Penderaan yang membahagiakan berlangsung terus menerus . . .

Hingga ia terbelenggu oleh jaringan nafsu yang memabukkan. Tubuhnya pasrah dalam pengendaliannya. Ia melekat padanya ketika tubuhnya dilanda gairah yang menuntut.

"Sakura!" serunya keheranan. "Ini tidak mungkin." Matanya terbuka. "Jangan...jangan hentikan!"

.

.

Naruto ©Masashi Kishimoto

Heaven's Price ©Sandra Brown

Warning : AU, OOC, Typo, etc.

Main Pair : SasuSaku

Gubahan : Sakurai Kin

.

.

Sakura menggotong peti terakhir ke atas. Dengan mendorong badannya yang terjepit antara peti dan jenang pintu, ia akhirnya berhasil melejit masuk dan menjatuhkan peti itu diatas dua peti yang tertumpuk dibalik pintu. Lengannya gemetar kecapaian. Kakinya terasa nyeri.

"Untunglah itu yang terakhir," katanya kepada dirinya sendiri sambil menghela nafas. Dengan lengan yang kaku ia bersandar diatas peti dan mencoba meluruskan nafasnya. Ketika ia berdiri lurus, ia merasa otot-otot pinggangnya kejang dan sakit. Seluruh tubuhnya terasa linu.

Ia melirik arlojinya dengan kesal. Ia telah memesan YMCA untuk mengirim tukang pijatnya lebih dari dua jam yang lalu. Setelah lebih dari delapan tahun tidak pindah tempat, ia telah lupa lelahnya orang pindah. Pemijatan adalah yang terbaik yang ia dapat pikirkan. Karena teleponnya belum dipasang, ia memakai telepon bayaran di bengkel terdekat. Penerimanya menjanjikan untuk mengirimkan seseorang dalam satu jam.

Ia memandang berkeliling flatnya yang terdiri dari tiga ruangan itu yang akan menjadi tempat tinggalnya selama enam bulan nanti. Flat itu tampak kosong sekarang hanya dengan beberapa peti dan bundelan-bundelan bertumpuk di atas lantai kayu itu, namun dengan sedikit kreativitas ia berharap dapat membuatnya enak untuk ditinggali. Ino telah meyakinkannya bahwa tempat tinggal yang terbaik dan aman di kota ini, "...kecuali kau ingin tinggal disalah satu kamar yang disuci hamakan, yang kuyakin kau tidak ingini," dia menambahkan.

Pada saat ia tiba dari kota besar ke kota kecil pulau Long ini disisi laut Atlantik dimana kawannya Ino Yamanaka pindah beberapa tahun yang lalu, Sakura mengakui bahwa hidup disuatu flat garasi di belakang rumah bergaya Victoria dengan jalan-jalannya yang teduh dinaungi pepohonan adalah lebih nyaman daripada hidup didalam kotak-kotak tembok beton.

Ia berjalan menuju ke dapur menyusuri kotak-kotak yang malang melintang. Disebelah dapur itu terdapat ruangan besar yang dipakai juga sebagai kamar tidur. Ia senang melihat kulkas itu belum begitu tua dan terdapat dua baki pembuat es didalam kotak pembekunya. Ia mengeluarkan beberapa potong es dan memasukkannya kedalam sebuah gelas serta menuangkan soda kedalamnya. Pada saat soda itu masih mengeluarkan busa diatas es, seseorang mengetuk pintu.

"Mengganggu saja," ia menggerutu. Sambil menghirup minuman yang belum dingin itu, ia menyusuri kembali kotak-kotak itu untuk membuka pintu.

"Tepat waktunya, heh," katanya mengomel.

"Maaf, apa katamu?" orang itu berkata.

Mata Sakura yang hijau menatap dada yang tampak berotot itu dan ia harus sedikit mundur untuk menatap sepasang mata jahil yang sedang memandangnya. Mata hitam yang jeli dikitari oleh bulu mata lentik. Alisnya yang tebal berbentuk bagus seperti gendewa diatas matanya yang masih menatap lekat kepadanya.

Untuk menghindari pertentangan mata itu ia merundukkan tatapannya, melihat kumisnya yang berwarna hitam sewarna dengan alisnya. Kumis iu melingkari bibir yang berbentuk kukuh dan disebelah bawahnya terlihat dagu yang teguh yang berlekuk ditengahnya. Tatapannya berpindah ke hidungnya yang bagus dan ke pipinya yang sedikit cekung lalu kembali ke matanya. Mata itu masih belum beralih dari wajahnya.

Secara keseluruhan ia melihat figur yang paling jantan yang pernah ia lihat. Akhirnya ia menegur pria itu, "Tidakkah seseorang memberitahukanmu bagaimana untuk menemukan alamat ini?"

Dia menggelengkan kepalanya yang dibalut oleh rambut raven mencuat. "Tidak."

"Tidak heran kau telah terlambat satu jam lebih. Jalan-jalan di kota ini tidak diberikan tanda-tanda petunjuk-petunjuk jalan," katanya sambil menepi,"Masuklah. Aku sekarang lebih membutuhkanmu daripada ketika aku memesannya."

Dia melangkah masuk dan Sakura menutup pintu dibelakangnya untuk menahan hawa dingin yang berhembus dari A.C yang menyejukkan seluruh flat itu. Dia tidak membawa peralatan apa-apa besertanya. Dengan kaus biru dan celana pendek putih, dia nampak tampan. Kakinya tampak panjang dengan betisnya dan pahanya berotot kekar ketika dia melangkah dengan hati-hati melewati kotak-kotak itu.

"Apakah kau tidak membawa meja atau alat apa saja besertamu?" ia bertanya.

Dia berhenti dan berpaling untuk menatapnya. "Tidak."

Ia mengeluh. "Baiklah. Aku tidak tahu dimana harus merebahkan diri. Aku telah menutupi meja dapur dengan kain penutup tempat tidur."

"Apakah itu bisa?" dia memandang meja itu dengan ragu-ragu.

"Aku belum memberesi tempat tidur dan tidak ingin membongkar peti-peti itu untuk mencari seprei. Aku membutuhkan pijatan sekarang juga, apakah kau tidak berkeberatan melakukannya di meja dapur?". Ujung matanya menyipit tidak ada senyuman sedikit juga di bibirnya ketika dia menjawab dengan datar, "Tidak apa-apa."

Jawabannya yang pendek menjengkelkan Sakura. Ia merasa seperti seorang anak idiot yang sedang merengek-rengek sementara dia berdiam disana mengawasinya dengan senyum bagaikan orang tua yang sedang memanjakan anaknya. Dia malah tidak meminta maaf untuk keterlambatannya. Namun dia memang napak bukan seorang yang mudah meminta maaf. Dia memandangnya dengan rasa keingin tahu yang tak dapat disembunyikannya. Dia merasa didalam wajahnya bagaikan tawa yang ditahan yang ia tidak mengerti sebabnya.

Belum pernah ia merasakan seperti ini dalam hidupnya, ada perasaan aneh yang tiba-tiba mempengaruhinya bagaikan sentuhan tangan yang meninggalkan bekas ditubuhnya. Tentu saja tiada sesuatu yang menarik pada pakaiannya , sikapnya yang tenang dan seakan sedang menaksir-naksir barang dagangan membuatnya merasa bagaikan ditelanjangi.

Seandainya bersikap ceriwis seperti orang-orang di jalan kota New York lakukan terhadapnya, ia akan melontarkan makian-makian yang pedas. Ataukah dia membuat ulasan mengenai ciri-ciri ototnya yang bagus, panjang dan letak kaki-kakinya, gayanya yang menarik, ia bersyukur kepadanya. Pujian-pujian itulah yang ia terima.

"Hn, bisa kita mulai sekarang?" sudut bibirnya naik membayangkan senyuman. Suaranya membuat tulang punggung Sakura merinding. Seakan membelai telinganya dengan suara alat musik yang menderu. "Tidakkah kau menginginkan aku melepaskan pakaian dulu?". Alisnya terangkat membentuk busur melengkung di atas matanya. "Ya, kurasa begitu."

"Tunggulah sebentar." Sakura cepat-cepat ke kamar mandi dimana tak lama kemudian ia keluar lagi dengan sehelai seprei yang diambil sebelumnya dari sebuah kotak. Jari-jarinya meraba kancing-kancing celananya. Ada apa dengan dirinya? Mengapa ia begitu gugup? Ia telah pernah dipijat sebelumnya, berkali-kali di flatnya di Manhattan. Tidak pernah ia merasa kuatir seperti kali ini setelah melihat pemijatnya. Barangkali jika pria itu sangat mengganggunya, ia akan membatalkannya.

Satu sentakkan nyeri di kakinya memberitahukannya bahwa ia sungguh-sungguh membutuhkan pijatan kali ini. Ototnya yang terkilir membutuhkan pelemasan, dan dokter telah menyarankannya untuk melakukan pengobatan dengan pemijatan. Ia telah berlaku bodoh. Didalam usianya yang hampir tiga puluh tahun, ia tidak pernah sepenakut sekarang.

Membungkus tubuhnya yang telanjang dengan seprei, tanpa malu-malu ia membuka pintu kamar mandi dan melangkah keluar. "Aku tahu kau juga tidak membawa minyak." kata Sakura, sambil menyentuhnya secara mencemoh ketika berpapasan.

"Ya, aku tidak membawa minyak apapun."

"Aku senang. Seringkali minyak pemijat berbau obat. Kau dapat memakai ini." Ia menyerahkan sebuah botol plastik berisi minyak kulit yang ia bawa dari kamar mandi. Baunya sangat ia senangi. "Dan ini beberapa potong handuk apabila kau...memerlukannya," katanya sambil menyerahkannya handuk-handuk kasar yang terlipat rapi itu.

Ia berharap dia tidak akan melihatnya seperti orang yang akan melahapnya. Ia telah bersama dengan pria-pria dan wanita dalam kamar tukar pakaian sebelumnya. Mengapa sekarang ia merasa risih telanjang dibalik selimut? Ia berharap dapat mengalihkan keasyikannya memandangi pundaknya yang terbuka dengan berkata."Aku...aku sedang minum soda ketika kau tiba. Maukah engkau?".

"Tidak, terima kasih. Mungkin nanti setelah selesai." Ia berpaling darinya dan menuju meja segi empat panjang di dapur yang cukup panjang baginya untuk berbaring. Ia telah menutupnya dengan seprei tua yang didapatnya di salah satu dari dua lemari di flat itu.

"Kelihatannya nyaman sekali." Katanya.

"Meja itu?".

"Seprei itu."

"Oh," Sakura memandangi seprei yang luntur itu. "Aku pikir begitu. Tetapi itu bukan milikku. Telah ada di flat ini"

"Aku rasa kau baru saja pindah."

"Ya."


Ia berbalik membelakanginya dan menelungkup di atas meja, melonjor dan mengatur dirinya seenak mungkin. Seprei itu bukan alas yang tepat bagi permukaan meja yang keras. Dengan sedikit menaikkan badannya, dia melepaskan lipatan seprei itu dan menghamparkannya di kedua sisinya supaya badan depannya dapat berbaring diatas hamparan seprei yang lembut. Dengan melipat kedua tangannya, ia meletakkan pipinya di salah satu lengannya dan memalingkan wajah darinya.

"Kau menyukai flat ini?"

"Hanya untuk sementara. Paling lama aku disini selama enam bulan."

"Apa kau dari kota?"

"Bukan pada asalnya," ia menjawab. Ia menahan napas beberapa saat ketika ia merasa dia menyingkirkan selimut itu dan menyelubungkan sehelai handuk diatas pinggulnya, menutupinya.

"Jadi kau berasal dari mana?"

"Minnesota." Kata itu keluar bagaikan letupan udara ketika tangannya mengembalikan handuk diatas pinggulnya sementara dia melemparkan seprei ke samping. Bertelanjang namun tertutu sehelai handuk, yang ia rasakan sebesar kain pembalut yang bersilangan di pantatnya, ia dapat merasakan mata hitamnya berjelalatan menelusuri tubuhnya yang telanjang.

Lama berselang. Dia membisu. Sakura menahan napas. Tidak bergerak. Akhirnya, tidak dapat menahan kesabarannya, ia memalingkan kepala kearahnya. "Adakah yang tidak beres?"

Dia menelan ludah. "Tidak. Tidak apa-apa. Aku hanya sedang melemaskan jari-jariku."

"Oh."

Ia dapat merasakan gerakannya daripada melihat sewaktu dia menuangkan lotion itu ke dalam tangannya dan menghamparkannya dengan menggosok-gosokkan tangannya. Kemudian tangannya diletakkan di pundaknya. Mula-mula bergerak perlahan, dia menurun lembut pada otot-otot yang kaku dan menggosokkan minyak diatasnya sambil menekan perlahan, tangannya mulai bekerja dan Sakura merasakan kekejangannya mengendur.

"Telah lamakah kau bekerja untuk Y?"

"Y?"

"Ya, apa kau sudah lama bekerja disitu?"

"Uh...tidak. Sesungguhnya aku tidak bekerja disana. Hanya tenaga lepas."

"Begitu. Apakah kau mempunyai banyak langganan di kota sekecil ini?"

"Kau akan terkejut."

Kedua tangannya sedang memijati sebuah pundaknya sekarang. "Tanganmu tidak terasa seperti umumnya tukang pijat. Mereka berkapalan."

"Maafkan aku."

"Aku tidak mencela. Hanya suatu pengamatan."

"Aku seringkali bekerja keras dan meninggalkan kapalan."

"Jadi kau ahli dalam segala macam kesegaran jasmani."

"Ya, begitulah."

"Aku pikir juga begitu. Kau tampak segar."

"Kau juga." Dia memilih saat untuk menurunkan tangannya dari pundaknya tepat dibawah lengannya dimana dia melengkungkan jari-jarinya ke dalam kulit yang peka itu. Pangkal tangannya ditekan di tengah tulang punggungnya dan Sakura menyadari betapa besar dan kuat tangannya. Dengan hanya satu tekanan saja, dapat merekahkan tulang-tulang rusuknya. Ia bernapas lega ketika tangan-tangan itu mulai turun dengan bertahap dan jari-jarinya tidak lebih lama menyentuh tempat tertentu dibawah lengannya itu.

"Aku adalah seorang penari dan harus selalu segar."

"Tarian apa yang kau bawakan? Tari ballet-kah?"

"Aku setiap hari mengikuti kelas ballet untuk latihan, namun aku hampir selalu menari dalam opera."

"Hey! Macam pertunjukan apa saja yang kau telah ikuti?"

Sakura tertawa kecil. "Hampir semuanya, berganti-ganti, keluar masuk Broadway. Kadang-kadang ikut dengan rombongan keliling selama beberapa bulan."

"Kalau begitu pengalamanmu luas sekali?"

"Ya. Sejak lulus dari sekolah menengah. Tanpa peduli kekhawatiran orang tuaku, aku datang ke New York ketika yang lainnya berkuliah."

"Mereka melarangmu?"

"Tidak begitu juga. Walaupun mendapatkan gelar dengan mengikuti kelas malam tidak meyakinkan mereka yang aku tidak akan merusak masa depan hidupku. Aku telah lama mengatakan kepada mereka bahwa aku mungkn ke New York untuk sekolah dan menari dan mereka menertawakanku, menganggapku akan berubah pikiran ataupun aku menemukan pemuda kota tampan dan menikah tanpa peduli cita-cita."

"Namun nyatanya kau."

"Tidak."

"Pastilah mereka membanggakanmu sekarang?"

"Ya," ia menyahut perlahan. Ingatan akan sakit hati orang tua yang dibuatnya selalu menyedihkannya. Bertahun-tahun ia berusaha mendapat restu orang tuanya akan cara hidupnya. Namun hanyalah impian kosong yang ia tidak pernah dapat meraihnya, karena mereka tidak pernah mengerti akan panggilan hidupnya untuk menari. "Mereka tidak menganggapku berhasil bila belum menikah dan menghadiahi mereka sejumah cucu-cucu."

Kedua ibu jarinya melebur di salah satu tulang belikatnya dengan suatu putaran, seakan-akan menyihirnya. Ketika sampai pada panggkal otot punggungnya, telapak tangannya diletakkan di atas lekukan pinggulnya. Handuk itu tergeser beberapa inci. Dengan tidak melakukan tekanan, tangan-tangannya memijat-mijat melenyapkan ketegangan. Mata Sakura tertutup dengan keluhan oleh kenikmatan jasmani.

"Tetapi kau tentunya satu-satunya penari khusus mereka."

"Begitulah." Sakura bergumam menahan rasa kantuk, "Aku mempunyai dua saudara laki-laki dan seorang perempuan yang telah mempersembahkan beberapa cucu lagi terlalu banyak dibanding kemampuan mereka memberikan H.U.T."

Dia tertawa kecil dan Sakura menyukai suara itu. Menenangkan seperti juga tangan-tangannya, yang sedang mengangkat perlahan pinggulnya dengan pijatan lembut dan menekannya kembali ke atas seprei itu dengan ayunan ke bawah. "Aku rasa setiap orang tua begitu. Mereka belum berbahagia sampai anak-anaknya berhasil mencapai cita-cita."

"Mungkin orang tua generasi berikutnya akan lain. Kawanku Ino mempunyai lima orang anak dan ia memperlakukannya sebagai seorang pribadi. Kau mungkin mengenalnya. Ia tinggal disini di Tidelands dan karena dialah aku berada disini. Ino Yamanaka."

"Aku kenal keluarga Yamanaka. Dia polisi, bukan?"

"Ya." Sakura tertawa, hampir tidak menyadari tangan-tangannya sekali lagi terentang pada tulang-tulang rusuknya.

"Bila kau mengenal Ino sepuluh tahun yang lalu, kau tidak akan percaya ia bisa begini sekarang. Ia melepaskan karir tarinya untuk menikah dengan Sai dan hidup di desa. Aku masih tidak percaya sungguh-sungguh bahwa kawanku yang rela kelaparan untuk menjalankan dietnya dan begitu rajin mengikuti latihan-latihan denganku, sekarang menjadi ibu yang bahagia dengan lima anak kecil."

"Kau tidak setuju dengan keputusannya?"

Sakura mengangkat bahunya. "Bukan soal setuju atau tidak setuju. Hanya saja sukar dimengerti seseorang akan melepaskan tarian tanpa terpaksa sama sekali." Jari-jarinya berkeliaran keatas dan kebawah sisi tubuhnya, diatas tulang-tulang rusuknya, sementara pangkal tangannya menekan perlahan tulang belakangnya. Sakura tersentak ketika jari-jarinya mengusap sisi payudaranya. Ia mengangkat tubuhnya dan dia mengerti isyarat itu. Dia mengangkat tangannya dari tubuh Sakura cukup lama untuk menambahkan minyak. Ketika dia mulai lagi, tangannya terletak di belakang lututnya.

"Jika kau begitu mengabdi pada tarian, apa yang akan kau lakukan disini? Kelihatannya tidak cocok bagimu untuk pindah ke Long Island ini sedangkan kau telah biasa hidup dikota besar bertahun-tahun."

Dia sedang mengurut otot satu betisnya dengan kedua tangannya. Irama gerakannya menghanyutkannya dan Sakura kembali santai. Ia tidak akan mengakui, walaupun kepada dirinya sendiri, bagaimana sentuhan itu telah mengejutkannya ketika ia merasakan sentuhan sehalus bulu dari jari-jarinya di samping payudaranya. Jantungnya berdebar diatas permukaan meja dan darah di pembuluhnya serasa berdenyut di daun telinganya.

Gerakan-gerakannya sekarang kembali lagi pada pemijatan, Sakura hanya dapat menduga apakah hanya suatu kebetulan atau ia yang telah terbuai oleh sentuhan-sentuhan itu.


Bagaimanapun, setiap bagian tubuhnya telah disentuh oleh banyak pria bertahun-tahun. selagi seseorang menari dengan pasangannya, pelaksanaan setiap langkah seringkali tergantung pada pegangan. Tidak ada tempat untuk rasa malu atau kesopanan. Walaupun begitu Sakura dikuasai dengan rasa kemesraan, ia tidak dapat menolak setiap sentuhan yang membuatnya tersedak ataupun ketika sebuah rabaan membuat perutnya merasa seperti terbenam ke pangkal pahanya yang berakhir di air pancuran.

"Kau belum menjawab pertanyaanku."

Gema suaranya ketika dia bersandar dekat telinganya menyadarkan Sakura dari kantuk sesaat. Sakura senang dia telah menyentakkannya dari lamunan yang semakin mengganggunya. Ia bergerak gelisah ketika tangannya pindah kebelakang pahanya. "Maafkan aku. Aku...untuk sementara tiddak menari atas perintah dokter."

Kedua tangannya yang membelai-belai pahanya berhenti. "Kenapa?"

"Karena lututku. Kerusakan pada otot-otot dan tulang rawan memerlukan waktu untuk melekatkannya."

"Berapa lama sebelum kau dapat menari lagi?"

"Enam bulan." Katanya sambil mengingat penderitaannya yang menikamnya ketika ia mendengar kata-kata dokter. Dia adalah dokter spesialis ketiga yang ia hubungi, yang tak dapat menerima diagnose kedua dokter yang terdahulu. Tangan-tangan itu mulai memijat lagi. "Kelihatannya serius."

.

.

TBC


Hai minna-san. Ini ffn yang saya upload dengan bodohnya padahal Believe In Angel aja belum kelar. Oh iya, for your information yahh...ini bukan karya asli saya. Tadi pulang sekolah, saya iseng-iseng nyari buku di kamar Mama Beruang*kaa-chan saya.

Dan saya nemu deh judul buku yang lumayan menarik minat saya. Saya lalu upload di ffn dengan pair SasuSaku kesukaan saya. Nggak papa kann? Di atas udah saya kasih belong to Sandra Brown kok*penulis aslinya.

Maaf kalo ada typo dsb, karena akhir-akhir ini kantung mata saya menghitam drastis. Sampai jumpa chap 2, minna-san. Aku tunggu saran dan kritik dari kalian.

Review please...