Gintama (c) Hideaki Sorachi
.
.
.
Okita paham betul, lelaki yang ia panggil Danna itu menaruh rasa pada Hijikata.
Okita mengonfirmasikan hal tersebut ketika Yorozuya Gin-chan mendapat pekerjaan dari Kondo Isao untuk membenarkan atap-atap rumah Shinsegumi. Ketika itu, ia tidak sengaja memergoki sang Danna, tengah mengecup mesra bibir nikotin Hijikata yang tertidur di ruang kerjanya.
Setelah kejadian tersebut, Okita semakin peka. Ketika Danna dan Hijikata bertemu secara tidak sengaja, keduanya akan langsung melirik satu sama lain, terutama Danna yang melembutkan tatapan hingga pipi Hijikata bersemu tipis. Perasaan Okita bergejolak. Ia merasa sangat terkhianati. Tidakkah dua pria itu merasa bersalah terhadap mendiang Mitsuba? Kepergian kakaknya itu sudah cukup membawa derita buatnya. Menyadari bahwa ada cinta yang terjalin di atas kematian penuh derita, membuat pemuda berambut cokelat itu kian membenci keduanya.
Meskipun perasaan Hijikata masih belum pasti, Okita tetap tidak suka. Bisa-bisanya bajingan itu jatuh cinta setelah meninggalkan perempuan dalam ketidakpastian hingga kematiannya. Bukannya Okita tidak percaya perkataan Kondo-san tentang Hijikata yang balas mencintai Mitsuba, hanya saja untuk kondisi saat ini, perkataan itu terasa sangat salah buatnya.
Pemuda sadis itu memutuskan untuk mengonfirmasi secara terang-terangan. Ia mengajak sang Danna untuk makan dango bersama pada sebuah siang dengan mentari yang berpijar.
"yo, Okita-kun."
Sejujurnya Okita tidak terlalu heran kenapa lelaki bebal macam Hijikata bisa jatuh pada pria berpakaian aneh ini. Ia pribadi menganggap sang Danna sebagai sosok yang menarik, syukur dirinya sudah terlanjur cinta pada sosok gadis China, sebelum banting arah menjadi penyuka sesama.
"yo Danna."
Pemilik surai perak itu duduk di sampingnya. Dua piring dango yang telah Okita pesan sebelumnya tersaji di tengah-tengah mereka, sang Danna menatap lapar sementara Okita sendiri sibuk memikirkan kata-kata.
"sedang cuti, Okita-kun?"
Satu dango cepat dikunyah Danna tanpa sepengetahuan Okita. Yang ditanya tersenyum biasa, mengedikkan bahu. Okita menyimpan katana di samping kursi tempat mereka duduk.
"aiya, sedang bolos saja."
"bolos itu tidak baik, Okita-kun. Sebagai orang tua yang tidak berguna, aku sangat menyayangkan perbuatanmu. Masa muda itu harus dipenuhi dengan semangat bekerja, kalau tidak kau akan jadi serabutan sepertiku nantinya."
Danna mulai berceramah, kian giat menghabiskan dango bahkan jatah Okita pun dilahapnya. Si rambut cokelat hanya tertawa kaku, tidak ada niatan untuk protes tentang dango, ataupun ceramah Danna yang sebenarnya tidak terlalu pantas terucap dari bibir pekerja tidak jelas sepertinya.
Meskipun berkata begitu, Okita tahu persis bahwa banyak yang jatuh hati pada sosok pemalas ini. Pria bernama lengkap Sakata Gintoki itu seolah diselimuti karisma misterius, mampu menarik perhatian orang-orang di sekitarnya, terbungkus apik dengan sikap santai dan sableng yang sejujurnya begitu unik buatnya.
"aku tahu kau mengajakku kesini untuk sesuatu, Okita-kun."
Insting tajam yang tidak tanggung-tanggung. Sakata Gintoki begitu peka akan keganjilan sekecil apapun itu, hingga Okita merasa bahwa ia tidak perlu ragu apalagi menutupi niatnya.
Sempat terpikirkan ulang, apakah tidak apa-apa Okita mengonfirmasi hal yang bersifat privasi ini pada Danna. Tapi tidak ada gunanya jika ia mundur sekarang, pria di sampingnya itu sudah terlanjur tahu tentang maksud Okita, pun Okita yang sudah benar-benar ingin mengklarifikasi sekaligus mencurahkan pertanyaan berselimut kekecewaan pada Danna.
"langsung ke intinya saja. Danna, apakah kau menyukai Hijikata-san?"
Dari lubuk hati yang paling dalam, Okita masih mengharapkan reaksi Danna yang tiba-tiba tersedak, atau refleks menabok kepalanya kemudian protes tentang pertanyaan konyol macam apa itu. Namun sang Danna yang hanya diam dan menatapnya membuat Okita menahan napas, sepertinya ia sudah tidak membutuhkan jawaban.
"katakan, Okita-kun. Apa kau membenciku, atau membenci Hijikata karena ini?"
Karena ini. Jadi benar, dua pria yang diam-diam ia kagumi itu saling menaruh rasa suka.
Okita tertawa sebentar, kepala menunduk menahan amarah. Nada bicaranya getir, "kau sudah tahu, Danna."
Helaan napas dikeluarkan Danna keras-keras. Pria berambut perak itu menggaruk belakang kepala, alisnya berkerut keras.
"tapi, jika dipikirkan lagi, perasaanku terhadap Hijikata, sama sekali tidak ada hubungannya dengan kakakmu –"
"Danna! Kau tahu, aku sudah menganggapmu sebagai sahabat, bahkan aku mengagumimu sebagai seorang samurai. Tidakkah kau merasa bersalah atas perasaanmu itu?"
Pemilik toko dango tempat mereka berbincang itu diam memperhatikan dari arah belakang. Okita menaikkan oktaf suara, Danna menggigit bibir. Detik selanjutnya, Okita melebarkan mata. Ia melirik sang Danna, tengah memegangi kepala dengan sebelah tangan, terlihat frustasi dan menahan umpatan.
"Danna –"
"aku merasa berdosa, Okita-kun."
Okita terdiam.
"sebagian dari diriku menganggap bahwa perasaan ini tidak salah, kau tidak bisa menyalahkanku hanya karena kita sudah dekat kemudian kau membawa- bawa perasaan kakakmu terhadap Hijikata. Mau dilihat dari manapun juga, aku tetap tidak ada hubungannya denganmu, dengan Hijikata, atau dengan kakakmu."
Benar. Apa yang Danna katakan memang benar. Tapi Okita merasa tidak suka.
"sebagian lain dari diriku menganggap bahwa perasaan ini adalah dosa, mengotori perasaan kakakmu yang jauh lebih lama ada dan bertahan. Tapi, kurasa kau tahu sendiri, bagaimana sulitnya mengendalikan perasaan terhadap orang yang nyaris tiap hari bertemu, bahkan begitu mudah untuk kau sentuh dan kau jangkau."
Benar. Itu benar. Okita juga merasakannya, terhadap Kagura yang tidak kunjung peka.
"bahkan Hijikata menolak untuk kusentuh. Ia memikirkan perasaanmu."
Danna tertawa pelan. Merasa lucu, malu, dan juga tidak menentu. Okita masih diam dan memproses perkataan Danna. Pria berambut perak itu menghela napas lagi, berdiri kemudian memunggungi Okita.
"tunggu, Danna –"
"aku minta maaf, Okita-kun. Aku tidak akan melanjutkannya jika kau masih merasa kecewa."
Kemudian, sang Danna pergi. Beberapa keping koin uang ditinggalkan sang pemilik, membisu bersama Okita yang terbawa bingung dan frustasi. []
.
.
.
.
.
.
.
.
.
TBC
.
Danke, Tchüß!
Ore
