A/N: Yup, halo minna! Kali ini saya Viero Eclipse berkolaborasi dengan Meiko Namikaze. Sistem kolab fic ini mirip dengan tag. Tiap chapternya selang-seling buatnya. Jadi, jangan heran kenapa di masa hiatus saya ini, saya bisa membuat fic ini karena chapter satu ini bukan buatan saya, melainkan buatan Meiko Namikaze. Untuk chapter dua, barulah saya yang membuatnya. Chapter tiga Meiko lagi, chapter empat saya dan begitu seterusnya.
Distorted Pain
Disclaimer: Masashi Kishimoto
Rate: T
Genre: Romance, Mystery, Crime, Family, Angsty
Pair: MinaFemNaru, slight MinaKushi
Warning: AU, OOC, bit gore
Fic collab antara Viero Eclipse dan Meiko Namikaze
Chapter 1 by: Meiko Namikaze
Beta-Ed by: Viero Eclipse
No incest.
Don't like don't read
Enjoy it
Chapter 1 : Awal Dari Segalanya
CTAAARR!
Hujan turun dengan derasnya. Petir menyambar membuat kilatan putih di langit. Gemuruh menggelegar dengan suaranya yang dahsyat.
Tes. Tes. Tes.
Suara itu bukanlah suara air hujan yang turun membasahi bumi. Melainkan suara cairan berwarna merah pekat yang menetes di lantai. Bukan saos untuk spageti yang berwarna merah. Bukan itu, melainkan...
Darah.
Darah seorang gadis berambut merah yang tengah kesakitan sambil memegangi perutnya. Cairan merah itu mengalir deras dari perut dan mulutnya. Nafasnya memburu dan tersengal-sengal. Mata violetnya membelalak lebar. Ia bersandar di dinding putih dapur yang telah ternodai oleh darahnya.
Sesosok manusia yang memakai jubah hitam berdiri di depan gadis itu. Di tangannya, tergenggam pisau yang telah terlumuri darah sang gadis. Sosok itu tersenyum bengis. Ia menjilat darah yang ada di pisaunya. Sekali lagi, ia menusuk perut gadis di depannya.
"ARRRRGGGGHHHH!"
Teriakan gadis itu melengking tinggi diiringi suara petir yang menyambar. Sementara sosok di depannya tersenyum dan menarik pisaunya, membuat sang gadis mengeluarkan darahnya lebih banyak.
Sang gadis memegangi perutnya. Dari matanya, ia terlihat sangat tersiksa. Dengan nafas yang tersengal-sengal dan suara yang lirih ia berkata...
"Kau..."
Setelah mengatakannya, gadis itu terjatuh dan tampak sedang meregang nyawa. Sosok berjubah hitam itu tertawa sekeras-kerasnya melihat korbannya sekarat. Kemudian, ia pergi dan menghilang, meninggalkan korbannya yang akan menjemput ajalnya.
Tiga hari kemudian...
Petir menggelegar dan hujan turun dengan derasnya. Semua itu tidak bisa menghentikannya. Ia tetap berdiri di depan sebuah nisan. Pemuda dengan rambut kuning jabrik itu membiarkan dirinya basah kuyup di bawah guyuran hujan yang terus turun.
Rambut jabriknya menjuntai lurus terkena guyuran air. Ia tertunduk ke bawah memandang batu nisan di sebuah makam yang baru. Di depan nisan itu, terletak sebuah bingkai foto yang berisikan foto seorang gadis berambut merah dan bermata violet sedang tersenyum riang dan melambaikan tangannya.
Sakit...
Itulah yang dirasakan pemuda bernama Minato Namikaze itu sekarang. Eksekutif muda berusia 22 tahun yang bekerja di Konoha Company itu tengah dilanda kesedihan. Hatinya perih. Kekasih hatinya pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Jasad gadis yang dicintainya kini terkubur di dalam tanah, tempat peristirahatan terakhir bagi gadis itu. Masih terbayang di pikirannya, gadis yang dicintainya terbaring kaku di peti mati dalam balutan gaun putih. Kini, yang ada di depannya hanyalah sebuah nisan bertuliskan nama kekasihnya.
Kushina Uzumaki
Air mengalir di pipi pemuda itu. Bukan air hujan yang sedang turun, tapi air matanya sendiri. Air terus mengalir dari mata cobaltnya. Tak ada suara yang keluar dari bibirnya, tapi bisa dipastikan bahwa pemuda itu menangis pilu.
Bagaimana tidak? Ia sendiri yang pertama kali menemukan kekasihnya bersimbah darah. Masih teringat jelas di otaknya, bagaimana sang gadis meregang nyawa sebelum akhirnya ajal datang menjemputnya. Bagaimana rupa kesakitan gadis bernama Kushina Uzumaki itu dalam pelukannya.
Flashback
Minato Namikaze menutup laptopnya dengan wajah yang berseri-seri. Jam menunjukkan pukul lima sore, waktu baginya untuk pulang dari pekerjaannya yang melelahkan. Ia membereskan dokumen-dokumennya dan menata tasnya. Lalu, dia keluar dari ruangan kerjanya.
Sepanjang perjalanan ke tempatnya memarkir mobil kesayangannya, wajahnya tampak bahagia. Tentu saja karena ia mendapat promosi naik jabatan dari bosnya. Ia tak sabar ingin memberi tahu kekasihnya tentang hal ini. Kekasihnya adalah seorang mahasiswi semester akhir bernama Kushina Uzumaki. Mereka sudah lama menjalin hubungan.
Pemuda itu memiliki wajah yang tampan dengan mata cobalt yang tampak mempesona. Rambutnya berwarna kuning cerah dan jabrik. Wajahnya yang tampan dan bentuk fisik yang sempurna membuat para gadis tergila-gila padanya. Bahkan, di perusahaan tempat ia bekerja, ada sebuah club yang berisi fangirlsnya.
Setelah ia memasuki mobilnya, ia langsung saja menjalankan mesin mobilnya. Mobilnya melaju meninggalkan kantornya menuju ke apartemen Kushina. Minato membayangkan bagaimana reaksi gadis yang dicintainya itu. Ia tidak mampir ke toko bunga manapun. Bukan karena ia tak menyayangi Kushina, tapi Kushina tidak suka diberi bunga.
Saat Minato sudah menempuh setengah perjalanan, perasaannya tidak enak. Ia mendapat firasat buruk.
'Ada apa dengan firasat ini? Apa ada yang terjadi dengan Kushina? Jangan-jangan...' Minato menggelengkan kepalanya. 'Ah, tidak mungkin. Jangan berpikiran negatif, Minato. Tapi sebaiknya aku ke sana secepatnya,' pikir Minato.
Minato langsung mempercepat laju mobilnya. Firasatnya semakin menjadi-jadi saat ia mendekati apartemen Kushina yang dihuni oleh Kushina dan adik perempuannya. Hatinya galau dan ia merasakan hawa tak enak saat ia sampai di gedung apartemen Kushina.
Minato segera keluar dari mobilnya dan menguncinya. Ia bergegas lari ke dalam gedung apartemen. Firasat tak menyenangkan dalam dirinya semakin kuat setiap ia melangkah mendekati pintu apartemen Kushina. Ia tak menghiraukan orang-orang yang menyapanya. Yang ia pikirkan hanyalah gadisnya.
'Pintunya tak terkunci?' Minato semakin merasa ada yang aneh dan ganjil saat ia memasuki apartemen Kushina. Apartemen itu tak terkunci. Biasanya apartemen itu dikunci oleh Kushina. Minato mempunyai kunci serepnya, sehingga ia bisa keluar masuk dengan mudah ke dalam apartemen Kushina.
"Kushina?" Minato melayangkan pandangannya ke sekeliling apartemen itu. Apartemen itu tidak mewah, tapi tidak sederhana. Minato pernah menawarkan ke Kushina untuk pindah ke apartemen yang mewah, tapi kekasihnya itu menolak.
Minato masuk ke dalam ruang duduk apartemen itu. Tidak ada orang di sana. Malahan suasananya sangat sepi. Biasanya, kekasihnya akan menyambutnya di sana dengan pelukan hangatnya. Tapi kekasihnya tak kunjung muncul.
"Uukkkhh..."
Telinga Minato mendengarkan suara rintihan. Pendengarannya tajam, ia bisa mendengar dengan jelas suara rintihan yang berasal dari dapur. Tenggorokan Minato tercekat mendengar suara itu.
"Kushina!" Minato segera berlari ke dapur. Ia takut terjadi sesuatu dengan gadisnya. Firasat buruknya semakin kuat. Minato semakin cemas. Hatinya galau. Yang ada di pikirannya hanyalah Kushina, Kushina dan Kushina.
Dan terkejutlah ia sesampainya di dapur. Mata cobaltnya membelalak lebar melihat pemandangan di dapur. Mulutnya menganga melihat suasana dapur. Darah berceceran di mana-mana. Jendela terbuka lebar dan kini di hadapannya terdapat sosok dalam keadaan mengenaskan.
Di lantai, sosok gadis berambut merah tergeletak begitu saja. Darah mengalir dari mulut dan perutnya. Wajahnya tampak kesakitan. Tangannya menutupi perut kanannya, sementara tangan yang satu lagi terentang.
Dan... Ia bersimbah darah.
"Kushina!" Minato menghampiri sosok itu. Tak salah lagi, gadis itu adalah kekasihnya, Kushina Uzumaki. Wajahnya pucat pasi. Ia kesakitan dan sekarat. Hati Minato tak kuat melihat gadisnya dalam keadaan mengenaskan. Ia mengangkat tubuh Kushina dengan hati-hati dan pelan-pelan dan membaringkan kepala Kushina di pahanya.
"Mi...Minato... Ka-kaukah itu?" tanya Kushina. Nafasnya tersengal-sengal.
"Ya, ini aku. Bertahanlah, aku akan memanggil ambulan." Minato merogoh sakunya dan mengambil ponselnya. Ia tidak bisa menggunakan akal sehatnya sekarang. Yang ia pikirkan hanyalah keselamatan Kushina.
"Ja...Jangan...Per-percuma...Aku...akan...segera...mati..." Kushina mengucapkannya dengan terbata-bata.
"Kushina..." ponsel Minato turun dari tangannya. Ia menyingkap kaos yang dikenakan Kushina.
Mata cobalt itu membelalak lebar ketika melihat dua lubang tusukan di perut sang gadis. Yang satu tidak terlalu dalam, tapi yang satu sangat dalam. Minato sangat geram melihatnya. Ia melepas jasnya dan membelitkannya di perut Kushina, mencoba menghentikan pendarahannya.
"Per...cuma...Mina...to..." Kushina merasa ajalnya semakin dekat. Rasa sakit yang dideritanya semakin kuat. Pandangannya mulai kabur.
"Jangan bilang seperti itu! Siapa yang membuatmu seperti ini?" tanya Minato dengan nada naik satu oktaf. Air matanya berlinang melihat Kushina sekarat. Ia mendekap tubuh Kushina yang makin melemah.
"Minato...Berjanjilah...padaku..." Kushina mengabaikan pertanyaan Minato. Ia mencoba mengerahkan tenaganya. Tangan mungilnya meraba wajah Minato. Ia mengusap pipi Minato perlahan dengan jemarinya.
"Kushina..."
"Minato...Maaf...Aku...hh... me-meninggalkanmu se-seperti ini. A-aku bahagia bersa-samamu...Mina...to..." Air mata mulai meluncur turun dari mata kedua insan tersebut.
"Kushina, jangan bicara yang tidak-tidak. Aku tidak bisa hidup tanpamu," ujar Minato.
"Ja-jangan bilang se-seperti itu...Ja-jangan menangis...Kau laki-laki..." Kushina mengusap perlahan pipi Minato dengan tangannya yang gemetaran.
"Kushina..." Minato tidak bisa kerkata-kata.
"Kau laki-laki terbaik yang kukenal, Minato...Kau laki-laki pertama...yang memuji rambutku...Kau laki-laki yang mencintaiku..." Air mata Kushina mengalir dengan deras, berbaur dengan darahnya.
"Kushina... Jangan bicara seperti itu, kumohon," pinta Minato. Tangan kekarnya mendekap Kushina semakin erat.
Lagi-lagi Kushina mengabaikan Minato. "Minato... Aku hampir tak bisa melihat... Se-sebentar lagi... Aku ingin me-melihat cengiranmu...Ku-kumohon," pinta Kushina dengan nada yang memelas.
"Apa dengan itu kau bisa hidup demi aku? Kau masih punya adik..." Minato berusaha mencari-cari alasan.
"Kumohon...Minato...Ini kesempatanku yang terakhir... Ini per-permintaan terakhirku..." Kushina bersikeras.
Minato memang tahu sifat keras kepala Kushina. Ia ingin mengabulkannya, tapi dalam kondisi seperti ini... Ia tidak mungkin menunjukkan cengiran khasnya pada kekasihnya yang sedang meregang nyawa. Ia tidak bisa, ia sangat sedih sampai tersenyum pun tidak mungkin.
Tapi demi keinginan terakhir gadisnya...
"Baiklah," jawab Minato.
Dengan sangat terpaksa, Minato berusaha tegar. Ia mencoba menunjukkan cengirannya demi Kushina. Walau dengan hati yang berat dan perih, ia berhasil nyengir. Dan ia terkejut, melihat Kushina tersenyum.
"Terima kasih...Minato... Pandanganku sudah kabur... Aku tidak bisa melihatmu lagi... Hanya bisa merasakan dan mendengarmu..." Kushina tersenyum dengan amat susah payah. Pandangan matanya mulai tak jelas. Nafasnya semakin memburu.
"Kushina..." Minato meraba wajah gadis itu, supaya sang gadis bisa merasakan sentuhan-sentuhannya. Ia mencium dahi gadisnya dengan lembut.
"Minato...Aku tidak kuat lagi... De- hh, dengarkan aku... I-ini permintaan terakhirku..." Kushina menyemburkan darah dari bibirnya dan sebagian mengenai kemeja putih Minato.
"Kushina!" Minato tidak mempedulikan pakaiannya terlumuri darah Kushina. Tapi kini terasa jelas bahwa ia akan segera kehilangan gadis yang ia cintai. Demi gadisnya, ia akan memenuhi permintaan terakhirnya.
"Minato...Te-tetaplah hidup... Naruko...Kutitipkan pa-padamu..." Nafas Kushina semakin tak beraturan. Bicara pun sulit, tapi ia tetap berusaha bicara. Seluruh indranya mati, hanya pendengarannya yang bisa ia gunakan. Untuk mendengar suara Minato untuk terakhir kalinya. Ia ingin mendengar janji Minato padanya.
"Aku janji," jawab Minato dengan nada yakin. Suara bergetar.
"Ja-jangan bunuh si-siapapun pembunuhku..." Kushina kembali memuntahkan darah dari mulutnya.
"Ya." Hanya itulah yang bisa dikatakan Minato, supaya gadisnya tenang dan tidak sedih terhadapnya. Seandainya bisa, Minato akan menolaknya. Ia tidak bisa mengampuni orang yang membuatnya kehilangan Kushina yang sangat dicintainya.
"Te-terakhir... Mi-minato... Aku mencintaimu... Te-terima kasih untuk se-semuanya... Ta-tapi... A-adikku... Minato... Ja-jagalah... Jagalah... Naru...ko...Ba-bahagialah dengannya..."
Kepala Kushina tergolek. Tangannya yang menyentuh pipi Minato turun ke bawah. Jantungnya telah berhenti berdetak. Nafas kehidupannya telah berhenti. Mata violetnya terkatup rapat dan tidak akan membuka lagi. Namun, seulas senyum terukir di bibir mungilnya. Bukan karena ia bahagia maupun damai tapi karena...
Minato telah berjanji padanya.
"Kushina...Kushina, bangun, jangan bercanda." Minato mengguncang tubuh Kushina dengan rasa takut di hatinya. Tapi nasi telah menjadi bubur, Kushina telah meninggal dan tak akan kembali.
"Kushina...Kushina... KUSHINA!" Minato mulai menangis keras. Ia mendekap tubuh gadis yang sudah tak bernyawa itu. Air mata terus mengalir dari mata cobaltnya. Ia memeluk Kushina erat di dadanya yang bidang. Sang gadis tidak bergerak sedikit pun.
Hujan kembali turun dengan derasnya, seakan mengiringi kisah tragis pasangan kekasih itu. Sang pemuda terus menangis dan memanggil nama gadisnya, mengiringi kepergian gadis yang dicintainya itu.
End Of Flashback
Di benak Minato, masih ada rasa penyesalan. Seandainya ia tidak terlambat, mungkin gadis itu tidak akan meninggal dan masih bisa diselamatkan. Seandainya ia masih bisa, ia ingin mengatakan bahwa ia mencintai Kushina.
Dan seandainya bisa...
Minato merogoh sakunya. Sebuah kotak beludru merah tergenggam di tangannya sekarang. Ia membuka kotak itu. Sebuah cincin yang terbuat dari emas putih terletak di dalamnya berhiaskan berlian. Ia mengambil cincin itu dari kotaknya. Cincin yang ingin ia berikan pada sang kekasih untuk hadiah sekaligus lamaran.
"Kushina...Bahkan aku belum sempat bertanya padamu apakah kau mau menikah denganku... Sebelum aku sempat menyematkan cincin ini di jarimu, kau malah meninggalkanku..."
Minato mengadah ke langit. Awan kelabu masih terus menutupi matahari. Bila diandaikan, mungkin ialah matahari itu. Matahari yang tertutup awan kelabu karena kehilangan bulan yang mendampinginya. Matahari yang tak bersinar terang lagi karena kehilangan pasangannya.
'Apakah ada bulan yang bisa menggantikan bulan secantik dirimu? Sekarang aku adalah matahari yang tertutup awan kelam kelabu. Seandainya ada bulan lain bagiku, mungkin akan berbeda denganmu. Tak akan sama lagi denganmu.'
Lamunan Minato terhenti ketika ada yang menepuk bahunya. Minato menoleh ke belakang, masih dengan mata cobalt yang tergenang air. Di belakangnya, ada seorang polisi berambut hitam.
"Pulanglah. Kau bisa masuk angin," tegurnya sambil memberikan payung pada Minato.
Minato tersenyum getir. "Tidak usah. Aku di sini saja."
"Kubilang pulang. Kau pikir dia akan senang melihatmu dalam keadaan seperti ini?" Polisi itu berkata dengan nada memaksa dan dingin.
"Nadamu dingin sekali, Fugaku-san. Sepertinya kau tidak memahami perasaanku sama sekali." Minato berkata dengan senyuman pahit di wajahnya. Cengiran khasnya hilang sejak kematian Kushina yang memukul dirinya.
"Bukannya aku tidak paham, tapi ini demi Kushina," bantah orang yang dipanggil Fugaku tadi. Mata onyxnya terkesan dingin, namun ada sekilat rasa khawatir di wajahnya.
"Daripada menghawatirkanku, kau lebih baik menyelidiki kasus ini, Fugaku-san." Mata cobalt Minato berubah menjadi dingin. Tidak ada kehangatan di matanya sama sekali. Tidak ada gairah sama sekali di matanya.
"Bagaimana aku menyelidiki tapi saksinya sakit?" tanya Fugaku.
"Bukannya aku sudah memberikan keterangan?" Bukannya menjawab, Minato malah mengelak.
Yang Minato inginkan adalah berada di sisi Kushina. Sampai kapanpun, ia ingin berada di samping Kushina. Walau Kushina telah tiada, ia tetap ingin di sampingnya. Hanya berada di dekat makamnya, Minato ingin tetap bersama Kushina.
Sikap dan tindakannya sama sekali berbeda dengan apa yang dikatakan 'jenius'. Cinta memang membutakannya. Harusnya ia sadar, ia dan Kushina terpisahkan oleh kematian. Kematian gadisnya harus ia terima. Tapi, ia belum ingin melupakannya. Ia tidak bisa menerima kematian gadisnya.
Kushina baru berumur 21. Dan mereka baru berpacaran selama satu tahun. Tapi mengapa Kushina pergi begitu cepat? Mengapa takdir begitu kejam kepadanya? Baru satu tahun ia menyadari perasaannya terhadap Kushina. Ia belum sempat mengucapkan lamarannya. Ia telah terlambat. Kushina telah meninggalkannya.
"Apakah ini yang namanya jenius? Kau pikir kami semua senang melihatmu seperti ini? Berpikirlah, Minato. Jangan hanya mementingkan dirimu sendiri!" bentak Fugaku. Mata onyxnya menatap tajam pada sepasang mata cobalt yang suram itu.
"Kalian yang tidak mengerti perasaanku. Aku bahkan belum sempat mengajaknya naik pelaminan, belum sempat memberinya cincin. Tapi dia sudah pergi dalam keadaan seperti ini. Terbunuh seperti itu? Apa kau tak bisa mengerti bagaimana perasaanku sekarang? Harusnya aku datang lebih cepat. Aku terlambat menyelamatkannya, Fugaku-san. Aku tidak bisa berbuat apa-apa saat ia dijemput oleh ajalnya. Aku ini tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan demi gadis yang kucintai," ujar Minato. Terlihat jelas di sepasang mata cobaltnya, sebuah kilatan rasa kecewa.
"Kalau kau ingin menebus kesalahanmu, jangan seperti ini caranya. Bukankah kau ingin menemukan pelakunya? Demi Kushina?" tanya Fugaku. Ia menepuk pelan bahu Minato yang lunglai.
"Walaupun aku menemukan dan membunuh pelakunya, Kushina tidak akan kembali padaku," jawab Minato.
"Kekanak-kanakan sekali kau, Minato. Aku heran, mengapa kau bisa mendapat julukan jenius padahal kau bertingkah seperti ini sekarang. Kalau kau memang seorang pria dewasa, berpikirlah! Kau harus menerima kematiannya. Setiap orang pasti akan mati," ujar Fugaku.
Sekarang mereka berdua berdiri berhadapan. Cobalt dan onyx saling bertemu. Namun, mata mereka saling menatap tajam. Seakan tidak menghiraukan di mana mereka dan makam siapa yang ada di depan mereka.
"Aku tahu. Baiklah, aku akan menurut." Minato akhirnya menyerah. Di wajahnya masih tersirat kesedihan yang mendalam. Tapi air di matanya sudah kering.
"Baguslah. Nah, sekarang ikut aku ke kantor polisi, hasil otopsi sudah keluar." Fugaku mengajak Minato pergi dari tempat itu.
"Nanti aku ke sana. Aku mau berpamitan dulu," ujar Minato.
Tanpa sepatah katapun, Fugaku meninggalkan Minato. Ia memberikan payung untuk Minato, baru ia pergi. Minato maju dan mendekati nisan baru yang menandakan makam Kushina.
'Kushina, maaf, aku berbuat bodoh. Sekarang ijinkan aku pergi dan menyelidiki pembunuhan ini. Aku akan menepati janjiku.' Minato menyentuh nisan itu, kemudian ia melepas tangannya dan pergi dari situ.
Awan kelabu mulai tersibak dan matahari mulai menampakan cahayanya lagi.
Suara bising orang-orang terdengar jelas dari sebuah kantor di Tokyo. Beberapa mondar-mandir di koridor. Kertas-kertas berserakan, beberapa di bawa oleh orang-orang. Beberapa orang berdiskusi sambil membaca koran dan minum kopi hangat.
Ini bukanlah kantor perusahaan, tapi kantor tempat segala kejahatan ditangani dan penjahat diinterogasi. Tempat di mana orang-orang dengan rasa keadilan berkumpul untuk memberantas kejahatan dan membuat keadilan di Jepang.
Kantor Polisi
Tempat di mana Minato berada sekarang. Tepatnya di ruang khusus interograsi tersangka maupun saksi. Tersangka? Oh, bukan. Minato adalah saksi dari pembunuhan. Tepatnya, ia merupakan orang yang berada di sisi korban menjelang ajal sang korban yang merupakan kekasihnya sendiri.
Di ruangan itu hanya ada dua orang. Minato dan seorang polisi, Fugaku Uchiha. Mereka berdua duduk berhadapan. Sebuah meja membatasi mereka. Raut wajah mereka sangat serius sekarang. Yang mereka bicarakan bukan masalah kehidupan sepele, namun masalah sangat penting.
Pembunuhan Kushina Uzumaki
Fugaku mengambil berkas-berkas yang ada di atas meja. Ia membuka berkas itu satu persatu, sementara pemuda bermata cobalt yang ada di depannya hanya mengamatinya. Mengamati bagaimana Fugaku membuka satu persatu file yang berhubungan dengan pembunuhan Kushina Uzumaki.
"Hasil otopsi." Fugaku menyerahkan beberapa lembar kertas pada Minato.
Raut wajah Minato berubah melihat berkas otopsi itu. Alisnya terangkat dan matanya membaca dengan serius apa yang tertulis di berkas-berkas otopsi itu. Sepasang mata cobaltnya membelalak lebar melihat tulisan-tulisan itu.
"Tanpa ada perlawanan? Lukanya sedalam itu? Tapi, dengan pisau apa? Setahuku, tidak ada pisau dapur yang bisa menimbulkan luka sedalam itu," komentar Minato sambil mengamat-amati berkas itu.
Fugaku mengangguk. "Ya, kami para polisi pun bingung dengan cara apa yang dilakukan sampai menimbulkan luka seperti itu. Lebar luka pertama sekitar lima centimeter, tapi yang kedua sampai sepuluh centimeter. Apa kau tak menyadarinya?"
Minato berpikir. Ia mencoba mengingat seperti apa luka yang ada di perut kekasihnya. Ia masih ingat, ia menyingkap kaos Kushina sampai lukanya terlihat. Ia sadar lukanya ganjil. Salah satunya lebar.
"Aku..." wajah Minato berubah. Ia tentu sangat depresi dengan hal ini. Mengingat bagaimana keadaan Kushina saat itu. Hatinya sakit bila mengenangnya. Ia memegangi kepalanya supaya tak lepas kontrol.
"Kurasa kau masih perlu waktu untuk menjawabnya." walau dengan paras stoicnya, Fugaku masih merasa sedikit cemas dengan pemuda yang ia anggap adiknya sendiri. Kalau bukan karena Minato yang mengenalkan, ia tidak akan menikah dengan istrinya.
"Tidak apa. Ya, aku sempat melihatnya, tapi waktu itu aku sangat kalut."
"Kemudian, dari pemeriksaan tempat. Tidak ada ceceran darah di ruang lain selain dapur. Selain itu, tidak ada sidik jari di sekitar tempat itu, kecuali sidik jari Kushina dan sidik jarimu, serta sidik jari adik Kushina. Tidak terlihat bagaimana cara pelakunya kabur maupun datang. Semua orang yang berada di gedung apartemen juga mengaku tidak melihat orang yang mencurigakan."
"Maksudmu, ini pembunuhan ruang tertutup?" tanya Minato.
"Dengan kata lain, ya. Pembunuhan ruang tertutup," jawab Fugaku disertai anggukannya.
Minato terdiam. Akan sangat sulit menemukan pembunuhnya bila seperti itu. Pembunuhnya benar-benar lihai. Tidak ada jejak sedikitpun. Jejaknya lenyap seperti disapu angin.
"Kami juga kesulitan karenanya. Dan kami menemukan surat wasiat yang ditulis oleh Kushina, beberapa hari menjelang ajalnya. Aku tidak tahu mengapa ia meninggalkannya." Fugaku mengambil kertas dan memberikannya pada Minato.
To: Minato
Bila aku mati...
Aku tahu saat kematianku semakin dekat. Aku tahu kenapa tou-san dan kaa-san meninggal. Tak lama lagi, aku yang akan meninggal. Aku sudah merasakannya.
Minato, maaf aku berbohong padamu tentang ini. Maafkan aku, aku tak menceritakannya karena aku mencemaskanmu bila tahu tentang ini. Aku melakukannya karena aku mencintaimu.
Minato, saat aku hidup, saat bersamamu dan Naruko adalah saat yang paling indah. Aku tak akan melupakannya. Aku sangat bahagia bisa bertemu dan menjalin hubungan denganmu. Maaf, karena aku harus meninggalkanmu dan tak bisa mendampingimu.
Aku sudah tahu, apa yang terjadi sebelas tahun yang lalu saat kaa-san dan tou-san meninggal. Dan aku adalah incaran berikutnya. Aku tak bisa mengelak dari takdir ini. Apa pun yang kulakukan, aku tetap akan mati di tangannya.
Terima kasih, atas segalanya, Minato. Terima kasih, kau telah berada di sampingku selama ini. Terima kasih, karena kau mau mencintaiku yang seperti ini. Terima kasih, kau membuat hidupku bahagia. Kau mungkin cinta sejatiku, aku berterima kasih karena aku bertemu denganmu sebelum aku mati.
Minato, bila aku mati dibunuh, jangan membalas dendam dengan membunuh. Aku tidak mau kau menjadi pembunuh. Aku tidak ingin kau menjadi kejam karena balas dendam dan kebencian. Jangan lakukan itu, Minato.
Minato, ada satu pesanku padamu. Aku dan Naruko sebatang kara di dunia ini. Aku tidak punya orang lain yang kupercayai selain kau. Dan kau satu-satunya orang yang kupercayai untuk hal ini.
Tolong...
Jagalah Naruko untukku. Bila aku mati, ia akan sebatang kara. Jangan biarkan dia seperti itu. Aku mohon, angkatlah dia jadi adikmu supaya ia tak terancam bahaya. Jagalah dia, Minato, dan bahagialah bersamanya.
Kushina Uzumaki
...
Mata cobalt Minato mulai meneteskan air mata. Ia memegang surat itu dengan tangan gemetaran. Air matanya jatuh membasahi kertas putih itu. Sekarang, hanya itulah peninggalan terakhir dari Kushina yang ia miliki.
"Karenanya, Minato, kami pihak kepolisian memutuskan memberikan program perlindungan saksi pada Naruko Uzumaki."
"Ya," jawab Minato dengan nada yang datar. Ia mengusap air matanya.
"Dan sesuai dengan wasiat ini, kau diminta tinggal bersama Naruko Uzumaki dan ia akan diangkat sebagai adikmu dengan nama Naruko Namikaze," tambah Fugaku.
"Baiklah." Minato menjawab dengan pasti.
'Naruko ya...'
Tanpa pikir panjang, Minato menyanggupinya. Apapun demi Kushina, ia akan menyanggupinya.
TBC
A/N: Yup, chapter selanjutnya giliran saya ya? hehehe... semoga bisa saya kerjakan tanpa menunggu selesai ujian. Pray for miracle! TTwTT #Plak
Saya ucapkan terima kasih untuk Meiko Namikaze dan semua yang sudah menyempatkan waktu untuk membaca fic ini.
Akhir kata, review, saran dan kritik akan kami terima sebagai bahan evaluasi.
Arigato! ^w^
