Crying Without Words by Reisuke Celestine

Chapter 1 of 2

Disclaimer: Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

.

Cast: AkaKuro, slight NijiAka, Sibling!MayuKuro

.

Warn: AU, Oreshi!Akashi, sho-ai, miss-typo yang ngajakin main petak umpet, plot-rush, klise, sedikit humor (maybe), dll. (silakan cari setiap kesalahan yang saya buat. ^^")

.

Fanfic pertama saya di fandom ini. Enjoy~ ^^

.

.

Mayuzumi Chihiro memang bukan orang yang bisa peduli terhadap orang lain. Mengamati orang-orang tapi bukan berarti ia tertarik dengan apa yang terjadi dengan mereka. Itu hanya refleks—sekaligus efek dari kurang kerjaan, ketika ia sesekali mengalihkan diri dari light novel yang sedang dibacanya.

Tapi lain lagi ceritanya kalau objek yang sedang diperhatikannya adalah adik laki-laki satu-satunya. Walau masih bersikap seperti tidak peduli, toh ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri kalau ia sebenarnya sedikit—penasaran.

Chihiro memang selalu bangun lebih pagi dari adiknya dan selalu lebih dulu berada di meja makan sekalipun sarapan paginya belum menampakkan diri di atas meja. Tetsuya—adiknya—lah yang selalu memasak untuk mereka, alasannya adalah karena ia tidak pernah akur dengan segala hal yang berhubungan dengan dapur. Tapi mungkin karena itu juga ia jadi lebih mudah untuk mengetahui bahwa ada sesuatu yang salah dengan remaja bersurai biru langit itu.

Ada perubahan sikap dari anak itu—tidak cukup kentara, tapi untuknya yang sudah tinggal selama tiga tahun dengannya, itu jauh lebih mudah untuk terlihat.

Inginnya sih bertanya—lagipula ia juga harus jadi kakak yang baik kan. Tapi bahkan lidahnya seperti kelu untuk sekedar menanyakan 'ada masalah?'. Seperti ada yang menahannya—atau memang bawaan ingin menjahili adiknya, karena tidak biasanya wajah sedatar papan triplek itu kadang terlihat berkerut-kerut lucu.

—tolong sekalian abaikan juga fakta kalau wajah datarnya juga tidak berbeda jauh dengan sang adik.

"Tetsuya…"

Sang adik mendongakkan kepalanya. Keduanya memang masih berada di meja makan. Lima hari terakhir ini, di jam-jam segini, biasanya Tetsuya akan langsung melesat pergi. Memakan rotinya sambil berlari lalu mengucapkan salam untuk kakaknya dan suara pintu tertutup lebih dulu terdengar bahkan sebelum dirinya sempat membalas salam adiknya. Makanya ketika kebiasaan lima hari itu tiba-tiba beralih menjadi kebiasaan yang dulu lagi—dimana mereka sarapan di meja yang sama, ia jadi tidak tahan untuk bertanya.

"Ya?"

"Kau yakin kau tidak apa-apa?"

"Hah?"

Rasanya memang agak aneh. Berbicara dengan seseorang, dengan intonasi suara datar yang bahkan bisa menyebabkan orang lain salah paham dan meragukan kedekatan mereka. Mereka memang dekat kok, hobi pun bahkan terlihat hampir sama. Mengindikasikan kalau mereka memang benar-benar saudara kandung. Kecuali masalah warna rambut dan mata, dan tinggi badan—untuk yang terakhir itu masalah yang agak sensitif apalagi kalau diucapkan di depan yang bersangkutan. Memang mengherankan. Sang kakak menjulang seperti tiang listrik tapi sang adik seolah terhambat pertumbuhan tingginya.

"Akhir-akhir ini kau jadi aneh—terutama setiap pagi," Chihiro memilih untuk fokus pada light novel miliknya yang sempat terlupakan daripada menatap remaja yang lebih muda empat tahun darinya itu, "bukannya aku peduli dengan apa yang terjadi denganmu sih—hanya penasaran."

Tetsuya mengerjapkan kedua matanya. Rasanya seperti déjà vu—mendengarkan kalimat terakhir sang kakak. Mirip seperti temannya yang berada di kelas sebelah dengan surai hijau yang terlalu mempercayai ramalan dan hobi sekali memperbaiki posisi kacamatanya padahal ia sendiri yakin kalau kacamatanya sama sekali tidak berganti posisi atau merosot.

Tapi ngomong-ngomong, sang kakak ternyata kepo juga.

"Tidak ada apa-apa."

"Kau sedang jatuh cinta." Itu harusnya pertanyaan, tapi Chihiro entah kenapa malah mengucapkannya dengan intonasi seolah itu adalah pernyataan. Kalau sudah tahu ngapain juga bertanya.

Tak mendapat reaksi—setidaknya suara apapun, pemuda bersurai abu-abu itu mengangkat wajahnya. Sontak ia membulatkan kedua matanya ketika melihat sang adik.

"A-aku pergi dulu, nii-san."

Dalam sekejap Tetsuya telah menghilang—tepatnya sih buru-buru menghilang—dari hadapan Chihiro. Tapi bahkan apa yang dilihat oleh Chihiro sebelum anak itu pergi sebenarnya masih membekas dalam benaknya.

Wajah Tetsuya yang biasanya datar, menampilkan sedikit semburat merah. Tipis. Mungkin orang lain tidak akan menyadarinya, tapi sekali lagi, ia kakaknya dan menyadari perubahan ekspresi di wajah datar anak itu tidaklah sulit—setidaknya itu tidak perlu membuatnya berpikir keras layaknya tengah mengerjakan soal kalkulus untuk mahasiswa tingkat akhir.

Adiknya memang sedang jatuh cinta.

.

.

Tetsuya tiba di sekolah terlalu pagi. Gara-gara ucapan sang kakak yang kelihatannya asal bicara tapi sayangnya ucapannya malah tepat sasaran. Ia memang sedang jatuh cinta. Bukannya itu masalah besar atau apalah, tapi rasanya sedikit aneh. Dan kebiasaan barunya di pagi hari—yang menurut Chihiro aneh sekaligus menyebalkan—ya disebabkan oleh itu.

Bangun pagi-pagi sekali, bahkan pernah sekali lebih dulu dari Chihiro yang baru saja keluar kamar. Memasak sarapan untuk mereka—yang entah kenapa tiga kali gagal total gara-gara ia membuatnya dengan terburu-buru (membuat wajah datar sang kakak merengut kesal, sambil mungkin bertanya dalam hati apa yang salah dengannya). Lalu berangkat terburu-buru hingga halte bis hanya untuk melihat orang itu.

Tapi itu sudah dihentikannya tepatnya sejak hari ini. Makanya, mungkin itu juga alasan kenapa kakaknya yang tidak berkomentar apapun selama lima hari ini sekarang malah tiba-tiba bertanya.

Masa ia harus bilang kalau ia sedang jatuh cinta, tapi langsung patah hati bahkan sebelum seminggu merasakannya.

"Tetsuya."

Deg.

Remaja beriris biru langit itu sedikit tersentak mendengar seseorang memanggilnya. Bukan kaget karena dipanggil tiba-tiba, tapi lebih karena suara yang memanggilnya. Masih pagi tapi kenapa juga malah mendengar suara yang jadi salah satu penyebab moodnya memburuk.

Ia membalikkan badannya—dan seketika langsung menyesal kenapa harus menoleh. Ekspresi wajahnya sedikit berubah, walau orang sebenarnya tidak akan menyadarinya, kecuali sang kakak yang kurang kerjaan yang bisa dengan mudah membaca perubahan ekspresi dari wajahnya seperti ia adalah buku yang setiap isinya tertulis jelas tanpa harus repot-repot untuk berpikir keras ketika ingin membacanya.

Mungkin lebih baik tadi ia langsung melesat pergi—hanya yang jadi masalahnya adalah, bahkan walau hawa keberadaannya lebih tipis dari sehelai benang yang dibelah dua, entah kenapa khusus hanya untuk orang ini hal itu tidak berlaku sama sekali.

"Tetsuya!"

Kali ini lebih keras. Dan cukup untuk membuatnya kembali tersentak. Berapa lama ia menjadi OOC dalam benaknya sampai harus dipanggil ulang? Beruntung orang ini selalu menyadari keberadaannya, coba kalau guru di kelas yang sedang mengabsennya. Sudah hawa keberadaannya benar-benar tipis, kalau sampai tidak menjawab panggilan mungkin jumlah absensinya akan sebanyak jumlah kehadirannya.

"Ya?"

Wajahnya masih tetap datar, tapi ada beragam gejolak perasaannya yang seperti ingin meledak keluar. Beruntung ia tidak seperti Kise yang bisa dengan mudahnya mengekspresikan apa yang ada dalam pikirannya secara spontan, kalau tidak, mungkin ia akan benar-benar dianggap aneh.

"Tumben kau datang sepagi ini, apa ada sesuatu?"

Ada dan penyebabnya itu adalah antara kau dan juga Chihiro-niisan.

Inginnya sih mengatakan itu, tapi jelas tidak mungkin. Memangnya ia apa? Gadis remaja yang sedang mengalami first love sekaligas first broken heart tapi ngotot tingkat tinggi untuk menyatakan perasaan bagaimana pun jawaban yang akan didapatnya? Situasi pertama dan kedua memang dialaminya, tapi tidak dengan situasi terakhir.

"Hanya… bangun terlalu pagi, Akashi-kun."

Bohong sebenarnya. Ia bangun di jam yang biasa, hanya waktu perginya saja yang tidak biasa.

"Tapi, tadi aku mendapat pesan dari Mayuzumi-san kalau kau pergi terburu-buru dengan wajah panik."

Boleh tidak, sekali saja ia meracuni kakaknya ketika sarapan?

Daripada itu darimana Chihiro bisa tahu nomor ponsel Seijuurou. Namanya Akashi Seijuurou—tapi ia sebenarnya lebih suka memanggilnya Akashi sekalipun yang punya nama tidak masalah kalau dipanggil dengan nama kecil olehnya.

Ngomong-ngomong, mereka tidak sekelas sebenarnya. Pertemuan pertama mereka adalah satu minggu yang lalu ketika ia secara tidak sengaja pergi terlalu pagi. Mungkin karena seragam yang dikenakan oleh mereka sama, jadi mungkin itu penyebab Seijuurou menyapanya lebih dulu. Tapi itu adalah hal yang menurutnya cukup aneh, karena bahkan di tempat yang jarang orang sekalipun, hawa keberadaannya yang tipis cukup untuk membuatnya tidak bisa disadari oleh orang lain—dan orang itu malah menyadarinya seperti ia adalah keberadaan yang sama seperti yang lain.

Mungkin itu juga yang membuatnya merasakan sesuatu yang lain—lama kelamaan. Tapi bahkan sebelum sempat berkembang lebih jauh, pipinya terasa seperti ditampar tangan imajiner yang membuatnya harus menyadari kenyataan.

—bahwa orang yang disukainya, sebenarnya telah lebih dulu menyandang status kekasih dari orang lain. Senpai kelas tiganya, Nijimura Shuuzou.

Lima hari dan langsung patah hati, kalau Chihiro tahu, kira-kira apa yang akan dikatakan pemuda bersurai abu-abu itu?

"Tetsuya, kau melamun—lagi?"

Ah.

Ia tersentak—untuk yang ketiga kalinya. Pikirannya memang sedang penuh, pertama karena Seijuurou. Kedua, karena Chihiro dan ucapannya dan tindakan bodohnya yang kenapa malah menghubungi Seijuurou. Ketiga, kepikiran juga dari mana orang itu bisa tahu nomor ponselnya.

"Aku tidak apa-apa—" tapi hatiku yang kenapa-kenapa.

Seijuurou mengerutkan alisnya. Iris senada dengan warna rambutnya menatap intens remaja yang sedikit lebih pendek darinya itu. Penasaran, jelas saja. Walau biasanya juga memasang tampang datar, tapi bukan hal yang sulit untuknya melihat perubahan emosi dari wajahnya—sebenarnya sesekali juga kadang ia merasa kesulitan untuk melakukannya.

Beberapa hal membuatnya sedikit tertarik dengan Tetsuya, yang sebenarnya membuatnya sedikit melupakan keberadaan Nijimura. Mungkin karena setiap pagi selalu bertemu selama lima hari terakhir kemarin dan mungkin juga karena ekspresi wajahnya yang datar, yang sekalinya mengeluarkan ekspresi membuatnya ingin tertawa saat itu juga.

Lucu. Dan manis.

Dan kali ini malah terlihat seperti kesal—tapi sekaligus juga sedih di saat yang bersamaan. Memangnya ada apa?

Ah.

Seijuurou sedikit melebarkan kedua matanya. Mungkin, ia tahu sesuatu. Mungkin. Tapi siapa yang tahu, toh ia memang pada dasarnya tahu segalanya.

Detik berikutnya, ia tersenyum tipis—walau orang yang melihat lebih senang menyebutnya menyeringai. Tapi apa bedanya, toh sama-sama menarik ujung bibir ke pinggir.

Sesuatu telah membuat anak ini berpikiran mengenai dirinya dan Nijimura. Dan boleh ia simpulkan kalau itu adalah rasa cemburu?

Itu hal yang menarik kan.

"Tetsuya, cepatlah ke kelas, sebentar lagi bel masuk akan berbunyi." Seijuurou menepuk kepala Tetsuya perlahan lalu berjalan lebih dulu dari remaja bersurai biru langit itu. Sontak langsung membuat wajah datarnya sedikit merona.

Yang barusan itu untuk apa?

.

.

"Kalau suka bukannya harus mengatakannya, ssu?"

Jam makan siang. Dan ia lagi-lagi terjebak dengan remaja dari kelas sebelah dengan surai warna kuning di taman belakang sekolah. Bukannya ia tidak menyukainya, hanya kadang tingkahnya cukup untuk membuatnya sedikit merasa harus menjauhinya selama beberapa waktu.

Parahnya lagi, ia orang yang peka dengan segala macam hal yang berhubungan dengan cinta dan perasaan sejenis lainnya—tapi herannya bahkan hubungannya dengan orang yang disukainya kurang lebih sama seperti dirinya.

"Kise-kun… katakan itu padaku kalau kau sudah berpacaran dengan Kasamatsu-senpai."

Datar tapi cukup untuk membuat aura suram menyelimuti remaja yang sering kelewat ceria itu. "Hidoi ssu. Aku mana bisa bilang soal itu di saat ia selalu memarahiku."

Tetsuya hanya menatapnya datar. Setidaknya Kise jauh lebih beruntung darinya. Mereka dekat walau seringkali sikap Kise selalu membuat orang itu kesal. Fakta lainnya adalah Kasamatsu-senpai itu single. Hanya tinggal mencari moment yang pas untuk salah satu dari mereka menyatakan perasaan lebih dulu.

Pertanyaannya, kapan itu akan terjadi?

Kise mendongakkan kepalanya. Sedikit membulatkan kedua matanya lalu beralih pada Tetsuya yang duduk membelakangi objek yang tadi tanpa sengaja tertangkap oleh retinanya.

"Kurokocchi," Kise selalu memanggilnya dengan nama itu, bahkan ketika nama keluarganya sudah berganti menjadi Mayuzumi sejak setahun yang lalu. Entahlah, kebiasaan memang sulit diubah, "apapun yang terjadi, jangan lihat ke belakang, ssu."

"Hah?"

Tetsuya yang sebenarnya fokus dengan makan siangnya menatap remaja bersurai kuning itu sambil mengerjapkan kedua matanya. Bodohnya Kise adalah, kenapa juga ia harus mengatakan itu, kalau disebut jangan, naluri alami manusia cenderung malah akan melakukan hal yang sebaliknya terutama kalau larangan itu tidak disertai dengan alasan jelas yang masuk akal.

Remaja bersurai biru muda itu menoleh ke arah yang dikatakan oleh Kise untuk tidak dilihat olehnya. Dan mungkin ia akan menyesali tindakannya yang malah tidak menuruti larangan teman yang dulu pernah satu SMP dengannya itu.

Kedua iris biru mudanya membulat, sebelum kemudian kembali berubah datar. Ia kembali fokus pada makan siangnya dan memilih untuk tidak mempedulikan apapun lagi.

Tapi Kise sudah cukup menyadari tatapan macam apa yang diperlihatkan oleh Tetsuya.

Bahwa itu adalah wujud dari hati yang terpecah-belah karena seseorang.

.

To Be Continued

.

a/n Halo, ini fanfic pertama saya di fandom ini, dibuat di tengah kerjaan saya yang numpuk di kantor. Gomen kalau misalnya ada kalimat yang agak aneh atau karakterisasi yang OOC terutama untuk Kuroko sama Mayuzumi. Saya lagi suka sama mereka berdua yang dijadiin sibling dan Nijimura, makanya kedua hal itu muncul di sini. ^^

Udah gitu aja dari saya. Bersedia untuk RnR? ^^