Harry Potter hanya milik Joanne Katleen Rowling dan Naruto pun hanya milik Kishimoto Masashi-sensei. Entah kenapa saya sangat menyukai sebuah grup kecil yang hidup sebelum zaman Harry dkk. Keempat orang yang suka membuat gaduh tapi lumayan dikenal di Hogwarts.
So, this story is inspirated from 'The Marauders'.
A Naruto fanfiction
Cherry Blossom and Marauders
Written by Emi Yoshikuni
Prologue
Salju menutupi hampir sebagian besar kota Kyuubi no Kitsune. Jalanan-jalanan utama dan distrik pertokoan yang sering dilewati oleh penduduknya maupun pelancong seperti tak memiliki tanda-tanda kehidupan. Gelap dan hening. Hanya ada suara salju dan deruan angin yang membekukan. Dinginnya es seperti menyihir siapapun untuk berdiam diri di rumah mereka dan membenamkan kaki mereka dalam kotatsu. Berbicara soal sihir-menyihir, akhir-akhir ini, kota Kyuubi no Kitsune selalu saja didera isu-isu yang menjadi bahan cakap masyarakat kurang kerjaan. Mulai dari, seorang wanita yang bekerja di counter penjualan minuman, melihat sosok aneh yang terbang menggunakan sapu di langit gelap. Namun, mengingat si wanita yang tampak mabuk, orang-orang pun tak percaya. Kemudian, ada juga seorang kakek tua yang berjalan sendirian di distrik tempat peribadatan kuno yang mengigau melihat dua ekor anjing besar berbulu hitam tampak lompat di tiang-tiang listrik. Tak ada yang percaya kedua cerita itu. Masyarakat kota Kyuubi no Kitsune adalah masyarakat madani alias masyarakat berpendidikan. Jika hal-konyol-tak-masuk-akal menjadi suatu berita yang dengan mudahnya tersebar di kota mereka, maka dengan mudahnya pula ditepis.
Tapi, masyarakat kota Kyuubi no Kitsune masih mempercayai mitos kuno dan karena itulah mereka masih memiliki adat dan tradisi di setiap akhir tahun. Mereka tentunya tidak percaya dengan penyihir, vampire, werewolf, goblin, troll, grim, peri rumah dan lain-lain— yang jelas makhluk-makhluk mitos— Mereka lebih suka mengadakan festival seperti Halloween atau Thanksgiving. Tujuannya hanya satu, menambah devisa kota mereka. Ya, menghormati tradisi sekaligus mendapatkan uang adalah hal yang bagus dan menguntungkan tapi hei, siapa yang peduli dengan makhluk-makhluk itu? Toh, kini era sudah berubah. Teknologi yang menguasai segalanya. Bahkan kemampuan otak manusia ternyata melebihi penyihir-penyihir itu. Kalau para penyihir suka terbang di langit dengan sapu, maka manusia juga memiliki pesawat. Lalu, penyihir mampu membuka pintu hanya dengan menjentikkan jemarinya maka manusia juga punya sensor suara. Penyihir tidak punya handphone dan alat komunikasi jarak jauh tapi manusia punya semuanya. Penyihir tak punya mesin fax dan tv tapi manusia memilikinya. Tapi, ada satu hal yang membedakan antara manusia dan penyihir. Meskipun wujud mereka sama persis namun ada satu hal yang manusia tak miliki begitu pula dengan penyihir yaitu Konohagakure Witchcraft Society dan Gedung Parlemen.
Penyihir tak perlu membangun gedung parlemen atau kepresidenan sebab mereka sudah memiliki Kementrian Sihir yang bekerja dengan jaringan network yang lebih luas dibandingkan gedung-gedung besar milik manusia. Posisi seorang penyihir juga berada di atas makhluk gaib lainnya sehingga banyak goblin, peri rumah bahkan vampire bekerja di bawah kekuasaan seorang penyihir. Penyihir memiliki semua bentuk kutukan yang para makhluk-gaib-rendah lainnya tak ketahui. Itu artinya sama saja dengan penyihir yang memegang jiwamu. Tapi, seiring dengan perkembangan masa —sama seperti manusia— hal yang seperti itu sudah diatur dalam sebuah maklumat kementrian. Para penyihir terutama dari keluarga berdarah murni tak diperbolehkan dengan seenaknya memaksa para makhluk-malang itu bekerja untuk mereka. Manusia tak pernah dibedakan atas kasta berdarah murni, keluarga bangsawan, half-blood, ataupun muggle sebab semua manusia adalah muggle. Muggle adalah manusia normal yang tak memiliki kemampuan sihir apapun. Sampai sekarang pun tak ada yang tahu apakah ada muggle yang mampu menjadi penyihir. Dahulu, kota Kyuubi no Kitsune, konon katanya dihuni oleh para penyihir berdarah murni yang arogan, yakni Uchiha Madara. Dia sangat suka melakukan pertumpahan darah di mana-mana terutama membasmi semua muggle-born. Ia tak suka dengan semua darah-lumpur karena menganggapnya hanya sebagai sampah yang tak pantas hidup. Untuk apa ada manusia bila para penyihir itu bisa menguasai semuanya? Kita-kira itulah pemikirannya. Lalu, selayaknya dongeng anak-anak sebelum tidur, setiap ada penjahat pasti ada pahlawan. Jadi, datanglah seorang pahlawan yang bernama Senjuu Hashirama. Senjuu Hashirama juga berasal dari keluarga berdarah murni tapi ia lebih suka bergaul dengan semuanya, termasuk muggle-born. Menurutnya, bila siklus kehidupan ini tetap berjalan hingga kiamat, maka sikap saling menerima kekurangan dan kelebihan harus dilakukan. Maka, perang besar pun dimulai. Tanah-tanah kota Kyuubi no Kitsune dijadikan medan perang yang besar sampai pada akhirnya, kedua penyihir terhormat itu bertemu di sebuah ngarai yang kemudian dinamakan oleh masyarakat Kyuubi no Kitsune sebagai Valley of The End.
Sebagi hasil perundingan panjang, Senjuu Hashirama meminta pada keluarga Uchiha untuk menyingkir dari tanah milik para muggle itu. Dan akhirnya, ia bersama dengan penyihir lainnya membuat suatu dunia baru yang tak bisa dijangkau oleh manusia manapun kecuali manusia penyihir.
Tak ada satu pun muggle alias manusia mengetahui di mana para penyihir yang selamat itu bertempat tinggal. Mereka juga tak pernah melihat adanya makhluk-malam-mengerikan berkeliaran di setiap sisi kota mereka. Jadi, pertanyaan mengenai penyihir dan makhluk gaib lainnya itu tak pernah ada hingga seorang muggle-born membuka sebuah literatur kuno di perpustakaan terbesar di kota Kyuubi no Kitsune...
"Penyihir adalah makhluk terkuat diantara segalanya. Mitos akan nenek sihir berhidung panjang jelek itu hanya cerita anak-anak klasik. Misteri akan penyihir dan makhluk-malam lainnya belum dapat dikonfirmasikan secara jelas— "
"Sakura... ayo kita pulang. Hari sudah sore, nak."
"Tunggu sebentar, kaa-san."
Gadis berambut aneh yang jarang sekali manusia normal miliki terlihat tengah memasukkan sebuah skrip kuno ke dalam sisi-sisi rak buku yang tinggi itu. Tubuhnya yang pendek tak bisa menjangkaunya. Jelas saja, ia masih berusia sepuluh tahun lewat sepuluh bulan. Tinggi rak yang ingin dicapainya kira-kira dua kali dari tingginya sendiri. Gadis cilik itu melihat sebuah tangga dan ditariknya tangga itu. Ia pun menaiki anak tangga itu. Perlahan, ia menjulurkan tangannya ke arah sisi rak yang kosong itu. Tapi, ia masih saja tak bisa menggapainya. Dengan nekad, gadis mungil itu agak memiringkan tangga yang dinaikinya. Ia putus asa dan keringatnya bercucuran. Tak ada siapapun untuk dimintai tolong tapi ia juga tipe gadis keras kepala makanya ia tak ingin dibantu.
"Se-dikit la-la-lagi— Aaa..."
Tangganya rubuh. Tidak! Belum rubuh. Tapi, gadis itu tahu pasti ia terjatuh. Hanya saja, ia malah merasa kalau tangganya tidak rubuh dan jatuh. Ia membuka matanya yang sedari tadi terpejam—takut kalau-kalau ia benar terjatuh—Ia melihat sebuah pemandangan yang aneh sekali. Bahkan di luar kemampuan otaknya yang di atas rata-rata anak berusia sepuluh tahun lainnya. Ia membulatkan mata emeraldnya yang bening.
"Bu-bukunya me-me-melayang?"
Gadis itu mengedipkan matanya berkali-kali, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia pun mengucek-ucek matanya dan melihat buku kuno yang dipegangnya melayang dan saat ia memikirkan untuk memasukkan buku itu ke dalam sisi rak yang kosong, secara spontan, buku itu menuruti pikirannya.
"Uso..."
"Sakura... kau di mana, nak? Sakura? Sakura? Oh Tuhanku! Bisa berbahaya kalau kamu menaiki tangga itu! Ayo turun, nak... Sakura..."
"I-iya."
Gadis itu turun perlahan sambil memegangi sisi tangga itu. Ibunya bersama dengan seorang penjaga perpustakaan berkacamata tebal melihatnya khawatir. Dengan hentakan keras, gadis bernama Sakura itu akhirnya sampai juga di dasar lantai. Ibunya yang terlihat ketakutan lalu memeluk sang anak yang masih syok.
"Tidak baik bagi anak kecil sepertimu menaiki tangga rak yang tinggi begitu, nak. Jika ingin mengembalikan buku yang sudah kau baca sebaiknya berikan pada kami." kata penjaga perpustakaan itu.
Pelukan erat itu pun dilepas. Sakura mengambil napas panjang sebelum mengatakan maaf pada ibunya. "Maafkan Sakura, kaa-san."
"Jangan lakukan hal itu lagi. Mengerti?"
Sakura menganggukan kepalanya yang masih bergetar. Sebelum tangan kecilnya dipegang erat oleh sang ibu, Sakura melirik sedikit-sedikit ke arah rak buku yang misterius itu, bukan, seharusnya buku misterius.
Sakura dan ibunya berjalan menyusuri zebracross yang ditutupi oleh salju tebal itu. Sakura terus memegang tangan ibunya sambil memutar-mutar kepalanya, melihat semua hal yang bisa ditangkap oleh mata emeraldnya. Mereka berhenti sebentar di ujung lampu lalu lintas untuk menyeberang. Sakura masih saja memutar-mutar kepalanya hingga penglihatannya berhenti ketika ia melihat sesuatu aneh di seberang jalan.
"Jubah hitam aneh." komen Sakura dalam hatinya. Ia menghiraukan apa yang baru dilihatnya. Seorang aneh berpakaian serba hitam dengan seekor burung hantu bertengger di bahunya tampak berdiri di seberang jalan. Lama Sakura menatapnya hingga sosok hitam itu seperti melambaikan tangannya ke arah Sakura. Sakura yang penasaran kemudian memutar kepalanya ke belakang. Tak ada siapapun selain dirinya dan ibunya. Ia menatap ibunya yang asyik menggosok-gosok arlojinya. Tak mungkin ibu, batinnya. Sakura masih melihat sosok hitam sampai sebuah mobil menutupinya. Para mobil berhenti dan Sakura pun harus berjalan lagi. Saat ia telah sampai di seberang jalan itu, ia sudah tak melihat sosok hitam itu lagi.
"Ada apa Sakura?" tanya ibunya melihat Sakura yang aneh.
"Ng? Ti-tidak. Tidak ada apa-apa kok!" jawabnya riang. "Ibu tak melihat sosoh jubah hitam itu ya? Jadi, yang itu tadi apa ya? Akh, mungkin aku sedang letih makanya berfatamorgana. Ngg..."
"Oh iya, dua bulan lagi Sakura akan berulang tahun ya? Sakura ingin apa di ulang tahun yang kesebelas itu?"
"Ng?"
Lamunan Sakura akan dua peristiwa yang baru saja terjadi pada dirinya terbuyarkan oleh pertanyaan ibunya. Ia baru ingat kalau sebentar lagi ia akan berulang tahun yang kesebelas. Setiap tahun, Sakura selalu meminta dibelikan buku-buku sains atau karya klasik zaman Renaissance. Ia lebih suka membenamkan dirinya dengan tumpukan buku-buku daripada bermain dengan anak-anak di sekitar kompleks rumahnya. Bermain dengan anak-anak itu sebenarnya tak ada guna soalnya mereka juga tidak terlalu menyukai Sakura, tepatnya warna rambutnya yang mencolok itu. Rambut merah muda cerah yang menjuntai hingga ke punggungnya.
"Apa buku lagi? Oh ya, beberapa hari yang lalu, ibu bertemu dengan seorang profesor arkeolog di kampus tempat ibu mengajar. Kata beliau, beliau akan mengeluarkan buku yang bercerita tentang penemuannya tentang fosil dinosaurus di berbagai negara. Apa Sakura tertarik dengan buku itu?"
"Mmmm, dinosaurus ya? Hm, sepertinya menarik!" jawab Sakura dengan senyum manis padahal ia sama sekali tidak tertarik dengan tumpukan tulang-belulang itu.
Senyum sedih tergurat di wajah ibunya. Semestinya ia senang dengan jawaban anaknya tapi melihat anaknya yang lebih suka belajar di rumah daripada menghabiskan liburan musim dingin di luar, ia tampak kasihan. Ayah dan Ibu Sakura sangat bangga dengan prestasi gemilang yang diperoleh Sakura selama ini. Juara satu Decathlon di bidang Matematika tingkat negara kemudian juara satu perlombaan catur se-negara. Orang tua mana yang tak bangga memiliki anak yang cerdas seperti itu? Ya, memang tak ada tapi kalau sudah membicarakan soal pergaulan, akan susah bagi anak-anak itu.
"Apa Sakura membuat banyak teman di summer camp waktu itu?" tanya ibunya memecah keheningan di petang yang dingin itu.
"Tidak."
"Kenapa? Apa anak-anak nakal itu mengejek rambut Sakura lagi?"
Sakura tampak berpikir. "Tidak kok."
"Lalu—"
"Mereka tidak suka dengan kepintaran Sakura makanya Sakura susah untuk menjadikan mereka teman." jawab Sakura apa-adanya. "Dan juga— seandainya saja ada tempat lain yang lebih cocok buat Sakura."
Ibunya melepas tangan kecil Sakura dan menatap dalam-dalam ke arah anaknya. Ia memegangi kedua pundak Sakura seraya tersenyum. "Manusia adalah makhluk sosial, Sakura. Tak ada satu pun manusia yang mampu hidup sendiri. Semua ada siklus dan perputarannya. Sama seperti dengan kejadian di perpustakaan tadi. Semestinya, Sakura meminta seseorang untuk membantu Sakura memasukkan buku itu. Kadang, ada sesuatu yang tak bisa kita lakukan sedangkan orang lain bisa lakukan. Maka dari itu, kita butuh seseorang untuk selalu mendorong kita. Seperti ibu dan ayah atau matahari dan bulan."
Sakura menundukkan kepalanya dan melihat lantai jalanan yang putih. Tak disadari, mereka telah berjalan cukup jauh dan akhirnya sampai di depan sebuah rumah hangat berwarna serba coklat tua.
"Udaranya mulai dingin, lebih baik kita masuk." ujar sang ibu.
"Hai'."
Sakura masih ingin berdiam diri di tengah hujan salju itu. Ia berjalan sedikit ke arah rumahnya sebelum ia melihat sebuah burung hantu yang sama dilihatnya di seberang jalan tadi bertengger di ujung atap rumahnya. Burung itu berkaok-kaok dan menatap Sakura. Mengerikan, Sakura membatin. Entah kenapa tubuhnya malah tak bisa digerakkan saat mata kuning burung hantu itu menatap tajam ke arahnya. Burung hantu itu menggerak-gerakkan kepalanya seraya masih memandangi kedua bola mata Sakura. Sakura pun membalas tatapan si burung hantu berbulu coklat keputihan itu.
"Sakura... ayo masuk. Makan malam sudah siap!"
"I-iya! Tunggu sebentar!"
Jauh dari arah pandangan Sakura, sepasang mata mengamati, tepatnya mengawasi gerak-geriknya melalui burung hantunya itu. Sosok jubah hitam yang sama dengan yang dilihat oleh Sakura di seberang jalan. Sosok dalam jubah hitam itu membuka perlahan penutup kepalanya sehingga rambut peraknya itu terlihat mengabur oleh bayangan salju putih yang turun.
"Target sudah ditemukan."
Sebuah bayangan hitam panjang mewarnai koridor remang itu. Langkah yang cepat dan napas yang tersengal-sengal terdengar di seluruh koridor yang hanya dihiasi dengan lampu obor di tiap sisi dindingnya. Langkah itu berhenti berbunyi tepat di sebuah pintu emas yang sedikit terbuka. Siluet sinar lampu dari puntu yang terbuka itu membuat mata pemilik langkah kaki itu sedikit silau. Dengan keras didorongnya pintu itu. Ia melihat pemandangan asing yang tak pernah dilihatnya. Seorang kakek tua yang dikenalnya sebagai tetua keluarganya yang aneh dan juga nenek keriput yang suka mengedutkan dahinya. Kemudian, beberapa orang lainnya tak tak dikenalnya.
"Sasuke, dari mana saja kau, hah?! Kami sudah menunggu lebih dari dua jam, kau tahu!"
Sosok yang dipanggil oleh seorang wanita dewasa berambut hitam kelam sebagai Sasuke itu mengernyitkan dahinya. Mata onyx-nya menatap tak suka ke arah orang-orang itu.
"Ada apa ini?"
"Tak usah bertanya yang macam-macam, Sasuke. Mengingat usiamu yang kini menginjak sebelas tahun kami sudah putuskan untuk memasukkanmu ke Konoha Academy."
"A-Apa? Jangan seenaknya memutuskan hal itu sendiri meskipun kau adalah ayahku!"
"SASUKE! Tidak sopan berkata begitu di depan ayahmu!" teriak salah satu wanita yang tak lain dan tak bukan adalah ibunya. "Hal ini sudah diputuskan. Kita semua tahu bahwa jumlah keluarga penyihir berdarah murni tinggal sedikit. Keluarga kita adalah salah satunya dan memegang tradisi leluhur adalah cara menjaga kemurnian keluarga kita. Jika kau memasuki akademi itu maka akan mudah bagi keluarga kita untuk mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milik kita."
"Kemurnian? Memangnya kita ini kuda apa?! Kalian hanya memikirkan tentang darah murni dan darah murni. Memangnya apa yang bisa diharapkan dengan terus menjaga tradisi konyol itu, HAH?! Aku punya perspektif sendiri mengenai hidup dan tak ada satu pun yang berhak melarangnya, termasuk keputusan memasuki sekolah itu."
"Keluarga Uchiha adalah keluarga berdarah murni paling tua di negri ini. Keluarga kita menguasai segalanya. Lihat semua leluhur kita yang tengah tertidur di lukisan mereka dan juga pohon keluarga. Semestinya kau bangga menjadi seorang Uchiha, Sasuke."
Ayah pemuda itu memejamkam matanya perlahan kemudian membukanya. Warna merah mengerikan terlihat di kedua bola matanya. Terlihat jelas kalau pria tua itu sedang kesal.
"Kau suruh saja si bodoh Itachi itu untuk mengabdi pada Kau-Tahu-Siapa maka apa yang menjadi milik kita akan kembali dengan mudah. Jangan-libatkan-aku."
Wanita yang mengumpat di awal tadi melipat kedua tangannya sambil menatap tak suka ke arah Sasuke. "Kau tahu kan kalau kakakmu itu terbenam di sel-mengerikan itu. Penjara yang didirikan oleh klan Senjuu itu tak mudah dibuka. Terlalu banyak Dementor yang mengelilingi tiap sudut penjara itu. Kau pikir mudah apa membebaskan dia?"
"Itu salahnya sendiri. Kalau dia tidak ceroboh membunuh satu keluarga muggle di kota, dia tidak akan masuk ke dalam penjara itu. Lagipula, kementrian sedang disibukkan dengan bukti-bukti kejahatan keluarga-berdarah-murni-kita. Dan aku benci dilahirkan di keluarga absurd ini!"
"Jaga mulutmu, anak muda! Kau tidak tahu kau sedang berbicara dengan siapa." tiba-tiba saja nenek keriput yang sedari tadi diam itu berbicara juga. Ia juga tampak kesal dengan perangai Sasuke.
Pria muda itu meraih sesuatu dari balik mantelnya. Sebuah tongkat kecil terbenam dalam genggamannya. Tongkat berwarna putih itu tiba-tiba mengeluarkan sebuah kilatan kecil berwarna biru yang semakin lama semakin membesar dan mengelilingi seluruh tubuhnya.
"Sasuke... kau tidak akan berani melakukannya." kata pria yang merupakan ayah pemuda cilik itu.
"Yeah, try me."
Sebelum sang ayah menampik kilatan petir biru dari tongkat Sasuke, Sasuke dengan cepatnya membuat asap tebal dan menyerukan Apparate. Kontan, Sasuke sudah menghilang entah ke mana dan asap-asap yang dibuatnya menghilang perlahan. Setiap mata yang menatap letak Sasuke berdiri hanya bisa melihat kilatan petir biru yang semakin lama semakin menghilang.
"Anak itu.... "
Kumpulan asap hitam yang menutupi seluruh tubuhnya membuatnya harus terbatuk-batuk. Mantra Apparate hanya bisa dipelajari oleh siswa tingkat enam Konoha Academy tapi bagi seorang Uchiha, tak ada mantra yang tak bisa dikuasai dengan cepat begitu pula dengan seorang penyihir lain yang tinggal di rumah mewah yang kini dituju oleh Sasuke. Sasuke berjalan dengan tergopoh-gopoh ke arah rumah besar itu. Sesampainya ia di depan pagar rumah itu, ia lalu menjentikkan tingkatnya di gembok pagar dan buush pagar itu terbuka seketika. Ia memasuki pekarangan rumah dengan pohon willow besar di sisi sebuah kamar. Sasuke menyeringai seraya menggumamkan sebuah mantra ke arah pohon willow itu. Tiba-tiba saja, sebuah sulur panjang keluar dari pohon itu dan mengikat tiang balkon kamar itu. Sasuke melompat dan berjalan di atas sulur itu.
"WOI..." teriaknya ke arah jendela balkon yang tertutup. "Hei, dobe... buka jendelanya."
"Siapa?!" sebuah suara keras lainnya terdengar dari arah dalam kamar itu. Lama hingga orang itu pun membuka jendela balkon kamarnya. Mata biru langit si pemilik kamar membentuk lingkaran dan mulutnya pun dibentuk huruf O. "OMAE... KENAPA ADA DI SINI, HAH?!"
"Tidak usah banyak bertanya. Cepat menyingkir, aku mau melompat."
"INI TENGAH MALAM, KAU TAHU! KAU NGAPAIN SIH KE RUMAHKU MALAM-MALAM BEGINI? MANA PAKE ACARA MANJAT POHON WILLOW."
"Aku tidak memanjatnya, bodoh tapi menggunakan mantra mempercepat tumbuhnya sulur." jawab Sasuke sambil melompat ke arah balkon itu. "Hei, aku nginap di sini ya."
"AP-APHUA? Nginap?! HEI, memangnya ini hotel apa? Ini rumahku tau', rumahku."
Sasuke mengernyitkan dahinya dan menatap sinis ke arah temannya itu. "Kita ini teman kan?"
"YEAH, asal kau masih ingat saja. Kau tahu kan keluargaku dan keluargamu musuhan sejak lama. Kalau ayahmu itu tahu kau ada di sini, bisa berbahaya tau'." ujar pria berambut blondy itu.
Kedua pria berusia sama itu berjalan ke arah kamar yang luas itu. Sebuah springbed king size membuat tatapan Sasuke berhenti sebentar. Ia duduk di ujung kasur empuk itu seraya mengacak-acak rambut hitamnya.
"Kau ada masalah lagi, buddy?" tanya pria blondy itu seraya menyandarkan punggungnya di rangka tempat tidurnya. "Kau mau atau tidak mau cerita, itu terserah kau tapi... kita ini The Marauders, ingat?"
Sasuke menghela napas panjang dan kemudian merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk milik sahabatnya. Matanya menerawang ke arah lilin melayang di langit-langit kamar itu. Penyihir memang tak punya lampu listrik tapi mereka punya lilin melayang.
"Aku muak dengan keluargaku." katanya sambil membentur-benturkan kepalanya di kasur. "Aku kabur dari rumah ayah dan ibuku."
"Kabur? Berani juga ya kau. Lalu— apa yang akan kau lakukan sekarang?"
Sasuke menaikkan pundaknya seraya memejamkan matanya. Sahabatnya yang hanya melihat sedih kemudian menggaruk-garuk belakang kepalanya, seperti ingin mengatakan sesuatu yang nantinya akan disesalkan oleh Sasuke.
"Ngomong-ngomong, di akhir bulan Maret aku akan ke Konoha Academy. Jadi— aku akan sibuk sekali nanti. Kenapa kau tidak ke sana juga, teme?"
"Ke sekolah itu? Tidak. Aku lebih baik tinggal di jalanan daripada pergi ke tempat yang penuh dengan buku dan anak-anak perempuan tukang mengikik."
Pria blondy itu memanyunkan bibirnya seraya berdecak pinggang. "Hei, sekolah itu bukan hanya dijejali dengan buku dan anak-anak perempuan tukan mengikik, bagus kalau ada yang cantik. TAPI... sekolah juga tempat kita mencari petualangan! Kudengar banyak sekali hal-hal misterius yang belum dipecahkan oleh penyihir manapun tentang sekolah itu! UWO... pasti seru sekali..."
"Yang kau pikirkan hanya main, main dan main. Sekolah bukan untuk main-main, Naruto. Lagipula— bisa berbahaya kalau aku ada di sekolah itu."
Pria yang bernama Naruto itu mengerucutkan bibirnya, bertanya dalam bingung. Kedua alisnya bertaut. "Berbahaya? Maksudmu?"
Sasuke melihat ketidaktahuan besar dari wajah sohibnya itu. Ia tidak ingin mengatakan alasan kenapa ia berbahaya jika ia berada di Konoha Academy karena hal itu berkaitan dengan keluarganya yang mengutamakan kemurnian keluarga, Toujurs Pur. "Tidak. Bukan apa-apa."
"Ingin sekali rasanya melihat seekor centaurus. Pasti di hutan terlarang Konoha Academu menyimpan banyak makhluk-makhluk gaib—"
Naruto terus saja mengoceh akan semua hal-hal yang mungkin dilewatinya di sekolah sihir itu. Ocehan-ocehan keras dan semangat itu malah membuat Sasuke mengantuk. Tak lama, ia pun tertidur. Ia lelah dengan pelariannya, kabur dari rumahnya yang jauhnya minta ampun. Kediaman utama keluarga Uchiha sangat terpencil, jauh dari pemukiman penyihir lainnya. Hal itu dilakukan agar tak ada seorang penyihir berani menyusup ke dalam istana merah itu. Dan juga tak ada satupun makhluk gaib yang berani menyentuhnya...
Penyihir dan manusia hidup saling berdekatan dalam satu bumi tapi berbeda dunia. Jika ada kanan maka ada kiri dan jika ada depan maka ada belakang. Manusia hidup dengan segala kejelasannya sedangkan penyihir hidup dalam rahasia mereka masing-masing. Penyihir tidak berbahaya bagi manusia asalkan mereka tidak menggunakan kutukan untuk menghancurkan manusia. Manusia pun tidak berbahaya bagi penyihir asalkan mereka mampu membungkam mulut mereka atas dunia lain yang mereka lihat kelak. Oleh karena itu, jika ada muggle dan penyihir yang bersatu, bukankah itu suatu tim yang bagus?
—To be Continued—
Jadi, fic ini adalah fic keduanya Emi Yoshikuni. Maaf jika banyak kekurangan di dalamnya. Mohon reviewnya, teman-teman. Terima kasih sudah membaca. Arigatou Gozaimashita!
KAMUS :
Kotatsu : meja penghangat
Uso : tak mungkin
