Naruto © Masashi Kishimoto
Story by AiSiYA
Alternatif Universe
Warn: Typo(s), berusaha mungkin untuk menghindari OoC, bahasa agak frontal, terdapat adegan kekerasan, etc.
Enjoy
.
.
.
.
.
.
.
.
Sepasang kaki itu menghentak ke tanah dengan cukup keras, diikuti sepasang kaki yang lain. Beruntung pendaratan yang dilakukan cukup bagus, sehingga tidak ada kepala yang membentur kerasnya tanah.
Mereka cukup bisa menghela napas lega setelah beberapa menit lamanya mencoba menerobos pagar beton dengan kawat besi di atasnya.
Dua orang pelajar laki-laki. Yang satu berkulit putih porselin sedangkan satunya lagi agak kecoklatan eksotis. Masih memakai seragam sekolah, kemeja putih yang dilapisi sweater sekolah berwarna hitam, yang disekitar dada bagian kanan terdapat label sekolah.
Kedua pasang bola mata berbeda warna itu bergulir ke arah mana saja, mengintimidasi setiap bagian gang kecil dengan lebar tiga setengah meter.
"Hei, Sasuke, sekarang apa?"tanya Naruto-pemuda berambut pirang itu, menyenggol temannya yang masih berjaga-jaga.
Sedang yang dipanggil Sasuke-pemuda berambut hitam legam itu menoleh. "Hn. Sebaiknya cepat, mereka sudah menunggu." Ucapan dengan nada tenang itu mendapat respon anggukan setuju dari Naruto.
Mereka kembali berjaga-jaga dengan bola mata yang nampak was-was. Sebelum akhirnya sama-sama mengangguk serentak dan berbalik mengambil ancang-ancang untuk siap berlari.
"Hei, Anak Nakal!"
Baru saja mengambil satu langkah ke depan, seketika kedua pasang kaki itu membeku.
Oh, baiklah, dari suara beratnya saja sudah bisa ditebak siapa yang datang, walaupun kedua remaja itu belum mau berbalik menghadap asal suara. Mereka hanya saling pandang satu sama lain, dengan raut si Pirang yang nampak tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
Pria usia sekitar tiga puluh tahunan berseragam hitam itu masih berdiri dari jarak sepuluh meter, dengan tongkat hitam yang dimainkan di tangannya. Tersenyum licik, "Membolos saat jam ketiga. Uchiha, Uzumaki, kuharap kalian segera melapor kepada Kepala Sekolah atau aku yang akan menyeret kalian."
Saat itu juga air muka Naruto berubah drastis, bagai melihat tongkat andalan sang ibu yang melayang ke arah wajahnya. Naruto berharap bumi menelannya sekarang.
Ini gila, Zabuza-itu satpam paling mengerikan di sekolah yang tidak pandang bulu. Bisa saja pria itu menggunakan tongkat pentulannya untuk mematahkan leher siswa yang membolos.
Naruto meneguk saliva-nya. Mata birunya memandang Sasuke seolah memilih untuk mengikuti jalan keluar dari pemuda Uchiha itu. Naruto cukup bersyukur ia tengah bersama Sasuke, sekarang. Ayolah, dirinya tidak akan meragukan otak jenius itu.
Lain halnya dengan Sasuke, wajahnya nampak tenang ketika menoleh ke arah Naruto. Pemuda itu membasahi tenggorokannya sejenak, "Dalam hitung ke-tiga, bersiap untuk lari."
Naruto mengangguk. Ia tahu cara ini yang selalu dipakai. Cara seribu untuk kabur. Apalagi suara ketukan pelan dari sepatu pantofel terasa semakin dekat dan lebih terdengar.
Sasuke masih memandang Naruto, "Satu..." ucapnya sepelan mungkin.
"Dua..."
Kembali mengambil ancang-ancang dan, "Lari!"
Zabuza, satpam itu nampak tersentak sepersekian detik, yang akhirnya ikut berlari mengejar dua siswa tengik itu. Amarahnya seperti akan meletup, wajahnya nampak memerah karena emosi. Dua anak nakal itu, entah ke mana lagi tiga yang lainnya.
Sasuke dan Naruto berlari secepat mungkin melewati gang yang di kedua sisinya dihalangi tembok beton sekolah. Tidak peduli salah satu di antara mereka ada yang tertinggal, karena yang terpenting sekarang diri sendiri. Hingga akhirnya mereka tertahan di persimpangan antara dua jalur kiri dan kanan.
Mereka menoleh sedetik ke belakang. Benar-benar, ini cukup untuk jadi masalah yang mungkin melelahkan. Satpam itu masih saja mengejar dari arah belakang.
Sasuke dan Naruto saling pandang, hingga akhirnya mengangguk mantap.
Mereka kembali berlari. Namun kali ini dengan jalur yang berbeda. Sasuke ke jalur kanan sedangkan Naruto sebaliknya.
Tidak ada waktu untuk menoleh ke belakang, karena pasti akan mengurangi kinerja kaki. Yang terpenting adalah terus lari. Cepat, cepat, dan lebih cepat.
Naruto mendapatkan jalan setapak yang dipenuhi bebatuan kerikil terpatak di tanah.
Tanpa mengurangi kecepatan berlari, Naruto mencoba menoleh. Namun, belum sempat memutar kepala 90 derajat, kakinya tidak sengaja menabrak dahan pohon yang cukup sedang. Pemuda jabrik itu tersandung dengan lutut kanan yang duluan mencium tanah.
"Sialan!" umpatnya pada diri sendiri.
Sepertinya lututnya berdarah karena tidak sengaja mengenai batu berukuran satu kepal tangan bayi.
Mimpi buruk. Mungkin saja satpam yang tidak kurang seperti algojo itu ada di belakangnya dengan senyum seperti seorang psikopat. Sepertinya ia harus siap berada di rumahsakit dengan alat yang melingkari lehernya.
Napasnya mulai memburu, gugup melingkupi. Naruto menoleh cepat, menyiapkan kuda-kuda dengan ke-dua lengan yang menjadi tameng untuk kepala.
Tidak ada siapapun.
Naruto menghela napas panjang. Sekarang ia dapat menghirup oksigen dengan tenang, napasnya mulai beranjak normal.
Namun, satu menit setelahnya, tiba-tiba saja sebuah pemikiran terlintas di otaknya dengan cepat.
Kelopak matanya membulat sempurna, begitupula dengan mulutnya yang menganga.
"Sasuke!"
Di sisi lain, Sasuke terus berlari. Tidak memedulikan suara pria yang terus meneriakinya. Telinganya sengaja ia tulikan dengan sumpah serapah. Zabuza ternyata masih mengejarnya. Kedengarannya satpam itu berada cukup jauh.
Beruntung jalan setapak yang dilewati terlihat sepi, tidak ada siapapun yang lewat. Sebagian sisi jalan di tumbuhi pohon kering dengan daun berwarna oranye yang berguguran, sewarna pohon Momoji yang masih indah. Sekarang memang memasuki musim gugur minggu ke-delapan.
Rasa lelah mulai merayap di pergelangan kakinya. Napasnya mulai berubah pendek, beberapa tetes keringat memenuhi sisi wajahnya hingga ada yang mengalir. Ia harus mencari akal, jika tidak mungkin dirinya akan tertangkap.
Sambil terus berlari, bola mata hitam itu dengan cekatan melirik ke sana sini mencari sesuatu yang bisa membuatnya lepas. Sasuke sudah mulai lelah sekarang.
Beberapa meter dari kakinya melangkah, ada sebuah haluan yang mengarah ke kanan. Jalannya masih kecil, mungkin sekitar satu meter lebih ketika kakinya terus berlari.
"Hari keberuntungan," gumam Sasuke pelan, tersenyum miring menatap objek incarannya.
Pemuda itu segera berbelok. Jalan besar mulai terlihat di ujung sana. Perlu berpuluh langkah untuk sampai. Sasuke mulai mencari akal. Instingnya berkata jika teman-temannya menunggu di depan, Naruto pasti sudah menghubungi.
Sisi jalan kembali dihalangi pagar dinding. Perumahan kecil-yang hampir sama bentuknya berjejer bersembunyi di dalam sana. Ini terlalu rumit, seperti sebuah labirin.
Semakin cepat ia berlari, ngilu di pergelangan kaki dan lututnya terasa sedikit hilang. Langkahnya makin menggebu-gebu. Tidak peduli jika satpam itu sudah tidak mengejarnya lagi.
Sasuke hampir sampai di jalan besar, kurang dari satu meter, sebentar lagi ia akan berbelok tanpa mengurangi kecepatan laju kaki.
Tidak jauh dari persimpangan yang akan Sasuke lewati, terlihat seorang perempuan tengah membawa lima kotak pizza menggunakan kedua lengannya. Bersama pakaian hoodie coklat tebal membalut tubuh itu, ia berjalan di pinggir jalan raya. Raut wajahnya cerah di sela-sela bibir merah mudanya yang kadang tersenyum lucu.
Gadis itu hendak berbelok, sedangkan Sasuke masih berlari dan juga ikut berbelok. Hingga-
"Aw! Sialan bokongku!"
"Ugh..."
-keduanya tidak sengaja bertabrakan-cukup keras, saling terundur dengan bokong yang sama-sama mendarat duluan di jalan trotoar.
Sasuke merasakan ngilu. Kali ini semakin bertambah. Namun ia tidak sampai menjerit. Sekilas Sasuke melihat seseorang yang ia tabrak sebelum terjatuh. Hanya seorang gadis mungil biasa, mungkin. Tapi, sialnya tubuh itu mampu membuatnya terjerembab seperti sekarang.
"Jangan bergerak!"
Sasuke tersentak. Ia membuka matanya yang tadi sempat tertutup sebagai pelampiasan rasa sakit di bokongnya. Suara gadis itu terlalu cempreng untuk berteriak seperti seorang polisi yang memerintah buruannya.
Ceh. Sasuke membersihkan debu di bagian belakang tubuhnya sebelum berdiri tegap. Ia menatap remeh gadis yang masih terduduk di bawah sana dengan kedua tangan terulur ke depan seolah tengah memegang pistol.
Jujur saja, Sasuke harus mengakui jika wajah gadis itu cukup garang. Tanpa ada rasa takut sama sekali.
Pemuda itu berjalan pelan mendekati, "Hei, biar kuberi tahu, ya." Ia berhenti melangkah, berjongkok mensejajarkan tinggi dengan gadis yang tetap mempertahankan bibirnya yang terkatup sebal. "Kau, terlalu mungil untuk berlagak seperti seorang polisi."
Diakhiri dengan ketukan di kening sang gadis, dengan ujung jari telunjuk dan tengah, Sasuke sedikit tersenyum miring dan mendorong kepala tidak bersalah itu.
Dan ketika itupula, gadis itu perlahan menarik tangannya ke sisi tubuh.
Sudut siku-siku muncul. Wajah gadis itu langsung terkejut, seketika berubah menjadi semakin jengkel. Kedua tangan yang tengah menempel di aspal putih itu mengepal erat. "Kau jangan macam-mac-"
"Oi, Sasuke-teme!"
Sasuke langsung menoleh, gadis itu ikut mendongak. Kepala berambut pirang menyembul keluar dari kaca mobil penumpang Lamborgini hitam.
Walau tidak ingin terlalu menampakkannya, gadis itu tidak dapat menyembunyikan wajahnnya yang begitu kagum-yang pasti bukan karena pemuda pirang aneh itu.
Naruto, pemuda itu memberikan cengiran khasnya, "Kau masih sempat saja merayu gadis SMP, Teme," ucapnya geli. Namun, wajahnya tampak menggoda setengah mengejek dua orang yang masih bergeming di tempat semula.
Raut wajah gadis itu seolah mengatakan kata apa dengan nada bertanya sekaligus emosi, namun tidak dapat dilisan' kan saking terkejutnya. Terlihat dari kelopak matanya yang melebar dan bibirnya yang membentuk bulat kecil, ke-dua keningnya hampir menyatu. Mungkin ia merasa dipermalukan sekarang. Oleh seorang siswa SMA, pastinya.
Sasuke sejenak melirik gadis itu dan kembali memandang Naruto, "Dia hanya seorang gadis yang terlalu imajinatif." Seraya berdiri, Sasuke menunduk membalas tatapan penuh amarah gadis itu. Mulutnya hendak berkata-
"Hei, kalian! Dasar para anak-anak pembuat onar!"
Sasuke tersentak, sedang gadis itu semakin bingung. Seorang pria-yang tidak lain adalah Zabuza berlari mendekat. Walau terlihat tidak terlalu cepat seperti tadi, dalam hati Sasuke menyumpahi satpam yang kelewatan semangat itu.
Sasuke sempat gelagapan, segera melangkah cepat dan masuk ke dalam mobil Lamborgini hitam yang masih berada di pinggir jalan trotoar-bersama Naruto di bangku penumpang.
Mobil itu langsung menyala, roda empatnya berputar meninggalkan si Satpam yang terus mengejar melewati sang gadis yang masih terduduk shock dengan kejadian beberapa detik lalu.
Gadis itu masih terdiam-tetap dengan posisi ke-dua kaki yang melipat ke dalam sebagai alas bokongnya, seperti orang linglung. Hingga ia harus mencerna pristiwa tadi dengan otak yang tiba-tiba mengalami disfungsi. Matanya mengerjap beberapa kali. Sekarang ia kembali ke dalam sistem koneksi yang normal.
Satu hal yang membuat ia harus melebarkan matanya semakin besar, yang membuat dadanya meletup-letup, seolah ada kobaran api di bola mata indahnya.
Kotak-kotak yang isinya baru saja ia beli untuk di bawa ke tempat kerjanya. Entah sudah seperti apa bentuknya sekarang.
Ini lebih dari penghinaan.
"Pizza-ku! Sialan kau bocah!"
Sasuke mengernyit. Dari jarak berpuluh meter dari mobil, suara teriakan gadis itu samar-samar masih terdengar. Ia yakin, kalau gadis itu adalah seorang pemandu sorak tanpa harus menggunakan mikrofon. Sekarang Sasuke tahu mengapa suara ibunya begitu melengking.
Sasuke mendudukan tubuhnya kembali dengan benar, yang limabelas detik sebelumnya sedikit miring menatap ke arah kaca belakang.
Naruto menyikut perut bawah sebelah kiri Sasuke, "Aku baru tahu seleramu ternyata gadis SMP." Tersenyum miring, sedikit melirik teman di sebelahnya yang hanya memberikan jawaban dengan dengusan hidung.
Naruto begitu antusias sekarang. Mungkin karena pemuda yang juga teman kecil Sasuke itu baru pertamakali melihatnya berjarak dekat dengan perempuan, selain ibunya.
Sepertinya Sasuke harus menyumpal mulut cerewet Naruto menggunaka kain lap. Lihatlah sekarang, pemuda dengan tampang bodohnya terus saja bertanya tentang gadis tadi. Seandainya saja boleh, Sasuke ingin sekali menguliti temannya ini menggunakan silet.
Sepertinya begadang sambil menonton film tentang seorang psikopat yang pedofil tidak baik untuk Sasuke. Terutama itu terlalu menjijikan.
"Kita menghabiskan banyak waktu. Aku tidak tahu bagaimana keadaan Neji sekarang." Seorang pria berambut merah bata-dengan name tag Rei Gaara di seragamnya melirik ke belakang kursi penumpang, sambil terus mengemudikan mobil melewati sebuah gang, cukup muat untuk mereka lewati.
Suasana mendadak hening, lebih terasa ketegangannya. Empat orang yang ada di dalam mobil saling terdiam, bergelayut dalam pemikiran masing-masing. Naruto yang dalam ke sehariannya saja selalu tampil dengan lelucon, berubah menjadi serius.
Netra hitam Sasuke memandang dengan tegas ke arah kaca spion yang ada di atas kemudi depan. "Mereka menjegat Neji, aku bisa memprediksi. Mereka keroyokan untuk memancing kita," ucapnya membuka pembicaraan kembali.
Naruto mengangguk setuju di samping Sasuke, "Bagaimana kalau kita beri pelajaran untuk mereka?" Pemuda maniak ramen itu memandang satu per-satu temannya, meminta persetujuan.
Sasuke bergumam ambigu, seperti biasa, tanda ia setuju.
Gaara mengangguk, "Yeah, mungkin sebagai peregangan otot. Beberapa hari ini aku malas latihan."
Salah satu dari mereka menghela napas, seorang pemuda di samping Gaara yang sedari tadi hanya menjadi pendengar. Nara Shikamaru, pemuda itu berambut selaras dengan gaya nanas. "Sepertinya hari ini aku tidak dapat melihat awan dengan tenang," gumamnya pelan.
.
.
Bersambung.
Aku udah dapet gambaran untuk kelanjutan bab ini. Jadi, aku harap kalian suka sama ceritaku yg ini. Mungkin di bagian actionnya agak ga ngena nanti :'' tpi aku berusaha buat belajar lagi.
Delete or Next?
Aku tunggu tanggapan dari para readers. Mungkin jika berlanjut cerita akan di post 3 hari sekali atw paling lama 1 minggu.
Last, kritik, saran, concrit sangat aku hargai dan itu membantu untukku.
AiSiYA
