TIME

.

Harry Potter dan segala magicnya milik Bunda Joanne Katleen Rowling. Sedangkan FF dan segala kekurangannya milik AdeLWizz

.

Pair : Draco Malfoy/Hermione Granger

.

Rate : T

.

Genre : Frienship (Chapter 1) ntar berubah jadi Hurt/Comfort di next Chap dan bisa juga berubah jadi Angst sewaktu-waktu *author labil -.-*

.

Warning : OOC , OOT, Typo(?) dan segala kekurangan yang ada

.

A/N : Aku gak tahu kenapa Hermione bisa begini -.- *diinjek* . Tapi yang namanya persahabatan yang uda lama trus pisah kan sakit pastinya kan? Iyakan? *maksa* . Yauda dech baca FFnya AdeLWizz aja dech :3 jangan lupa kalo abis baca trus Review Dech :D Don't be a silent reader . Happy Reading ^^

.

Summary : Ketika perubahan menjadi hal yang sangat menyenangkan. Maka meski hanya satu hal yang sama yang mampu mengingatnya pada masa lalu. Hermione menginginkan itu tetaplah sama. Sampai kapan? Entahlah. Hermione hanya ingin ini tak berakhir.

#

Perang sudah berakhir. Lord Voldemort yang ditakuti oleh semua pihak telah mati. Kemenangan di tangan pihak putih. Hukuman mati untuk semua pengikut Voldemort. Kecuali Keluarga Malfoy yang dibela keberadaannya oleh Harry Potter -Anak-yang-bertahan-hidup-untuk-kedua-kalinya karena ikut andil dalam keselamatannya di hutan serta di Manor. Seharusnya semua bergembira. Kegembiraan bahkan masih terasa di semua tempat. Berbagai cerita bergulir dari satu bibir ke bibir lain. Berbagai versi mereka sendiri. Dengan banyaknya bumbu yang bahkan terpaksa ditaburkan dicerita-cerita itu. Seharusnya semua larut dalam euphoria kemenangan yang ditunggu selama bertahun-tahun. Ya, harusnya tak ada yang bersedih dan sendiri. Harusnya. Tapi di sinilah aku. Menelan kesendirianku. Semua telah berubah. Termasuk keberadaan dua sahabatku yang tak ikut denganku menyelesaikan studynya di Hogwarts. Hogwarts telah dibuka setelah porak poranda akibat perang akbar. Setelah kehilangan yang menyesakkan. Setelah terbukanya semua kedok. Semua mulai menata kembali hidup masing-masing. Betapa aku mencintai sihir. Yang merubah puing-puing reruntuhan Hogwarts kembali berdiri gagah terletak di tempatnya dulu. Yang menghilangkan percikan darah pejuang maupun abdi Voldemort tanpa meninggalkan sedikitpun bekas dan bau amis. Yang membuat Hogwarts menjadi rumah indah kami untuk kedua kalinya. Aku benar-benar ingat saat datangnya surat pemanggilan ulang untuk kembali bersekolah di Hogwarts bagi Harry, Ron dan aku.

/Flasback/

Errol, Luctry -Burung hantuku-, dan Breg -Burung hantu baru milik Harry- mengetuk paruhnya pelan di kaca jendela The Burrow. Aku yang duduk paling dekat dengan jendela memenuhi pandangan tugas membuka jendela dari Harry dan keluarga Weasley -minus Fred yang ikut meninggal di perang itu-. Surat dari Hogwarts.

Aku memberikannya pada Ron, Harry, serta Ginny. Aku membacanya dengan takjim. Seutas senyum mengembang dari bibirku. Hogwarts memintaku untuk kembali meneruskan tahun ketujuhku yang sempat tertunda karena pencarian Horcrux. Perasaan nyaman menjalar dihatiku. Mengingat-ingat masa sekolah yang dulu dan akan terulang lagi. Bersama Ron dan Harry, tertawa lagi, kerumah Hagrid dan sebagainya.

''Aku tak sabar menantikan ini.'' kataku memecah sunyi. Kesunyian yang masih terjadi membuatku mengernyit ganjil.

''Ada apa? Kenapa aku melihat kau dan Ron tidak antusias dengan datangnya surat ini?'' tanyaku menatapa Harry yang duduk di depanku.

''Kau ingat surat dari Kementrian yang kemarin kuterima?'' tanya Harry tanpa menjawab pertanyaanku tadi.

''Ya. Dan?'' aku tak mengerti dengan alur pembicaraan kami. Untuk pertama kalinya dalam tujuh tahunku bersama mereka aku tak tahu kemana arah perbincangan kami. Aku bingung apa yang sebenarnya terjadi.

''Surat itu dari Departemen Auror, Mione,'' kata Harry memandangku dan kemudian memandang surat di tangannya.

Aku masih memandang Harry dengan tatapan tak mengerti. Sebenarnya aku hapal dengan sifat sahabatku ini. Ketika ia berbicara tak langsung pada poinnya maka aku tahu ada yang disembunyikannya dariku. Aku menatap mata hijau Harry yang seperti merasa bersalah. Aku tak suka pemandangan ini. Dan di sampingnya Ron tak kalah gusar dengan Harry. Ia hanya menunduk memaksakan matanya menelusuri perkamen Hogwarts.

''Okay guys. Ada yang perlu kalian sampaikan padaku?'' tanyaku meminta penjelasaan atas sikap aneh mereka.

''Mione, kau tahu kan kalau aku sangat ingin menjadi seorang Auror. Seperti ayahku. Dan kesempatan itu sudah ada di genggamanku.'' kata Harry. Aku masih belum paham apa artinya. Yang diucapkan Harry aku tentu tahu. Ia sangat ingin menjadi Auror. Dan cita-citanya sedari dulu adalah ingin mengikuti langkah Ayahnya -James Potter- menjadi Auror yang hebat. Bahkan aku yakin dengan bekal alami yang dimiliki Harry suatu saat ia akan menjadi Kepala Auror. Tapi kenapa Harry membahas masalah itu sekarang? Bukankah ia tahu bahwa aku sudah tahu cita-citanya?

''Tentu saja Harry, aku tahu. Tapi apa hubungannya dengan surat ini?'' tanyaku pada Harry.

''Ini sangat berhubungan, Mione. Dengar. Kemarin aku dan Ron mendapatkan surat dari Departemen Auror. Mereka meminta kami untuk menjadi Auror Muda. Dengan kemenangan kita mereka tak memerlukan lagi nilai Outstanding dipelajaran apapun agar kami menjadi seorang Auror. Dan kami sudah berdiskusi juga memutuskan kalau...'' ungkap Harry memandangku.

''Kalau kau dan Ron tidak akan kembali lagi ke Hogwarts? Kalau kau dan Ron akan meninggalkanku sendirian?'' selaku sebelum Harry menyelesaikan kalimatnya. Aku benar-benar tak percaya dengan pendengaranku.

''Hermione. Kau tidak sendirian. Aku akan ada di sana bersamamu. Dan lihatlah kita akan satu angkatan.'' kata Ginny berusaha menghiburku. Namun itu gagal.

''Jadi kau sudah tahu rencana mereka? Semua sudah tahu dan aku sama sekali tak kalian anggap?'' marahku pada Ron, Harry, Ginny dan entah pada siapa lagi. Aku benar-benar merasa orang paling bodoh sekarang.

''Mione, dengarkan kami. Kami berusaha memberitahumu. Tapi kami hanya tak tahu kapan waktu yang tepat untuk itu.'' kata Ron akhirnya menghentikan puasa bicaranya.

''Dan kapan waktu yang tepat Ron? Saat aku bersemangat untuk naik ke Hogwarts Express dengan semua koperku? Saat aku menunggu kalian berdua di samping kereta untuk naik bersama ke kereta padahal kalian takkan pernah datang? Atau kalian berpikir akan mengirimkan surat saat aku duduk sendirian di kompartemen Hogwarts Express menganggap kalian mungkin telat dan membawa Ford Anglia untuk terbang ke Hogwarts?'' murkaku pada mereka berdua. Aku benar-benar kecewa pada mereka. Air mataku tumpah karena mereka menyembunyikan hal sepenting ini padaku. Ginny yang berada di sebelahku mengusap punggungku dan memegang tanganku yang gemetar menahan emosi.

''Hermione, kami tahu kami salah. Tapi kami benar-benar tak mau kau sedih mengetahui kami tak akan melanjutkan bersekolah. Percayalah bahwa kami ingin segera memberi tahumu tentang ini. Tapi benar kata Ron. Kami menunggu saat yang tepat. Kami ingin kau mengerti ini jalan hidup yang sudah kami pilih. Namun satu hal yang harus kau ingat, Hermione. Aku dan Ron takkan pernah meninggalkanmu sendirian. Kau mendukung kami untuk menjadi Auror kan, Mione? Kau tahu aku menyayangimu seperti saudaraku sendiri. Dan aku butuh semangat dari saudaraku untuk bersedia mengambil tawaran yang mungkin hanya datang sekali seumur hidup ini, Hermione.'' kata Harry menggenggam tanganku. Aku sedikit tenang mendengar penjelasannya.

''Benar kata Harry, Hermione. Kami takkan pernah meninggalkanmu sendiri.'' kata Ron menggenggam genggaman tangan Harry yang bertaut pada tanganku.

.

Tapi kata-kata itu ternyata hanya hiburan semata. Seminggu setelah datangnya surat panggilan untuk meneruskan study di Hogwarts, Ron dan Harry yang sudah menulis surat balasan untuk Departemen Auror mendapatkan tugas untuk pergi ke Bulgaria untuk pelatihan auror di sana selama dua bulan. Aku melepas kedua sahabatku itu dengan senyum terpaksa. Dua bulan, bahkan mereka tak mengantarkanku saat aku pergi ke King Cross dan naik Hogwarts Express.

.

Sering kali aku menyendiri di Ruang Astronomi. Puncak Hogwarts yang dulu kami bertiga sering datangi. Semua telah berubah. Tak ada lagi Harry dan Ron yang selalu membuatku pusing karena mereka sangat malas dalam mengerjakan tugas mereka. Tak ada lagi kata bijak dari Profesor Dumbledore setelah kematiannya. Tak ada lagi guru yang tak melihatku mengacungkan tangan, karena Profesor Severus Snape juga sudah berdiri angkuh di lukisan Kepala Sekolah Hogwarts. Bahkan Filch yang biasanya sangat menyebalkan juga terkesan berkurang garangnya setelah perang berakhir. Tak ada lagi yang sama. Aku masih melamun membayangkan masa dulu yang sangat indah walau nyaris tak ada ketenangan. Masalah selalu saja menghampiri kami bertiga. Seutas senyum mengembang di bibirku mengingat semua hal yang kami alami. Bahkan saat ini aku berharap Voldemort bangkit lagi agar Harry dan Ron kembali bersamaku. Aku sudah gila.

.

Dengan tergesa aku pergi ke kelas ramuan. Letak ruang kelas yang di bawah tanah membuatku berlari ekstra kencang. Kalian tahu? Untuk pertama kali dalam hidupku aku hampir telat menghadiri sebuah kelas. Mungkin karena kemarin aku terlampau malam tidur setelah menyelinap masuk ke Common Room sebab aku terlambat turun dari Menara Astronomi. Tentu saja aku tak ketahuan. Harry dengan baik hati memberikan Peta Perampok dan Jubah Gaibnya padaku saat terakhir kami bertemu.

''Ouch.'' aku mengerang merasakan pantatku bersentuhan dengan lantai secara keras. Konsekuensi dari jatuhnya tubuhku karena menabrak orang di depanku.

''Lain kali kau pangkas saja rambut rimbamu itu agar tak menutupi matamu saat berjalan.'' kata orang di depanku. Aku tahu siapa dia tanpa perlu aku menatapnya.

''Diam, Malfoy. Aku sedang terburu-buru.'' kataku berdiri dan bersiap pergi untuk menyusul kelas Ramuanku.

''Pemandangan yang menarik melihat kau, Putri-Tanpa-Pernah-Telat, berjalan tergesa menuju kelas. Apa karena kau kehilangan dua guidemu itu akhirnya kau jadi seperti ini? Menyedihkan.'' ucap Malfoy pedas di telingaku membuatku menghentikan langkahku. Berbalik kearahnya yang sedang bersedekap.

''Bukan urusanmu.'' jawabku menatap iris kelabunya. Ia tak berubah. Meski telah menolong kami di Manor -entah apa maksudnya- tapi ia sama sekali tak berubah. Masih kulihat kilat jijik di mata kelabunya saat menatapku. Ia tak berubah. Masih kudengar kata-kata tajamnya begitu gampang terucap dari bibirnya. Ia sama sekali tak berbeda. Draco Malfoy tak mengalami perubahan. Dia Draco Malfoy yang sama. Sejak dulu hingga saat Voldemort telah dibumihanguskan. Ia masih sama. Aku masih larut dalam mendikte keberadaannya di depanku.

''Jangan membuatku merasa jijik kau pandang seperti itu, Granger,'' kata Malfoy menginterupsi kegiatan yang bahkan tak pernah kurencanakan. Dan aku merutuki diriku karena aku malah tersenyum karena kata-katanya. Kulihat ia tercekat melihat tingkah lakuku yang ajaib. Bahkan akupun tak mengerti aku bisa tersenyum padanya.

''Suatu saat kau akan mengerti, Malfoy,'' jawabku singkat lalu berdiri meninggalkannya membeku ditempatnya berdiri.

Aku telah memikirkan sebuah rencana. Sebuah rencana gila dalam otakku. Aku benci perubahan. Dan ketika satu hal yang sama berada di depanku. Aku takkan membuatnya berubah. Draco Malfoy. Kau akan tetap seperti Draco Malfoy yang seperti ini.

TBC

Howaaa . AdeLWizz udah lama banget pengen bikin FF ini :3 Ceritanya masih terpatri di otak AdeLWizz sampe sekarang. Pengen bikin Chapter ini :3 Tapi gatau entar berapa Chapter -.- *diinjek*

Di Review ya :3 makin banyak tanggapan mudah2an otak AdeLWizznya lebih cepet konek dan bisa cepet nextnya :D

Review Please :3