Remake dari Abbi Glines "Fallen Too Far"

Alur cerita sama dengan novel asli, hanya pemilihan kata, setting disesuaikan dengan konsep boyXboy.

Aku harap alur cerita akan cukup masuk akal ^^

Sekuel dari FF "The Virgin And The Playboy"

This sekuel is for you all!

OOC !Uke:Yoongi !Seme: Jimin

MinYoon

Rate M!

Romance, Drama, Hurt/Comfort

Yaoi, boyXboy

DON'T LIKE DON'T READ!


Chapter 1

Yoongi POV

Enam bulan setelah di Jeju.

Mobil tua bercampur lumpur pada ban yang kupakai telah kuparkir di samping rumah yang sedang berpesta itu. Tidak ada mobil buatan luar negeri mahal disini. Tempat ini paling tidak memuat setidaknya dua puluh mobil yang menutupi sepanjang jalan masuk.

Ayah tidak bilang padaku bahwa malam ini dia akan mengadakan pesta. Dia tidak bicara banyak padaku. Dia juga tidak hadir pada pemakaman Ibu. Jika aku tidak butuh tempat tinggal, aku tidak mau berada disini. Aku sudah menjual rumah mungil yang ditinggalkan Nenekku untuk membayar tagihan akhir dari biaya pengobatan ibu di Daegu. Yang tersisa hanyalah bajuku dan mobil ini.

Menelepon Ayahku, setelah dia tidak pernah datang walau hanya sekali selama tiga tahun Ibuku berjuang melawan penyakit kankernya, sangatlah berat. Meskipun ini juga penting, karena dialah satu-satunya keluarga yang aku miliki.

Aku menatap pada rumah besar tiga lantai yang mengarah langsung pada pasir putih di pantai Gwangali, Busan. Ini adalah rumah baru Ayahku. Keluarga barunya. Aku tidak cocok hidup disini.

Pintu mobilku tiba-tiba terbuka. Dengan spontan, aku meraih ke bawah kursi dan mengambil pistol sembilan millimeterku. Aku mengayunkannya dan mengarahkannya pada penyusup itu, memegang senjata itu dengan kedua tanganku siap untuk menarik pelatuknya.

"Whoa…Aku baru saja akan bertanya padamu kalau kau tersesat tetapi aku akan mengatakan padamu apapun yang ingin kau lakukan padaku asalkan kau jauhkan senjata itu," seorang pria dengan rambut coklat berdiri di sisi depan senjataku dengan kedua tangan terangkat dan matanya yang melebar.

Aku menatapnya bingung dan tetap mengacungkan senjataku. Aku masih tidak tahu siapa pria ini. Membuka pintu mobil orang lain bukanlah hal biasa bagi orang asing. "Tidak, kupikir aku tidak tersesat. Apakah ini rumah Min Jiwon?"

Pria itu menelan ludahnya dengan gugup, "Uh, aku tidak bisa berpikir jika senjata itu diarahkan ke wajahku. Bisakah kau menurunkan senjatamu sebelum terjadi kecelakaan?"

Kecelakaan? Benarkah?

Pria ini mulai membuatku marah.

"Aku tidak mengenalmu. Diluar gelap dan aku di tempat asing, sendirian. Jadi, maafkan aku jika kau merasa tidak nyaman saat ini. Kau bisa mempercayaiku kalau aku bilang padamu bahwa tidak akan terjadi kecelakaan. Aku bisa memakai senjata. Dengan sangat baik."

Pria itu kelihatannya tidak percaya padaku dan sekarang setelah aku melihatnya kelihatannya dia tidak berbahaya. Namun, aku belum siap untuk menurunkan senjataku.

"Jiwon?" dia mengulangnya perlahan dan mulai menggelengkan kepalanya kemudian berhenti,

"Tunggu, Jiwon adalah Ayah tiri baru Jimin. Aku bertemu dengannya sebelum dia dan Hyori pergi ke Jepang."

Jimin? Nama itu… Tapi tunggu… Apa? Jepang?

Aku menunggu penjelasan lebih tetapi pria itu terus menatap pada senjata dan menahan nafasnya. Mengunci tatapanku padanya, aku menurunkan senjataku dan memastikan untuk mengembalikan rasa aman seperti semula sebelum aku menyimpan senjataku di bawah kursiku. Mungkin dengan senjata itu dijauhkan pria ini bisa fokus dan menjelaskan.

"Kau punya surat ijin untuk memiliki senjata?" tanyanya ragu.

Aku sedang tidak ingin membicarakan surat ijin senjataku. Aku butuh jawaban.

"Jiwon di Jepang?" tanyaku meminta konfirmasi.

Dia tahu aku akan datang hari ini. Kami sudah membicarakannya beberapa minggu yang lalu setelah aku menjual rumah.

Pria itu mengangguk pelan dan bersikap santai.

"Kau mengenalnya?"

Tidak juga. Aku menemuinya dua kali sejak dia meninggalkan ibuku dan aku lima tahun yang lalu. Aku ingat Ayah datang ke pertandingan basketku dan memanggang bulgogi di luar rumah untuk pesta antar tetangga. Ayah yang aku miliki hingga hari dimana saudara kembarku Suga tewas dalam kecelakaan. Ayahku yang mengemudi. Dia berubah sejak hari itu. Pria yang tidak meneleponku dan memastikan aku baik-baik saja sementara menjaga ibuku yang sakit, aku tidak mengenalnya. Tidak sama sekali.

"Aku putranya. Min Yoongi."

Mata pria itu melebar dan dia menghempaskan kepalanya ke belakang dan tertawa.

Apakah itu lucu? Aku menunggunya untuk menjelaskan ketika dia mengulurkan tangannya.

"Ayo Yoongi, aku ingin kau bertemu dengan seseorang. Dia akan menyukainya."

Aku menatap tangannya dan meraih tasku.

"Apakah kau menaruhnya di dalam tasmu? Haruskah aku memperingatkan semua orang agar tidak membuatmu marah?" nada menggoda di suaranya menjauhkanku dari berkata kasar.

"Kau membuka pintuku tanpa mengetuk. Aku ketakutan."

"Reaksi cepatmu karena takut dengan mengacungkan senjata pada seseorang? Cowok sialan, dari mana asalmu?"

Ya, karena aku terpaksa 'terbiasa' untuk melindungi diriku hampir selama tiga tahun. Aku punya seorang ibu yang sakit untuk dijaga tetapi tidak ada seorang pun yang menjagaku.

"Aku dari Daegu," jawabku sambil mengacuhkan uluran tangannya dan melangkah keluar dari mobil.

Angin sepoi pantai membelai wajahku dan bau asin dari laut terasa begitu nyata. Aku sudah lama tidak melihat laut.

Sejak malam di Jeju itu.

"Jadi benar apa yang mereka katakan tentang pria dari Daegu," jawabnya dan aku mengalihkan perhatianku padanya.

"Apa maksudmu?"

Matanya mengamati tubuhku dari bawah dan kembali ke wajahku. Sebuah seringai terpasang di sepanjang wajahnya.

"Jeans sobek, tshirt longgar, dan senjata. Sialan, aku hidup di negara bagian yang salah."

Memutar mataku, aku meraih ke belakang mobil. Aku membawa koper dan beberapa kotak yang harus aku turunkan dari bagasi.

"Sini, biar aku saja," ia berjalan mengitariku kemudian meraih koper-koper itu.

"Terima kasih, uh…aku belum tahu namamu."

Pria itu menarik koper keluar kemudian berpaling padaku.

"Apa? Kau lupa untuk bertanya ketika kau punya senjata Sembilan millimeter yang diarahkan padaku?" jawabnya.

Aku mendesah. Oke, mungkin aku menjadi sedikit berlebihan dengan senjata tetapi pria ini membuatku takut.

"Aku Hoseok, a, uh, temannya Jimin."

"Jimin?"

Nama itu lagi.

Hoseok menyeringai lebar lagi.

"Kau tidak tahu siapa itu Jimin?"

Dia benar-benar gembira.

"Aku sangat senang kau datang malam ini."

Dia menganggukkan kepalanya ke arah rumah,

"Ayo. Aku akan memperkenalkanmu."

Aku berjalan disampingnya saat dia membawaku menuju rumah. Musik di dalam rumah begitu keras saat kami mendekat. Jika Ayahku tidak ada disini, lalu siapa disana? Aku tahu Hyori adalah istri barunya tetapi hanya itu saja yang aku tahu.

Apakah ini pesta anaknya? Berapa usia mereka? Dia punya anak, bukan? Aku tidak ingat. Ayah tidak memberitahuku dengan jelas. Dia bilang aku akan menyukai keluarga baruku tetapi dia tidak bilang siapa keluarga baru itu.

"Jadi, Jimin tinggal disini?" tanyaku.

"Ya, dia tinggal disini, paling tidak saat musim panas. Dia pindah ke rumahnya yang lain sesuai musim."

"Rumahnya yang lain?"

Hoseok tertawa, "Kau tidak tahu apa-apa tentang keluarga yang dinikahi ayahmu, kan Yoongi?"

Aku menggelengkan kepala.

"Pelajaran singkat sebelum kita masuk ke dalam kegilaan," jawabnya sambil berhenti di puncak tangga yang mengarah ke pintu depan dan menatapku. "Park Jimin adalah kakak tirimu. Dia adalah anak tunggal dari drummer Busker busker, Bradley Ray. Mereka tidak pernah menikah. Ibu nya, Lee Hyori, adalah satu penggemarnya saat itu. Ini rumahnya. Ibunya bisa tinggal disini karena dia mengijinkannya."

Hoseok berhenti dan melihat ke belakang pintu, dan membukanya.

"Ini semua adalah temannya."

Seorang pria tinggi, berambut cokelat, langsing memakai kemeja mahal berwarna biru. Dia berdiri disana menatapku. Aku tidak melewatkan kernyitan di wajahnya. Aku tidak mengenal orang seperti ini tapi aku tahu tempat belanja bajuku bukanlah sesuatu yang dia datangi.

"Halo Taehyung," jawab Hoseok dengan nada mengganggu.

"Siapa dia?" pria itu bertanya, mengalihkan tatapannya pada Hoseok.

"Teman. Hapus ancaman dari wajahmu Tae, itu terlihat tidak cocok untukmu," jawabnya, meraih tanganku dan mendorongku masuk kedalam rumah dibelakangnya.

Ruangan itu tidak seramai yang aku bayangkan. Saat kami melewati serambi yang terbuka lebar, sebuah pintu masuk melengkung mengarah ke tempat yang aku kira adalah ruang tamu. Meskipun begitu, ruangan itu lebih besar dari rumah terakhirku atau rumah yang pernah menjadi rumahku. Dua pintu kaca berdiri dengan pemandangan laut yang mempesona. Aku ingin melihatnya lebih dekat.

"Sebelah sini," ajak Hoseok sambil dia berjalan menuju…bar? Yang benar saja? Ada bar di dalam rumah?

Aku menatap orang-orang yang kami lewati. Mereka semua berhenti saat itu juga dan menatapku sekilas. Aku merasa tersanjung.

"Jimin, kenalkan Yoongi, aku yakin dia mungkin milikmu. Aku menemukannya di luar dan terlihat sedikit tersesat," ucap Hoseok dan aku mengalihkan tatapanku dari kumpulan orang-orang yang penasaran untuk melihat siapa itu

Jimin.

Oh.

Oh. My.

Jimin yang itu.

Jimin yang bertemu denganku di Jeju.

Jimin yang sudah mengambil keperjakaanku…

"Oh ya?" jawab Jimin menatapku intens.

Aku yakin dia masih mengingatku-...atau tidak?

Dengan malas dia maju dari posisi santainya di sofa dengan bir ditangannya.

"Dia menarik. Tapi tidak bisa dikatakan dia milikku."

"Oh, dia memang milikmu. Ayahnya pergi ke Jepang dengan ibumu selama beberapa minggu kedepan. Aku akan bilang sekarang dia adalah milikmu. Aku akan sangat senang menawarinya kamar ditempatku jika kau mau. Hanya saja jika dia berjanji untuk meninggalkan senjata mematikannya di mobil."

Jimin mengernyitkan alisnya dan mengamatiku lebih dekat.

Mata itu.

Oh, yang menarik namun ganjil. Mata yang kelam sekelam rambut hitamnya.

"Bukan berarti dia milikku," akhirnya dia menjawab dan bersandar lagi di sofa dimana dia berbaring saat kami muncul.

Hoseok membersihkan tenggorokannya.

"Kau bercanda, kan?"

Jimin tidak menjawab. Malah dia minum dari botol berleher tinggi di tangannya. Tatapannya bergeser pada Hoseok dan aku bisa melihat peringatan disana. Aku akan meminta ijin untuk segera pergi. Ini tidak bagus.

Aku hanya punya dua puluh ribu won di dompetku dan aku hampir kehabisan bensin. Aku sudah menjual semua yang aku miliki. Ketika aku menelepon ayahku aku bilang kalau aku butuh tempat tinggal hingga aku dapat kerja dan menghasilkan cukup uang untuk menyewa tempat sendiri. Dia langsung setuju dan memberiku alamat ini mengatakan padaku dia akan sangat senang jika aku mau tinggal bersamanya.

Perhatian Jimin kembali padaku. Dia menungguku untuk mengatakan sesuatu. Apa yang dia harapkan untuk kukatakan?

Halo Jimin, kita bertemu lagi?

Halo. kita ternyata saudara tiri?

Halo, selamat karena kau telah kencan one night stand dengan perjaka yang adalah saudara tirimu?

Pada akhirnya aku hanya bisa menatapnya dengan pandangan kosong.

Sebuah seringai terlihat di bibirnya dan dia mengedipkan mata padaku.

"Aku punya banyak tamu malam ini dan semua kamar sudah penuh."

Dia mengalihkan tatapannya pada Hoseok.

"Kupikir lebih baik kita membiarkannya pergi untuk mencari hotel hingga aku bisa menghubungi Ayahnya."

Rasa jijik di lidahnya saat dia mengatakan kata "Ayah" terdengar jelas. Aku tidak bisa menyalahkannya. Ini bukanlah salahnya. Ayahku yang mengirimku kemari. Aku sudah menghabiskan banyak uang untuk membeli bensin dan makanan di perjalanan menuju kemari. Kenapa aku harus percaya pada pria itu?

Aku meraih dan menarik koper yang masih tetap dipegang Hoseok.

"Dia benar. Aku seharusnya pergi. Ini adalah hal sangat buruk," aku menjelaskan tanpa melihatnya.

Aku menarik keras koper dan dia melepaskannya dengan sedikit enggan. Rasa perih menyengat mataku saat aku sadar aku merindukan rumah mulai menusukku.

Aku tidak sanggup melihat mereka. Berbalik, aku menuju pintu, menahan kesedihanku. Aku mendengar Hoseok berdebat dengan Jimin tapi aku mengabaikannya. Aku tidak mau mendengar apa yang dikatakan pria yang sempat menghantui pikiranku berbulan-bulan yang lalu itu tentang aku.

Dia tidak menyukaiku. Itu terlihat jelas. Dan Ayahku nampaknya bukanlah anggota keluarga yang diharapkan.

"Kau akan segera pergi?" sebuah suara bertanya. Aku mengangkat kepalaku untuk melihat senyum gembira pada pria yang membuka pintu sebelumnya. Dia juga tidak ingin melihatku disini. Apakah aku menjijikkan bagi semua orang?

Aku langsung menjatuhkan tatapanku pada lantai dan membuka pintu. Aku masih punya banyak harga diri untuk tidak membiarkan mereka melihatku menangis.

Saat aku sampai di luar rumah dengan selamat aku menangis terisak dan berjalan menuju mobilku. Jika aku tidak membawa koper aku akan lari. Aku harus mencari perlindungan. Aku masuk ke dalam mobilku, bukan di dalam rumah lucu itu dengan orang-orang sombong. Aku rindu rumah. Aku rindu Ibuku.

Aku menutup pintu mobil dan menguncinya dari dalam.


-TBC-

[Tell me, ini gimana nyambung gak dengan oneshoot 'TVATP'?]

[Apa kalian suka dengan alurnya?]

[Cont/No]

[Review ya ditunggu :)]