Jika Memang Harus Berpisah
Chapter I
Disclaimer
Characters: Suzanne Collins
Plot: MarauderNight18793
Rated T
Katniss Everdeen/Peeta Mellark
Fajar merekah di bumi 12. Cahayanya merasuk ke sela-sela tirai, menyilaukan mata, dan menghempaskanku dari alam ketidaksadaran.
Aku berusaha membuka mataku yang terasa begitu berat. Kepalaku pening dan badanku sakit semua. Sensasi yang biasa dirasakan oleh pekerja-pekerja tambang yang memanggul batubara. Disebelahku ada Peeta yang masih tertidur pulas. Wajahnya sangat damai ketika tertidur.
Biarlah. Dunia nyata sangat kejam. Setidaknya itu jugalah yang kurasakan. Aku tidak mau mengganggu apapun yang sedang terjadi di dalam pikirannya sekarang. Kukecup keningnya dengan sangat pelan dan turun membuat sarapan, melaksanakan rutinitas harianku sebagai seorang ibu rumah tangga.
Masih banyak bahan makanan di lemari dapur. Jumlahnya bahkan bisa mencukupi kebutuhan perutku selama setahun sewaktu masih di Seam dulu. Ada satu bonggol daging domba, jadi kuputuskan untuk membuat sup krim daging.
Mataku mencari-cari bumbu dapur yang biasanya terselip di sudut-sudut lemari lalu memotong-motongnya dan menjadikan satu dengan air rebusan dagingnya. Memotong bawang merah membuat mataku sedikit perih dan berair dan tololnya lagi aku mengusap mata dengan tangan. Alhasil, mataku terasa seperti terbakar.
"Ah—" gumamku ketika rasa perih itu tak kunjung hilang. Bau menyengat dari bawang menusuk indra penciumanku, membuat kepalaku terasa pening. Rasa menyengat itu turun ke perut, mengaduk-aduknya. Dan ketika aku tak sanggup lagi, aku lari secepat mungkin kearah kamar mandi dan muntah-muntah hebat.
Mungkin suara muntahanku terlalu keras, karena kudengar langkah kaki Peeta yang menuruni anak tangga dengan sedikit terburu-buru.
"Katniss?" Panggilnya. Ia mencari-cari dan akhirnya menemukanku di kamar mandi. "Katniss, kau baik saja?" wajahnya jelas terlihat khawatir sekarang.
"Uh—" aku mengangguk pelan. Mataku semakin berair dan merah akibat muntah.
"Kau sakit?" tanyanya lagi. Tangannya memegang bahu dan tengkukku, memijat-mijatnya dengan lembut. "Perlu ke dokter?"
Kugelengkan kepalaku secepat mungkin, "Tidak usah."
Mata biru Peeta menatapku, "Kita mungkin perlu ke dokter. Siapa tahu—"
"Tidak, Peeta. Itu karena bawang. Baunya tidak enak sekali," Jawabku.
"Oh, baiklah."
Tiba-tiba aku teringat sesuatu, masakanku mungkin sudah matang. "Aku memasak sup. Ayo kita makan."
Kami berdua melangkah ke ruang makan. Aku menghidangkan sup domba itu dalam dua mangkuk, satu untukku dan satu untuk Peeta. Setelah itu, Peeta bersiap-siap ke toko roti.
Ia memberiku pelukan dan kecupan ringan, sesuatu yang biasa ia lakukan sebelum pergi bekerja. Aku memperhatikan punggungnya yang kekar menjauh pergi hingga menghilang di balik tikungan. Setelah itu, aku mencari-cari pekerjaan lain yang bisa kukerjakan agar tidak mati bosan.
Mencuci pakaian.
Di kamar mandi banyak sekali tumpukan pakaian kotor. Sebagian besar memang pakaianku. Jadi, aku mengangkutnya keluar ke tempat pencucian dan memilah-milah pakaian yang akan kucuci terlebih dahulu.
Kemeja Peeta, celana panjang, blus biru milikku yang terkena noda darah dan beberapa potong pakaian lain yang lebih mudah dicuci, kupisahkan dari yang lain.
Aku mengamati blus biruku itu dan terdiam mematung. Darah? Aku mengingat-ingat dimana kiranya aku mendapat noda ini. Jelas bukan pada saat berburu, karena blus sudah jelas bukan pilihan sesuai untuk berlarian kesana kemari mengejar binatang buruan.
Dan kurasa, noda ini juga bukan bekas menstruasiku. Karena selain nodanya terletak agak diatas, aku juga belum haid selama dua bulan belakangan.
Tunggu.
Dua bulan?
Sekelebat pemahaman melintas di pikiranku, membuatku sedikit terperangah. Mungkin ini sebabnya tubuhku merasa kelelahan luar biasa. Mungkin ini sebabnya mengapa tubuhku bereaksi berlebihan terhadap aroma bawang tadi.
Mungkinkah? Aku meremas jemariku sendiri. Tidak. Aku tidak menginginkan ini. Tidak mungkin.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung memasukkan semua pakaian ke dalam mesin cuci tanpa memilahnya terlebih dulu. Lalu aku mandi. Dan bergegas ke suatu tempat..
xxx
Dinding-dinding putih kusam dengan aroma desinfektan yang kuat menyengat di hidungku. Kutahan tubuhku agar tidak muntah lagi. Aroma rumah sakit selalu saja seperti ini, keluhku. Bagaimana bisa pasien-pasien itu bisa sembuh di lingkungan yang suram-muram seperti ini? Kurasa mereka membutuhkan udara segar dan pemandangan indah selama masa penyembuhan.
Tak lama kemudian, perawat itu memanggil namaku. Menandakan bahwa aku sudah bisa bertemu dengan dokter sekarang.
Aku menatap pria setengah baya dihadapanku. Jas dokternya tampak putih bersih. Wajahnya ramah, dan terlihat serius mendengar semua keluhan akan kondisi tubuhku.
Ia tersenyum sembari mengetuk-ngetukkan jemarinya diatas meja, "Ini kabar gembira untukmu, Katniss. Dari apa yang kau rasakan, aku bisa memastikan bahwa kau hamil. Tujuh minggu."
Diagnosanya membuat semangatku melorot hingga ke mata kaki.
"Aku akan menulis resep. Di usia kandunganmu sekarang, si janin butuh banyak sekali asupan vitamin," ujarnya tenang, berbanding terbalik dengan keadaanku. "Dan ingat, jangan berburu lagi untuk sementara waktu. Nah, sekarang pulanglah dan beritahu suamimu. Ia pasti akan sangat senang mendengarnya."
Kuanggukkan kepalaku dan membalas senyumannya, meskipun itu sangat berat untuk dilakukan.
Aku berjalan pulang dengan langkah gontai. Sinar mentari yang membara membakar bumi, terasa amat panas di kulitku. Tapi pikiranku sedang panas dengan hal lain.
Di sepanjang hidupku, tak pernah terlintas sedikitpun keinginan untuk membesarkan anak. Tidak pernah. Terlalu banyak ketakutan dan keragu-raguan setiap memikirkan hal itu. Jadi kuputuskan untuk tidak memikirkannya sekalian.
Kurebahkan tubuhku diatas kasur begitu tiba dirumah. Tidak ada hal lain yang ingin kukerjakan selain beristirahat. Aku benci merasa lemah seperti ini. Seperti bukan diriku.
Jemariku menelusuri perut, merasakan adanya perubahan bentuk disana. Benar. Aku memang sedikit lebih gemuk dari biasanya. Namun, gumpalan kecil di perutku ini berisikan manusia. Memikirkannya saja sudah membuatku bergidik ngeri.
Aku takut.
Aku membenamkan wajahku diantara kedua lutut. Air mata merembes turun ke pipiku. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa melakukan ini.
Aku harus memikirkan jalan keluar..
xxx
Peeta pulang dari toko roti ketika hari sudah petang. Seperti biasa, ia membawa dua batang roti keju kesukaanku. Rambut pirangnya acak-acakan. Bekas tepung terigu mengotori kemeja kerjanya sementara luka bakar bekas sundutan oven terlihat makin banyak di sekitar lengannya.
Seperti biasa aku menyiapkan air hangat dan kudapan ringan untuknya.
Setelah membersihkan diri, Peeta menanyakan kabarku. Aku berbohong dengan menjawab bahwa aku sudah agak baikan.
Hatiku gelisah. Haruskah kuberitahu ia mengenai kabar kehamilanku? Ia pasti sangat senang. Jika ada diantara kami berdua yang bercita-cita menjadi orangtua, dialah orangnya. Dan harus kuakui, dia memang orang yang tepat untuk itu.
Tapi aku sungguh-sungguh tidak siap. Aku masih duapuluh tahun. Masih banyak yang harus kukerjakan. Belum lagi, kehidupan awal rumah tangga kami belum berjalan stabil. Aku masih butuh beradaptasi dengan status baruku sebagai nyonya Mellark. Begitupun Peeta.
Kehadiran seorang bayi samasekali tidak membantu, kurasa. Mungkin sebaiknya aku memberitahunya saja. Saat ini juga.
"Peeta," bisikku. "Ada yang ingin kusampaikan."
Aku yakin sekali wajah dan suaraku sangat tegang. Peeta menoleh, menatapku. "Apa itu?"
Setelah menarik napas sejenak, aku menjawab lirih, "Aku hamil."
Respon pertama yang kudapatkan adalah tatapan tidak percaya. Mata birunya menatapku lekat-lekat. Tapi tampaknya ia tak menemukan celah kebohongan di dalam sana.
"Aku tak percaya, Kat," ujarnya sumringah. "Kau hamil? Sudah berapa lama?"
"Tujuh minggu," jawabku singkat. "Aku baru mengetahuinya tadi."
"Apa kata dokter?" Peeta bertanya antusias.
"Dia baik-baik saja di dalam sini," kutelusuri perutku dengan jari telunjuk. Peeta melakukan hal yang sama, mengelus perutku dengan sayang.
"Aku akan jadi ayah," gumamnya lirih. Senyuman tidak terlepas dari wajahnya. Aku mengangguk lesu mendengar antusiasme di dalam suaranya.
"Peeta, jangan senang dulu," potongku. "Ada yang ingin kuutarakan."
Peeta mengangkat alis, memberi isyarat bahwa aku boleh berbicara. Jadi, kuutarakan perasaan-perasaanku padanya. Termasuk pendapat bahwa aku belum siap untuk memiliki anak. Bahwa aku tidak bisa melakukan sesuatu jika aku tidak benar-benar menginginkannya.
Ia mendengarkan dengan baik. Tidak memotong sepatah kata pun dariku. Namun ekspresinya berubah. seperti menahan sesuatu.
"Jadi? Apa maksudmu, Katniss?" Peeta bertanya padaku, tapi tatapannya tertuju pada karpet dibawah kaki kami. Ia tidak memandangku.
Selanjutnya, mungkin adalah kata-kata terburuk yang pernah meluncur dari bibirku. Jika ada alat untuk memutar waktu, aku ingin menariknya kembali.
"Aku ingin menggugurkannya," jawabku, menahan napas.
Peeta menarik lengannya yang melingkari pundakku. Sikapnya seketika itu berubah menjadi defensif. "Kau gila, Katniss."
Aku tak menjawab. Menunduk memandangi lantai, seperti yang dilakukan Peeta. Aku tidak berani menatap matanya.
"Aku tidak bisa, Peeta," Ucapku terbata-bata. "Tolonglah mengerti."
Ledakan kemarahan Peeta menjadi tidak terkendali. Ia menyambar gelas di dekat kami dan melemparnya begitu saja. Ia menudingku.
"Itu anakku. Anak kita berdua, Katniss. Tidakkah kau sadar? Dan sekarang kau memberitahuku bahwa kau ingin membunuhnya?" Peeta mengucapkannya dengan lugas, tanpa basa-basi. "Ibu macam apa kau, hah?"
Selama kebersamaanku dengan Peeta, ia hanya sesekali mengeluarkan kata-kata kasar padaku. Itupun ketika ingatan-ingatan palsunya muncul dipermukaan. Pada saat-saat seperti itu aku bisa paham karena yang tengah berbicara denganku bukanlah Peeta asli. Meskipun kata-katanya masih menyakitkan.
Tapi dia sedang sadar saat ini. Dan itu seribu kali lebih menyakiti hatiku.
"Itu sebabnya aku tidak ingin jadi ibu," suaraku bergetar menahan tangis.
Peeta mengangkat bahu, "Oh, well. Terserah kau saja Katniss. Ingat kan, aku tidak pernah memaksamu melakukan hal-hal yang tidak kau suka? Jadi lakukan saja apa maumu! Gugurkan saja anak itu jika itu memang keinginanmu. Aku tidak peduli."
"Kau peduli."
Ia menatapku dengan tatapan benci, "Tidak. Aku tidak peduli dengan anak itu. Kau saja sebagai ibunya tidak mau ambil pusing. Jadi, untuk apa aku harus peduli?"
Setelah itu, ia pergi ke atas, ke kamar kami. Dan membanting pintu.
Aku ceroboh sekali. Itu tadi pasti sangat menyakitkan baginya. Selama ini, ia menginginkan anak dariku. Dan sekarang aku malah mengatakan yang sebaliknya.
Kupaksakan kakiku bergerak menaiki anak tangga. Meskipun aku limbung dan pandanganku kabur karena air mata. Aku memutar kenop pintu. Dikunci.
Kuketuk pintu itu dengan lembut, "Peeta?" panggilku. "Peeta, kumohon. Kita perlu bicara."
Pintu dibuka. Aku masuk dan melihat Peeta sedang duduk di tepi ranjang. Matanya sayu, ada bekas airmata disana. Aku memeluknya, tapi ia menepisku.
"Jangan sentuh-sentuh," bentaknya marah.
"Aku minta maaf."
"Tidak perlu. Lakukan saja apa maumu."
Ia tidak melihatku. Benar-benar tidak melihatku. Sesudah itu ia keluar lagi.
"Mau kemana?" tanyaku khawatir.
"Tidur di kamar sebelah."
Brak! Pintu dibanting lagi.
Oh oh. Kali ini aku tak bisa menahan tangis. Peeta marah. Bukan. Lebih tepat lagi, dia murka.
End Chapter I
A/N: Review please, )
