.
Bab I
First Encounter
.
o-o-O-o-o
.
Shinya memutuskan untuk bergerak cepat.
Kaki menghentak tanah dengan kuat, menyisakan jejak kaki dalam yang jelas di tengah-tengah udara subuh yang menusuk tulang. Tangan memegangi bahu yang bolong terkena tembakan revolver. Darah merembes, basah dan menetes-netes pada siku berbalut pakaian lusuh sobek-sobek miliknya.
Tidak ada waktu yang tersisa.
Shinya sudah tak memiliki harapan lagi untuk tetap tinggal di kota itu. Semuanya tidak akan menjadi sama lagi.
Angin yang menghempas ke wajahnya tak menjadi halangan. Selama ia bisa lolos dari kerangkeng maut berwujud sophisticated city ini, Shinya akan melakukan apapun.
Termasuk menggebrak keluar dari pos keamanan berpenjagaan delapan orang.
Shinya menerobos, menendangkan kakinya kuat-kuat pada setiap perut yang ia lihat. Kakinya memang kuat, tapi tidak sekuat biasanya. Luka bekas revolverdi bahu kirinya masih menyedot nyaris semua tenaga yang tersisa.
Pada akhirnya, setelah sekian lama strugglingdengan 'tembok' berdaging, Shinya berhasil lolos dari pos penjagaan itu meskipun terpaksa menerima suvenir berupa bibir yang sobek habis ditonjok.
Shinya mengusap dagunya yang basah oleh lumuran darah. Lalu kembali berlari.
Sampai akhirnya dia menjajaki bukit yang muram, gelap oleh cahaya subuh yang pekat.
Shinya sudah berlari selama berjam-jam, berhasil mengarungi jarak tiga mil dari kota terkutuk itu.
Napas memendek, energi sudah kosong. Kakinya bergetar lemah, lalu ambruk di atas tanah berumput kasar. Kepala menyeruduk ranting berujung tajam yang tergeletak ditinggalkan di tanah kering. Wajahnya luka dan berdarah.
Kesadarannya sudah berada di ambang akhir. Sayup-sayup suara angin tak bisa lagi ia dengar, hanya bisikan lirih nyaris tanpa suara dan menyesakkan. Biasan sinar matahari yang perlahan mulai merangkak naik tak bisa dirasa lagi. Sensibilitasnya nyaris pupus.
Di tengah kesadaran yang bergerak meninggalkan pikirannya, Shinya bisa merasakan kehadiran sesosok figur yang berdiri membelakangi cahaya. Tubuh kontras menantang horison, menghalangi sinar dan menggelapkan wajahnya.
Sosok itu diam mematung selama semenit. Hanya dadanyalah yang bergerak menarik dan membuang napas. Jarum jam tak nampak terasa begitu santer terdengar oleh telinga imajiner, Shinya menolak untuk membuka mata dan menatap apa yang ada di hadapannya.
.
o-o-O-o-o
.
Suara ayunan kapak beradu dengan kayu membangunkannya.
Shinya tersentak saat membuka mata. Tubuh kaku bagai beton. Keringat dingin melumuri tubuhnya, membuat kulit langsatnya mengkilap basah.
Matanya liar menjelajahi sepenjuru ruangan, sama sekali tidak mengenali dimana dia berada. Otaknya berputar cepat, memproses segala input yang didapat oleh semua indranya. Tapi tetap saja, tidak ada satupun yang masuk akal.
Begitu terdengar sekali lagi suara kapak menghantam kayu, Shinya terlonjak kaget. Bahunya yang terbalut perban tebal membentur headboarddengan menyakitkan.
"Ugh, shit!" umpatnya kesal. Tangan kanannya berlari memegangi bahu, meskipun tahu ia tidak bisa mengurangi rasa sakitnya.
Ia menunggu beberapa menit sampai rasa sakit dan menusuk di bahunya hilang, lalu mulai bersandar dengan sangat hati-hati pada headboard. Kemudian matanya kembali mencermati sekeliling.
Kamar ini jauh lebih kecil dari miliknya di kota. Hanya sebuah ruangan dengan luas tiga kali tiga meter. Dengan satu ranjang sempit dan meja kursi berbahan kayu murah yang sudah mulai lapuk. Lemari di ujung ruangan sudah setengah dimakan rayap. Kacanya lebar namun sedikit pecah dan kotor. Bagaimanapun Shinya tetap tidak bisa melihat refleksi dirinya sendiri di atas permukaan cermin itu.
Mata Shinya menangkap sesuatu di atas meja. Ada sepotong roti bulat yang diletakkan di atas tatakan piring kecil. Di sampingnya terdapat cangkir berisi sesuatu yang panas, menguarkan asap tipis beraroma mirip teh.
Shinya diam sebentar, lalu merasakan dirinya tiba-tiba lapar. Ia sambar roti bulat itu dari atas tatakan, lalu segera mengganyangnya hingga tidak bersisa. Persetan dengan etika meja makan. Rasa lapar membuatnya melupakan segala etika makan yang sudah ia pelajari sejak kecil. Setelah potongan roti itu lolos ke dalam saluran kerongkongannya, Shinya mengambil cangkir putih kusam itu lalu menghirup aroma tehnya. Ia menggumam puas. Ini memang bukan aroma teh kesukaannya sewaktu masih di kota, tapi tetap tidak kalah wanginya. Rasanya pun jauh lebih kuat dan berkarakter.
Shinya hanya diam mendengarkan suara kapak yang bersahut-sahutan membentur kayu. Ia menolehkan kepala memandangi jendela kecil yang tertutup rapat. Tidak ada pemandangan yang bisa ia lihat karena jendelanya memang terhalangi korden abu-abu yang jelek sekali. Shinya mendesah. Udara disini agak rasanya mencekik.
Setelah menit-menit silih berganti, Shinya memutuskan untuk menjelajah tempat ini. Ia harus mencari tahu siapa orang yang sudah menyelamatkannya bahkan memberinya makanan. Ia sudah bosan menunggu di kamar yang pengap dan gelap itu.
Jadi, Shinya berusaha bangkit bangun dari tempat tidur. Menemukan sepasang sandal usang di bawah tempat tidur lalu memakainya. Selimut ia sampirkan ke bahunya.
Ia berjalan pelan-pelan. Sangat memperhatikan bahunya agar tidak terlalu banyak digerakkan. Pintu kamar ia buka, lalu ia terobos keluar. Yang ia lihat di luar hanyalah sebuah ruangan dengan sofa cokelat usang dan perapian yang tungku apinya sudah padam.
"Halo?" Shinya memanggil, tapi tidak ada sahutan.
Di luar, suara kapak masih kedengaran.
Shinya bergerak menuju pintu utama. Memutar lalu menarik kenop longgarnya.
Begitu pintu terbuka, udara dingin langsung terasa menusuk-nusuk. Meskipun begitu, Shinya masih nekat keluar. Selimut ia eratkan.
Di luar, suara kapak itu terdengar lebih jelas. Ia berjalan menuju ke sisi kanan bangunan rumah, menjumpai sumber bunyi itu.
Di sana, ia melihat pemuda berambut gelap yang sedang mengelap keringatnya yang bercucuran di pelipis. Tangannya kemudian bergerak menggenggam gagang sebuah kapak dengan erat, lalu mengantamkannya ke sebuah kayu berukuran besar di tanah. Kayu terbelah dengan suara rekahan yang mengerikan.
Tapi, begitu merasakan tatapan di balik punggungnya, pemuda itu tiba-tiba berpaling ke arah Shinya. Selama sesaat kedua pasang mata itu bertemu, mengunci.
Pemuda itu tersenyum smug, lalu melepaskan kapaknya hingga tergeletak ke tanah. Suara bedebum metal berat beradu dengan gersangnya tanah di bawah.
Ia berjalan mendekat ke arah Shinya.
"Kau sudah bangun, ya?" Itulah kali pertama Shinya mendengar lelaki itu berucap.
Tapi Shinya tidak mampu menjawab apa-apa.
.
o-o-O-o-o
.
A/N: Fanfiksi Owari no Seraph pertama guaaa... entah kenapa agak merinding pas bikin ini xD RCL please?
