Tidak... ini terlalu menyakitkan untuk diingat.
Burung merpati, terbangkanlah semua memoriku tentang dia.
Air, hanyutkanlah segala kenangan manis yang selama ini terjadi.
"Kita memang harus berpisah, ya kan?"
"Dia sudah menyukai orang lain... dan... itu bukan kamu!"
"Kau tidak pantas dekat dengannya! Dia monster! Dia bisa melukaimu!"
"Dia lebih baik bahagia dengan gadis yang disukainya."
Disclaimer
Attack on Titan (c) Isayama Hajime
.
.
Crying in The Rain
by Yui Sakamaki
Bab 1
Aku melihat sekelebat mimpi. Mimpi yang dipenuhi lembah pelangi dengan ribuan burung-burung yang terbang, mengelilingi mercusuar di tengah laut keemasan, seolah-olah mereka menari, bergembira untuk itu. Aku melihat rumput bergoyang, mengikuti irama angin yang berdesis-desis. Hanya aku seorang di sana. Tapi, ternyata aku keliru. Di sana, aku melihat seorang lagi. Seorang anak laki-laki, memeluk kedua lututnya, mengamati dari undakan bukit menuju ke lembah pelangi, kemudian, aku mendengar dia seperti mengerang. Aku bermaksud untuk menghampirinya, tapi kemudian, aku terbangun dan kulihat fajar telah menyingsing dan matahari telah menampakkan sinar oranye-nya yang suram di ufuk timur.
.
.
.
"Mikasa! Tunggu aku!" Eren Jaeger, putra tunggal dari dr. Jaeger, memanggil namaku. Kami sedang bermain berkejaran di ladang bunga yang disinari pendar cahaya matahari yang menghangatkan. Eren payah dalam berlari, kau harus percaya.
"Mikasa! Aku capek! Tolonglah, tunggu aku!" Teriakannya terdengar semakin keras, dan aku tahu, sekarang aku harus berhenti menggodanya atau dia akan memusuhiku dan tak mau bicara denganku.
"Eren, kau benar-benar lambat," ejekku, dengan wajah datar, merendahkannya, hanya untuk menggodanya. Tapi dia menggerutu. "Aku juga ragu, mengapa aku bisa kalah dengan anak perempuan sepertimu!"
"Kau berkata seperti itu sama saja dengan kau mengakui dirimu memang payah," aku menjulurkan lidahku, kemudian tersenyum, dan menghampirinya yang sedang menunduk dengan kedua tangannya yang diletakkan di kedua pahanya. Dia sedang mengatur napasnya agar kembali stabil.
"Kemarin, Armin berkata padaku bahwa hari ini, dia bermaksud akan mengajak kita ke rumahnya. Orangtuanya tidak ada di sana, jadi kita bebas menjelajahi rumahnya, juga... kita kan belum selesai membaca tentang buku yang menceritakan dunia luar milik kakek Armin, ya kan?"
"Oh, ya," aku menyahut. Setelah itu, kami kembali ke rumah dan menghabiskan sarapan kami. Ayah Eren, dr. Jaeger akan pergi entah ke mana pagi ini. Jadi, sehabis sarapan, kami melepas kepergian dr. Jaeger yang memang suka berkelana. Mrs. Carla Jaeger, ibu Eren, menetapkan jam bermain kami hanya sampai pukul empat sore, dan siangnya harus pulang untuk makan siang. Jika melebihi jam tersebut, kami akan dihukum. Hukumannya tak bisa dikatakan berat, karena itu hanya membantunya memasak selama beberapa hari dan juga membantu mengurusi kuda-kuda tetangga.
Armin menjemput kami tak lama kemudian. Kami pergi ke rumahnya, dan setibanya di sana, Armin menunjukkan kami beberapa lembar halaman yang berisi suatu penggambaran yang menakjubkan! Kau pasti takkan percaya! Eren dan Armin terlihat lebih antusias daripada aku. Mereka semakin menetapkan impian mereka untuk pergi ke luar dinding, berkelana melintasi padang pasir, singgah di oasis, kemudian tidak akan pernah kembali lagi. Seperti itulah kira-kira gambaran tentang cita-cita mereka. Tapi aku tahu, itu takkan pernah terjadi sebelum mereka berubah menjadi pribadi yang lebih mandiri dan dewasa. Khusus Armin, dia harus menjadi lebih berani. Sementara Eren, dia harus berhenti menjadi naif.
"Kira-kira lima tahun lagi kita bisa bergabung pertama-tama ke Polisi Militer, kemudian, kita bisa saja bergabung menjadi anggota Recon Corps, yaitu adalah pasukan yang bertugas di luar dinding. Dengan begitu, kesempatan kita pergi dari dinding ini akan semakin besar!" seru Armin, bersemangat. Eren terpengaruh. "Dan maksudmu, kalau sudah begitu, kita bisa kabur dari tugas dan berkelana sejauh mungkin dengan kuda kita?" Eren berseru semakin kencang. Armin nampak ragu, tapi dia kemudian mengangguk gembira.
"Mungkin saja, jika kita bisa melakukannya. Tapi nampaknya, agak mustahil. Kita sebaiknya menunggu saat yang lebih tepat daripada melarikan diri seperti itu..."
"Benar juga ya... lagipula, aku benci para titan! Untuk apa dia menyerang umat manusia? Itu benar-benar tidak masuk akal! Aku ingin membasmi para titan, itu pasti takkan terlalu sulit untuk kulakukan ketika aku sudah besar nanti!"
"Hei, jangan terlalu kekanakan, Eren. Titan itu sepertinya jumlahnya banyak," selaku.
"Dari mana kau tahu? Kau kan belum pernah melihat mereka, ya kan? Kau juga belum tahu seberapa besar mereka...," Eren membalas. Aku menghela napas panjang.
"Kau juga belum tahu rupa mereka. Jadi, kau juga tak bisa menyatakan bahwa melawan titan yang bahkan ditakuti semua orang itu mudah."
"Yah, terserah kau Mikasa!"
"Memang," kataku.
"Hei hei teman-teman, bagaimana kalau kita berjalan-jalan keluar?"
"Berjalan-jalan?"
"Ya! Ke tempat banyak orang!"
"Tapi, apakah kau tak takut diganggu berandalan itu lagi?" tanya Eren. Armin menggelengkan kepalanya, kemudian tersenyum lebar. "Kan ada Mikasa!" Dia menunjuk ke arahku. Aku terkejut.
"Apakah aku semenakutkan itu bagi mereka?"
"Ya! Kau memiliki karisma seperti seorang laki-laki dewasa!" ujarnya. "Dan kau juga kuat.."
"Em, yah, mungkin saja," aku sedikit salah tingkah. Kemudian, kami keluar dari rumah Armin sambil membawa buku itu, lalu pergi mendekati keramaian kota.
Armin baru saja hendak kembali menjelaskan tentang riwayat buku kakeknya itu ketika tiba-tiba saja terdengar seperti letusan yang dibarengi dengan kilatan berwarna kuning terang. Setelah itu, aku melihat penampakan titan yang sangat besar. Sangat, sangat, sangat besar, lebih besar daripada yang pernah kubayangkan sebelumnya. Sosok yang mengerikan, dengan daging merah yang berasap, wajah yang besar, dan ah... pokoknya itu sangat menyeramkan. Kami saling berpegangan tangan, menatap dengan mulut menganga lebar ke arah titan pertama yang kami lihat. Kekacauan seketika terjadi. Titan berhasil menembus dinding Zhiganshina, dan ini mengerikan.
Heh, tidak... itu, mimpi?
Aku terbangun dari tidurku, bermimpi tentang masa laluku. Tentang imajinasi titan besar-berdaging-merah-berasap yang sering kujumpai di dunia mimpi. Aku bangkit dari tempat tidur, dan aku memanggil nama Eren berulang kali. Ibu Eren mengatakan Eren mendapatkan panggilan dari Armin untuk cepat ke rumahnya, dan sebenarnya, aku dapat undangan juga. Tapi, Eren tak berani membangunkan aku yang 'katanya' tertidur sangat pulas.
Jadi, sehabis mandi dan sarapan, aku menyusul Eren ke rumah Armin.
"Hei, Mikasa! Kau sudah bangun rupanya," Eren berlari menghampiriku. Kami sudah bukan anak kecil lagi. Umur kami sudah lima belas tahun.
"Oh ya, Armin mendapatkan beberapa teman baru. Ada yang mirip sekali denganmu! Namanya Annie Leonhardt. Dia nampak sangar dan sangat sedikit berbicara," celoteh Eren. Aku tidak peduli.
"Umurnya?"
"16 tahun, sedikit lebih tua dari kita. Yahh, aku harap, kau bisa cocok dengannya. Tadi aku menantangnya berkelahi, tapi aku dibuatnya tersungkur di tanah dengan mengenas..."
"Di... dia... me-mukul... mu?" Aku tersendat-sendat, marah. Gigiku beradu, dan tangan yang terkepal siap memukul siapapun yang berani macam-macam pada Eren. Sudah tugasku melindunginya. Aku takut terjadi sesuatu pada bocah naif itu.
"Ya, ada apa Mikasa?"
"Mana dia?"
"Di dalam rumah..."
"Tunggu saja," gerutuku, kemudian berjalan dengan langkah panjang yang cepat menuju ke dalam rumah Armin. Di dalam, aku mendapati Armin sedang berusaha mengajak bicara seorang gadis berambut kuning pucat dengan bola mata yang biru bak samudera. Gadis itu memiliki tatapan yang sendu, tetapi dia juga terlihat menyeramkan. Itukah Annie Leonhardt yang Eren maksud? Jika ya, aku bisa memukulnya sekarang juga.
"Ah, Mikasa!" Armin bangkit dari tempatnya duduk dan menyambut kedatanganku.
"Ngg, ada apa dengan wajahmu?"
Aku berlalu tanpa memedulikannya, dan langsung berhadapan wajah dengan Annie Leonhardt yang duduk bertopang dagu, seakan tidak peduli dengan keberadaanku. Aku semakin murka.
"Kau Annie Leonhardt?" tanyaku, sinis.
"Ya, siapa kau?" Dia menyahut dengan jawaban pendek. Memang agak mirip denganku, tapi Eren keliru. Dia sama sekali tidak menyerupai pribadiku. Dia benar-benar gadis yang nampaknya cukup brengsek.
"Aku Mikasa Ackerman, teman Eren dan Armin," sahutku. Kepalan tanganku sudah hendak memukulnya. Tapi masih bisa kutahan, setidaknya, aku tidak ingin Eren dan Armin menyaksikan aku berkelahi dengan Annie. Aku takut kalah darinya-jika dia benar-benar jago berkelahi.
"Kau sendiri?" tanyaku.
"Aku teman Armin... dari mana kau tahu namaku?"
"Dari Eren."
"Oh, bocah itu..."
BOCAH! Dia bilang BOCAH! Yahh... memang kenyataannya sih, Eren memang masih bocah. Tapi entah kenapa, aku merasa aku benci pada seseorang yang mengatai Eren bocah, meski aku sendiri juga mengatainya bocah.
Tapi, aku ingin hanya diriku saja yang mengatainya bocah.
"Dia bukan bocah, maaf saja," aku menyela ucapannya.
"Oh, begitu... tapi dia terlihat seperti bocah yang sok berani."
BOCAH SOK BERANI! Dia mengatakan itu?!
"Dia memang berani, bukan sok berani!" teriakku, hampir marah. Armin nampak panik. Sementara Eren tak kunjung kemari.
"Kau marah?" Dia berkata seperti itu, dengan nada yang hampir membuatku sedikit muak padanya.
"Hhh, tidak," aku bisa mengendalikan emosiku untuk saat INI. Tapi, jangan harap aku bisa bersabar lagi menghadapinya untuk yang kedua kalinya. Yang kali ini, akan kubiarkan.
Eren kembali ke rumah Armin beberapa saat setelah aku berbincang singkat dengan Annie. Dia beralasan dia sedang mencoba menangkap kupu-kupu-mengingat masa lalunya, masa kecilnya dulu. Annie mendengus. Kemudian, dia pamit dari rumah Armin, dan Eren bersedia mengantar Annie pulang. Jantungku bergejolak, dan pikiranku melayang. Eren ingin mengantar Annie pulang?!
Mustahil.
"Tidak, aku tak perlu diantar oleh orang yang bahkan lebih lemah daripada aku." Dia pergi tanpa acuh tak acuh pada Eren, kemudian aku bisa mendengar Eren berkata, "sialan."
Aku tidak terima kalau saja Eren terpikat dengan gadis seperti itu.
Tidak, rasanya itu agak mustahil.
"Oh ya! Annie itu tinggal dengan ayahnya. Dia, dia juga sebenarnya gadis yang baik, jadi, aku rasa, kau salah menilainya, Mikasa," kata Armin. Aku hampir tersedak ludahku sendiri.
"Maksudmu?"
"Aku, aku sepertinya bisa membaca pikiranmu. Yahh... kau membenci Annie kan?"
"Sedikit. Aku tidak pernah keliru dalam menilai orang, Armin," aku menanggapi ucapannya.
"Dan sekali lagi... kalau aku tidak suka pada satu orang, aku bisa saja memusnahkannya, demi orang yang aku sayangi," ujarku, kemudian pergi dari sana.
"Ah, tunggu Mikasa!"
Aku melangkahkan kaki menuju ke ladang bunga, tempat masa kecilku dengan Eren. Kami selalu melakukan berbagai hal yang menyenangkan di sini; berkejaran, seperti apa yang tergambar dalam mimpiku. Menangkap kupu-kupu bersama, mengamati indahnya pemandangan, tidur-tiduran, dan bahkan, saling bercerita dan menghibur satu sama lain. Aku sangat beruntung memiliki teman sebaik Eren. Aku tidak ingin jauh darinya. Rasanya, dia benar-benar bisa membuatku nyaman.
Aku tidak ingin perasaan seperti ini lenyap.
Aku bersandar di batang pohon yang sudah ada di sana sejak kami masih bocah ingusan. Di dataran di hadapanku, terhampar berbagai bunga-bunga yang indah, dikelilingi kupu-kupu dengan sayap bintik hitam warna-warni, disirami oleh cahaya putih matahari yang kemudian membentuk suatu warna tersendiri di atasnya. Keemasaan. Seolah-olah, ada surga kecil di sana.
Aku mendengar ada langkah kaki seseorang yang mendekat kemari. Aku berharap-sejujurnya-bahwa itu adalah Eren.
"Mikasa... kau membenci Annie?"
Sebuah suara memecah keheningan pagi, dan aku menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang berdiri dan membuat suara itu. Aku tahu itu suara Eren.
"Eren?"
"Jawab pertanyaanku, Mikasa..."
"Emh, ya, sedikit. Dia tampak menyebalkan, jujur saja. Kau tak ingin aku berbohong kan?"
Eren berjalan ke arahku, semakin mendekat, kemudian duduk di sampingku, bersandar di batang pohon juga, dengan kedua kaki yang diluruskan ke depan. Matanya terpejam.
"Annie sebenarnya sosok yang kesepian," gumam Eren. Aku sedikit tercengang.
"Kesepian?"
"Ya, dia hanya tinggal berdua dengan ayahnya. Dia sebenarnya tidak sejahat yang kau kira. Dia hanya... dia hanya merasa dunia ini lebih pantas untuk dibenci. Itu sebabnya dia terkadang cuek dan bersikap sinis. Aku juga awalnya tidak suka dengannya. Tapi, Armin mengatakan padaku bahwa Annie bukanlah sosok yang pantas dibenci. Jadi, aku mulai menenangkan diriku, dan aku mengerti perasaanmu."
"Eren..."
Eren memegang kedua tanganku.
"Kau benci kalau aku terluka kan?" Dia menatapku, bersungguh-sungguh. Aku tidak bisa berkata-kata.
"A-..."
"Terkadang, luka sangat dibutuhkan untuk menjadi pelajaran bagi kita. Dan, aku merasa Annie sedikit menyadarkanku tentang sesuatu-bahwa aku harus lebih kuat. Aku lemah, aku tak pernah menyadari hal itu sebelum aku diberikan luka oleh Annie. Luka sama dengan pelajaran. Aku terkejut, karena biasanya, kau yang suka menasihatiku, Mikasa."
"A-..."
"Mikasa, tetaplah bersamaku untuk melatihku menjadi lebih kuat, ya?" Dia semakin memegang kedua tanganku dengan erat, menaruhnya di depan dadanya. Aku hampir menangis.
"A... aku akan melindungimu sampai kau menjadi kuat," aku tersenyum.
"Terima kasih... Mikasa. Aku benar-benar berhutang banyak padamu."
Kami menghela napas bersamaan, kemudian sama-sama memejamkan mata. Membayangkan masa depan penuh rintangan. Menyongsong masa depan, kadang tidak mengenakkan. Tapi, ketika kau telah bersedia memulainya, maka seterusnya kau akan memetik hasilnya.
To be continued...
A/N
Kyaaaa~~ Yui senang bisa bikin Fanfict baru setelah sekian lama hiatus, serasa sangat panjang! xD
Sekarang, Yui mau mempersembahkan (?) FF dari SnK, dengan pair ErenxMikasa, mudah-mudahan pada suka ya /\ hmm... Yui suka shounen ai alias hubungan antar sesama cowok, tapi untuk FF SnK yang pertama, Yui lebih suka untuk menampilkan percintaan normal antar sesama tokohnya o jadi, buat yang fujo, bersabar dulu yaa :|
Wuehehehe... kritik dan saran sangat diperlukan, /\ demi meningkatkan keahlian Yui dalam merangkai kata-kata untuk bab selanjutnya, jangan sungkan lho '-')/ *slap
Sampai jumpa di bab selanjutnya xDD~~!
