Assassination Classroom © Yuusei Matsui

.

Warning : AU, OOC, Typo(s), etc.

.

Rate : T

.

Happy reading!

.

.

.

"Apa kau percaya dengan hal-hal gaib yang sulit dipercaya?"

Tidak.

Rio menjawab dalam hati pertanyaan yang terlontar dari belakang tempat dia minum di sebuah cafe. Ia sedang tidak dalam mood yang baik. Terang saja, kekasihnya a.k.a Asano Gakushuu meminta putus dengannya dengan alasan konyol ingin fokus pada ujian masuk universitas.

Oh, rasanya Rio ingin melempari pemuda itu dengan buku-buku tebal yang selalu pemuda itu beli setiap kunjungan mereka ke toko buku. Tidak bisakah pemuda itu mengatakan bahwa mereka cukup istirahat saja? Kenapa harus selesai?

"Kau akan mengganggu pikiranku Rio. Kita akhiri saja."

Damn it!

Ia merutuki mantan orang terkasihnya dalam hati. Ditambah umpatan-umpatan membodohi dan segala sumpah serapah yang pernah ia dengar ia tujukan pada pemuda tampan sok sempurna itu.

"Tentang kisah putri dalam dongeng, pangeran tampan yang kena kutukan, atau putri malang yang menemukan pujaan hatinya yang baru. Kau percaya?"

Tidak ada yang seperti itu, dear.

"Aku tidak percaya itu. Itu hanya dongeng."

Rio tersenyum. Tepat.

"Tapi aku percaya hal-hal gaib itu ada. Seperti misalnya benda ajaib yang memiliki kekuatan magis."

"Lampu ajaib?"

"Ya. Seandainya aku mendapatkan lampu ajaib dan satu saja keinginanku bisa dikabulkan aku ingin laki-laki yang bisa membuatku bahagia."

"Aku juga. Aku akan meminta kesempurnaan dalam hidupku."

Tidak ada yang seperti itu. Jangan mengada-ada.

Rio bangkit dari duduknya. Mungkin merasa cukup setelah mendekam di sana sampai dua jam lebih. Langit juga sudah menunjukkan semburat jingganya. Jika Rio berniat membuang-buang waktu maka ia akan pulang berjalan kaki.

Tidak ada minat melakukan sesuatu yang muncul dalam diri gadis pirang bermata sipit itu. Ia hanya berjalan dan terus berjalan melewati orang-orang yang memiliki tempat untuk dituju.

Tidak seperti mereka, Rio hanya berjalan sesuka kakinya. Kadang ia berhenti untuk mengamati aliran air sungai dari pagar pembatas jembatan. Kadang juga melontarkan umpatan setelah nama Asano disebut. Tidak ada tujuan kemana ia pergi.

Benar-benar gadis yang patah hati.

Klang!

Rio memungut kaleng berisi soda dari mesin penjual minuman otomatis. Ia sengaja mengocoknya dan membiarkan minuman itu tumpah membasahi tangannya. Mungkin hanya tinggal sepertiga isinya saat ia menengguk cairan berwarna kecoklatan itu.

"Membosankan."

Ia menjatuhkan dirinya pada kursi kayu yang berada tepat di bawah tiang lampu jalan. Dan langsung menyesali perbuatannya itu saat punggungnya membentur sandaran kursi yang keras. Pantat dan punggungnya nyeri.

Gadis marga Nakamura itu berniat mengusap punggungnya tapi berhenti saat sesuatu mengejutkannya.

Lampu di atasnya mati. Nyala. Dan mati lagi—berkedip-kedip. Terus begitu sampai beberapa puluh detik.

Rio menghela nafas. "Thank's, sudah mendukung suasana hatiku," ujarnya sambil mendongak. Ia menatap lampu berwarna warm white itu dengan leher yang bertengger pada punggung kursi.

Hanya begitu. Tidak ada hal lain yang ia perbuat selain ikut membuka dan menutup mata seirama dengan mati-nyala lampu itu. Hanya saja saat lampu menyala Rio akan menutup matanya dan baru akan membukanya saat lampu padam. Kebalikannya.

"Ini bukan lampu ajaib," gumamanya. "Hanya lampu yang mau mati."

Aku seperti gadis berselimut kegelapan.

Wew, deskripsi menarik untuk sebuah cerita misteri.

Dia akan dicap sebagai warga kota yang baik kalau saja mau menghubungi polisi dan melaporkan lampu jalan yang bisa mengganggu aktifitas warga sipil tersebut. Tapi Rio tidak melakukannya, ia bukan tipe orang yang selalu ingin dipandang baik oleh masyarakat. Rio hanya gadis yang ingin dikenal orang sebagai yang apa adanya dirinya. Bukan sesuatu yang lain atau bahkan lebih.

Klap. Lampu padam. Rio memejamkan matanya, menyembunyikan netra biru sewarna langit musim panasnya di balik kelopak matanya. Ia mengernyitkan dahi saat merasa lampunya tak kunjung menyala lagi.

Tap. Tap. Tap.

Rio terpaksa mengingkari apa yang diperbuatnya tadi—membuka mata hanya saat lampu menyala. Ia terpaksa membuka mata mendengar langkah kaki yang sepertinya mendekat padanya. Dahinya semakin dalam mengeriput.

Siapa?

Ia tidak bisa menebak. Laki-laki? Perempuan? Tua? Muda? Anak-anak? Baik atau jahat? Tapi ia sudah berjaga-jaga untuk kabur jika ada hal yang mencurigakan.

Rio tertegun saat pertama kali yang bisa dilihat matanya adalah sesuatu warna merah. Merah terang, cukup mudah dikenali meski keadaan gelap.

Siapa? Mau apa?

Klap.

Lampu itu kembali hidup. Tepat di hadapan Rio berdiri seorang pemuda tampan yang sedang tersenyum—atau menyeringai? Pemuda itu menatap Rio. Sama sekali tidak ada raut wajah penjahat di penilaian pertama gadis itu.

Setidaknya sebelum gadis tersebut memutuskan kalau ternyata orang di hadapannya sangat menyebalkan.

"Aku kira akan bertemu seonggok mayat, ternyata gadis cantik yang tampak... patah hati? Bisa dibilang."

Rio berkedut kesal. Semudah itukah wajahnya dibaca oleh orang asing? Selain itu ia sama sekali tidak terima dikira mayat.

"Terlalu berharga jika mayat sepertiku tergeletak begini saja di pinggir jalan."

Pemuda dengan identitas Akabane Karma itu menjentikkan jari. "Benar juga. Dokter ilegal atau om-om dengan fetish aneh mereka tidak akan membiarkan mayat berharga sepertimu menganggur begitu saja."

Rio menggemelutukkan giginya. "Jadi... siapa? Dan mau apa?"

"Seseorang yang kebetulan lewat dan memutuskan untuk duduk."

Karma duduk di sisi lain bangku kayu itu. Berpangku tangan dan menatap Rio.

"Kau lupa menyangkal kalau kau patah hati."

"Aku tidak lupa. Memang sedang patah hati," jawab Rio acuh.

"Oh."

Hening selama beberapa detik. Dalam jeda waktu itu diisi oleh kedipan lampu di atas mereka.

"Mau kuhibur?"

"Ha?" Rio membulatkan mulut dan mengerutkan kening.

"Jika kau percaya, aku bekerja paruh waktu sebagai badut," lanjutnya.

"Cara berbohongmu buruk."

"Karena aku bukan seorang pembohong," elak Karma. "Mungkin kau bisa menguji kemampuanku. Atau aku yang menguji kemampuanku."

"Apa yang dikerjakan badut?"

"Membuat orang sedih sepertimu agar bisa kembali tertawa."

Rio mendengus. "Bagaimana caranya?"

"Mengeluarkan suara terbahak-bahak sampai air mata keluar dari sudut matamu—itu bagaimana caranya?"

"Halo? Aku yang barusan bertanya Tuan Badut."

Sebenarnya Rio mulai merasa kesal. Tapi ia tidak memiliki hak untuk mengusir pemuda itu dari fasilitas umum yang bukan miliknya.

"Kalau kau badut, pergi kemanakah hidung merahmu?"

Karma berlagak berpikir. Lagi, ia menjentikkan jarinya setelah mendapat sesuatu mampir di kepala geniusnya.

"Kekasihku mengambilnya dariku."

Rio tidak paham.

"Hidungku tidak merah. Tapi dia membuat hidungku memerah—tidak, tapi seluruh wajahku memerah karena dia mengecup ujung hidungku. Warna merah itu menghilang karena dia bawa lari."

Ups. Pemuda ini pandai bicara. Badut asmara?

Rio memutar bola matanya setelahnya.

"Lihatlah! Warna merah itu tidak ada di hidung, tapi di rambutku. Apa menurutmu aku badut spesial atau seseorang kena kutuk?"

"Mungkin keduanya." Rio tidak menanggapi lebih lanjut. Ia tertarik pada hal lain. "Ne, coba tunjukkan padaku sebuah trik."

"Trik?"

"Sesuatu yang biasa dikerjakan oleh badut, misalnya memainkan bola di udara, melawak atau mengeluarkan kertas warna dari hidungmu."

"Maaf, aku lupa membawa peralatanku."

"Kau bilang mau membuatku tertawa. Bahkan tersenyum geli saja aku tidak. Apa kau benar seorang badut?" Rio memicingkan mata.

"Kau akan tertawa."

"Kapan itu?"

"Saat trikku kubongkar."

"Mau membongkar rahasiamu?"

"Tentu saja."

"Kau tidak asyi—"

"Lihat! Bintang jatuh."

Rio mendongak ke arah yang ditunjuk. Ia mengamati langit yang tanpa bintang. "Tidak ada apa-apa di sana. Kau membual."

Karma membuat raut kebingungan di wajahnya. "Are? Kau tidak melihatnya? Padahal cukup jelas aku melihat seorang bintang cantik yang jatuh."

Ganti Rio yang mengerutkan kening. "Bintang itu benda, tidak pantas disebut seorang," ralat Rio.

Karma tersenyum lembut. Dan manis. "Pantas kau tidak melihat bintangnya. Karena kau adalah bintang itu sendiri. Tidak salah aku menyebut bintang tadi seorang kan?"

Rio mengerjapkan matanya.

"Kemarin aku melihatmu, sedang menangis saat bicara dengan seorang pemuda. Kupikir kau patah hati," ungkap Karma.

Rio membulatkan mulut.

"O-oh... Jangan bilang kau datang padaku hanya untuk menghiburku? Dan semua yang kau katakan—termasuk badut tadi hanya omong kosong?"

Karma tidak menyangkalnya. Ia hanya tersenyum.

"Aa—Hahahaha!"

Keterkejutannya berubah menjadi tawa. Rio tertawa mengetahui kebenaran itu.

Karma berdiri dan berjalan beberapa langkah di depan Rio. Berbalik dan menghadap gadis itu.

"Trikku sudah kubongkar dan kau tertawa. Kurasa aku berhasil menguji kemampuanku membadut."

Rio membekap mulutnya. Dia baru menyadarinya.

Dia benar.

"Kalau begitu, jaa na! Jangan bertampang lesu lagi saat kita bertemu."

Karma meninggalkan Rio yang masih terkejut. Ia berjalan santai dengan memasukkan tangannya ke saku celana.

"Ano! Namamu?"

Karma hanya menolehkan kepalanya. "Karma. Akabane Karma!"

Rio menatap lampu yang lagi-lagi berkedip-kedip. Ia teringat percakapan orang di belakangnya saat di cafe.

"Apa kau percaya dengan hal-hal gaib yang sulit dipercaya?"

Aku percaya. Meski itu bukan hal gaib, ini sulit dipercaya.

"Tentang kisah putri dalam dongeng, pangeran tampan yang kena kutukan, atau putri malang yang menemukan pujaan hatinya yang baru. Kau percaya?"

Aku percaya. Tentang pangeran yang tidak dikutuk dan putri malang yang menemukan pujaan hatinya yang baru.

Rio mendongak. Ia menatap lampu jalan itu lama. Dia tersenyum.

"Katakan kalau kau bukan lampu ajaib. Jika aku meminta satu hal dan bisa terkabul aku percaya hal magis itu ada," ujar Rio.

Aku mau mendapat laki-laki yang bisa membuatku bahagia dan hidup kami menjadi sempurna.

Rio terkekeh kecil. Mungkin ia tidak kreatif karena menggabungkan dua keinginan orang yang tidak dikenalnya menjadi satu dan membuatnya menjadi impian miliknya.

Rio memandangi lampu itu—yang sedang dalam posisi mati. "Terkabullah," bisiknya sambil memejamkan mata.

Klap.

Lampu menyala.

"Rupanya kau masih masih di sini. Oh ya, dompetku terjatuh. Kau melihatnya?"

Rio tidak melihatnya. Ia terlalu terpaku melihat Karma datang kembali ke tempatnya.

"Ah, itu dia." Pemuda itu berjongkok untuk mengambil dompetnya yang tergeletak di dekat kaki bangku. "Mau pulang bersamaku? Bahaya seorang gadis pulang larut sendirian. Ah, aku juga belum tahu namamu. Siapa?"

"Rio. Nakamura Rio."

"Na, Nakamura-san ayo pulang."

Rio mengangguk. Ia menoleh ke belakang saat berjalan di samping Karma. Batinnya menjerit—

Kau benar-benar lampu ajaib!

.

Fin.