Naruto © Masashi Kishimoto

Rated : T

Pair : Sakura Haruno/Sasuke Uchiha/Neji Hyuuga

Genre : Family/Romance/General

Warning : OOC, AU, MissTypo(s), etc.


People say that love is blind, but to me that love is blindness

Aku terdiam, hanya duduk di atas tempat tidurku dalam diam. Menunggu, yah setidaknya itu yang sedang kulakukan, menghitung setiap detik yang terlewat dalam hatiku. Begitu sepi kali ini, sangat sepi sampai suara detik sang jam pun terdengar jelas di telingaku. Sebuah helaan nafas terdengar dari mulutku, mungkin sudah hampir setengah jam aku duduk terdiam di sini.

TAP..TAP…TAP..TAP..TAP

Suara derap langkah terdengar, aku menghitungnya dalam diam, dalam hatiku. Berapa kali suara derap itu terdengar di gendang telingaku. 11 kali, suara itu terdengar 11 kali sebelum pintu kamarku terbuka. Aku rasa orang yang membuka pintu kamarku itu berusaha sepelan mungkin agar tidak mengangguku? Namun tetap saja suaranya sampai ke telingaku.

"Kau sudah bangun nak?" sebuah suara dengan intonasi yang lembut dan ramah menyapaku, aku tersenyum dan mengangguk.

"Kalau begitu, mari bunda bantu kau mandi." Ucap wanita yang telah membuat aku lahir ke dunia ini dengan nada yang sama.

Aku kembali hanya mengangguk, wanita itu duduk di sampingku, membelai rambutku yang mungkin sudah memanjang sejak setahun yang lalu, membelainya dengan begitu lembut. dan setelah itu, dengan begitu lembutnya dia mencium pipiku.

"Bunda akan ambilkan handuk dan bajumu dulu ya Sakura?" tanyanya padaku, aku membalasnya dengan sebuah senyum manis, dan aku yakin beliau menjawabnya dengan sebuah senyuman. Dia beranjak dari tempatnya.

Namaku Haruno Sakura, tapi itu nama jepangku, sedangkan nama lainku Fleur Cerisier. Aku seorang gadis berumur 14 tahun, mungkin setelah aku jabarkan ini kalian jadi aneh melihat dialog di atas? Kenapa gadis seumuranku mandi pun harus dibantu? Yah untuk gadis normal itu mungkin aneh, tapi bagi gadis tidak normal sepertiku, itu adalah hal biasa. Tapi, bukan berarti aku lahir secara tidak normal dan dari kecil memiliki kelainan fisik. Bukan bukan begitu..

"Sakura." Bunda kembali memanggil namaku membuatku menoleh ke arah suaranya.

"Kau melamun?" tanyanya dengan nada begitu khawatir, aku menggelengkan kepalaku cepat. Aku tidak ingin membuat bundaku khawatir.

Oh ya, kita lanjutkan yang tadi. Semua ini karena tabrakan satu tahun lalu, tapi jangan berpikir kelainan itu terjadi pada tangan, atau kaki. Tapi kelainan itu terjadi di mataku..

"Kalau begitu ayo buka bajumu dulu sayang." Ucap bundaku, aku mengangguk membuka semua atribut pada bagian atas tubuhku. Bunda segera menutupinya dengan handuk yang ia pegang, setelah itu dia kembali menyuruhku membuka atribut bagian bawahku, melepaskan handuk yang kupakai dan menggantinya dengan handuk panjang berbentuk baju.

Beliau menuntunku menuju kamar mandi kemudian meninggalkan aku di sana sendirian. Sebenarnya kebutaan yang kualami ini tidak permanen, pengelihatanku bisa saja kembali normal jika aku melakukan oprasi. Dan itu ditolak oleh orangtuaku.

Aku menyalakan shower yang sudah kuhafal letaknya, membuat butiran air itu jatuh membasahi tubuhku, menghantarkan rasa dingin.

Hm.. bukan berarti mereka tidak sayang padaku, hanya saja…. tapi jangan juga kau berpikir kalau mereka menolak karena kekurangan biaya. Semua itu sebenarnya karena aku sendiri, waktu kecelakaan itu saja.. mereka sangat bersyukur karena aku bisa lolos dari pendarahan pada beberapa luka di tubuhku. Yah.. walaupun akhirnya aku buta…

"Sayang bunda turun sebentar ya?" ujar bunda agak kencang dari luar kamar mandi.

"Iya.." ujarku dengan intonasi yang sama dengannya.

Bunda adalah wanita yang murni berdarah jepang, kebalikan dengan ayah yang murni berdarah prancis. Mereka berdua sangat menyayangiku. Tetap tabah dengan apa yang kualami sekarang. Oh ya, akan kuberitahukan sedikit kenapa mereka menolak saat dokter mengajukkan aku untuk oprasi.

Alasan singkat sebenarnya, karena aku adalah pengidap ITP dan keadaanku yang naik turun dan tidak stabil membuat mereka khawatir. Pada awalnya aku sangat depresi karena dokter mengatakan aku buta. Bagiku dunia serasa hancur, berpikir tentang diriku yang akan dicela dan dijauhi oleh teman-temanku di jepang.

Tapi bunda dan ayah selalu memberiku semangat, dan mereka membiarkan aku untuk beradaptasi dengan keadaanku yang sekarang. Dan sudah setahun lamanya sejak saat itu aku tidak sekolah.

Aku membilas tubuhku yang sudah di penuhi oleh sabun, membuat butiran air itu tercampur dengan busa sabun dan turun ke bawah. Mematikan shower itu dan beranjak meraba-raba dinding untuk menemukan handukku. Segera kukeringkan tubuhku ketika menemukan handuk yang kucari. Kupakai handuk berbentuk baju itu dan kembali meraba-raba dinding untuk menemukan pintu. Tak begitu lama, aku berhasil menemukan pintu itu, membukanya perlahan.

Semuanya gelap bagiku, tak berwarna dan tak bermakna. Sejak saat itu hidupku memang terasa begitu hampa. Semuanya berubah menjadi gelap, kalau saja tidak ada bunda dan ayah entah keadaanku akan seperti apa.

Bersamaan dengan itu pintu kamarku terbuka, dan kudengar derap langkah kaki yang menghampiriku. Tangan itu begitu halus, menggenggam lengan kiriku dan menuntunku menuju tempat tidur mendudukkanku di atasnya.

"Sayang, kan tadi bunda sudah bilang, jangan keluar dulu sebelum bunda datang. Jangan buat bunda khawatir." Ujar pemilik tangan itu, aku membuat sebuah tarikkan kecil di bibirku.

"Maaf ya bunda, tapi aku tidak enak kalau harus terus menyusahkan bunda.." lirihku pelan menundukkan kepalaku. Meletakkan kedua tanganku di atas pahaku.

"Sakura, sayang, bunda tidak pernah berpikir dan tidak pernah merasa bahwa putri bunda ini menyusahkan dan membebani bunda. Tak pernah sekalipun hal itu terbesit di hati dan pikiran bunda." Ujar bunda lembut sembari menggenggam tanganku, aku bisa merasakan suatu sensasi nyaman saat beliau menggenggam tanganku.

"Tapi.. aku kan…" aku rasakan bunda meletakkan jari telunjuknya di atas bibirku, menyuruhku untuk menghentikan ucapanku.

"Bagaimanpun Sakura bunda sekarang, Sakura tetap satu-satunya permata bunda dan ayah, permata yang paling berharga. Bunda sudah pernah katakan, kan? Bunda tidak akan pernah rela kau pergi meninggalkan bunda dan ayah. Bunda lebih rela kau ada di sebelah bunda, tetap eksis di dunia ini walaupun dalam keadaan tidak sempurna." Bunda memeluk tubuhku dengan penuh kasih sayang, kembali selalu menguatkanku akan keraguanku yang sebenarnya tidak berarti.

"Bunda, kalau begitu bisa bantu aku memakai pakaianku? Aku rasa ayah sudah menunggu kita untuk sarapan." Ujarku saat beliau masih memelukku, bunda melepaskan pelukannya lalu membantuku memakai pakaianku.

Sekarang aku sedang ada di Prancis, di kota Paris tepatnya. Kota kelahiran ayah dan tempat aku mengalami kecelakaan itu. kota yang memberikan cukup banyak kenangan dengan berbagai warna. Sebenarnya waktu itu aku ke kota ini hanya untuk sekedar menikmati liburan, liburan setelah aku berhasil lulus dengan nilai terbaik dari Hoshino Gakuen sebuah sekolah dasar di Osaka.

"Nah sekarang sudah siapa. Ayo turun, kita sarapan dulu bersama ayah." Ucap bunda setelah beliau telah selesai membantuku mengenakkan pakaianku. Beliau membantuku berdiri kemudian menuntunku keluar dari kamarku.

"Ini sayang." Ujar bunda, dia menyentuhkan sesuatu yang kutebak sebagai tongkat jalanku ke jamari tangan kananku.

Aku menggenggam tongkat itu mengetok-ngetokannya ke lantai. Aku sekarang jadi tahu bagaimana rasanya jadi seekor kelelawar, kakiku melangkah sesuai dengan suara ketokkan yang terdengar dari tongkatku. Bunda dengan setia memegangiku, mengarahkan aku menuju tangga yang mengarah ke lantai bawah.

Aku rasa, aku sudah ada di depan tangga, berkali aku hentakkan tongkatku tapi tak ada suara yang terdengar.

"Bunda ambil dulu tongkatnya ya sayang?" Tanya bunda, aku mengangguk dan memberikan tongkat yang ada di tanganku, sebenarnya bukan aku yang memberikannya tapi bunda yang mengambilnya. Beliau lalu membantuku turun perlahan, pelan-pelan melewati setiap anak tangga itu.

"Bonjour, ma chérie."-Selamat pagi, sayang- Suara seorang pria dengan nada yang begitu ramah memasuki telingaku, aku tersenyum. Sebuah sapaan yang hampir selalu kudengar setiap hari, sebuah sapaan yang juga berarti bahwa aku sudah mau dekat dengan meja makan.

"Bonjour, père."-selamat pagi, ayah- Balasku ketika aku sudah duduk di salah satu bangku di meja makan. Aku memang terbiasa menggunakan 3 bahasa dalam keseharianku.

"Mari makan." Ajak bunda, aku mengangguk dan kuyakin ayah melakukan hal yang sama. Ayah memang lahir di Paris, tapi karena pernah tinggal di Jepang selama satu tahun, beliau bisa mengerti apa yang dikatakan bunda. Tapi tetap saja, ayah tidak bisa berbahasa jepang dengan begitu lancar. Kebalikkan dengan bunda, bunda bisa mengerti apa yang ayah katakan dan dia juga bisa berbahasa prancis dengan lancar.

Kami memulai sarapan pagi di keluarga kecil ini,sesekali diiringi senyum dan tawa. Bunda dengan setianya membantuku, menyuapiku.

"Ayah, boleh aku keluar?" tanyaku, padanya, aku yakin kedua orangtuaku kali ini menatap aku khawatir.

"Pourquoi voulez-vous sortir, ma chérie?"-kenapa kamu ingin keluar, sayang?- Jawab atau lebih tepatnya, tanya ayah. Aku memberikan senyumanku sebagai sebuah jawaban.

"Sakura ingin jalan-jalan? Mère vous tiendra compagnie?"-bunda akan menamanimu- Ujar bunda, aku menggeleng.

"Tidak, aku dengan Miel saja ya?" tanyaku penuh harap, Miel itu nama anjing penuntun milikku. Kata bunda warna bulunya sama dengan madu, jadi kunamai saja dia Miel.

"D'accord, mais attention. Fleur."-Baiklah, tapi hati-hati. Fleur(Sakura)- Aku tersenyum senang ketika mendengar itu, sudah lama sekali aku tidak jalan-jalan keluar.

Kami kembali melanjutkan sarapan yang tadi sempat terhenti. Aku belum pernah cerita soal pekerjaan ayah dan bunda ya? Ayah itu seorang karyawan swasta di kota seni ini. Sedangkan ibu adalah seorang pemilik butik besar di Jepang. Makanya waktu di Jepang dulu aku hanya tingggal berdua dengan bunda. Tapi, karena ayah adalah seorang yang ulet dan rajin serta pantang menyerah. Ayah sudah punya perusahaan sendiri, sudah sejak 3 tahun yang lalu kalau aku tidak salah hitung.

"Sakura." Panggi bunda, aku menoleh kearah suara bunda.

"Ehmm..mulai.."

"Sag mir nicht, jetzt, mein Lieber(1)." Selak ayah, aku mengernyitkan dahiku heran, aku yakin itu buka bahasa prancis. Jadi mau tidak mau, yah aku tidak mengerti artinya.


try to change the darkness


Aku melangkah mengikuti tarikan dari tangan kiriku, Miel terus berjalan sesuai yang aku perintahkan. Menikmati keramaian di sekitarku yang memang tak pernah lepas dari Paris. Aku sampai di tempat tujuanku, sebuah taman dengan udara yang sangat sejuk.

Aku jadi ingat kejadian 1 minggu lalu, waktu aku kesini bersama bunda. Seorang pemuda, yang kata bunda berambut panjang. Dia juga lahir di Jepang dan sedang liburan di kota ini, katanya sih dia liburan bersama temannya, dari Jepang juga tentunya.

Dengan bantuan Miel, aku duduk di salah satu bangku taman di sana, menyandarkan tubuhku. Bebas sekali rasanya, semilir angin seakan mengangkat sedikit beban yang kadang suka membuatku sesak.

Aku rasa seseorang duduk di sebelahku. Aku menoleh, aku dengar Miel sedikit menggonggong dan mengerang melihat orang itu.

"Désolé, je vous dérange?"-maaf, apa aku mengganggu kamu?- Tanya orang itu, dari suaranya aku bisa menebak bahwa ia seorang pemuda. Dan dari cara bicaranya, aku tebak dia adalah orang Jepang. Aku menggeleng pelan lalu tersenyum.

"Sasuke, kemana saja kau. Aku mencarimu." Ku dengar suara pemuda lain mendekat. Sepertinya aku kenal dengan suara ini.

"Hn.. habis kau menghilang begitu saja Neji." Ucap pemuda yang duduk di sebelahku dengan nada yang terbilang, datar?

"Ah.. Sakura ya?" Tanya pemuda yang dipanggil Neji, ah.. iya..iya dia pemuda yang waktu itu bertemu denganku.

"Iya, Neji Hyuuga? Kukira kau sudah pulang ke Jepang." Jawabku, kali ini Miel diam saja, tidak bereaksi apapun ketika Neji mendekat.

"Kau kenal dengannya?" Tanya pemuda yang dipanggil Sasuke. Aku mengangguk walaupun sebenarnya tidak yakin bahwa aku yang ditanya.

"Sakura, dia temanku yang waktu itu pernah kuceritakan. Sasuke Uchiha." Terang Neji. Aku hanya tersenyum mendengarnya.

"Panggil Sasuke saja." Katanya datar, aku mengangguk, perasaanku saja atau memang pemuda yang bersetatus sebagai temannya Neji ini bicaranya selalu datar? Ah.. tak usah dipikirkan

"Hm.. Kau sendiri Sakura?" Tanya Neji ramah, aku tersenyum lalu menggeleng.

"Tidak kok, kan ada Neji, Sasuke, dan Miel di sini." Ucapku riang, walaupun yang kulihat selalu hanya gelap. Tapi hatiku kan belum buta..


When darkness begins to fade..


Matahari semakin menghilang, kembali ke peraduannya dan membiarkan sang bulang bersinar, 3 orang remaja itu terus berbincang ringan. Membiarkan waktu terus berganti.

"Lebih baik kau kembali kerumah saja Sakura." Ujar Neji, menatap gadis yang sedang duduk itu tenang, di matanya yang tak berpupil terlihat sebuah tatapan ganjil yang hanya di tunjukkan untuk gadis itu. sebuah tatapan sama yang diberikan oleh pemuda yang sedang duduk di sebelah Sakura.

"Neji benar lebih baik kau pulang, biar kami antar." Ajak pemuda berambut emo itu dia berdiri, mendekati Neji.

"Tak menyusahkan?" Tanya gadis itu, wajahnya menunjukkan keraguan. Neji dan Sasuke menghela nafas bersamaan.

"Tidak." Ucap Sasuke.

"Kau yang menyetir." Suruh Neji pada Sasuke, di perintah seperti itu, Sasuke memberi tatapan 'Apa-hakmu-menyuruh-ku?' yang tak digubris oleh Neji sama sekali.

"Hah.. terserahlah.." Sasuke pun berlalu membiarkan Neji bersama Sakura.

"Mari.." Ajaknya dan Sakura mengangguk.

Mereka berdua sampai di parkiran yang ada di taman itu, masuk ke sebuah mobil berwarna hitam metallic berkapasitas normal untuk 4 orang. Sakura dan Miel duduk di belakang sedangkan Neji dan Sasuke duduk di depan.

Tak ada obrolan yang terdengar dari 3 remaja itu, hanya suara radio yang terus menyala. Hanya terkadang Neji mengarahkan Sasuke, supaya mereka tidak tersesat dan sampai tujuan dengan selamat.

Tak lama, hanya sekitar 10 menit dan mereka sudah sampai di depan rumah Sakura. Rumah bergaya modern minimalis, tidak terkesan terlalu mewah namun tampak nyaman, di depannya terpampang sebuah halaman indah yang menawan. Dengan gabungan berbagai macam bunga mawar dan tambahan sebuah kolam ikan kecil.

"Merci."-terimakasih- Ucap gadis cantik itu sambil tersenyum, yah walupun matanya tertutup. Tak dapat menampakkan Kristal miliknya.

"Merci aussi."-trimakasih juga- Ucap dua pemuda itu sembari membuat sebuah tarikan kecil di bibir mereka. Mobil hitam itu kembali berjalan meninggalkan rumah berlantai 2 di depannya. Kembali ke penginapan mereka.

"Dia gadis yang cantik, sayang dia buta." Lirih Sasuke, membuka pembicaraan antara mereka berdua.

"Yah, kau benar.." sahut Neji, menyandarkan tubuhnya yang terasa lelah, ia melirik orang di sebelahnya.

"Hei, kau suka padanya?" Tanya Neji penuh curiga, Sasuke hanya memberikan sebuah seringainya dan menjawab.

"Kalau iya, kenapa?" jawabnya dan membuat Neji menegakkan kembali tubuhnya.

"Berarti kau akan menjadi rivalku, Sasuke." Balasnya sembari memberikan sebuah seringai yang sama dengan Sasuke.

Dan beberapa detik kemudian mereka malah terkekeh bersamaan.

"Kita bodoh juga ya? Ah.. jangan-jangan kau setuju dengan tawaran 'itu' ya?" Tanya Sasuke dan membuat Neji memberikan sebuah senyum tipis.

"Kenapa harus ku tolak kalau bisa bertemu terus dengannya?"

"Sial kau Neji, kan - ." dengus Sasuke pelan, Neji terkekeh pelan dan berujar lagi.

"Kau juga, mereka menawarkan hal yang sama padamu.. Sasuke Uchiha.."


and what will you do after dark it began to fade?

_Give her one heart one hope and happiness_

To Be Continued


(1): untuk sementara itu jadi rahasia ya :# tapi pasti akan di ulas di chepter 2/3 :D

Boleh minta Reviewnya? berhubung saya baru disini, jadi tolong koreksinya ya. Maaf ya kalau jelek, aneh dan kurang berkenan.

oh iya, karena saya baru disini, adakah yang bersedia ngajarin saya lebih jauh soal dunia fanfiction ini? hm..

saya rasa cukup ini saja, arigataou ^^. ditunggu review-nya ya ^^V