disclaimer: vocaloid © yamaha dan pihak pengembang lainnya
warning: school setting, truly psycho.


Meski punya wajah tampan, Len Kagamine bukanlah orang yang suka dipuja-puja orang lain.

Len Kagamine terlalu payah dan lembek untuk bisa dipuji.

Dia bukan orang yang heroik dan ia lebih suka meringkuk di pojok kelas.

Karena itu kadang ia membawa silet dalam saku celananya, menggores tangannya.


Len Kagamine suka menyanyi. Aneh. Karena tidak ada orang yang mau mendengarkannya.

Pangeran terbelakang, pangeran tidak terkenal, pangeran transparan.

Pangeran bayangan.

Len Kagamine iri pada adik kembarnya yang luar biasa supel.


Len Kagamine menatap layar kaca, dimana sebuah film tengah tayang di atasnya.

Jarum panjang jam merangkak tanpa henti, menggapai angka dua belas dan kemudian jarum pendeknya bertemu angka sembilan. Film yang tertayang di depan televisi masih terbayang, Len sepertinya ketagihan, karena horor mengisi otaknya. Dimana darah bertebaran disana.

"Len! Udah jam sembilan malem! Gantian dong!" Seru adiknya.

"Diam."

Rin mendesis lalu menjauh dari ruang keluarga.

Len suka adegan horor.


Kadang, Len suka tertawa dengan ngeri menjalar dalam suaranya ketika Len temui sebuah adegan dimana tubuh seseorang tercabik dengan pisau; Len mencintainya, matanya diisi oleh darah, dan ambisinya dipenuh oleh jerit ngeri manusia yang baru saja mati.

Karena itu, kadang Len mengambil pisau daging dari dapur rumah, lalu memasukannya rapi ke dalam tas sekolahnya. Tersenyum, lalu berlalu dan mendekap guling dalam ranjang, Len pasti tengah bermimpi indah.


Besoknya ada Kaito dan Gakupo dan Kiyoteru dan Yuuma dan Piko di depan meja kelasnya.

Mereka berteriak, menjambak, tertawa (dengan suara jelek), lalu membuka kemeja Len tepat di dalam kelas. Perempuan di sana hanya tertawa meski sesekali merasa tertarik dengan Len. Jam istirahat paling mengerikan dalam hidupnya. JAM ISTIRAHAT PALING MENGERIKAN.

Marah. Len marah.

Len melangkah berdiri sementara gerombolan di depannya mengolok, Len mengambil sesuatu dalam tasnya, mengacungkannya ke udara. Tanpa pikir panjang, ia mengulang adegan favorit baginya di kehidupan nyatanya. Ia menusuk paru-paru, jantung, usus, otak, mulut, kuku jari, kaki, dan lambung mereka dalam cercaan tawa. Menjadi tontonan warga kelas.

Len suka sekali.

Di pojok kelas, banyak jeritan membahana, dan bercak darah tercetak di atas dinding, suara perempuan yang berteriak menjadi backsound adegan manis tersebut. Dimana Len akhirnya dapat tertawa riang. Tersenyum. Menambahkan lebih banyak irisan dalam organ.

Kemudian Len mengeluarkan korek api, membakar kelas; membiarkan dirinya ikut terbakar.

Panaaaaaaaaaaaaaaaaaaaas. Begitu komentarnya.

Tapi ia menikmatinya; maaf saja, ia benar-benar menikmatinya.

.


.

Salam sayang, Len Kagamine.

(Dongeng ini belum berakhir, maaf saja.)

.


.

Len melompat dari jendela, memegangi wajahnya yang terasa begitu panas.

Ia mendapat luka bakar. Parah. Mengerikan. Tapi ia tak mau mengobatinya.

Biar saja luka ini menggerogotinya; membuatnya tampak lebih tampan.

Ia mengangkat tangannya, dimana ototnya masih bisa menggenggam pisau.

Ia tahu, dirinya harus mencari orang lain yang bisa dibunuh.

(Kau selanjutnya?)


a/n: ratingnya udah pas belom?