OKEEY! i'm back with the sekuel of Our Life Story! ada yang nunggu? (re: ga) oke ga jadi aku publish T.T
lama banget ya? gomenne
habis pas mau ngelanjutin, adek aku malah ngeganggu. gak konsen jadinya -_-
oh ya, kalau ada yg blm baca Our Life Story, baca dulu aja ya. biar ga pusing pas baca ini :)
Disclaimer: Boboiboy dkk punya animonsta. aku minjem lagi :3
Warning: Typo(s), GaJe, kalimat dan kata yang berbelit, family, No pairing, No super power, dll :3
langsung aja deh ya.
Happy reading guys!
Enjoy it (^^)/
Gempa Pov
Biasanya, anak tengah itu yang paling dekat dengan kakak adiknya. Dan ini adalah hal yang aku rasakan sekarang.
Kehilangan Taufan, berarti kehilangan satu-satunya adik yang aku miliki.
Memang sudah beberapa hari sejak Taufan meninggal. Namun, sauranya itu, suara polos dan cerianya yang memanggil namaku itu, masih terngiang dikepalaku.
Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Aku menyesal. Aku kesal. Aku takut. Rasanya itu seperti - ingin mati? Ya, aku ingin mati saja. Aku sudah tak kuat lagi menganggung samua rasa yang menyakitkan ini. Aku ingin lenyap. Aku ingin semua perasaan ini hilang. Aku ingin bertemu lagi dengan adik kecilku. Aku ingin melihat mukanya sekali lagi. Aku ingin mendengar suaranya yang memanggilku dengan panggilan Kakak sekali lagi.
Aku sekarang berada dikamarku. Yah, bisa dibilang kamarku dulu, sejak kebakaran itu, aku dan Kak Hali tinggal di rumah Tok Aba. Kamar yang dulunya rapih ini, sekarang sudah tampak berantakan, buku-buku juga kertas-kertas berserakan dimana-mana. Aku tengkurap menenggelamkan mukaku dalam bantal berwarna kuning bercorak biru yang sekarang sudah basah terkena air mataku. Ya, sejak hari itu, aku selalu menangis. Menangis mengingat masa-masa disaat Taufan masih hidup.
Kata orang-orang, sikapku berubah. Aku yang dulunya ceria ini, sekarang menjadi pemurung. Aku memang sudah tak mau berbicara dengan orang lain lagi setelah kejadian itu. Yang selalu aku pikirkan hanyalah Taufan.
Sebagian waktuku aku gunakan di dalam kamarku sekarang. Kamarku, tempat dimana aku bisa dengan leluasa melakukan hal yang bisa dibilang privasi. Tempat dimana aku bisa menangis sepuas-puasnya. Tempat dimana aku akan selalu melihat foto Taufan dan mengingat kenangan-kenanganku bersamanya. Tempat dimana aku menenggelamkan mukaku dalam bantal dan menangis berteriak sesuka hati. Tempat dimana Taufan selalu datang setiap hari untuk mengajakku bermain ataupun mengerjakan PR. Tempat dimana - . Yah, terlalu banyak kenangan dalam ruangan ini.
Atok sekarang tinggal ditempat lain, tak lagi menempati rumah ini. Aku tidak tahu dimana tempatnya, yang aku tahu, Atok sekarang pindah ke rumah lain dan akan menetap disana. Meninggalkan kedua cucunya yang sedang bersedih ini sendirian di rumahnya.
Rumah yang sekarang kami tempati ini, sepi. Tak ada lagi teriakan yang biasa kudengar dari kakak dan adikku. Aku rindu suara gertakan dari Kak Hali yang lalu akan disangkal oleh Taufan. Aku rindu disaat Taufan selalu mengerjai Kak Hali yang akhirnya selalu menjadi pertengkaran antara merekea berdua dan Taufan pasti memanggil namaku meminta pertolongan dariku.
Aku masih menangis didalam bantal mengingat masa-masa itu. Kenangan yang indah.
Tok Tok Tok
Aku segera tersadar dari lamunanku, 'Kak Hali?'. Aku duduk, dan mengelap air mataku menggunakan kaus berwarna jingga bergambar skateboard yang sekarang sedang kukenakan. Aku berdiri dan berjalan kearah pintu kamarku. Aku membuka pintu. Dan benar, itu Kak Hali.
"Kenapa Kak?"
"Sudah masuk waktu maghrib, cepat wudhu. Aku tunggu dibawah."
"Ya."
Aku berlari kecil ke kamar mandi dan berwudhu. Lalu, aku menuruni tangga menuju lantai 1 tempat dimana Kak Hali sudah menungguku.
"Ayo cepat, nanti ketinggalan."
Aku mengangguk dan berjalan mengikuti Kak Hali menuju masjid tempat kami bertiga biasa sholat. Bertiga, berarti disaat masih ada Taufan ya? Dia selalu membuat perjalanan menuju masjid yang sepi menjadi seru. Taufanlah yang membuat aku menjadi suka pergi ke masjid. Perkataannya, obrolannya, juga candaannya yang terkadang tidak lucu itu memecah suasana hening di jalan menuju masjid.
Dan sekarang, tanpanya, perjalanan menuju masjid ini - sepi, hening, tanpa suara.
0oOOo0
Di sekolah, aku tidak banyak bicara. Aku hanya diam duduk di tempat dudukku yaang berada di barisan palning pinggir dekat jendela. Aku menyender ke sandaran kursi sambil mendongak melihat ke langit biru cerah berawan yang tampak luas. Tatapanku kosong, aku hanya bisa membayangkan Taufan yang sedang berlari kecil dan memanggilku dengan separuh badannya yang tersembunyi di belakang pintu untuk mengajakku pergi ke kantin bersama.
"Gempa."
Aku tersadar dari lamunanku dan menoleh kearah sumber suara. Yaya. Itu Yaya, sahabatku di kelas ini.
"Melamun terus, kenapa?"
Satu suara lagi. Ying. Sahabatku yang lain.
"Ng.. nggak kok. Ga kenapa-napa." jawabku dengan senyum tipis atau paksaan yang muncul dari mulutku. Dan aku tahu, kalau kedua sahabatku ini tahu apa yang sedang aku pikirkan.
"Taufan?"
'right to the point. You read my mind'
"Bisa tolong tidak membicarakan HAL itu?" Tanyaku pada mereka berdua dengan nada kesal juga jengkel.
Aku beranjak dari tempat dudukku dan berjalan keluar kelas dengan cepat. Aku tidak mau mengingat saat-saat terakhir Taufan. Aku tidak suka orang yang menanyakan tentang Taufan padaku, karena hal itu akan mengingatkanku pada malam saat Taufan dikuburkan. Dan itu, menyakitkan.
Aku pergi ke kantin. Membeli makanan. Dan mencari tempat duduk. Aku melihat Kak Hali yang sedang duduk memakan nasi goreng dengan telur juga beberapa kerupuk diatasnya. Aku berjalan mendekati Kak Hali.
"Kak." aku memanggil Kak Hali sebelum duduk disebelahnya.
"Kenapa?" jawabnya sambil menoleh ke arahku.
"Ng... aku boleh duduk disebelah Kakak?"
"Silahkan saja. Tidak ada yang melarang."
"Terima kasih." aku pun duduk disebelah Kak Hali.
Aku bingung. Kenapa sikap Kak Hali masih biasa saja seperti saat sebelum Taufan meninggal? Apa dia tidak punya rasa bersalah? Apa dia tidak merasa sedih? Aku ingin menanyakan hal itu padanya. Namun, sepertinya tidak baik menanyakan hal seperti itu pada Kak Hali.
Aku mulai memakan mie yang aku beli tadi. Sedikit demi sedikit. Aku melirik ke arah Kak Hali juga nasi gorengnya. Sudah habis. Kenapa Kak Hali tidak ke kelas duluan? Kalaupun menunggu, kelas kita kan beda gedung?
Beberapa menit kemudian, aku memasukkan suapan terakhir ke dalam mulutku. Dan akhirnya, makananku habis. Aku menoleh kearah Kak Hali. Dia sedang mendengarkan musik dengan earphone putihnya yang dipakai sebelah. Kebiasaan Kak Hali sejak lama.
Aku memanggil Kak Hali. "Kak."
"Mm?" Kak Hali melirik melihat kearahku. Mata merahnya itu memang menyeramkan. Namun, aku tahu, dibalik keseramannya itu, ada kasih sayang yang sangat untuk kedua adiknya. Yah, aku bersyukur mempunyai kakak sepertinya.
"Kakak ga balik ke kelas?" Tanyaku.
"Ya sudah, ayo." Kak Hali berdiri dan berjalan pergi mendahuluiku. Yah, mungkin dia memang menungguku.
Aku juga berjalan mengikuti Kak Hali, berpisah di jalan menuju gedung yang berbeda, dan berjalan ke kelas masing-masing.
Sepanjang perjalanan, untuk pertama kalinya, yang ada dipikiranku adalah Kak Hali. Apa dia merasa kehilangan? Tentu saja. Apa dia merasa sedih? Pasti. Tapi, sikapnya sama sekali tidak berubah, masih dingin seperti dulu. Sejak sikapku berubah, aku dan Kak Hali jadi jarang mengobrol. Bahkan, jika mengobrol menghabiskan waktu, mungkin bisa dibilang tidak pernah lagi. Aku terlalu sibuk menghabiskan waktuku sendirian di dalam kamar. Dan Kak Hali? Entahlah, aku tidak tahu apa yang dilakukannya.
Akhirnya, aku melihat pintu kelasku yang terbuat dari kayu dan berwarna coklat, serta coretan-coretan dari spidol dan tip-x yag menghiasi pintu tersebut.
Aku menapakan kakiku, masuk ke dalam kelas yang kini menurutku adalah kelas yang 'mengesalkan'. Aku jadi tidak suka dengan kelas ini. Terlalu banyak orang yang menanyakan tentang Taufan. Dan itu, well, aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya. Tapi mereka seperti mengingatkanku pada, i don't know, something like - nightmare? Dan aku tidak suka itu. Tentu saja, siapa yang suka jika seseorang mengingatkannya tentang peristiwa-peristiwa buruk yang menimpanya?
Aku masuk ke dalam kelas yang menyebalkan ini. Dan seperti biasa, aku duduk di kursiku dan mendongak melihat langit yang berada di luar jendela. Mendung. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan.
Pelajaran kuikuti tanpa bisa berkonsentrasi. Bahkan, aku sama sekali tidak memerhatikan guru yang sedang menjelaskan pelajaran di depan kelas. Aku capek. Sudah bertambah lagi daftar orang-orang yang menanyakan Taufan padaku. Aku tidak suka.
KRIIING...
Akhirnya, selesai. Akhirnya aku bisa terbebas dari pertanyaan-pertanyaan tentang Hal itu padaku.
Aku beranjak dari tempat duduk dan berjalan keluar kelas, menuju gerbang sekolah. Sesampainya, aku berhenti sesaat. Kuambil HP ku dari dalam tas dan menyalakannya. Dan foto kami bertiga langsung muncul dari layar HPku itu. Foto itu, ketika kami berada di Dufan. Saat kami sedang memasuki wahana Rumah Jahil yang isinya cermin. Berteriak, tertawa, juga tersenyum bersama. Dan hal itu tak kan bisa terulang lagi.
Tes Tes Tes
"Hm?". Air. Gerimis ya? Sudah mau hujan. Dan aku tidak membawa payung. Bodohnya diriku ini. Biasanya, jika sudah begini, Taufan akan menghampiriku dan menyodorkan payungnya padaku. Dia memang selalu membawa payung cadangan. Katanya, dia takut kalau salah satu dari kakaknya ini tidak membawa payung, lalu kehujanan, dan nanti malah sakit. Taufan itu, memang perhatian orangnya.
"Kak, Kak Gempa ga bawa payung? Nih, aku ada dua. Kakak pakai satu ya. Daripada nanti kehujanan."
Biasanya, Taufan akan mengatakan itu sambil menyodorkan salah satu payungnya padaku. Dengan senyumannya yang polos juga mata birunya yang menyipit senang.
Dan sekarang, sekali lagi. Aku ingin hal itu terulang kembali. Aku ingin mendengar suaranya lagi. Aku ingin melihat wajahnya lagi. Aku ingin memeluknya lagi. Aku rindu padanya. Aku ingin bertemu lagi dengannya. Aku ingin Taufan menawarkan salah satu payungnya lagi padaku. Dan itu, tak kan pernah terjadi lagi.
"Ga bawa payung? Nih, aku bawa dua. Yang satu kamu pakai saja."
"Eh?" seseorang menyodorkan payungnya padaku.
Itu, siapa? Aku berhenti menatap layar HPku dan mendongak melihat orang yang menawarkan payungnya.
"Ah, Kak Hali."
"Kenapa?"
'Kenapa kata-kata Kak Hali mirip sama Taufan?' aku ingin menanyakan itu. Tapi -,"Ng, nggak jadi deh." jawabku.
"Kenapa kata-kataku mirip Taufan?"Oke, you read my mind.
"Hehe. Mmm, iya. Kakak tahu darimana?" aku mengambil menerima payung dari Kak Hali.
"Taufan juga pernah menawarkan payungnya padaku. Dan kata-kata itu yang dia ucapkan saat menyodorkan payungnya."
"Oh."Oke, karena Kak Hali, kenangan tentang Taufan terulang lagi di pikiranku.
"Sudahlah, ayo pulang. Nanti hujannya bertambah lebat." ajak Kak Hali.
Aku hanya mengangguk, menaruh ponselku ke dalam tas, membuka payung, dan berjalan mengikuti Kak Hali.
0oOOo0
"Kak Hali mau kemana?" tanyaku.
"Mau kerja kelompok. Pulangnya agak sore palingan." jawabnya.
"Oh, ya sudah. Hati-hati ya Kak."
"Iya. Kalau ada apa-apa SMS saja ya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
Kak Hali berjalan keluar rumah dan menutup pintunya. Aneh, padahal diluar sedang hujan. Kenapa tidak dibatalkan saja?
Tapi, memang ya, anak SMA tugas kelompoknya banyak. Sudah beberapa hari ini Kak Hali ada kerja kelompok. Padahal baru pulang sekolah dan ganti baju, lalu, langsung pergi lagi.
"Hhh." aku mendesah pasrah. Padahal, dulu kita sering menghabiskan waktu bersama di ruang keluarga. Sudahlah, jangan mengingat masa-masa itu lagi.
Aku berjalan ke ruang keluarga, duduk diatas sofa, dan mengambil sketchbook yang diberikan Taufan padaku dulu. Aku membolak-balikan halaman buku itu. Putih. Kosong. Belum ada satupun gambar.
Yah, aku memang belum menggambar bahkan menyentuh lembaran putih itu dengan pensilku. Mungkin, aku terlalu sibuk memikirkan Taufan. Mungkin, aku terlalu sibuk di dalam kamarku menangis karenanya.
'Bodoh, kenapa aku malah jadi mengingat Dia?' Aku menutup sketchbook itu. Dan kulihat, ada kertas yang terselip diantara lembaran-lembaran buku itu. Aku mengambilnya dan membukanya. Tak kusangka, aku mulai menangis. Kertas ini, surat terakhir yang diberikan Taufan padaku. Surat yang ia tulis sendiri karena Kak Hali tidak mau menulisnya. Surat sebagai pelengkap dari hadiah ulang tahunku yang ia ambil dalam kobaran api. Surat yang isinya adalah harapan juga do'a yang ditujukannya padaku.
Aku mulai menangis lagi. Aku memegang surat itu dengan erat sampai membuat surat itu lecek. Air mataku juga menetes membasahi surat itu. Pandanganku mulai pudar karena air mataku yang menghalanginya. Aku mengingat masa-masa ketika aku bersama Taufan. Sungguh, menyakitkan. Aku membungkuk sambil memegang erat surat itu dengan kedua tanganku, dan menangis berteriak sekencang-kencangnya.
Aku tak tahan. Aku meneriaki nama Taufan berkali-kali. Aku mengelap air mataku dengan lengan bajuku yang berwarna hijau bergaris biru. Aku mengambil ponselku, menyalakannya, dan mengetik pesan pada kakakku, sambil menangis. Setelah selesai, aku menekan tulisan 'Send' yang tertera dilayar Hpku.
Setelah itu, aku pergi ke kamarku mengambil jaket dan topi kesayanganku dan memakainya. Aku berlari menuruni tangga ke lantai 1 dan pergi berlari keluar rumah meninggalkan Hpku yang tergeletak diatas meja.
0ooOoo0
Entah sudah berapa lama aku berlari. Kakiku sudah mulai sakit. Topi dan jaketku juga sudah basah karena hujan deras yang menemaniku selama aku berlari.
Sampai akhirnya aku berhenti dipinggir tebing dengan air yang mengalir deras dibawahnya.
Apa yang aku lakukan? Ah iya, aku - mau bunuh diri. Aku sudah tak tahan lagi. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak ingin menanggung semua ini. Aku ingin semua ini pergi menghilang. Tapi, apa aku siap? Apa aku berani? Bagaimana dengan Kak Hali, kakakku satu-satunya itu? Pusing. Dan aku tidak mau memikirkan itu lagi.
Hujan yang deras ini, mengaburkan pandangan. Aku mulai melangkah mendekati ujung tebing itu.
Aku siap. Aku ingin mati. Aku ingin bertemu Taufan. Aku tidak mau mendengar pertanyaan tentang Taufan lagi.
Aku berjalan sedikit demi sedikit menuju titik ujung tebing itu. Saat aku ingin menjatuhkan diriku. Aku merasakan ada yang menarik tanganku. Aku menoleh kebelakang. Pandanganku buram, sehingga aku tidak bisa melihat dengan jelas orang yang menarikku. Beberapa saat kemudian, aku mulai bisa mengenali orang itu.
"Kak Hali?"
"Gempa, BODOH!" bentak orang itu padaku. Dan kurasa, ini pertama kalinya Kak Hali benar-benar marah padaku.
Pandanganku kabur. Aku tidak bisa mendengar suara Kak Hali degan jelas. Aku hanya bisa melihat mulut Kak Hali yang terbuka menutup. Jika dilihat dari mukanya, sepertinya dia marah padaku. Tentu saja, aku memang bodoh. Siapa yang tidak akan marah melihat teman atau saudaranya mengambil keputusan untuk bunuh diri. Dan Kak Hali, menangis? Aku bisa melihat mata Kak Hali yang merah juga air mata yang mengalir dipipinya. Jaket yang dikenakannya juga basah terkena hujan. Sepertinya, dia berlari mencariku sejak tadi.
Aku mendekatinya dan menyenderkan diriku pada dekapannya. Pandanganku mulai kabur dan buram.
"Gempa? Gempa!"
Dan kata-kata Kak Hali itu yang terakhir aku dengar sebelum pandanganku menjadi hitam total.
0oOOo0
Aku membuka mataku. Dan hal pertama yang aku lihat adalah atap berwarna putih polos. Aku melirik ke kanan, dan aku melihat Ying dan Yaya sedang duduk berbincang membicarakan sesuatu. Aku melirik ke kiri, dan aku melihat Kak Hali yang sepertinya tertidur saat sedang duduk disampingku. Dia duduk diatas kursi dengan badannya yang membungkuk dan kepalanya yang berada diatas kasur dengan kedua tangannya yang menutupinya.
Aku mencoba untuk duduk, tapi badanku terasa sakit semua. Dan sepertinya, Ying melihat aku sudah terbangun dan segera memberikanku air putih.
"Gempa, akhirnya kau bangun juga. Nih, minum dulu."
Aku akhirnya duduk dan menerima meminum air putih pemberian Ying.
"Sebenarnya, apa yang terjadi? Kenapa aku bisa disini? Dan Kak Hali?" pertanyaan bertubi-tubi kulontarkan pada kedua sahabatku itu.
"Ssstt. Pelan-pelan dong." Yaya menaruh jari telunjuknya didepan mulutnya, "Jadi begini, disaat kamu pingsan, Kak Halilintar membopongmu dan menyuruh kami membantunya. Kak Halilintar menyuruh kami untuk pergi ke rumahnya dan membawakanmu pakaian ganti. Sementara itu, Kak Halilintar membawamu kesini ditengah hujan lebat." Lanjutnya.
"Dia bahkan tidak mau makan dan ingin menunggumu disini sampai kamu bangun." aku menoleh ke arah sumber suara. Kak Fang. Ternyata dia baru masuk ke ruangan ini bersama Gopal.
"Kak Gempa, Kakak tidak apa-apa kan?" tanya Gopal.
"Mmm, sudah tidak apa-apa, hanya saja, masih sakit sedikit." jawabku sambil tersenyum.
Aku menoleh ke arah Kak Hali. Masih tertidur. Aku pun mulai bebincang-bincang dengan teman-temanku dengan suara yang pelan supaya tidak membangunkan Kak Hali.
"Ng?"
Sepertinya, Kak Hali terbangun karena percakapan kami.
"Kak Hali." aku memanggilnya.
"Gempa? Sudah sadar?" Kak Hali mulai membenarkan posisi duduknya sambil mengucek-ucek matanya.
"Iya. Kak Hali makan dulu saja. Kakak belum makan kan?" tanyaku padanya sembari memberikan separuh roti yang diberikan Gopal padaku pada Kak Hali.
"Eh? Iya. Mm, makasih. Gempa tahu dari mana aku belum makan?" ucapnya.
"Tuh." aku menunjuk ke arah teman-temanku yang berada dibelakangnu sebagai jawaban.
"Oh."
Aku berhenti memakan rotiku, "Mmm, Kak."
"Apa?"
"Makasih ya sudah peduli sama aku." Kataku.
"Kan kamu adikku satu-satunya sekarang. Nggak mungkin aku tinggal kan?" balasnya. "Gempa, tentang kematia Taufan, kamu tidak usah menagis lagi karenanya. Kamu kan masih punya Kakak dan teman-teman yang peduli sama kamu. OK?" lanjutnya.
"Hehehe. Oke Kak!" jawabku sambil mengacungkan jempolku.
"Janji ya?" Kak Hali mengacungkan jari kelingkingnya.
"Em. Aku janji!" aku mangangguk dan membalas mengacungkan kelingkingku sebagai tanda janjiku.
"Dasar, kayak anak kecil saja." Tiba-tiba Kak Fang berbicara.
"Hei. Memang kamu nggak kayak anak kecil?" balas Kak Hali dengan nada suara dan tatapan dinginnya pada Fang.
"Hoy! Kalau aku anak kecil berarti kamu bocah!"
"Siapa yang bocah hah? Kamu kali!"
"Kamu yang bocah!"
"Kamu!"
"Kamu!"
Yah, dan terjadilah adu mulut antar Kak Hali dan Kak Fang. Aku hanya bisa tersenyum geli melihat kelakuan mereka berdua. Syukurlah aku masih punya Kakak yang baik hati dan perhartian seperti Kak Hali.
Hey Taufan, sepertinya mulai sekarang, sketchbook yang kamu berikan padaku akan mulai terisi dengan gambar-gambarku. Aku tidak akan menangis karenamu, tapi, aku akan selalu mengingatmu. Miss you Taufan.
Gempa Pov end
Huaa... aku ga nyangka ibu aku bakal ngedukung aku bikin cerita ini... X'D senangnya diriku... :') #malahcurhat
Oke, jadi gini ya, sekarang Gempa Pov, chap depan bakal Halilintar Pov. oke?
dan sorry kalo feelingnya ga ngena ya (_ _) diriku ini sudah berusaha :')
Oh ya, tentang Stars, kayaknya bakal update lama deh. sorry ya, tapi itu juga tergantung sih. jadi ditunggu aja :)
Terakhir, review please
