Butiran-butiran salju jatuh dengan perlahan dan lembut. Sejauh mata memandang, permukaan bumi tertutup oleh hamparan salju. Teito, seorang anak lelaki yang berusia empat belas tahun menatap kosong ke hamparan salju itu dengan mata hijau jadenya yang indah dan besar dari balik kendaraan militer yang ditumpanginya. Kendaraan itu mengarah ke distrik tiga untuk membawa mereka menjalankan misi menumpas pemberontakkan. Walaupun sejujurnya ia tak begitu suka pada warna putih karena warna putih membuat merahnya darah tampak menonjol, namun dia selalu menyukai salju. Jauh lebih daripada bau darah yang memuakkan.
Teito bersama beberapa budak tempur lainnya bertugas untuk membunuh para pemberontak yang berjumlah kurang lebih dua ribu orang lebih. Teito menyeringai membayangkan misi di depan matanya. Dia senang bertarung, karena dengan membunuh dan membiarkan darah segar berhamburan ke arahnya, ia dapat menyingkirkan pikiran-pikiran dalam batinnya. Untuk sementara.
Salju yang semula putih bersih, tanpa noda, kini bernoda merah oleh cipratan darah. Tak ada hal lain yang terpikir Teito selama menjalankan misi selain menuntaskannya dan kembali ke akademi. Tanpa mempedulikan bercak merah yang menghiasi permukaan salju dan mayat-mayat yang bergelimpangan dekat kakinya, ia menatap langit yang gelap, sementara butiran-butiran salju masih saja terus jatuh seolah tak pernah terjadi apa-apa. Begitu ia menyentuh butiran-butiran salju itu, sekejap mereka mencair, dan lenyap.
"Andai aku bisa lenyap begitu saja seperti butiran salju barusan," bisiknya dalam hati.
Well, darah mengenang di mana-mana, mayat-mayat dengan kondisi mengenaskan, dan kenyataan bahwa dengan tangannya sendirilah ia membunuh mereka bukanlah hal yang baru bagi Teito, sehingga ia tak merasakan apa-apa. Dari pelatihan pembunuhan yang diterimanya, ia diajarkan untuk membunuh dan tidak berbelas kasih, tepat seperti yang Teito rasakan saat ini.
Salah seorang dari pemberontak itu menembus pundak sebelah kiri Teito dengan sebilah pisau yang menyebabkan darah segar muncrat dari lukanya tersebut, yang menyebabkan akal sehat Teito mulai menghilang sedikit demi sedikit, bersamaan dengan rasa sakit yang tak hilang-hilang juga. Bau darah segar miliknya sendiri merangsang euphoria yang berlebihan bagi Teito pribadi. Kini hanya rasa haus darah yang merasuk relung hati Teito. Ia pun mulai membunuh tanpa kenal ampun, menikmati setiap tetes darah yang terciprat ke tubuhnya sebagai kenikmatan.
Butuh waktu dua hari untuk membasmi seluruh pemberontak itu. Teito menghela nafas lega mengetahui misinya telah selesai. Sebelum kembali ke distrik satu, mereka beristiharat sebentar di sana, di distrik tiga. Teito tak begitu menyukai kenyataan bahwa mereka akan tinggal di sana untuk satu hari lagi, tapi perintah tetaplah adalah perintah.
Malam menjelang, ketika hujan salju semakin menjadi-jadi. Angin kencang bertiup di luar, sehingga tak mungkin ada orang yang cukup bodoh untuk keluar dari hangatnya selimut mereka. Sementara para budak-budak yang lain tertidur, Teito membersihkan pedangnya dari percikan darah yang mulai mengering dan membasuh dirinya dari bau darah dan kematian yang menyisa. Membiarkan luka di pundaknya terus menganga.
Dalam kesunyian malam, Teito dapat menguping dengan jelas ketika Kal, begleiter kepala sekolah akademinya memberi laporan keberhasilan misi mereka pada atasannya, Pak Miroku. Kal adalah pengawas yang ditugaskan mengawasi mereka selama menjalankan misi, dan Teito tak begitu menyukai pria itu.
"Pak Miroku?" Kal memastikan benar tidaknya orang yang dituju. Dia tahu Teito tengah menguping, tetapi dia membiarkan bocah itu karena tak ada yang penting dalam pembicaraannya kali ini. "Laporan dari misi 09/566-7089; misi sukses. Kami akan kembali besok secepatnya,"
Hanya itu yang disampaikan Kal, dan dia pun menutup telepon genggamnya. Sejujurnya Teito agak kecewa, ia hendak beranjak pergi ketika seseorang menangkap lengan bajunya dan mengangkatnya. "Nah, nah. Anak baik tidak seharusnya menguping kan," ujar Kal tiba-tiba. Jauh dari dugaannya, Teito ringan sekali daripada kelihatannya.
Teito tidak menjawab, dia hanya dengan wajah cemberut melototi Kal dan berusaha melepaskan diri dari Kal. Segera setelah berhasil melepaskan diri, Teito berlari kembali ke kamar yang ia bagi dengan beberapa budak lainnya dan pergi tidur padahal sebetulnya ia tak mau.
"Haha, dasar anak yang tak lucu," gumam Kal bagi dirinya sendiri, memandangi punggung Teito yang semakin menjauh dan hilang dari balik pintu.
-0000000000000000000000-
"Master…" Teito samar-samar mendengar suara yang memanggilnya, namun ia tak begitu yakin. Dipeluknya gulingnya dan berniat kembali tertidur. "Master…!"
"Si… apa itu?" bisik Teito dengan keheranan. Suara itu terdengar begitu dekat, tetapi dia tak melihat siapapun dalam keremang-remangan. Dengan mengantuk, Teito duduk di tempat tidurnya, mengamati sekeliling. Tempat ia sekarang menginap begitu sunyi, hanya suara dengkur budak-budak lain yang terdengar. Mungkinkah tadi itu adalah halusinasinya?
"Master, saya harap anda segera mengingat kembali siapa saya," kembali terdengar suara yang sama. Teito kebingungan apa maksudnya mengingat orang yang tak kelihatan itu? Namun, entah mengapa dia merasa familiar dengan suara itu…
Teito terbangun dan mendapati dirinya tengah menatap langit-langit yang dicat putih. Kebingungan. Ketika dia sepenuhnya terbangun, dia baru mengingat bahwa dia sekarang dalam misi. Dan bahwa sekarang ia tak berada di akademi. Teito mengamati ruangan tempat ia berada dan menyadari bahwa masih terlalu pagi untuk bangun. Sayangnya, Teito sudah tak merasa ingin tertidur lagi. Jadi dia memutuskan untuk jalan-jalan di sekitar penginapan kumuh itu.
Tak banyak yang dapat dilihatnya. Pagi itu, hujan salju telah mereda. Namun hamparan salju masih saja sama seperti semalam, putih. Bercak-bercak darah telah terkubur timbunan salju, yang entah mengapa membuat Teito merasa senang, walaupun itu tak mengubah fakta bahwa semalam ia telah banyak membunuh orang. Yang jauh lebih penting, Teito heran pada dirinya sendiri. Dia tak menyangka, bau darahnya sendiri dapat membuatnya menjadi brutal seperti yang terjadi ketika seseorang menembus pundaknya dengan sebilah pedang yang menyebabkan darahnya sendiri berlepotan banyak.
Disentuhnya luka di pundaknya. Dan senyum tipis menghiasi wajahnya. Manusia itu memang bodoh. Mereka terus menerus saling membunuh, padahal itu sama sekali tak ada gunanya. Siapa sih sebenarnya yang menciptakan peraturan bahwa perang itu sah-sah saja? Lamunan Teito tersadar ketika ia mulai menyadari dinginnya cuaca di luar. Dia kembali ke dalam penginapan, meringkuk dalam selimutnya yang kasar namun terasa nyaman di kulit Teito.
-0000000000000000000000-
Malam semakin mencekam ketika Teito dan rombongannya tiba di perbatasan distrik dua dan distrik satu. Teito sendiri kembali ke akademi dengan jalan memanjat tembok, dan dengan lelah ia menyelinap masuk ke kamarnya tanpa menimbulkan suara sedikitpun, ia sangat terlatih soal yang satu ini. Kamar itu adalah kamar yang ia bagi dengan sahabat baiknya, Mikage.
Teito memandang pemandangan malam di luar dari balik kaca jendela dengan tatapan kosong. Energinya benar-benar terkuras sekarang, setelah berjalan kaki dari distrik dua ke distrik satu sejauh beberapa belas kilometer. Dengan malas, Teito mengempaskan dirinya ke tempat tidur dan langsung terlelap. Tidaklah heran, akhir-akhir ini dia sering kurang tidur gara-gara menjalankan misi. Misi sebagai budak tempur, tentunya.
"Teito," panggil seorang pria berjubah putih panjang pada anak kecil yang tengah digendongnya. Di kerah jubah lelaki itu, terdapat lambang yang tak dikenali Teito. Namun rasa nostalgia merasuk Teito. Dia merasa sangat, sangat rindu pada pria itu. Tapi mengapa?
"Ya, Father?" sahut si anak kecil yang berusia berkisar empat tahun itu dengan polos. Mata hijau jade nya yang besar dan indah menatap pria yang ia sebut 'Father' dengan lekat-lekat.
"Apakah kamu merasa kesepian?"
"Mmmm…" gumam Teito kecil. "Tentu tidak! Walaupun mama tidak bersama dengan Teito, selama ada Father aku baik-baik saja!" lanjutnya dengan ceria. Senyum polosnya melunakkan tatapan sang Father.
"Bagus, Teito. Anak baik…"
Teito terbangun dan mendapati segalanya hanyalah mimpi. "Fa…ther?" Fajar mulai menyising, namun Mikage masih saja tertidur pulas. Lagi-lagi, pecahan ingatannya kembali…
Teito adalah seorang budak tempur di Basburg Empire sejak ia mulai dapat mengingat. Sebagai budak tempur, ia dipaksa untuk menjalani latihan demi latihan setiap harinya. Jenis latihan yang paling ia benci adalah membunuh. Namun apabila ia tidak mematuhi perintah, ia akan dipukuli hingga pingsan dan melewati satu hari tanpa makanan. Teito tak dapat mengingat masa kecilnya, sebelum ia menjadi seorang budak tempur. Ketika ia mencobanya, kepala akan sakit sekali sehingga Teito mulai berhenti mencobanya.
Sewaktu ia berusia empatbelas tahun, Teito direkomendasikan Pak Miroku untuk masuk ke akademi militer, dan ia menerimanya karena tak memiliki pilihan lain. Sekalipun ia sudah tinggal di asrama akademi, Teito masih sering dipanggil keluar untuk menjalankan misi.
Lamunan Teito buyar ketika didengarnya Mikage terbangun. Teito pura-pura tidur, berharap Mikage tak menyadari bahwa bajunya berlepotan darah. Walapun baju itu berwarna hitam pekat sehingga warna darah sulit terlihat, namun bau darah yang telah mengering tak mungkin disembunyikan.
"Hmmph?" Teito mendengar Mikage bergumam dalam keadaan setengah mengantuk. "Teito sudah bangun rupanya. Ke mana sih dia, beberapa hari ini?"
Teito dengan seksama mendengar gerak gerik Mikage, hingga ketika Mikage hendak pergi mandi. Teito melompat dari tempat tidurnya, merengut handuknya yang terletak di gantungan baju dan berebut masuk ke kamar mandi dengan Mikage hampir dengan kecepatan yang tak masuk akal.
"Aku mandi dulu, Mikage!" seru Teito dari dalam kamar mandi. Mikage hanya mampu terperangah. Apa yang membuat anak itu semangat sekali sepagi ini?
"Well, ku tunggu, deh," sahut Mikage sambil tersenyum-senyum penuh arti. Sudah hampir setengah tahun mereka masuk ke akademi dan berbagi kamar, namun baru kali ini dilihatnya bocah itu begitu semangat.
Huff… Teito menarik nafas lega sambil bersandar pada dinding kamar mandi. Hampir saja ia lupa bahwa ia mencuci pedang Zaiphonnya semalam di kamar mandi dan lupa mengeluarkannya. Sejak berada di distrik tiga, Teito sudah berpuluh-puluh kali membersihkan pedang-pedang itu dengan air dan sabun, namun bau darah yang melekat di sana tak pernah betul-betul hilang.
"Sungguh menjijikkan," gumamnya pada diri sendiri. Seusai mandi, Teito menyembunyikan kedua pedang kesayangannya di balik handuk. Yang tentunya sangat sulit mengingat postur Teito yang pendek dan kecil. Tentu Mikage sadar ada yang disembunyikan Teito di balik handuknya, namun ia pura-pura tidak sadar.
"Nanti jam pelajaran pertama adalah strategi. Kamu hadir?" tanya Mikage sembari memain-mainkan handuknya.
"Tidak, tidak untuk hari ini," sahut Teito datar seperti biasa tanpa memperhatikan orang yang mengajaknya berbicara.
"He… dengan begini, kamu belum pernah sama sekali menghadiri kelas Mr. Forte, Teito."
"Aku diizinkan Kepala Sekolah Miroku untuk tidak mengikuti kurikulum standar," jawab Teito tetap dengan nada datarnya sembari mengenakan baju seragam akademinya. "Aku pergi menyendiri dulu, ya Mikage! Dagh! Jangan sampai terlambat menghadiri kelas!" Teito melompati ambang jendela (perhatian: Jangan dicontoh, ya!) yang merupakan jalan pintas ke unit kesehatan akademi. Mikage hanya menatap kepergian sobatnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dasar tukang bolos!
By the way, walaupun Teito jarang mengikuti pelajaran baik teori maupun praktek, namun nilai Teito untuk keduanya hampir selalu sempurna. Mikage sendiri tak habis pikir dan ia tak begitu mempermasalahkannya. Huff… Mikage akhirnya dengan terburu-buru pergi mandi dan pergi menghadiri kelas. Mr. Forte adalah salah satu guru favoritnya, dan ia tak ingin ketinggalan pelajaran hanya gara-gara terlambat.
