DISCLAIMER : HIRO MASHIMA
RATE : T (Teen/Remaja)
GENRE : CRIME/MYSTERY
WARNING : AU, A BIT OF OOC, 1ST POINT OF VIEW
.
.
.
Perkenalkan. Namaku adalah Gray Fulbuster. Pria berusia 24 tahun, berambut hitam, tubuh proporsional nan berotot, dan masih lajang. Maaf, seharusnya informasi kurang penting seperti ini tak sepantasnya aku beberkan. Yang terpenting, aku bekerja sebagai detektif resmi kepolisian Hargeon. Dan pada kesempatan kali ini aku akan menceritakan sebuah kisah yang kualami satu minggu yang lalu. Sebuah pengalaman yang cukup menarik dalam perjalanan karirku selama 3 tahun menyelesaikan berbagai macam kasus pembunuhan.
.
.
.
Langit sudah benar-benar gelap. Kumatikan AC mobilku karena udara di luar juga sudah benar-benar dingin, menembus kulit hingga menusuk tulang. Aku masih memacu mobil Honda Accord ini dengan kecepatan yang konstan berkisar 60 KM/H, menembus jalanan yang gelap di tengah hutan. Kulirikan kedua bola mataku yang sudah lelah karena mengantuk ini ke arah dashboard dimana terdapat panel yang menunjukan waktu disana. Pukul 21.35, sudah cukup larut dan waktunya untuk mengistirahatkan tubuhku yang lelah. Perjalanan panjang dari Hargeon menuju ibukota Crocus dalam rangka mengikuti pertemuan penting di CPD (Crocus Police Departement) HQ benar-benar menguras energi. Aku harus segera mencari penginapan secepatnya.
Di kejauhan, aku melihat sebuah plang besar yang diterangi oleh cahaya lampu bertuliskan WELCOME TO MAGNOLIA. Jadi aku sudah memasuki kawasan kota yang terkenal dengan keindahan alam dan perbukitannya itu. Tak lama setelah melewati plang tadi, kutengokan kepala ke kanan dan kiri guna mencari sebuah penginapan yang sekiranya layak untuk dijadikan tempat beristirahat selama semalam. Pandanganku tertuju pada sebuah hotel berlantai tiga, yang terlihat cukup besar tapi tidak terlalu mewah. Aku tak mau uangku habis hanya untuk menginap sebentar. Kuparkirkan sedan kesayanganku ini, dan langsung masuk menuju ke tempat resepsionis berada.
"Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?" Resepsionis wanita itu tersenyum ramah, seperti layaknya di penginapan manapun.
"Aku ingin bermalam disini. Kira-kira berapa biayanya?"
"Jika kamar kelas 2 biaya per malam 2000 jewel, kelas 1 3000 jewel, dan kelas VIP 4500 jewel" Ia menyodorkan buku tamu dan pulpen. "Lalu, apakah tuan jadi menginap di hotel kami?"
Aku berpikir sejenak. 3000 jewel untuk kamar kelas 1, kupikir itu harga yang pantas. "Baiklah, aku pesan satu kamar kelas 1. Kubayar langsung saja"
"Terima kasih tuan. Silahkan kunci kamarnya. Semoga mendapat malam yang menyenangkan disini" Wanita resepsionis itu menyerahkan sebuah kunci kecil padaku. Kunci nomor 206.
Hotel ini cukup bagus juga. Pelayanan awalnya pun tidak buruk, benar-benar ramah. Kunaiki tangga menuju lantai dua dan secepatnya mencari kamar dengan nomor 206 di sekitar situ.
Tiba-tiba ada yang mencegat langkahku.
"Permisi pak, apakah benar kamar 208 di sekitar sini?" Seorang wanita berambut merah panjang bertanya tiba-tiba kepadaku.
"I..iya benar. Ini kan lantai dua jadi kurasa kamar 208 di sekitar sini. Aku juga sedang mencari kamar nomor 206" Jawabku.
Wanita bertubuh seksi itu tersenyum hangat "Ohh begitu. Jadi kamar kita berdekatan dong? Kenalkan. Namaku Erza Scarlet pak" Ia menyodorkan tangan kanannya, mengajak untuk bersalaman.
Aku menjabat tangannya "Gray, Gray Fulbuster. Dan kumohon nona, jangan panggil aku pak karena aku masih lajang" Ucapku dengan penekanan intonasi pada bagian 'jangan panggil aku pak'.
"Hohoho, maaf-maaf. Aku kira kau sudah beristri. Kau terlihat cukup tua sih" Ia tertawa ringan.
'Cukup dewasa adalah kata yang lebih sopan lagi daripada cukup tua bodoh' Batinku sedikit kesal.
"Erza..."
Kami berdua menoleh. Seorang pria berambut biru tua dengan sebuah goresan mirip tato di mata kanannya sedang berdiri di depan pintu, tubuhnya bersandar ke pintu itu.
"Sayang? Aku pikir kau masih dibawah?" Wanita cantik bernama Erza itu menghampiri pria yang mungkin adalah kekasihnya.
Pria itu kemudian mengecup singkat kening wanitanya "Aku tadi naik lewat tangga di sisi yang lainnya, jadinya kau tidak melihatku saat aku naik"
Aku menundukan kepala singkat saat pria itu menatapku. Ia pun membalasnya dengan sopan.
"Sayang, kenalkan. Dia adalah tetangga kamar kita di kamar nomor 206. Namanya Gray Fulbuster" Erza mendekatkan pria itu ke arahku.
"Salam kenal Gray-san. Perkenalkan, namaku Jellal Fernandes. Panggil saja Jellal" Ia berojigi.
"Salam kenal juga Jellal-san"
"Ngomong-ngomong, anda menginap disini karena kemalaman atau apa?" Pria bernama Jellal itu membuka pembicaraan lebih leluasa lagi.
"Aku kebetulan sudah kelelahan malam ini. Jadi kuputuskan untuk bermalam di hotel bernama Moonlight ini sebelum besok paginya melanjutkan perjalanan menuju ibukota, Crocus" Kataku panjang lebar.
Kemudian Jellal menepuk pundakku berulang kali "Crocus? Sama! Aku dan kekasihku juga atasanku besok siang akan berangkat ke kota Crocus dalam rangka tugas pekerjaan. O ya Erza, mana Gildarts-san? Dia belum sampai juga?"
Erza menggeleng pelan "Tadi saat aku sedang di depan resepsionis dia menelponku karena ingin membeli makanan sebentar di sebuah kedai. Tapi hingga pukul 21.55 ini belum juga sampai"
"O ya Gray-san, ngomong-ngomong apa pekerjaanmu?" Tanya pria di hadapnku ini lagi.
"Aku ... yah semacam pegawai biasa seperti itu lah. Yah, pegawai negeri"
Perlu diketahui, menjadi seorang detektif itu bukanlah hal yang dapat dijadikan sebagai ajang pamer atau main-main. Sebaiknya kita harus selalu dapat menjaga kerahasiaan identitas kita kapanpun, dimanapun, dan kepada siapapun. Menjadi seorang yang biasa bergumul di dunia pembunuhan dan kriminal harusnya sanggup memiliki pola pikir skeptis, tidak mudah percaya sekalipun kepada orang terdekat.
"Pegawai negeri ya? Pekerjaan yang bagus. Kalau aku bekerja sebagai manajer keuangan di sebuah perusahaan konveksi di ibukota Gray-san"
Aku mengangguk saja. "Lalu istrimu itu juga bekerja di perusahaan yang sama?" Telunjukku mengarah ke wanita berambut merah yang sedang membuka pintu kamar dengan kuncinya.
"Dia? Tidak-tidak. Erza baru saja lulus dari Universitas di kota Crocus, jurusan arsitektur. Dan baginya mencari pekerjaan bukanlah hal yang pantas dikhawatirkan" Jelas Jellal.
"Mengapa?"
"Kau mau tahu?" Pria itu mendekatkan wajahnya ke samping telingaku, kemudian berbisik lirih "Orang tuanya kaya raya"
Aku menanggapinya dengan candaan "Ohh, ya ya ya"
"Sayang, ayo lekas masuk kamar" Sebuah suara wanita menginterupsi pembicaraan kami.
Jellal menengok ke belakang "Sekarang? Kita tinggal saja Gildarts-san, begitu?"
"Tidak lah. Lihat itu" Telunjuk lentiknya terarah ke tangga, dimana terlihat seorang pria tinggi besar berambut klimis kecoklatan sedang menaiki tangga sembari menjinjing beberapa plastik berisi makanan.
"Yo Jellal"
"Gildart-san? Lama sekali anda. Habis darimana saja?"
Pria cukup umur bernama Gildarts itu menggaruk belakang rambutnya sambil terkekeh "Hehehe, biasa. Antrian di kedai Rex Burger benar-benar panjang. Jadi ya begini, hehe"
"O ya. Gray-san, kenalkan ini Gildarts-san. Atasanku yang juga merupakan wakil direktur di perusahaan kami"
Aku menundukan kepala singkat "Salam kenal. Namaku Gray Fulbuster"
"Oke. Gray ya? Dan kau ... apanya Jellal?" Pria berambut cokelat itu menatapku dengan penasaran.
"Kami semua baru saja berkenalan di koridor lantai dua ini. Aku kebetulan menginap di kamar nomor 206. Jadi kita adalah tetangga kamar" Kataku.
Gildarts mengubek-ubek saku kanannya, kemudian mengeluarkan sebuah kunci kamar "Lihat? Kamarku nomor 207. Jadi kita semua nomornya saling berurutan ya? Hahaha"
Tak terasa pembicaraan penuh basa-basi ini telah memakan banyak waktu. Kulirikan mataku ke jam yang dikenakan pada tangan kiri, pukul 22.16. Saatnya tidur.
"Baiklah semuanya. Aku undur diri dulu karena sudah malam. Gildarts-san, Jellal-san, dan Erza-san. Senang berkenalan dengan kalian bertiga" Ucapku ramah. Aku menundukan tubuhku sebelum beranjak masuk ke dalam kamar yang letaknya persis di samping kamar sepasang kekasih itu.
Malam sudah semakin larut. Hotel ini terbilang cukup sepi juga. Hanya kami berempatlah yang terakhir terlihat di sekitar koridor lantai dua. Paling yang lewat hanyalah beberapa pelayan, dan itu cuma sesekali.
Sudah berkali-kali aku mencoba untuk memejamkan mata tapi hasilnya nihil. Aku tak kunjung memasuki alam mimpi, dan tetap terjaga. Berulang kali juga kuganti posisi tidur dari mulai terlentang, miring, tertelungkup, tapi juga sia-sia. Kurang lebih 45 menit sudah waktu berlalu semenjak aku pertama kali merebahkan tubuh di ranjang ini, dan tak juga tertidur. Jadi kuputuskan untuk bangun, menyalakan lampu kamar, dan berniat untuk berjalan-jalan sebentar keluar kamar.
Saat kubuka pintu perlahan, tiba-tiba saja telingaku menangkap sebuah suara. Percakapan lirih antara seorang pria dan wanita. Aku jujur kenal suara sang pria, itu Jellal yang barusan tadi berkenalan. Tapi suara sang wanitanya bukanlah Erza. Jadi aku membuka pintu sepelan mungkin dan sebisa mungkin pintu ini jangan sampai terlihat terbuka, karena aku ingin mendengar pembicaraan mereka berdua. Lumayan daripada tidak bisa terlelap di dalam.
"Jellal-kun, sudah kubilang jangan lagi"
"Tapi Mirajane, kau tahu? Aku menginginkanmu lebih..."
"Sekali tidak ya tidak!"
"Psst, jangan keras-keras cantik. Nanti ada yang mendengar. Dan aku tidak mau Erza mendengarnya"
"Lepaskan aku Jellal-kun..."
Satu kata langsung memenuhi pikiranku. Selingkuh. Ternyata pria bernama Jellal Fernandes itu adalah seorang playboy. Aku tahu ini bukan urusanku, apalagi kami baru saja saling mengenal. Tapi yang aku heran, siapa wanita bernama Mirajane itu? Kupikir manajer keuangan itu hanya menyebutkan ia datang kesini bersama kekasihnya yang berambut merah itu, dan wakil direkturnya yang bernama Gildarts. Tidak ada yang lain. Ini cukup menarik, hmm.
Kututup kembali pintu kamar sepelan mungkin agar sepasang insan yang sedang sibuk berselingkuh itu tidak menyadarinya. Mataku benar-benar mengantuk kali ini. Semoga saja aku bisa tertidur pulas.
Begitu kurebahkan tubuh ini sekali lagi, aku pun terlelap.
X
X
X
X
X
"KYAAAAAA! TOLOOONGGGG!"
Mataku terasa berat dan perih. Jam dinding masih menunjukan pukul 05.53, masih cukup pagi. Aku ingin masuk kembali ke alam mimpi karena tidurku belum tuntas.
"TOLOONGG! TOLOONNGGG! Siapapun kumohon kemariii!"
Suara ini bukanlah halusinasi ataupun mimpi yang tertinggal. Ini adalah suara teriakan minta tolong yang nyata. Segera aku bangkit dari tempat tidur secepat mungkin dan berlari keluar kamar.
Di luar beberapa orang berkumpul di samping kamarku. Para pelayan maupun tamu hotel sedang mengerumuni sesuatu di kamar nomer 208. Itu kamar tempat Jellal dan Erza bermalam!
"Ada apa ini? Ada apa ini?" Tanyaku lantang sembari menerobos beberapa orang yang berdiri di pintu kamar 208.
"Anda sebaiknya jangan masuk anak muda. Sepertinya ada yang kejadian buruk di dalam sana" Saran seorang wanita tua kepadaku.
Aku tak mempedulikan hal itu. Setelah sampai di dalam, aku segera disuguhi pemandangan yang sudah biasa kutemui saat bertugas.
Seorang pria berambut biru tua dengan corak tato berwarna merah di mata kanannya, sudah tergeletak kaku di lantai. Wajahnya pucat, dan di sekelilingnya terdapat pecahan gelas dan ceceran kopi hitam.
"Siapa yang sudah menyentuhnya?" Tanyaku lantang dan keras kepada semua yang ada disitu.
Satu per satu menggeleng dengan raut muka penuh ketakutan. Mungkin orang-orang ini baru pernah menyaksikan secara langsung kematian tak wajar seperti ini dengan mata kepala.
Bagus, tidak ada yang menyentuhnya berarti tak ada sidik jari yang mengganggu proses penyidikan. Kutoleh ke samping kanan dan mendapati Erza kekasih korban, sedang duduk di pojokan dengan tubuh bergetar. Wajahnya terlihat syok dan amat pucat. Telunjuknya terus menunjuk-nunjuk ke tubuh kekasihnya yang tergeletak di lantai.
"Erza-san, kau tidak menyentuh tubuhnya kan?" Tanyaku cukup cemas.
Wanita berambut panjang itu menggeleng berulang kali.
"D..dia su..sudaahh mma..mmaa..tiii"
Kuamati secara seksama ceceran kopi yang ada disitu, juga pecahan gelasnya sekalian. Sepertinya memang ini bukan kematian normal atau wajar. Ini adalah pembunuhan!
-TSUZUKU-
Halooo readers, author kali ini melakukan uji coba lagi dengan fic ini. Genre Angst udah, Hurt/Comfort udah, Poetry udah, Spiritual baru aja kemarin. Sekarang gantian genre Crime/Mystery.
Gimana? Pasti jelek ya? Maklum, author kan bukan penulis sekelas Agatha Christie atau Sir Arthur Conan Doyle hehehe.
O ya, di chapter satu ini kalau cermat pasti bisa menemukan kejanggalan yang bisa dijadikan petunjuk kecil nantinya. Apa hayooo? Bisa tahu apa nggak?
Makasih ya udah membaca fic ini!
