lingkup yang lebih spesifik. Sempit, tapi lebih jelas. Namun demikian, akhirnya aku hanya dapat mengangguk menyetujui, karena tentu saja setiap orang memiliki selera dan cara berpikir yang beda-beda. "Lalu…?"
"Jadi… kita ambil sebuah tokoh yang selama ini terkurung pada benakku saja, ya. Namanya Max. Dia… berusia dua puluh enam tahun. Tubuhnya bugar ideal, dengan tinggi badan… 188cm?" Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bersiul ketika mendengar tinggi badan tokoh yang di bicarakan oleh Jackson ini. Aku pasti jadi harus mendongak jika bertemu dengannya—dan jika dia benar-benar nyata. "Boleh." Sahutku.
"Dan… seperti yang aku katakan tadi. Kita, akan menceritakan tentang sebuah permainan. Buat si Max ini, yang awalnya tidak tahu apa-apa, jadi terjebak di permainan ini. Permainan sci-fi yang cukup mematikan."
"Eh… tunggu, aku ingin tanya. Apa permainan ini sungguhan ada, atau…?"
"Sst. Jangan dipotong dulu, nanti aku keburu lupa seperti kau lupa dengan usiamu sendiri, hyung." Tandas Jackson. Aku pun hanya bisa bungkam dalam kejengkelan, tapi aku menurutinya. "Permainan ini, namanya SHOOT."
"…apa?"
"SHOOT. Bahasa inggrisnya 'tembak'. Tapi, aku janji. Ini bukan permainan tembak-tembakan belaka. Malah, lebih didominasi oleh alat-alat tajam. Nah, begini… coba bayangkan, sebuah videogame virtual yang pada dasarnya memiliki konsep yang sama dengan konsep videogame pada umumnya. Perang. Entah melawan alien… robot… atau sesama manusia. Untuk yang satu itu, aku serahkan idenya padamu, hyung—" Aku mengangguk, dan jari-jariku tidak berhenti mengetik apa yang ia bicarakan. Terserah, mau ini akan aku buat sungguh-sungguh, atau akan berhenti di tengah jalan nantinya. Atau akankah editorku menyukai ide ini. Yang penting ku punya back-up.
"—dan coba bayangkan juga, sebuah videogame, di mana para pemainnya harus dihadapkan oleh pilihan sulit. Zaman sekarang, yang lagi nge-trend di kalangan konsep game, sih, tentang menentukan pilihan-pilihan…"
"Hey, hey… ini tentang cerita novel, oke. Bukan untuk membuat game." Tegurku, ketika ku lihat Jackson mulai melantur bergumam-gumam. Mengingatkannya untuk tidak turut menarikku pada pemikirannya yang tiba-tiba berubah haluan itu, membuatku bingung. Dan Jackson yang menyadari hal itu, langsung kembali tersadar dengan wajah linglung. "Ah, ya… tapi, kau mengerti, kan, dengan yang aku katakan?" Aku mengangguk.
"Baiklah, akan kulanjutkan. Pada dasarnya, SHOOT. adalah game, di mana setiap luka hasil pertarungan melawan musuh akan berubah menjadi prototipe robot. Dan semakin banyak bagian tubuhmu yang tergantikan dari daging, menjadi besi-besi alias prototipe, semakin mengikis pula sifat kemanusiaanmu." Jackson berujar tanpa sedetikpun mengalihkan pandangannya dariku, seolah-olah dia ingin memergoki aku tiba-tiba melamun. "Dapat konsepnya?"
Jujur, butuh jeda untukku mengangguk menjawabnya. Bukan karena aku tidak yakin, apakah aku memahami konsep itu atau tidak. Bukan juga karena aku hanya ingin meyakinkannya bahwa aku ini paham, padahal tidak. Tapi… lebih kepada; lah… kok konsepnya susah amat. Gimana, nih. Sanggup, enggak, ya? Gimana jalan ceritanya nanti, ya… aduh, tuh kan. Ini lah kenapa aku benci sekali dengan fiksi macam begini… tapi… kok kayaknya keren, ya, kalau bisa dibuat sampai kelar…
"Iya, aku dapat konsepnya. Lalu? Bagaimana dengan jalan ceritanya?" aku berusaha setengah mati untuk mengeliminasi nada-nada keraguan dari nada bicaraku, sehingga aku jadi tidak terdengar seperti orang yang putus asa. Dan nampaknya, aku berhasil. Karena Jackson langsung melanjutkan penjelasannya dengan lancar.
"Mana aku tahu. Aku kan hanya memberimu ide. Sisanya, urus sendiri, lah, hyung. Kau kan lebih tua dariku."
…oh, Jackson. Kau tidak mau meminum tequila di depanmu itu, kan? Karena, aku juga tidak mau. Jadi, daripada mubazir… bagaimana kalau ku siram kau dengan itu? Seenaknya saja kau berbicara seperti itu. kau seperti melepas seekor kucing di tengah hutan seraya berkata; kau ini kan kucing. Bergurulah pada singa untuk bertahan hidup di sini. Kalian masih satu keluarga, kan? Jadi, pasti gampang, kan?
Aku hanya dapat menghela napas setelah mendengarnya berkata demikian. Namun, ketika baru saja aku ingin protes dan mengeluh tentang hal itu, tapi Jackson sudah keburu melanjutkan.
"Nah… menurut konsep tadi, itu berarti di permainan ini, pemainnya tidak akan mati—setidaknya, sampai titik tertentu. Tapi, pemainnya akan sekarat, hingga pada akhirnya—ini lah titik tertentu yang kumaksud, mereka akan dihadapkan oleh sebuah ujian. Sebuah pilihan, seperti yang aku katakan tadi. Yaitu; apa kau akan tetap bertarung mengatasnamakan membela manusia, ketika tidak ada lagi koneksi yang ada di tubuhmu dengan sifat kemanusiaan, karena semakin terdominasi oleh prototipe robot?"
Aku terhenyak di kursiku. Tidak sanggup membayangkan itu semua. Tapi, lagi-lagi, ketika aku berusaha sekeras mungkin untuk menolak menyusun ide itu di kepalaku, aku bisa merasakan adanya sebuah dorongan untuk melakukannya. Entah dorongan apa, atau oleh siapa, atau karena apa. Pokoknya, dorongan itu terus-terusan membujukku untuk membuat cerita ini. Bujukan yang manis. Yang membuat perthanananku goyah, seperti bujukan dari Jackson dengan mulut manis berbisanya itu. Aish, sialan. Sialan! Sekarang, aku harus gimana lagi? Mau ku tolak, tapi aku sendiri pun tidak sanggup menolak diriku sendiri untuk tidak membuat cerita ini. Apakah ini karena aku sudah terlalu putus asa dengan blokade ide cerita di kepalaku? Ah, aku sudah tidak tahu lagi.
"Itu… benar-benar jenius," akhirnya hanya itu yang bisa ku suarakan. Dan Jackson langsung tersenyum puas menanggapinya. Merasa tersanjung, padahal aku tidak sepenuhnya tulus berkata demikian. "Tapi, masalahnya sekarang… bagaimana dengan jalan ceritanya? Apa ini permainan tentang… err… maksudku, begini, apa 'ceritanya' permainan ini nyata? Lalu, point-of-viewnya, siapa?"
"Saran dariku, buat saja 'ceritanya' permainan ini nyata. Permainan ini terlalu misterius, namun mampu mempengaruhi banyak hal—bahkan hingga ke dunia nyata sekalipun. Tapi… itu pun kalau kau sanggup mengaturnya sampai sedemikian begitu…" Jackson terlihat tenang. Kentara sekali bila di bandingkan denganku yang sedang panik, walau hanya dalam hati begini. "…dan… kalau masalah alurnya… aku serahkan padamu, ingat? Lalu, point-of-viewnya juga. Bikin ceritanya senyaman mungkin untukmu saja. Jadi, kau tidak terbebani."
Akhirnya, karena tidak tahan dengan tekanan ini, aku melepaskan helaan napas keras. Bahkan mampu membuat Jackson tersentak kaget dan terbengong-bengong penuh tanya menatapku. "Ada apa?" tanyanya, diiringi sebuah seringaian karena menyadari keputusasaanku.
"Dengar, ya, hyung. Kau ini penulis, kan? Kau sudah mengeluarkan berapa banyak karya, sih? Yah… tidak usah dilihat dari jumlah karya yang sudah kau buat… tapi… lihat dari segi kemampuanmu menyelesaikan karya-karyamu itu, serta proses bagaimana kau mengerjakannya. Semuanya sesuai dengan apa yang kau mau, kan? Begitu juga dengan membuat karya yang satu ini. Lagipula, ini kan baru saran saja. Kau boleh menolaknya jika kau mau—"
"Masalahnya sekarang, Jackson. Aku benar-benar sudah putus asa, dan aku tidak menyukai hal ini. Ide ceritamu benar-benar jenius, sungguh. Dan… motivasi darimu benar-benar… bagus. Aku… baiklah, jujur, aku tersentuh mendengarnya—jangan senyam-senyum menjijikan begitu, dong!" Aku memutar kedua bola mataku ketika mendapati Jackson terkikik-kikik mendengar keluh kesahku, terutama pujianku terhadapnya. "Tapi… yang aku bingung sekarang…"
"Jalan ceritanya?" potong Jackson setelah berhenti terkekeh. Dan aku mau tak mau mengangguk pelan. "Kyungsoo-hyung, biasanya kau membuat cerita bergenre apa, dan point-of-view siapa?"
"Err… cerita… sedih, kebanyakan. Dan… point-of-view orang pertama." Mendengar kata 'sedih', tiba-tiba Jackson mengernyit jijik. Tentu saja aku sontak menantangnya dengan 'Apa?!' sekali hujam. Dan dia langsung ciut.
"Nah… daripada menyusahkan diri sendiri, bayangkan saja kau adalah seorang Max, yang terjebak di negeri antah-berantah, yang menuntutmu melakukan permainan ini. Aku bilang tadi, kalau Max ini awalnya tidak mengetahui apapun, kan? Istilahnya… amnesia."
Amnesia. Itu adalah alasan 'ngeles' paling bagus sekaligus paling cliché dalam urusan ide cerita. Tapi… yah, baiklah. Seperti kata Jackson tadi, jangan mempersulit keadaan dirimu sendiri. Jadi, aku terima ide itu. "Kau bilang, negeri antah-berantah?" tanyaku.
Jackson mengangguk, "Aku hanya bilang konsep umum tentang permainan SHOOT. saja, kan? Bukan 'lokasi' persisnya, atau alasan utama permainan ini ada, kan? Kyungsoo-hyung, menulis jalan cerita itu seperti menuangkan air. Air akan mengikuti tiap celah yang ada, tinggal kau pilih sendiri nantinya jika sudah menuangkannya. Lakukan sesukamu, hyung. Jadilah serampangan seperti…" Jackson kembali menarik sudut-sudut mulutnya, menyeringai seram; "…aku."
.
.
.
.
.Jadilah serampangan seperti Jackson.
Dia benar, pernah juga aku mendengar adanya sebuah peribahasa;
"The one who never speak, is the wisest.
The one who never think, is the bravest.
But the one who can deceive is the most evil."
Jadi, katakana padaku, wahai para pembaca. Bagaimanakah aku seharusnya memulai cerita seorang Max ini? Ingat, jadilah serampangan seperti seorang Jackson. Dan, selamat datang di kehidupan barumu, Max. Kau tidak perlu menjadi kuat, pintar, dan lincah untuk menjadi beruntung. Karena bahkan kelicikan paling licik sekalipun pasti akan kalah dengan keberuntungan.
Dan kalian. Semoga keberuntungan selalu berada di pihak kita semua, selalu.
[ To be continued ... ]
Greetings to all of you, happy people!
Pertama-tama, izinkan saya mengucapkan selamat datang kembali pada series ini.
Bila kalian sudah pernah membaca ini sebelumnya, saya dengan tulus meminta maaf karena pernah menghapusnya. Saya bisa menjelaskan.
Malam ini, ketika saya berbincang-bincang dengan salah seorang teman saya tentang senior saya yang sayang sekali pada saudaranya, jujur, entah kenapa saya jadi teringat FF ini. Saya jadi teringat kalau saya sebenarnya... kangen dengan perasaan "kangen" saya sama HoMin.
Ngomong apa lah saya ini...
Tapi kemudian, saya pun menghubungi sahabat saya untuk menanyakan perihal fan fiksinya dan perkembangannya, berhubung saya sedang menunda belajar untuk UTS besok... /plak/ dan rupanya dia lagi pengen bikin fan fiksi baru lagi... jadi kita pun berakhir pada konversasi yang cukup sengit(?) dengan topik bahasan yaitu kurang lebih adalah: 'judul yang cocok buat ff ini apa? cepet jawab.'
Setelah pertarungan sengit itu, saya pun kembali teringat pada FF ini. Yhaaaa *nyorakin diri sendiri*
Maka, di sini lah akhirnya. Saya menyerah. Saya tahu saya khilaf waktu itu menghapus cerita ini karena saya ingin memperbaiki satu-dua hal yang ada, tapi jadinya malah kebablasan. Heu.
Jadi, semoga kalian bisa dan mau mengerti! Dan, walau bagaimanapun juga, sekalipun udah di edit tapi tetep aja saya tidak bisa luput dari kesalahan... yeuh
