Kelam

Terang

Redup

Benderang

Berselimut salju,

Kulit ariku

Berdebu abu,

Suraiku

Mendongak,

Mencari tetesan hujan

Merunduk,

Menunggu setitik embun

Biar mengalir,

Mencuci warna yang tiada tulen

Luks, dilirik

Tapi cuma dipikiranmu

Putihku kini bukan putih megah

Bukan pula putih suci

Mungkin aku menua,

Mungkin ulah koloni fungi

Dulu aku permata hitam

Kini cuma cadas kapur

Dulu aku mahsyur tersohor

Kini terkubur di puing-puing

Tinggallah aku si kapur cadas

Rapuh, rawan, tiada kokoh

Abu salju tiada hilang,

Embun percuma, hujan sia-sia

Bukan warna palsuku yang pudar,

Malah badanku larut dan hanyut

Sepasang bola mata

—Tiada kelam tiada berwarna

Merah api tapi tak membara

Makin dilihat, makin tertelan eksistensinya

Seperti darah namun tak mengalir

— bukan rubi, bukan pula garnet.

Dulu mataku mutiara hitam

Kini jadi refleksi pejuang gugur

Menyimpan wadi

—aku iri.

Menggumun

—aku malu.

Mungkin aku terlalu gagah

—nian cemburu khalayak jagat

Jangka jaya tutup usia,

Menatap masa lalu, kini ku jengah

—malu pada diriku...

.

Berangkat dari kekaguman saya yang muncul kembali ketika membaca ulang bait pertama dari lagu wajib Prussia dan dari pikiran "mungkin dulu Prussia nggak albino ('putih' rambutnya karena kealbinoannya meragukan), tapi hitam!" yang kemudian berkembang melahirkan puisi pendek ini. Warna hitam di sini bukan dark!Prussia karena daku pribadi menganggap hitam sebagai warna yang bisa diinterpretasikan sebagai simbol banyak hal, hoho.

Terima kasih sudah membaca. :)