.

.

SEMENJAK ADA DIRIMU

A Naruto Fanfic by Naara Azuya

Disclaimer : Masashi Kishimoto

—A Multichapter—

.

.

Bolt menatap kotak makan siangnya. Tidak ada sushi bento favoritnya yang melambungkan gairah makan di sana. Bukannya dia tidak menghargai onigiri bulat telur dan potongan okonomiyaki yang mengisi bekalnya, hanya saja ia merasakan perbedaan yang belum ingin ia rasakan.

Sudah memasuki hari ketiga mamanya menjalani rawat inap di Rumah Sakit Konoha, berarti sudah hari ketiga juga papanya bereksperimen dengan bumbu dapur dan bahan masakan di pagi hari. Sambil meraup onigiri dan sepotong okonomiyaki yang bentuknya agak berantakan, Bolt menatap teman-teman sepermainannya. Sarada, Inojin, Shikadai, dan Chouchou yang semuanya saling memamerkan isi kotak makan siang mereka—tak terkecuali Sarada.

"Bolt-kun, kau mulung, ne." Chouchou menyenggol pinggang Bolt. Kelima balita itu menikmati makan siang di beranda rumah keluarga Inuzuka, di atas karpet kotak-kotak tipis milik Tamaki selepas bermain dengan kucing-kucing milik kerabat papa Sarada itu. "Apa sih bekal makan siangmu?" Gadis kecil bertubuh tambun itu menjulurkan kepalanya.

"Biasa saja, kok." Gumam Bolt sambil menghabiskan onigiri di tangannya. Inojin memiringkan kepala, menggeser tubuh mendekati bocah yang memiliki rambut nyaris sewarna dengannya itu. Dia menatap kotak makan Bolt, mengangguk-angguk.

"Papamu yang membuat, ya?" tanya Inojin setelah menelan setengah potong mochi dengan cepat. Bolt mengangguk pelan, membuat Shikadai dan Sarada ikut mendekatinya.

"Telihat jelas, ya?" lirih pemilik mata biru cerah itu.

"Sedikit belantakan, menulutku." Komentar Shikadai. Dia menatap penasaran sajian yang menurutnya dikerjakan dengan sangat buru-buru. Melihat wajah masam temannya, bocah Nara itu menjulurkan tangan kecilnya dan bertanya, "Boleh kucoba?"

Bolt mengulurkan kotak bekal berbentuk katak hijau itu. "Uhm. Silahkan." Shikadai mengambil sepotong okonomiyaki, Inojin sepotong onigiri, dan Chouchou memilih keduanya. Ketiga anak itu mengunyah beberapa kali, lalu mengerutkan kening perlahan. Melihat itu, Sarada mengulurkan kotak bekalnya.

"Mau mencoba dango? Papa membuatnya pagi ini, entah bagaimana lasanya menulutmu, kalna papa benci makanan manis." Sarada tersenyum tipis saat Bolt meraih sebuah dari kotak bekalnya. Uzumaki itu mengangguk dan tersenyum simpul saat menelannya. Tidak buruk.

"Sasuke-ojichan memang tidak suka yang manis, Salada-chan. Tapi dango lasa teh hijau bukan ide buluk." Celetuk Chouchou yang ternyata sudah ikut berpartisipasi dalam pencicipan karya Tuan Uchiha itu. "Ah, masakan papamu bisa dimakan, kok, Bolt-kun."

"Ya, kalau Chouchou yang mengatakan, belalti memang sepelti itu." Bolt mengangguk sambil menyeka remah makanan di bibirnya. Dia lalu beralih pada Shikadai dan Inojin yang masih mengecap mulut mereka. "Jadi?"

"Tidak buluk." Inojin mengangguk. Dia berkata jujur. "Empuk dan lembut, walau agak lengket di sini." Pewaris Toko Bunga Yamanaka itu menunjuk langit-langit mulutnya.

"Uhm. Aligatou. Ne, Shikadai?"

Shikadai baru saja menyisakan tiga perempat isi air mineral di botol jinjingnya. "Hokage-sama tentu bekelja kelas untuk okonomiyaki itu." Shikadai menegakkan telapak tangan kirinya, dan mengepalkan yang kanan. "Lumayan. Kulasa, lima dali sepuluh."

Bolt menatap kembali bekalnya yang sebagian "dihabiskan" dengan sukarela oleh kedua temannya. Dia teringat dengan yakisoba bengkak—bekal yang dibuat papanya di hari pertama mamanya menjalani rawat inap—yang membuat Hiashi sendiri turun tangan membuat lima porsi kecil yakisoba sekaligus untuk makan siang tambahan kelima bocah yang kala itu berkunjung ke kediaman Hyuuga untuk berlatih di dojo. Ah, dan jangan lupa gyoza yang kulitnya terbuka dan mengeluarkan aroma aneh yang membuat perut Bolt terisi oleh berbagai bekal dari teman-temannya.

Sungguh, masakan lezat yang bisa dibuat sendiri oleh papanya hanya ramen—beri perhatian lebih pada miso ramen yang membuat Bolt jatuh cinta pada olahan mie berkuah itu.

"Oh, di sini kau rupanya, Bolt." Pria bertato taring di kedua pipi keluar dari dalam rumah bersama wanita berambut coklat yang membawa nampan dengan tujuh gelas tinggi berisi sencha dingin dengan gula batu yang masih padat di atasnya. Bolt menoleh pada mantan rekan tim mamanya itu, mengangkat alis.

"Ada apa, oji-chan?" Dia tidak memperhatikan Tamaki yang sudah duduk dan membagikan gelas-gelas sencha ke depan setiap anak. Kiba tersenyum lebar, menampakkan taringnya yang sedikit menonjol.

"Ne, kau sudah menjadi aniki Bolt." Sarada, Inojin, Shikadai, dan Chouchou menatap Kiba dan Tamaki bergantian. Tamaki mengangguk, tersenyum ke arah Bolt yang duduk membatu.

"Nani? Hontou ni, oba-san?" seru keempat bocah itu bersamaan. Bolt menatap Kiba sangsi. Sudah sekian kali pria pecinta anjing itu mempermainkannya.

"Kau sudah punya akachan sekarang, Bolt." Tamaki menambahkan, membuat Bolt tahu bahwa itu bukan kebohongan. Kiba berjongkok, menyeringai sambil mengacak rambut kuning Bolt. "Seorang imouto, lebih tepatnya."

Mulut Bolt membuka. Bayangan bento sedap penuh kejutan kembali menghampiri kepalanya, seolah menendang ingatan tentang tiga sajian yang membuat wajahnya semasam Sandaime Tsuchikage belakangan ini.

"Ahaha...haha..." wajah Bolt berbinar. Pandangannya cerah, pikirannya segar, dan perutnya terasa hangat. Dia menjilat bibir sambil mencengkram perut. Senyum lebar terlengkung di wajahnya, nyaris menyamarkan dua goresan kembar di pipinya.

Mama akan keluar dari rumah sakit.

Hilanglah yakisoba bengkak.

Musnahlah gyoza aneh.

Tak ada onigiri yang lengket di langit-langit mulut.

Tidak ada lagi okonomiyaki berantakan.

Mama akan kembali membuat bento untuknya.

"BANZAI!" Bolt berdiri dari posisi duduknya, mengacungkan kedua tangan terkepal. Tanpa mengingat kotak bekal dan gelas sencha di depannya, bocah itu melompat dari beranda dan menginjak sandalnya sebelum melarikan diri ke rumah sakit dengan bertelanjang kaki.

"Bolt-kun!" Tamaki menjulurkan tangan kaget saat debu halus menimpa hidungnya. Kiba menggelengkan kepala sambil mendecakkan lidah—masih dengan senyum di wajahnya.

"Dia benar-benar anak Naruto rupanya." Ujarnya sambil tertawa setelahnya. Sarada dan Shikadai menatap Bolt yang hanya menyisakan kepulan debu akibat langkah kakinya.

"Halus ada yang mengantal kotak bekal dan sandal Bolt." Sahut Inojin yang dibalas anggukan dan senyum Tamaki. Sarada dan Shikadai menggelengkan kepala sambil meraih sencha mereka.

"Ne, Tamaki-obasan, sencha Bolt untukku saja, ya?"

Celetuk polos Chouchou itu membuat Kiba tertawa keras. "Benar-benar anak Chouji!"

.

.

.

Perawat, dokter, dan staf rumah sakit dibuat kaget dengan kehadiran seorang bocah tanpa alas kaki yang melesat di lorong rumah sakit tepat setelah Hokage berteriak histeris saat seorang perawat mengabarkan kelahiran bayinya. Rambut dan mata yang sewarna antara kedua orang itu membuat para staf hanya menggelengkan kepala penuh keheranan saat mengingat nama Hyuuga yang—walaupun secara sangat tidak langsung—disandang kedua biang ricuh tersebut.

Tak ada yang habis pikir.

"MAMA!" Bolt menggebrak pintu kamar setelah sebelumnya memelankan langkah di meja resepsionis. Seorang pria yang duduk di tepi ranjang dan seorang wanita yang setengah duduk di atas ranjang di dalam sana tersenyum padanya—dan ah, ada seseorang lagi di sana.

Bayangan bento menari di kepalanya.

"Jangan berisik, sayang." Sahut Hinata pelan. Naruto mengulurkan tangan sambil menepuk paha dengan tangan satunya, membuat Bolt duduk diam di pangkungan sang Nanadaime Hokage. Mata Bolt membulat saat melihat sosok kecil berambut indigo gelap di pelukan mamanya. Dia berbalut selimut merah muda, dan tampak sedikit mengerutkan wajah saat mendengar suara Bolt.

"Konnichiwa, Bolt-niichan." Naruto mengecup puncak kepala Bolt yang memandang Hinata dengan binar bahagia di wajahnya. "Anak papa sudah menjadi aniki rupanya, ya."

"Ucapkan salam pada Himawari-chan, Bolt." Ujar Hinata lembut. Bolt mengangguk.

"Selamat datang, Himawali-chan." Bolt sedikit ragu saat mengatakan itu. Dia tidak melihat sesuatu pun pada fisik bayi itu yang serupa dengan bunga matahari. "Mungkin lebih cocok kalau lambutnya kuning." Batinnya.

Ah, lupakan. Bolt menggeleng pelan, lalu kembali menatap Hinata penuh harap.

"Ne, mama akan memasak bento untukku lagi, kan?" tanyanya polos. Hinata menatapnya, Naruto juga. Tawa kecil menggema di ruangan itu.

"Serindu itukah kau pada masakan mama?" Naruto mengacak rambut Bolt. "Atau sebenci itukah kau pada masakan papa, hei?"

Bolt mengangkat bahu, menatap kedua orang tuanya bergantian. "Tidak buluk, kok."

Senyum lebar dan tawa renyah memenuhi telinga Bolt. Dia menganggap respon itu sebagai tanda bahwa bentonya akan kembali seperti semula. Ikut tertawa, dia memamerkan gigi putihnya. Tangannya mengelus perut dan bergumam, "Ne, Perut-san, kita akan senang lagi'ttebasa!"

Hei, apakah sesederhana itu, Bolt sayang?

.

.

.