Langit pagi yang cerah ini sama sekali tidak berpihak dengan kondisi seorang Kuroko Tetsuya. Baru beberapa menit yang lalu ia menggumamkan kalimat bahwa ia ingin merubah hidupnya. Tapi mengapa sekarang ia harus terjebak dengan iblis mata belang yang ia kira sebagai berandalan sadis—walau menurutnya, memang seperti itu kenyataannya.

Tubuh mungil Kuroko diseret menuju ruang berkumpul Kiseki House. Dan pemuda biru langit itu sama sekali tidak memikirkan nasib kopernya yang tergeletak di depan asrama ini. Pokoknya ia harus menyelamatkan diri dulu!

"Itu siapa, Seichiroucchi?" tanya si pemuda pirang yang tadinya tengah membaca majalah bulanan di atas sofa.

Sepasang manik beda warna melirik Kuroko sinis. Dan pemuda itu hanya bisa membalas dengan merundukkan wajahnya ke lantai, menatap telapak kakinya.

"Dia adalah orang baru yang akan tinggal di asrama ini sekarang," senyuman penuh makna tersirat terkembang di paras tampan. Selain sang pelaku dan korbannya, penghuni ruangan itu , serempak meneguk saliva mereka masing-masing. "dan dia adalah orang yang berani menentangku."

Oh, god.

Memangnya apa sih salahnya Kuroko?

Ia hanya membantu seorang pemuda yang sedang dibully oleh orang ini!

Dan berkat sikap sok pahlawannya itu, sekarang justru ia lah korban bullyannya yang baru.

Sambil menatap lantai kinclong—jujur saja, Kuroko penasaran orang rajin mana yang bisa mengepel lantai sesempurna ini—ia memberanikan diri untuk memperkenalkan diri. "Ku—kuroko Tet—" namun yang keluar dari mulutnya hanya cicitan kecil.

"YANG KENCANG! AKU TIDAK DENGAR!" bentak Seichirou kasar

Napas berat dihembuskan lewat mulut. Wajah putih pucat diangkat, sepasang azure menatap kerumunan pelangi—dalam makna denotatif yang sebenarnya. "Kuroko Tetsuya desu. Yoroshiku onegaishimasu." Ucapnya lantang.

Yang lain mengangguk kaku setelah Kuroko membungkuk, memberi hormat.

Tak lama, orang lain masuk sambil menyeret koper milik Kuroko. Si pemilik langsung menyambar barang bawaannya bak seorang ibu yang sudah lama tak bertemu dengan anaknya.

"Terima kasih telah membawakan koperku. Etto—" kelereng serupa warna langit itu dilarikan ke sosok sang penolong. Bukannya senang, ia malah tersentak kaget.

Tunggu,

Bukankah iblis yang tadi menyeretnya masih ada di belakangnya?

Lantas ini siapa?

Tapi kok… wajahnya lebih bersahabat ya, ketimbang makhluk yang satu lagi.

Menyadari perubahan gelagat sang lawan, pemuda itu tersenyum. "Aku Akashi Seijuurou. Yang tadi itu adik kembarku, Akashi Seichirou." Ujarnya lembut—yang di telinga Kuroko seperti simfoni indah.

Kepala biru muda diputar patah-patah menghadap kea rah yang ditunjuk Seijuurou. Kuroko kembali bergidik ketika Seichirou menghadiahinya tatapan sinis. Sementara Seijuurou hanya terkekeh geli melihat kelakuan dua orang itu.

"Ara, Tetsuya-kun ya? Nee-san sudah menunggumu dari tadi lho." Aida Riko, penjaga asrama ini masuk ke ruang berkumpul dari arah dapur. Wanita itu langsung menerjang Kuroko sambil mengecup kedua pipi buntel si mungil.

"Konichiwa, Aida-san." Di dalam pelukkan wanita berdada tipis pun, tetap saja Kuroko harus berlaku sopan. Neneknya tidak pernah mengajarkannya untuk menolak kebaikan. Apalagi kebaikan yang lama-lama mungkin akan mendatangkan mudharat seperti ini.

"Riko-nee kenal dia?" Tanya Seichirou dengan kening berkerut.

Aida Riko melepaskan pelukkannya. Sebuah anggukan menjadi jawaban atas pertanyaan si bungsu Akashi itu. "Dia Kuroko Tetsuya, anak dari teman ibuku yang akan tinggal di sini mulai sekarang. Oh iya, ini kuncinya, Tetsuya-kun," kunci dengan gantungan angka 15 diserahkan ke entitas biru muda.

Kuroko mengangguk sembari menggumamkan kata terima kasih. Dan Aida Riko menjawabnya dengan sopan.

Namun baru saja ia ingin bertanya dimana letak kamarnya, gadis yang lebih tua beberapa tahun darinya itu malah pergi.

Si mungil bingung. Dirinya serupa anak hilang di antara kerumunan kota. Nyali Kuroko menciut kalau sudah dihadapan massa begini. Butuh tempat perlindungan diri macam punggung atau bahkan ketiak sang ibunda.

Tapi bukankah ia sudah memantapkan diri untuk berubah?

Kuroko harus jadi pemuda gagah yang macho! Bukan anak mamih yang selalu bergantung dengan orang lain!

Punggung ditegakkan. Paras manis diangkat agar ketika berbicara dengan sang lawan, ia tak perlu menatap lantai yang kinclongnya aduhai.

Tangan kurus terulur untuk meraih gagang koper. Namun gerakannya terpaksa berhenti karena tangan lain mencengkram—meskipun tak terlalu kuat, namun cukup untuk membuat biru mungil bergidik lagi—lengannya.

"Biar aku yang antar." Seichirou menawarkan bantuan dengan sangat tulus. Tentu saja tulus, memang tidak lihat senyuman—mencekam—yang menghiasi bibirnya ?

Kuroko sontak menggeleng dengan sangat cepat. Tak peduli kalau ia mungkin akan terkena vertigo di ke depannya nanti.

Namun si bungsu Akashi jelas tidak akan peduli jawaban lawannya. Koper biru muda dengan sticker unicorn super mini di sudut bawah, diklaim seketika. Termasuk lengan seorang Kuroko Tetsuya yang tubuhnya kini sudah kembali terseret oleh kekuatan pemuda mata belang.

Di belakang, Seijuurou hanya tersenyum kecil. Tak menyangka bahwa adiknya bisa tertarik pada orang asing yang menggemaskan itu.

.

.

Cinnamon and Lime Tea

Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadotoshi

Story © Hanyo4

AkaKuroAka

WARN : Typo(s), sangat OOC, Alternative Universe, bahasa standar tidak baku, cerita agak mainstream.

Happy Reading minna~

.

.

Setelah menyusun barang-barangnya di kamar asramanya yang baru, Kuroko tersenyum puas. Ternyata melakukan apa-apa sendiri jelas memberikan sebuah kebahagiaan sederhana.

Padahal kalau di rumah dulu, jangankan menyentuh gagang sapu, menaruh piring kotor ke wastafel saja ia tak pernah. Kuroko serasa dimajakan oleh seluruh keluarganya termasuk tante dan para sepupunya.

Namun sekarang, semua berbeda! Kuroko harus membalik lembar baru demi merombak total dirinya! Tak boleh bergantung kepada siapa-siapa dan harus mengerjakan semuanya sendiri! Dan jangan lupa untuk bersosialisasi dengan yang lain agar ia tidak culun atau payah.

Tapi sekarang… bisa tidak ya ia menjalankan semua itu?

Bukannya tadi Akashi Seichirou menyuruhnya untuk mengepel ruang makan dan bersih-bersih ketika pemuda itu mengantarkan Kuroko ke kamar barunya?

Wow!

Kuroko tak mengerti. Untuk apa ia bayar mahal-mahal kalau hanya dijadikan seorang pembantu? Tidak, ia tidak mau dihukum atas kesalahan yang sama sekali tidak ia perbuat!

Memangnya enak apa bolak-balik ruangan sambil nungging-nungging? Bisa-bisa nanti Kuroko encok lagi!

Niat hati ingin mengabaikan panggilan tugas, karena jarum panjang hampir mendekati angka dua belas, sementara jarum pendeknya sudah ada di angka delapan.

Kuroko juga butuh istirahat bung. Perjalanan dengan shinkansen selama beberapa jam jelas menguras tenaganya. Apalagi tadi, ia sangat excited dengan mengabadikan pemandangan-pemandangan yang ada di balik jendela.

Kelopak putih pucat hampir saja tertutup rapat, jika saja pintu kamarnya tidak diketuk dengan sangat dahsyat.

"JANGAN KIRA KAU BISA MELUPAKAN TUGASMU, TETSUYA!"

Kuroko refleks bangun dengan cepat. Sambil menghembuskan napas berat, ia menyumpahi dengan segala sumpah serapah yang ada dalam kepalanya yang hanya ditujukan ke Akashi Seichirou seorang, setan mata belang utusan neraka yang diciptakan untuk merusak hari-hari tenang milik Kuroko Tetsuya.

Kaki dilangkahkan dengan gontai. Kenop pintu diputar.

Akashi Seichirou menantinya dengan tatapan bengis dengan kedua lengan terlipat di depan dada.

Sepasang azure diputar malas. Sambil terus melangkah dengan mengabaikan keberadaan Seichirou di belakang, Kuroko turun ke bawah. Bersiap-siap untuk mengerjakan hukumannya.

.

.

Seijuurou tak melepaskan pandangannya dari buku yang sedang ia baca, meskipun sang adik membanting pintu kamar mereka dengan sangat keras seolah tak peduli jika engsel benda itu mungkin akan copot.

"Ada apa lagi? Bukannya kau sudah puas mengerjai Kuroko Tetsuya?" tanyanya.

Seichirou membanting tubuhnya ke atas single bad yang ada di sisi ruangan.

Berbeda dengan ruang lainnya yang hanya mampu menampung satu orang. Kamar ukuran medium itu dibagi 50:50 agar muat diisi dua buah tempat tidur, dua lemari, dan dua meja belajar.

"Tidak boleh ada yang menentangku," lengan kanan menutupi sebagian wajah pemuda berponi pendek.

Seijuurou mendengus. Dasar pengidap chuunibyou. Gumamnya.

"Tapi kenapa makhluk kecil itu sama sekali tidak mengerti?" Seichirou bangkit sembari menatap sang kakak yang terus khusyuk membaca.

"Tidak semua hal berjalan sesuai dengan pepatahmu, adikku sayang," senyuman tipis dilontarkan meskipun ia sama sekali tak menatap lawannya. "Aku bersyukur Tuhan mengirimkan utusannya untuk mematahkan idealismemu yang konyol itu, Seichirou."

Seichirou gondok setengah mati. Walaupun terlihat menawan, tapi jangan salah, lidah kakaknya ini jauh lebih tajam dari pada belati. Apalagi kalau diucapkan dengan tampang penuh wibawa seperti itu.

Huh,

Andai saja ia tidak ingat kalau orang ini adalah kakak kembarnya, sudah dari tadi gunting saktinya berterbangan.

Seijuurou memutar tubuhnya, lalu bangkit dari kursi belajar.

"Mau kemana kau?" Tanya Seichirou dingin.

Sang kakak mengangkat kedua bahunya acuh. "Mungkin, menikmati pertunjukan bokongnya Kuroko secara gratis?"

.

.

Setelah mengelap peluh yang membanjiri keningnya, Kuroko merenggangkan badannya ke kanan dan kiri.

Mau mengeluh, tapi sudah terlanjur selesai. Tak apalah, hitung-hitung bakar kalori.

Kelereng serupa langit musim panas menatap puas hasil mahakaryanya. Lantai yang semula kinclong, kini makin kinclong hingga memantulkan cahaya lampu di atas sana. Memang yang namanya usaha tidak akan mengkhianati hasil.

"Kerja bagus, Kuroko."

Tubuh mungil diputar menghadap ke sumber suara. Andai saja ia tak menajamkan pengheliatannya, bisa-bisa ia terkena serangan jantung dini.

Untung Seijuurou. Bukan Seichirou.

"Ah, doumo, Akashi-san."

"Akashi-san? Terus, kau mau memanggil adikku apa, Kuroko?" nada kelewat jahil terselip di pertanyaannya. Namun naas, targetnya salah. Karena kenyataannya, Kuroko Tetsuya adalah orang paling tidak peka yang pernah ada.

Kerutan di kening menunjukkan kebingungan. "Akashi-san nigou, mungkin?" cicitnya sembari menatap lantai di bawah.

Seijuurou malah tertawa menanggapinya. Oh Tuhan, bocah ini kelewat polos. Batinnya.

Lenggang sejenak, suasana menjadi agak canggung.

"Seichirou mungkin akan merasa tersindir jika dipanggil seperti itu, Kuroko. Kalau boleh, kau bisa memanggilku Seijuurou saja." Serangan modus dilancarkan, berharap lawannya bakal menotis.

Kuroko memberanikan diri untuk memandang wajah lawannya.

Paras tampan nan menawan. Serta senyum penuh kelembutan tersaji di depannya.

Kuroko jadi heran kenapa malaikat sebaik ini memiliki kembaran titisan iblis?

Oh, mungkin ini yang namanya hukum alam! Jika satu malaikat lahir, maka harus ada satu iblis juga yang terlahir! Ya, pasti begitu cara kerjanya!

"Ah, baik, Seijuurou-san."

Senyuman kian mengembang. Ok tambahkan satu poin kemenangan untuk Seijuurou. Tapi ngomong-ngomong kenapa harus ada suffix san-nya? Kan estetikanya jadi berkurang.

"Tidak usah pakai san segala. Seijuurou saja sudah cukup kok."

"Baiklah, Seijuurou-kun." Nada yang Kuroko lontarkan seketika berubah menjadi nyanyian dewi ketika masuk ke dalam telinga Seijuurou. Dasar bocah tengik, Seichirou itu memang kadang suka dilimpahi banyak keberuntungan.

Merasa pipinya agak panas, Seijuurou lantas memuta tubuhnya agar memunggungi si biru muda. "Sudah malam, jangan lupa istirahat, Kuroko. Oyasumi."—dan terima kasih atas pertunjukkan gratisnya.

"Oyasumi, Seijuurou-kun."

Sembari membereskan peralatan pelnya, Kuroko bersenandung kecil. Mungkin tinggal di sini tak seburuk yang ia kira.

.

.

Kalau bukan karena tiga buah alarm yang berbunyi dengan sangat nyaring, Kuroko yakin kalau ia tidak akan bangun tepat waktu pagi ini.

Kebiasaan sih, kalau di rumah minimal ia harus dibangunka oleh sang ibunda minimlah tiga kali juga. Untung saat berangkat kemarin, ibunya memberikan ia jam weker baru. Dan ia juga selalu menyalakan alarm ponselnya.

Tapi mengapa bisa ada tiga kalau ia hanya punya dua alarm?

Tentu saja alarm yang terakhir adalah gedoran pintu dari iblis asrama Kiseki.

Menyebalkan. Pakai diancam segala pula. Memangnya tempat ini tidak menjunjung tinggi privasi penghuninya?

Kuroko mengunyah roti isi coklat. Tak ada waktu untuk sarapan, terlalu mepet. Meskipun jarak dari asrama ke sekolah barunya hanya emakan waktu paling lama sepuluh menit, tapi masih ada banyak hal yang harus ia urus pagi ini.

Tak tahu harus mengutuk, atau berterima kasih pada Seichirou nanti—well, ia memiliki hukuman untuk menyapu taman belakang karena terlambat bangun.

Kuroko baru saja akan mengambil ancang-ancang untuk berlari. Namun sebuah speda merah berhenti tepat di depannya.

"Seijuurou-kun?" tanyanya bingung, mengundang salah satu alisnya untuk menanjak naik.

Pemuda yang memiliki sepasang iris delima itu melemparkan sebuah helm sepeda ke Kuroko. "Naiklah, kebetulan juga aku hampir terlambat untuk rapat pagi."

Kuroko mengangguk lalu memakai helm pemberian si Akashi sulung. Sepeda itu memang tidak dilengkapi dengan boncengan duduk, hanya penopang kaki khusus boncengan berdiri.

Dalam sekejap, sepeda merah melaju membelah jalanan. Meninggalkan sang pemilik yang baru saja selesai memakai sepatu. Akashi Seichirou menggeram kesal karena Seijuurou terang-terangan memproklamirkan perang.

"Tetsuya itu budakku." Gumamnya sembari memasang wajah masam.

.

.

"Kuroko Tetsuya… Kuroko Tetsuya... ah! Ketemu!" seorang guru mengambil map biru dari tumpukkan map di dalam laci meja kerjanya.

Kuroko menghembuskan napas lega. Setidaknya dalam hal ini ia tidak merada dilupakan.

"Kuroko-kun, kau masuk kelas 2-E. Wali kelasmu adalah Imayoshi Shouichi, itu tuh, guru sipit yang pakai kacamata." Pegawai tata usaha bernametag Miyaji Kiyoshi menunjuk tepat kea rah pria jangkung bersurai hitam yang sedang duduk di meja kerjanya.

"Ah, Souka. Terima kasih, Miyaji-san." Kuroko meunduk sesaat kemudian langsung menghampiri meja wali kelas barunya yang tidak jauh dari posisi awal.

"Ya, sama-sama."—semoga kau betah berada di kelas itu, Kuroko-kun.

Tubuh mungil berhenti tepat di sebelah pria yang kira-kira berusia duapuluh lima tahunan. "Anoo," Meskipun dokumennya ternotis oleh pegawai TU yang tampan tadi, namun nampaknya keberadaannya malah tidak dinotis si guru.

Haduh, nasib.

"Ano, sensei," tangan kecil terulur untuk menyentuh bahu lawannya yang masih sibuk menyantap mie cup. Namun kembali diangkat cepat-cepat karena sang lawan sudah memutar tubuhnya, menghadap Kuroko.

"Ara, kau pasti Kuroko-kun kan?" Imayoshi memberikan senyum terbaiknya pagi ini. Tapi entah kenapa Kuroko jadi merasa mual. Senyuman guru itu memiliki aura yang sama dengan senyuman iblis yang ada di asramanya!

"Ha'I Sensei."

"Sebentar lagi bel, ayo ikut aku." Imayoshi bangkit lalu membersihkan mejanya dari menu sarapan yang sangat sederhana itu. Kuroko mengikutinya dari belakang. Seperti anak itik mengekori induknya.

.

.

Ok, anggaplah ini sebuah kebetulan yang merugikan. SANGAT MERUGIKAN!

Kuroko tak mengerti mengapa dunia ini seolah-olah menjodohkannya dengan makhluk super menyebalkan yang satu ini? Kenapa tidak yang satu lagi, yang memiliki senyuman semanis vanilla shake?

"Hee? Ternyata kita sekelas, Kuroko Tetsuya." Senyuman Seichirou mengembang, nyali Kuroko jadi ciut kembali.

Ingatkan Kuroko, ketika bel istirahat nanti ia harus cepat-cepat meninggalkan kelas ini.

Setelah Kuroko duduk di bangkunya—yang sialnya lagi harus dekat dengan bangku Akashi Seichirou, jam pelajaran pertama dimulai.

"Berhubung hari ini sensei sedang malas mengajar, kalian kerjakan soal latihan bab tiga dari halaman 89 sampai halaman 109." Ucap Imayoshi santai yang kemudian dibalas dengan sambutan tak terima dari para muridnya.

WHAT THE F*CK?!

.

.

Niat awalnya untuk kabur dari Akashi Seichirou saat bel istirahat berdering, mesti ia kubur dalam-dalam.

Kuroko harus mati-matian menjaga orchestra di dalam perutnya agar tidak berubah menjadi konser band rock, setelah Seichirou menyeretnya lagi ke tempat antah barantah di sudut sekolah.

"Mau apa kau?!" tangan kekar pemuda itu ia tangkis setelah mereka berhenti. Kuroko menatap nyalang lawwannya. Pokoknya ia harus berbuat sesuatu agar tidak kena tindas mulu!

"Kenapa tadi pagi kau seenaknya menyerobot sepedaku?" tanya Seichirou dingin.

Sepedanya? Kan Seijuurou yang menawarkan antar-jemput tadi. Kenapa harus aku yang disalahkan? Batin si biru muda.

Manik serupa langit tanpa awan, membalas tatapan heterokom angkuh. Ini orang Bro-con, ya? Alisnya menanjak naik.

"Seijuurou-kun yang menawarkanku tadi. Lagi juga, mana kutahu kalau itu sepedamu."

"Setidaknya tanya dulu sebelum asal pakai!"

Kuroko mendengus kesal. "Ya mana aku tau! Aku kan hanya ditawari boncengan cuma-cuma oleh Seijuurou-kun!"

Telinga Seichirou serasa panas mendengar panggilan sayang yang Kuroko tujukan untuk kakaknya.

Dasar anak itik polos, kalau begini terus caranya, bisa-bisa ia membangkitkan amarah sang singa!

Lenggang sejenak, Kuroko mundur beberapa langkah setelah merasakan aura yang tidak mengenakkan.

"Bersihkan gudang penyimpanan olahraga sekolah, dan pel seluruh lantai yang ada di asrama. Dan jangan lupa untuk menyikat lantai kamar mandi." Desis Seichirou yang kemudian meninggalkan Kuroko sendirian.

Entitas biru meringis kecil.

Ia tidak mengerti,

Kenapa semua hal yang ia lakukan terasa salah di hadapan Akashi Seichirou?

.

.

Seichirou menendang mesin penjual minuman di depannya dengan kasar. Tak peduli kalau mesin itu mungkin akan rusak nantinya.

Kaleng berisi kopi dingin dibuka. Minuman bercafein itu masuk ke dalam kerongkongannya. Dalam beberapa tegukkan, isi kaleng sudah kosong.

"Jangan terlalu sering menambah musuh," suara yang sangat tak asing menyeruak masuk ke telinganya. "Nanti kau malah menyusahkanku."

Seichirou merasa malas untuk memutar badannya. "Jangan campuri masalahku, nii-san."

Seijuurou mendengus, lalu mendekati mesin penjual minuman itu. dua keping logam dimasukkan. Kopi merk yang sama seperti yang Seichirou minum tadi menjadi pilihannya.

"Kau tidak bosan apa, menindas anak orang terus?"

Seichirou berbalik sambil menatap sinis kakaknya. "Aku tidak menindasnya, hanya memberinya pelajaran karena telah melempariku dengan sepatunya kemarin!"

"Tapi balasanmu keterlaluan, Seichirou. Kau sudah membuat Kuroko kesusahan. Padahal baru dua hari ia ada di tempat ini."

"Aku tidak peduli." Timpal si Akashi bungsu cepat.

"Kalau dia sakit karena terlalu banyak mengerjakan hukumanmu gimana? Kau mau bertanggung jawab? Anak itu tubuhnya mungil, tidak sanggup jika diberi banyak pekerjaan berat. Dan juga aku yakin kalau saat ia di rumah, ia tidak pernah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan itu."

"Tahu dari mana kau, tuan-maha-benar?"

Seijuurou menarik sudut bibirnya. "Hanya insting, tuan-maha-absolut."

.

.

Dua potong sandwich yang ia beli tadi siang, sama sekali tidak menenangkan isi perutnya yang kembali mengadakan konser orchestra season dua.

Biasanya, kalau sekolah gini, Kuroko pasti bawa bekal dari rumah. Bekal buatan sang ibu yang porsinya sesuai dengan isi perutnya. Namun sekarang, apa-apa harus sendiri. Termasuk dalam hal makanan. Jadi miris rasanya.

Uang bulanannya sih memang tidak sedikit. Tapi berkat perlakuan Seichirou tadi—yang menyeretnya ke pojokkan sekolah, Kuroko jadi sengsara kan sekarang!

Semua menu di kantin ludes terjual. Hanya tersisa beberapa potong sandwich isi sayuran—padahal kalau boleh jujur, Kuroko juga benci makan sayur. Tapi berhubung ke pepet, ya mau gimana lagi?

Sambil terus menyapu gudang yang diselimuti oleh debu-debu tipis, Kuroko merutuki kehadiran setan—ah tidak, iblis merah yang sudah merusak hari-hari barunya.

Pokoknya nanti kalau ia pulang ke Hokkaido, ia akan menceritakan seluruhnya ke keluarganya! Biar si Akashi yang satu itu tahu rasa kalau keluarganya mengunjunginya suatu saat nanti!

Kuroko menyerok debu-debu yang terkumpul dengan serokan, kemudian dibuang ke tempat sampah di samping pintu. Baru saja ia melangkahkan kaki mendekati benda tersebut, pintu gudang terbuka dari luar. Seorang pemuda agak hitam dengan rambut biru gelap masuk sembari menenteng beberapa buah bola basket di kedua tangannya.

"Anoo, bagian sebelah situ sudah disapu. Bisa tidak sepatunya dilepas dulu?"

Tidak dinotis oleh lawannya, Kuroko terpaksa mendekat.

"Anoo—"

"HWAAAA ADA HANTU!" pemuda itu tiba-tiba berjongkok sambil menutupi kedua daun telinganya dengan telapak tangan.

"Aku bukan hantu, aku Kuroko Tetsuya." Pipi putih pucat ia kembungkan, kesal.

Kepala bersurai biru navy diputar patah-patah. "Oh, kau rupanya," Ujarnya sambil berdiri. "Ada apa?"

Kuroko menunjuk tepat ke arah sepatunya. Pemuda itu mengernyit tak mengerti. "Sepatumu, tolong dilepas. Aku sudah memberikan yang sebelah situ."

"Oh," pemuda itu bergumam seraya melepas sepatu olahraganya dan ditaruh di depan pintu masuk. "Maaf. Kukira tak ada orang di sini tadi."

"Tidak apa. Aku sudah biasa kok." Meskipun ucapannya datar tanpa nada, tapi hati meringis malu. Hal kayak gini, apa yang harus dibanggakan coba?

"Ngomong-ngomong kau ngapain bersihin gudang? Disuruh Seichirou?"

Tepat sasaran!

"Kau kenal Akashi Seichirou?" Kuroko menatap lawannya intens.

Anggukan keluar sebagai jawaban. "Aku juga tinggal di Kiseki House. Kemarin aku melihatmu melawan si boncel merah itu sendirian. Lucu sekali, jarang-jarang lho ada orang yang berani menentang Akashi."

Kuroko malah mengerucutkan bibirnya, kesal. Kalau lihat kenapa tidak membelaku?

"Oh iya, aku Aomine Daiki, yang tinggal di kamar nomor 5," orang itu mengulurkan tangannya, mengajak si biru muda untuk menjabat tangannya. "Kau, er—Kuroko Tetsuya? Benarkan?"

"Iya, Kuroko Tetsuya desu, Aomine-kun."

"Sepertinya aku harus kembali berlatih. Maaf sudah mengganggu pekerjaanmu, Tetsu. Tapi perbuatan Seichirou itu jangan dimasukin ke hati. Dia orangnya baik kok." Aomine meletakkan bola basket yang ia bawa ke dalam keranjang basket, kemudian berlalu pergi setelah memakai sepatunya.

Sepeninggalan Aomine, Kuroko terdiam sejenak, mencoba untuk menelaah omongan kenalan barunya tadi.

Kalau baik, kenapa terus-terusan menyuruhku seperti pembantu? Gerutunya dalam batin.

.

.

Sebelum kembali ke asramanya, Kuroko menyempatkan diri ke mini market untuk membeli beberapa ramen cup dan makanan instan lainnya. Walau ia tahu makanan-makanan itu tidak sehat, tapi Kuroko tidak peduli. Yang penting perutnya tidak kelaparan.

Sebenarya, salah satu alasan—atau bahkan alasan utamanya sih, Kuroko tidak bisa masak. Menyalakan kompor saja ia tidak pernah. Tapi untungnya, di asrama ada dispenser. Jadi ia tak perlu khawatir.

Ingatkan Kuroko untuk berdoa di kuil terdekat akhir pekan ini!

Baru saja ia ingin keluar mini market, pintu otomatis tempat itu terbuka dan memuntahkan sosok Akashi Seichirou ke hadapannya.

Manik heterokom itu memandang sesaat tas belanja Kuroko. "Kau…," desisnya pelan.

Kuroko mengambil kuda-kuda, siapa tahu orang ini akan berbuat yang tidak-tidak kan?

Dan benar, lengan Kuroko dicengkaram. Tubuhnya terseret oleh kekuatan—calon—dominan di depannya. Sepertinya Akashi Seichirou ini punya hobi terselubung yakni menyeret tubuh mungil Kuroko Tetsuya.

"Ish, apaan lagi sih?!" Kuroko geram. Dalam satu hari, hal menyebalkan ini terjadi dua kali. Memangnya orang yang sok berkuasa ini tidak lihat apa kalau Kuroko juga punya dua buah kaki? Gak usah diseret-seret segala kan bisa.

Dalam sekejap, mereka berdua sudah sampai di asrama. Tanpa melepaskan cengkramannya, Seichirou membawa Kuroko ke dapur. Makhluk biru itu baru saja ingin melancarkan protesannya. "Duduk!" namun dengan satu kata itu, ia terpaksa bungkam.

Seichirou meraih celemek yang digantung di sudut ruangan. Tangannya telaten mengiris-iris sayuran yang ia ambil dari dalam kulkas.

Tak lama, sebuah sup sayur dan telur gulung lengkap dengan nasi putih tersaji di depan meja.

Kuroko memandang makanan-makanan itu dengan raut heran.

"Makan! Jangan sisakan sebutir nasi, atau kau akan tahu akibatnya!" Seichirou melenggang pergi, meninggalkan sosok Kuroko yang masih gagal paham dengan situasi yang terjadi.

Dari balik jendela dapur, Seijuurou terkekeh geli.

Sepertinya sang adik mulai tumbuh jadi dewasa.

Dan kekehannya lenyap setelah ia sadar satu hal,

Seichirou bukanlah lawan yang mudah untuk ditumbangkan.


To Be Continued


Kenapa saya malah memperbanyak hutang?! *nyakar tembok*

ya berhubung lagi keracunan trisum ini, tercetuslah ide baru /plak

semoga MC yg ini ga discontinued. Amin!

mind to Review?

kedip manis,

Hanyo4