Pantaskan jika aku terus mengganggunya? Pantaskan jika dia menjadi bahan ejekkanku dan teman-temanku? Pantaskan jika kami membullynya? Tapi.. Apakah semua itu...Pantas terjadi padaku?
.
.
.
Althrough She's a Deaf
Disclaimer : Vocaloid bukan punyaku. Jika punyaku, aku ga mungkin nulis cerita ini.
Warning : Bullying, Kekerasan, Rasisme(untuk sementara), kata yang kurang baku dan lain sebagainya.
Maaf jika ada kesamaan ide cerita, plot, latar tempat dan kawan-kawannya yang lain.
.
.
.
Hari ini adalah hari yang membosankan di sekolah, seperti biasanya. Aku hanya melakukan aktifitas-aktifitas yang selalu dikatakan bermanfaat bagi masa depanku saat meraih cita-citaku nanti. Hoamm.. Bosan sekali- Eh.. Siapa anak itu? Ah.. Mungkin dia anak baru yang akhir-akhir ini dibicarakan itu? Heh~ Ini akan menjadi menyenangkan.. "Baiklah. Mungkin kalian sudah mengetahui tentang murid baru yang telah dibicarakan semenjak 2 hari lalu. Dan ini dia." Setelah mengatakan hal itu, Meiko-wali kelasku- mengangguk, sepertinya membiarkan anak itu memperkenalkan dirinya sendiri. "..." Apa yang dilakukannya? Eh? Buku tulis? Jangan bilang dia tidak bisa berbicara.
"Perkenalkan, namaku Megurine Luka." Benar saja tebakkanku. Dia membuka bukunya dan memperlihatkan tulisan super besar agar kami dapat melihatnya. Kemudian dia membalik lembarannya lagi.
"Aku murid pindahan dari sekolah X. Aku harap kita bisa menjadi teman."
"Oh iya.." Huh? Hanya kata itu yang ada dilembar ketiga?
"Aku seorang tuli." Ah.. Ternyata dia tuli..
"Aku akan menggunakan buku ini untuk berbicara. Mohon bantuannya." Setelah itu dia membungkuk dan menutup bukunya. "Ada yang ingin bertanya pada teman baru kita?" Akupun mengangkat tanganku-ingin mengajukan pertanyaan-.
"Kenapa orang tuli seperti dia bisa masuk kesekolah musik? Apa yang bisa dia lakukan? Bisa-bisa kita kalah pertandingan yang seminggu lagi diadakan jika dia ikut serta!" Mendengar ejekkanku, teman-temanku hanya menatapku dengan pandangan: benar juga yang dia katakan. "Kaito! Tidak bisakah kau berhenti mengejek temanmu?" Aku yang sudah biasa dengan teguran itu hanya tertawa. "Aku hanya bertanya~ Apa salahnya aku mengajukan pertanyaan?" Meiko tidak menanggapiku. Aku hanya tersenyum penuh kemenangan. "Haah—Baiklah, Luka. Kau bisa duduk dibangku yang kosong sekarang." Gadis bersurai pink itu menatap Meiko bingung. Dasar guru payah. Jelas-jelas dia seorang tuli.. mana bisa mendengarmu. Meikopun mengulanginya lagi dan Luka mengangguk. Gadis itupun duduk disebelahku. Tch! Berani sekali dia duduk disebelahku. Lihat saja nan—"Hah? Apa?!" Aku merasa dia menepuk-nepuk pundakku barusan. Apa maunya?
"Hai. Aku Luka. Siapa namamu?"
"Aku harap kau mau membantuku dengan pelajaran yang akan dijelaskan guru mulai dari sekarang!"
Aku hanya membaca dan menatapnya sebentar. Manik biru lautnya yang riang bertemu dengan manik biru tuaku yang membosankan. Dia tersenyum lebar kearahku, dan aku tidak meladeninya. Mungkin dia sedikit kecewa karena aku tidak membalasnya. Aku pun menarik bukunya dan menuliskan,
"Minta saja orang lain. Aku tidak peduli dengan keadaanmu!"
Aku pun melempar bukunya dan tersenyum mengejek kearah gadis tuli itu.
"Ah.. Begitukah? Terima kasih. Kalau begitu aku harap aku tidak menganggumu dengan perkataan-perkataanku."
"Tch.." Aku mendengus pelan. Anak ini, keras kepala sekali. Menyebalkan sekali!
.
.
.
TENG TENG TENG TENG
.
.
Bel sekolah berbunyi menandakan waktu belajar-mengajar telah usai. Anak-anak berlarian keluar menuju orang tuanya yang menunggu sedari tadi. Tapi tidak untuk Kaito. Anak berumur 12 tahun itu berlari menuju gerbang sekolah yang ramai. Biasanya ia akan mendorong orang-orang yang menghalangi jalannya. Tapi kali ini dia menunggu dengan sabar, entah apa yang terjadi padanya barusan. Laki-laki bersurai biru itupun berlari menuju rumahnya yang mewah.
"Aku pulang!" teriak Kaito saat ia menginjakkan kakinya di rumahnya.
"Ah, Kaito~! Selamat datang!" sahut seseorang dari arah ruang keluarga. Mengenali suara siapa itu, Kaito tersenyum bahagia. Rasanya sudah 10 tahun ia tidak bertemu dengannya.
"Mama! Kau sudah pulang!" jerit Kaito yang langsung memeluk ibunya itu.
"Ya sayang. Mama pulang, bagaimana sekolah?"
"Seperti biasa, membosankan. Tadi ada murid baru di kelasku. Dia mempunyai warna rambut pink! Ya Tuhan, ma! Dan dia tuli! Bayangkan!" Gumi; nama ibu Kaito hanya tersenyum melihat anak sulung dan satu-satunya itu bercerita tentang sekolahnya yang 'membosankan' dengan semangat.
"Lalu? Siapa namanya? Apa salahnya kalau dia seorang tuli, Kaito? Siapa tahu kalian bisa berteman." Gumi terkekeh pelan. Kaito anaknya akan berteman dengan seorang perempuan? Itu akan menjadi suatu keajaiban.
"Namanya? Err—Luta? Lusa—Ahh! Luka! Ya namanya Luka Megurine! Apa salahnya? Kita akan kerepotan, ma. Dia tidak bisa mendengar dan berbicara. Tadi saja dia memperkenalkan dirinya menggunakan buku tulis. Apakah itu tidak aneh?"
Gumi mengusap kepala Kaito pelan, "Kaito, setiap orang mempunyai kekurangan dan caranya masing-masing untuk berbicara. Seperti contohnya gadis itu, dia mempunyai kekurangan tetapi dia masih memiliki kemampuan untuk berbicara dengan gayanya. Kita tidak boleh meremehkan orang karena kekurangannya."
Kaito pun berpikir kembali. Tapi sepertinya perkataan ibunya tidak dapat diresap oleh otaknya yang masih 'belum matang'.
"Nah, Kaito. Jadi anak baik disekolah ya, dan bertemanlah dengan Luka~ Mama pergi dulu."
"Mama mau kemana lagi? Mama kan baru pulang!"
"Mama harus ke Hongkong. Sudah ya. Jadi anak baik selama mama pergi." Gumi mengecup anaknya dan beranjak pergi. Laki-laki bersurai biru itupun hanya menatap punggung ibunya yang beranjak. Ia memandangi kepergian ibunya yang akan membuatnya tinggal di rumah mewah itu sendiri –tentu saja ada maid dan supir-.
"Tch. Aku tidak butuh teman. Aku hanya perlu mama."
.
.
.
To be Continued
