Hari Buruk Halilintar
Sebuah Boboiboy Fanfic karya LightDP AKA LightDP2.
Author note:
-Boboiboy dan seluruh karakter yang terkandung di dalamnya adalah milik pemegang hak cipta, saya hanya pinjam saja koq karakter-karakternya
-Warning: Elemental sibblings. tanpa super power, OOC (mungkin ?), typo, GID (Guys in distress)
-Dalam fanfic ini umur karakter adalah sebagai berikut dari yang tertua:
Boboiboy Halilintar: 17 tahun
Boboiboy Taufan: 17 tahun.
Boboiboy Gempa: 17 tahun.
Boboiboy Blaze: 16 tahun.
Boboiboy Thorn: 16 tahun.
Boboiboy Ice: 15 tahun.
Boboiboy Solar: 15 tahun
.
Selamat Membaca
.
Hari itu adalah hari sabtu siang yang mendung tebal. Siang hari sudah seperti sore karena kelabu, lebih tepatnya, hitamnya awan di atas langit. Sesekali petir menyambar-nyambar seiring denga hujan rintik-rintik yang mulai membasahi seluruh penjuru Pulau Rintis
Sebuah hari yang sempurna untuk bermalas-malasan seperti yang dilakukkan Boboiboy Solar. Kembaran termuda dari tujuh bersaudara kembar Boboiboy sedang sendirian duduk bertopang dagu di belakang sebuah laptop di kamarnya. Raut muka bosan terpancar dari bocah itu yang sedang memainkan game offline.
Sementara kakaknya yang paling berdekatan umur dengannya, yaitu Boboiboy Ice seperti biasa nampak bermesraan dengan kesayangannya. Apalagi kalau bukan si biru, sebuah guling yang selalu setia mendampingi Boboiboy Ice kemanapun ia pergi. Konon kabarnya guling berwarna biru itu selalu dibawanya kemanapun Boboiboy Ice pergi, mulai dari kamar tidur, ruang tengah, sampai kalau menginap di tempat lain
Di ruang tengah rumah Tok Aba nampak ketiga orang kembaran Boboiboy bersaudara yang tertua. Boboiboy Halilintar, Boboiboy Taufan, dan Boboiboy Gempa. Ketiganya sedang berkumpul di meja makan dan di hadapan mereka masing-masing adalah setumpukan buku-buku dan kertas. Tidak biasanya mereka bertiga bisa akur dengan tanpa bersuara, apalagi jika ada Boboiboy Taufan. Namun sore itu ketiganya setuju untuk gencatan senjata sementara untu persiapan menghadapi ujian kelulusan sekolah pada hari Senin yang akan datang.
Kedua mata Boboiboy Halilintar bergerak kekanan dan kekiri sewaktu ia membaca buku catatan pelajarannya. Sementara tangan kanannya memegang sebuah pensil di atas kertas yang bertuliskan rangkuman-rangkuman pelajaran yang dibuatnya sendiri.
Boboiboy Gempa nampak sedikit lebih rileks dibandingkan kakaknya yang terlahir dengan selisih hitungan menit saja. Tangan kanannya memegang buku pelajaran sementara secangkir teh hangat tercantum pada tangan kirinya dengan kelingking yang mencuat seperti layaknya bangsawan bourjuis.
Rambut sudah acak-acakan, muka yang keringat dingin, jidat yang sudah bertekuk-tekuk dari tadi pagi. Seperti itulah keadaan Boboiboy Taufan yang dengan mati-matian mencoba menghafal catatan-catatan penting pada buku pelajarannya. Di tangan kanannya nampak sebuah kotak dengan ujung silinder seukuran genggaman tangan. Dihisapnya ujung silinder di kotak itu sembari ditekannya sebuah tombol. Ketika menghembuskan napas, kepulan uap tebal membumbung dari mulut dan hidung Taufan yang langsung membuat seisi rumah nampak berkabut.
"Ugh… Taufan. Aku ngga keberatan kalau kau vaping biar kekinian, tapi tolong kecilkan sedikit dong asapnya." Protes Gempa sembari mengibas-ngibaskan tangan mengusir uap yang dihasilkan oleh Taufan.
Mendengar komplain kakaknya, Taufan langsung memeletkan lidah ke arah kakaknya itu "Ah kak Gemgem ketinggalan jaman nih." Ledek Taufan yang kembali menghisap udara melalui vaporizer di tangannya. Dengan bibir yang dimonyongkan, Taufan membuat lingkaran-lingkaran uap beruntun yang tak terhitung jumlahnya. "Lagipula, ini kan uap, bukan asap."
"Sini aku coba." Halilintar yang dari tadi diam saja akhirnya membuka suara dan mengulurkan tangan terbuka ke arah Taufan.
"Emang kamu pernah vaping?" Tanya Taufan sembari menyerahkan vaporizernya kepada Halilintar.
"Ngga, aku cuma mau menyita vaporizer mu sampai kita selesai belajar!" Ketus Halilintar sembari memasukkan vaporizer milik Taufan ke dalam saku celananya.
Sebetulnya Halilintar telah salah langkah, karena…
"Aaah! Kembalikan vaporizer ku!" Taufan merengek dan merogoh paksa ke dalam saku celana Halilintar.
"Hey!" Halilintar langsung mendorong adik ketiganya ini menjauh. "Nanti malam kukembalikan!"
"Sekarang!"
"Nanti malam!" Dorongan Halilintar berubah menjadi jitakan.
"SEKARANG !" Taufan mendorong tangannya masuk ke dalam saku celana Halilintar dengan sekuat tenaga. "Dapat!" Soraknya dengan gembira ketika tangannya menggenggam sesuatu yang terasa keras. "Eh? Kak Hali ?"
"Ugh.. Taufan… Lepass…" Lirih Halilintar dengan meringis sembari mendelik menahan ngilu. "Yang… Kau… Pegang… Bukan…Vaporizermu…"
Diremas-remas benda keras yang dipegang Taufan di dalam saku celana Halilintar. Keras memang, tapi mengapa terasa kenyal juga ?. Mengapa kalau diremas, Halilintar juga jadi ikutan meringis?
Gempa yang melihat pemandangan itu mencoba untuk tidak menertawakan Halilintar karena ia masih sayang nyawa. Lagipula, bagi Gempa, Halilintar adalah orang yang terwaras yang masih bisa ia andalkan maka ia berkeputusan untuk sedikit bersimpati pada Halilintar. "Taufan, yang kau pegang itu bukan vaporizermu" Gempa secara sukarela memberi penjelasan sekaligus terjemahan dari lirihan dan ringisan Halilintar. "Yang kau pegang itu… Ehm… Ularnya Halilintar."
"Apa? Ular? Kenapa ada ular di dalam saku…. Oh?!" Menyadari kesalahannya, Taufan langsung menarik tangannya keluar dari saku celana Halilintar.
"Maaf, Hali." Ujar Taufan sembari garuk-garuk pip dan cengengesan tidak jelas.
"…" Halilintar diam saja, namun kedua pupil matanya mengecil dan tangannya nampak gemetaran menahan emosinya. Stress akan menghadapi ujian kelulusan, ditambah ulah adik ketiganya yang mencobai kesabarannya membuat amukan Halilintar berada di ujung tanduk. Urat sabarnya hanya tinggal sehelai lagi.
Masih sayang dengan nyawanya, Taufan memutuskan untuk menatapi halaman-halaman buku pelajarannya yang terlihat jauh lebih menarik daripada menghadapi amukan kakaknya ini.
5 menit…
10 menit…
15 menit…
Situasi kembali aman terkendali. Tidak ada dari ketiga pemuda yang sedang menatapi buku-bukunya yang bersuara. Hanya seruputan Gempa dengan tehnya, atau suara Taufan mengacak-ngacak rambutnya yang sudah tidak keruan memecah keheningan.
Tapi..
"HIAAAAT!"
-KLONTANG!-
"TERIMA INI!"
-GEDEBUK !-
"JANGAN HARAP!"
-BOOM!-
"CURAAAANG!"-
"BLAZE, THORN, JANGAN BERISIK!"
"DIAM KAU ICE!"
Teriakan-teriakan keras dari kembar tujuh Boboiboy yang belum disebut dari awal cerita kini terdengar bersahut-sahutan dari lantai dua rumah mereka. Teriakan-teriakan tadi cukup keras dan membuat kaget Gempa yang menjatuhkan cangkir tehnya dan Halilintar yang menendang kaki meja makan.
Perempatan urat imajiner melintas di pelipis Halilintar dan Gempa.
"Sabar, sabar, Hali, Gem… Biar aku urus Blaze dan Thorn itu." Melihat gelagat tidak baik, Taufan langsung menawarkan diri pergi ke lantai dua dan mengurus adik-adiknya yang entah sedang bermain apa.
Taufan yang sedang menaiki tangga berpapasan dengan Ice yang memikul guling biru kesayangannya beserta Solar yang menenteng laptopnya sembari menuruni tangga. "Selamat berjuang, Kak Taufan…" Bisik Solar.
"Serahkan padaku!" Ujar Taufan dengan penuh keyakinan.
Ice tanpa basa-basi sedikit pun langsung meletakkan diri di atas sofa di ruang tengah. "Bangunkan aku kalau Blaze dan Thorn sudah selesai bermain pedang sapu." Gerutunya sebelum menempelkan wajah imutnya pada sebuah bantal sofa dan kembali terlelap dalam alam mimpinya.
Sementara Solar langsung menghampiri meja makan dimana kedua kakaknya berada. "Aku numpang duduk sini ya…" katanya sembari menarik sebuah kursi yang kosong dan meletakkan laptopnya di atas meja.
"Boleh, tapi jangan berisik ya, Solar… Kak Gempa sama Kak Hali mau ujian Senin besok." Halilintar berusaha ramah kepada adiknya yang terkecil dengan sisa kesabaran yang masih ada.
"Iya kak, aku cuma nyari tempat sepi saja koq… Lanjutin nulis cerpen…" Jawab Solar sembari membuka program MS Word di laptopnya.
"Menulis cerpen, kukira Solar tadi lagi main game?" Tanya Gempa dengan nada heran. "Sejak kapan kau menulis cerpen begitu?"
"Bosan lah kak. Aku iseng-iseng saja membuat cerpen, siapa tahu jadi terkenal," senyuman manis mengulas pada bibir Solar. "Hampir tiga bulan ini deh aku mulai iseng-seng menulis cerpen."
"Cerpennya mengenai apa, Sol?" Tanya Halilintar yang kelihatan tertarik dengan hobby baru adiknya ini.
"Ehm… Cerita mengenai Kak Taufan dengan Kak Yaya!"
"Hah?! Apa?" Gempa dan Halilintar jawdrop mendengar jawaban adiknya.
"Iya, kemarin Solar ngga sengaja melihat surat-surat Kak Taufan dan Kak Yaya, lucu lho isi suratnya.. Masa Kak Yaya dibilang Biskuit-Comelku sama Kak Taufan". Tanpa memperhatikan reaksi kedua kakaknya, Solar mulai menarikan jari di atas keyboard laptopnya.
"Gem…"
"Ya Hali?"
Halilintar dan Gempa saling bertatapan dengan penuh tanda tanya.
"Nanti kita sidang Taufan, oke?"
"Persis seperti pikiranku… Mana pula si Taufan?"
"Entah, tapi kayaknya berhasil deh dia mendiamkan Blaze dan Thorn… Ngga ada suaranya tuh".
Solar kembali bersuara. "Aku juga membuat tentang Kak Gempa lho."
"A.. Aku?" Gempa langsung gelisah begitu namanya disebut oleh Solar.
"Kenapa Gempa?" Tanya Halilintar yang mendadak menjadi sangat tertarik dengan hasil karya Solar.
"Wah, Kak Hali ketinggalan gossip nih!" Ujar Solar yang mengacuhkan bahasa tubuh Gempa yang sudah sangat tidak nyaman dengan topik bahasan kali ini.
"Aku bukan tukang gossip Solar..."
"Memang Kak Hali ngga tau kalau Kak Gempa yang memanggil Kak Fang Kucing-Liarku?" Tanya Solar dengan cuek dan wajah tanpa dosa yang masih menatapi layar laptopnya. "Kemana saja Kak Hali sampai adik sendiri pacaran bisa ketinggalan beritanya?".
Halilintar mendadak tersedak mendengar info dari Solar. "Oh… Begitu ya, Gemgem…." Bibir Halilintar bergetar, berusaha untuk tidak tertawa karena seorang Halilintar harus mempertahankan image tsundere anti tertawa.
Sementar Gempa tertunduk dengan muka memerah. "Diam lah…" Desis Gempa.
"Tadinya Solar mau bikin cerpen mengenai Kak Hali… Tapi bingung, ngga ada pasangannya."
"Oh… Wajar saja, Sol, kakakmu yang tua ini masih jomblo" Balas Gempa pedas, intonasi ditekankan pada kata TUA. "Belum laku dia."
"Cih." Dengus Halilintar membuang muka. "Aku menolak jadi bahan gosip murahan," ketusnya membela diri dan kembali pada buku-buku pelajarannya. "Lagipula ada hal penting yang harus kita hadapi sekarang ini, Gempa."
Ketiga kakak beradik itu nampak sangat serius pada kegiatannya masing-masing tanpa saling berbicara. Hanya suara-suara ketikan laptop Solar yang terdengar dan itu tidak terlalu mengganggu konsentrasi Gempa dan Halilintar.
Suasana belajar dan mengetik yang khusyuk pecah ketika…
"SINI KALIAN!"
-KREEEEET!-
"BAGUS BLAZE. HIAAT"
-SREEEEK!-
"AMBIL INI HIAAA!"
-GUMPRANG!-
Dan…
-Ctik…-
Putuslah urat sabar terakhir Halilintar.
Halilintar menarik napas panjang dan mendengus kesal. "Gempa… Ke gudang samping rumah… Ambil tali tambang sebanyak mungkin…. Solar, ke gudang bawah tangga, ambil lakban." Perintahnya dengan napas yang tersengal-sengal menahan sisa kewarasannya.
"Oke, sebentar." Gempa langsung berdiri dan pergi ke gudang yang disebut kakak tertuanya.
"Siap, kak." Sahut Solar yang langsung berdiri dan mengambil sebuah roll lakban hitam dari gudang di bawah tangga rumah. "Semoga cukup." Ia meletakkan lakban itu di atas meja.
"Ini talinya." Gempa menyerahkan bermeter-meter tali tambang tebal kepada Halilintar.
"Bagus…." Halilintar meraih tali dan lakban yang diminta tadi sebelum berdiri dari duduknya. "Mati kau, Blaze, Thorn, Taufan…" Dengusnya sembari berjalan menuju tangga rumah dengan bersenjatakan tali tambang dan lakban.
"Semoga mereka dipermudahkan." Solar mengangguk dan kembali fokus dengan laptopnya.
"Panggil aku jika kakak perlu backup" Ujar Gempa sembari melangkah menuju dapur untuk membuat tiga cangkir teh untuknya, kakaknya dan adiknya.
.
.
.
"HUAA! HALI!"
"SINI KAU!"
"HUMPF! AH !, HALI, JANGAN! BESOK UJIAN!"
-Bruk, Bruk, bruk-
"Sekarang kalian berdua!"
"Jangan kak! Thorn janji ngga berisik!"
"Blaze juga!"
"Terlambat!"
"HIAAA!"
-GUBRAK-
"AMPUN KAK! AAMpfff."
"JANGanhff."
"BLAZE, THORN, TOLONG KAK TAUFAN!"
"HMPPFFT !"
.
.
.
"Selesai… Sekarang kita bisa tenang sampai nanti malam" Ujar Halilintar yang sedikit lelah dan keringatan sedang menuruni tangga sembari menepuk-nepukan kedua tangannya seakan membersihkan debu yang hina pada kedua tangannya.
"Akhirnya… Terbaik lah Kak Hali" Solar menarik napas lega.
"Ayo kita lanjut belajar lagi, itu kubuatkan teh… Tanpa gula kan?" Gempa menyodorkan secangkir teh kepada kakak tertuanya
"Yap, tanpa gula." Halilintar menghempaskan diri pada bangkunya semula dan menyeruput teh pemberian adiknya. "Ah, Teh Chamomile.. Terbaik…" Desahnya sembari tersenyum puas. "Eh ya, perlu kita bangunkan dia?" Dengan jempol, ditunjuknya Ice yang masih mendengkur pelan di atas sofa.
"Ah, sudahlah, ngga usah, kasihan dia tidurnya terganggu …"
.
.
.
Bersambung
